Anda di halaman 1dari 2

Teori Motivasi Al Ghazali

Contributed by Willson Gustiawan


Friday, 19 June 2009
oleh: Willson Gustiawan Mencari teori motivasi bersumberkan pemikiran Islam sangatlah sulit, termasuk bagi
kalangan cendikiawan muslim. Kalaupun ada, hal itu hanyalah tafsiran ilmiah terhadap beberapa ayat Al Quran atau
Hadis Nabi yang direlevansikan terhadap teori-teori motivasi yang telah ada. Suatu tesis baru tentang teori motivasi
Islam adalah teori motivasi yang dikemukakan Al Ghazali. Karya keilmuan Al Ghazali dapat dikonstruksikan sebagai
sebuah proses teorisasi ilmu yang memiliki karakter ilmiah, bukan sebagai wacana agama, etika dan tasawuf belaka,
karena karya-karya Al Ghazali bisa diinterpretasikan dan diaktualkan untuk kepentingan yang lebih luas. Hal demikian
termasuk dalam kepentingan manajemen, khususnya ketika memahami teori motivasi dalam manajemen smber daya
manusia.
Abu Hamid Al Ghazali (1085-1111 M) adalah salah seorang ilmuwan muslim yang termasyhur sebagai tokoh muslim
dari kelompok Ahlu Sunnah, yang juga dikenal sebagai Hujjatul Islam. Salah satu karya utamanya adalah Ihya
‘Ulumuddin.

Gejala sosial dan individu yang dicermati dalam sebuah sistem sosial atau organisasi melahirkan sebuah studi tentang
prilaku organisasi. Bila dilihat dari perspektif ini, peran lingkungan dalam mengkondusifkan organisasi menjadi penting
untuk dirumuskan sebagai sebuah mekanisme organisasi yang sistematis. Dalam pemahaman seperti inilah Imam Al
Ghazali memandang proses pemotivasian seseorang sehingga mampu meningkatkan prestasi kerjanya. Perspektif Al
Ghazali dalam motivasi didasarkan pada bukunya Ihya Ulumuddin, khususnya dalam rubu (bagian) khauf wa raja’
(takut dan harap). Jika diperhatikan sistematika penulisannya rubu ini terbagi kedalam dua bagian, yaitu raja’
(harap) yang terdiri atas 3 bab dan khauf (takut) sebanyak 9 bab. Hal ini mengisyaratkan bahwa Al Ghazali memandang
rasa takut memiliki wacana yang lebih penting dari rasa harap, rasa takut merupakan konsep dengan gradasi dari negatif
sampai positif, kendatipun demikian pembahasan keduanya tidak jauh berbeda. Harap dan takut ini merupakan dua
sayap, yang merupakan sarana pendakian orang-orang yang berupaya mendekatkan diri kepada Allah menuju setiap
peringkat yang terpuji. Juga, merupakan dua pisau, yang dengan keduanya, orang membedah titian jalan akhirat
memotong setiap tebing yang sulit didaki (Al Ghazali, 2007, 257). Harap-takut ini bagi Al Ghazali memiliki dua manfaat
yaitu (1) sebagai daya dorong untuk melakukan perjalanan dan perkembangan mental spiritual sehingga memiliki
prestasi yang terpuji, (2) menjadi kontrol atau pisau kritis terhadap perjalanan spiritual atau mental. Implikasinya, yang
mendorong kita untuk maju adalah adanya rasa harap dan yang menahan kita untuk melakukan perbuatan yang tidak
produktif adalah rasa takut. Di sinilah tampak urgensi peran khauf dan raja’ sebagai matif dasar menusia dalam
menggerakkan prilaku manusia di muka bumi (Cecep Darmawan, 2006, 57). Gerak psikologis manusia dalam hal harap,
digambarkan dalam tiga kategori. Pertama, mereka yang memiliki harapan tentang masa depan, namun tidak ada sebab
yang melatari munculnya harapan tersebut, mereka ini disebut pemimpi, pengharap tanpa sebab (berangan-angan).
Kedua, mereka yang memiliki harapan tentang suatu hal, tetapi sebab-sebabnya masih tidak jelas atau tidak valid, orang
ini disebut tertipu atau dungu. Ketiga, orang yang memiliki harap dan dia berusaha untuk melakukan sebab-sebab yang
dapat meraihnya, sikap ini yang sebenarnya disebut harap. Harap merupakan daya gerak terhadap prilaku manusia.
Menurut Jalalddin Rumi, berkembangnya nilai harap dalam diri seseorang, mampu mendorong energi positif dan
mengarahkan manusia ke satu tujuan tertentu, termasuk adanya dinamika pemikiran yang proyektif (berprasangka baik
dan optimisme). Dalam hal takut, menurut Al Ghazali, tidak semua rasa takut itu negatif dan tidak semua positif. Takut
merupakan cemeti Allah yang akan membawa manusia pada ilmu dan amal. Rasa takut akan cemeti itu mampu
menggerakkan prilaku manusia ke arah yang lebih baik, walaupun menekankan pentingnya memukul untuk mengubah
prilaku sendiri, bukanlah hal yang terpuji. Rasa takut memiliki tiga tingakatan, yaitu (1) Rasa takut yang muncul secara
singkat, seperti kepada binatang buas. Rasa takut ini tidak banyak mengubah prilaku manusia. (2) Rasa takut menengah
yang mendorong manusia untuk mengubah prilaku dan mencegah anggota badannya melakukan perbuatan maksiat. (3)
Rasa takut yang berlebihan sehingga menghapus tumbuhnya rasa harap, sehingga orang bisa terjermus dalam mental
putus asa, bimbang dan hilang akal, sehingga mencegah dirinya untuk beramal (QS. 39:53). Bagi manusia, ada dua hal
yang ditakutinya. Pertama, ada yang ditakuti karena hakikat dirinya sendiri (an sich) ata zatnya, seperti takut kepada
panasnya api. Kedua, ada yang merasa takut pada akibat dari suatu hal yang ditimbulkan dari penyebab itu sendiri,
seperti takut pada AIDS. Dalam konteks praktis manusia moderen saat ini, manusia cenderung berpikiran pendek,
sesaat dan yang tampak belaka. Sesuatu yang terlihat tidak mencelakakan atau tidak merugikan, banyak disukai dan
dilakukan oleh mereka. Setelah melakukan hal itu, mereka mengalami kerusakan, kehinaan dan rasa sakit yang sulit
disembuhkan. Mereka terjebak hanya karena tergoda oleh kenikmatan sesaat (Cecep Darmawan, 2006, 63). Rasulullah
bersabda, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dari Anas: “Keduanya
(takut dosa dan rahmat Allah) itu tidaklah berkumpul pada hati hamba pada tempat ini, melainkan ia diberikan oleh Allah
apa yang diharapkannya dan ia diamankan oleh Allah dari apa yang ditakutinya”. Khauf dan raja’ adalah
obat bagi mentalitas hati manusia. Kelebihan keduanya adalah menurut penyakit yang dihadapinya. Jikalau yang keras
hati itu penyakit aman dari siksaan Allah dan tertipu diri, maka takutlah yang lebih utama, jikalau yang lebih lebih keras
itu adalah putus asa dan hilang harapan dari rahmat Allah, maka haraplah yang lebih utama (Al Ghazali, 2007.329).
Dalam hal ini Al Ghazali menekankan pada hasil diagnosis psikologis kita terhadap mental individu itu sendiri. Takut,
dalam Islam juga diposisikan sebagai ujian, sebagaimana difirmankan oleh Allah dalam Al Quran, “Dan
sesungguhnya akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
:: Laman Willson Gustiawan ::
http://willson.polinpdg.ac.id Powered by Joomla! Generated: 2 December, 2009, 19:21
buah-buahan” (QS. 2:155). Menurut Sayyid Quthb, ayat tersebut menjelaskan tentang adanya keniscayaan untuk
menempa jiwa dengan bencana dan ujian. Adanya rasa takut, merupakan ‘training’ mental dan jiwa
manusia. Oleh karena itu mereka yang memiliki positive thinking yang akan berhasil melewati rasa takut dan mampu
meningkatkan kualitas hidpnya (Quthb, 2000,174). Nilai keuutamaan antara khauf dan raja’ ini terletak dalam
relevansinya dengan penyakit yang dimilikinya. Landasan teologisnya, terlihat dari pernyataan dalam Al Quran yang
memposisikan keduanya secara bergantian. Dalam Surat As Sajdah, rasa takut di dahulukan dari rasa harap, “...
mereka berdoa kepada Tuhannya dengan perasaan penuh ketakutan dan pengharapan...”(QS.Sajdah:16).
Sedangkan dalam Surat Al Anbiya’, rasa harap diposisikan lebih dahulu dibandingkan rasa takut, “...dan,
mereka berdoa kepada Kami dengan pengaharapan dan rasa takut...”(QS. Al Anbiya’:90). Rasa takut dan
harap dapat menjadi obat bagi penyakit mental manusia, setelah sebelumnya telah melakukan diagnosiis psikologis.
Ada dua cara menumbuhkan harap dan takut sebagai obat. Pertama, dengan menggunakan i’tibar atau
pemerhatian terhadap kasus yang ada, dimana fakta sosial atau data empiris menyajikan beberapa nasihat faktual bagi
individu yang mengalami penyakit mental. Kedua, dengan merujuk petuah-petuah normatif yang diyakininya dari Al
Quran dan Hadist. “Sesungguhnya, orang-orang yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, ialah
orang-orang yang berilmu” (QS. Al A’rraf:154). Ayat tersebut menanamkan mental keimanan bahwa orang
yang takut kepada Allah adalah orang yang memiliki ilmu. Sambil menanamkan rasa takut pada siksa Allah, manusia
harus memperdalam ilmunya, sehingga menimbulkan mental berprestasi.”Allah ridho kepada mereka dan mereka
ridho kepada Allah. Itu adalah bagi orang yang takut keapda Tuhannya” (QS Al Bayyinah:8). Ayat tersebut
menanamkan mental keimanan bahwa orang takut kepada Allah adalah orang yang memiliki mental keagamaan yakni
ridho diatur oleh Allah, dan akibat dari sikap ini, Allah pun ridho kepadanya. Ada tiga langkah psikologis dalam diri
individu dalam perjalanan pembinaan mentalnya. Tahap pertama yaitu kondisi aktual dalam dirinya masing-masing, rasa
takut yang tinggi atau rasa harap yang tinggi, yang diketahui setelah diagnosis psikologis. Tahap kedua yaitu titik
keraguan yang dimiliki individu, setelah diberikan terapi psikologis, yang merupakan masa transisi sebagai krisis mental
manusia. Tahap ketiga yaitu peyakinan mental setelah mengalami krisis kepercayaan terhadap apa yang dimiliki
sebelumnya. Setelah melewati ketiga tahap itu, perlu dilakukan pembinaan dan pematangan mental, yang merupakan
proses lanjutan dari gerak transformasi psikologis. Rujukan: Cecep Darmawan,2006, Kiat Sukses Manajemen
Rasulullah: Manajemen Sumber Daya Insasni Berbasis Nilai-Nilai Ilahiyah, Penerbit Khazanah Intelektual, Bandung Al
Ghazali, Iman Abu Muhammad bin Muhammad, 2007, Ihya ‘Ulumuddin, Terjemahan Ahmad Rofi’ Usmani,
Penerbit Pustaka, Bandung Quthb, Sayyid, 2000, Tafsir Fi Zhilalil Quran: Di Bawah Naungan Al Quran, Terjemahan Jilid
1, Gema Insani Press, Jakarta
:: Laman Willson Gustiawan ::
http://willson.polinpdg.ac.id Powered by Joomla! Generated: 2 December, 2009, 19:21

Anda mungkin juga menyukai