PEMBAHASAN
1
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 130-131.
Dari definisi tersebut ditemukan hakikat dari al-amr sebagai
berikut:
1. Bahwa ia adalah ucapan berbentuk suruhan, seperti ayat di atas.
2. Ucapan datang dari pihak yang lebih tinggi, yaitu Allah Swt.
3. Ada perbuatan yang dituntut seperti shalat dan zakat.
4. Ada pihak yang diperintah yang kedudukannya lebih rendah,
yaitu hamba Allah yang beriman.2
Sighat al-Amr
مقدمة الواجب.3
Amr itu dapat saja tidak menunjukkan wajib bila ada qarinah atau
indikasi yang memalingkannya dari prinsip “wajib” itu. Dalam hal ini
amar itu dapat berarti sebagai berikut4 :
3
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 131-134.
4
Amir Syarifuddin, Garis garis besar ushul fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hlm
134-139
1. Untuk hukum nadab atau Sunnah, seperti firman allah dalam surat An
Nur (24) ayat 33 :
“Buat perjanjianlah dengan mereka untuk dimerdekakan jika kamu
melihat padanya ada baiknya.”
“Orang orang kafir itu telah menjadikan sekutu sekutu bagi allah
supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalannya. Katakanlah
“bersenang senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu
ialah neraka”
10. Untuk doa, seperti dalam firman allah surat Ibrahim (14) ayat 41 :
Maksud kaidah diatas bahwa sebuah perintah tidak harus dilakukan secara segera.
Karena pelaksanaan sebuah perintah bukan terletak pada kesegeraannya tetapi
berdasarkan kepada kesempurnaan dan kesiapan untuk melakukan perintah itu.
Contohnya ialah perintah melakukan ibadah haji tidak harus dilakukan secara segera,
tetapi harus menunggu kemampuan dan kesiapan untuk melakukannya.
Maksud kaidah diatas adalah jika kita diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu
padahal sebelumnya ada larangan untuk melakukannya, maka mengerjakan perintah
itu hukumnya mubah. Contohnya ialah ziarah kubur. Sebelum ada perintah ziarah
kubur hukum ziarah kubur ini dilarang. Maka hukum ziarah kubur boleh berdasarkan
hadis nabi :
Artinya : “dahulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur sekarang berziarahlah
kubur kalian. (HR.Muslim)5
2. Al-Nahi
Secara bahasa al-nahi bisa berarti larangan dan mencegah. Adapun
dalam istilah ushul, nahi berarti:
5
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm 178-180
6
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 180.
7
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 141.
berlaku riba, dan sebagainya. Jika larangan-larangan tersebut dilanggar
manusia, maka akan mengakibatkan kerusakan dan kemusnahan bagi
kehidupan manusia.8
Sighat al-Nahi
Sighat al-nahi juga terdiri dari dua bentuk, yaitu yang sharih dan
yang dzahir. Sighat yang sharih untuk al-nahi adalah fi’l mudhari’ (kata
lafadz yang dzahir atau berarti larangan dan dapat juga digunakan untuk
yang lainnya, di antaranya adalah ancaman bagi yang melakukannya,
seperti firman Allah dalam QS. An-Nur : 2.
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
8
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 180.
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman