Anda di halaman 1dari 14

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian al-Amr dan al-Nahi


Al-amr dan al-nahi adalah dua istilah yang terdapat dalam bahasan
lafadz dari segi penggunaan sighat taklif atau lafadz yang menunjukan beban
hukum. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa hukum syara’ itu
ditemukan pada perintah dan larangan Allah Swt. dalam al-Qur’an dan
perintah-larangan Rasulullah Saw. dalam Sunnahnya. Ini yang merupakan
pokok dalam kajian ushul fiqh memulai kajiannya dalam al-amr dan al-nahi
itu. Semua yang diperintahkan Allah menuntut mukalaf untuk
mengerjakannya dan semua bentuk larangan menuntut mukalaf untuk
meninggalkannya.1
1. Al-Amr
Definisi yang popular tentang al-amr dalam literature ushul fiqh
adalah:

‫القول المقتضي طاعة المأمور بفعل الماموربة‬


“Suatu ucapan yang menghendaki kepatuhan seseorang untuk
melakukan suatu perbuatan.”
Atau dalam istilah yang sederhana namun lengkap:

‫طلب الفعل من األعلى الى األدنى‬


“Tuntutan untuk mengerjakan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi
kepada pihak yang lebih rendah.”
Contohnya dalam QS. Al-Baqarah : 110 Allah berfirman:
  

“Dan dirikanlah shalat dan bayarlah zakat.”

1
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 130-131.
Dari definisi tersebut ditemukan hakikat dari al-amr sebagai
berikut:
1. Bahwa ia adalah ucapan berbentuk suruhan, seperti ayat di atas.
2. Ucapan datang dari pihak yang lebih tinggi, yaitu Allah Swt.
3. Ada perbuatan yang dituntut seperti shalat dan zakat.
4. Ada pihak yang diperintah yang kedudukannya lebih rendah,
yaitu hamba Allah yang beriman.2

Sighat al-Amr

Al-amr itu diketahui memalui tanda atau sighat yang menunujukan


bahwa ia adalah al-amr. Sighat al-amr itu ada dua macam:

1. Sighat yang sharih, yaitu sighat yang jelas-jelas digunakan


untuk al-amr dan tidak digunakan untuk maksud lainnya.
Sighat sharih itu adalah:
a. Fi’l amri seperti firman Allah dalam QS. Al-Baqarah :
110.



  

 
  
   
 
 
2
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 131.
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan
kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu,
tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu
kerjakan.”
b. Fi’l mudhari’ yang didahului lam al-amr, seperti firman
Allah dalam QS. Al-Baqarah : 282.
  

“Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar.”

2. Sighat yang dzahir, yaitu tanda atau sighat yang berarti


untuk al-amr, namun juga digunakan untuk kepentingan
lain, ada beberapa bentuk:
a. Isim fi’l al-amr, firman Allah dalam QS. Al-Baqarah :
180.
  
 
  
 


 
 
 
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara
kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-
bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

b. Masdar pengganti fi’l al-amr, seperti firman Allah


dalam QS. Al-Baqarah : 83.


“Dan berbuat kebaikanlah kepada ibu bapak.”
c. Lafadz berita yang berarti perintah, seperti dalam fiman
Allah dalam QS. Al-Baqarah : 228.
 
   
“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'.”

d. Menggunakan kata ‫امر‬, seperti firman Allah dalam QS.


Al-Nahl : 90.
  


 

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil
dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat.”
e. Adanya pujian bagi orang yang melakukan perbuatan,
seperti firman Allah dalam QS. An-Nisaa’ : 13.
   
  

 
  

  
 
 
“(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-
ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah
dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam
syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai,
sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah
kemenangan yang besar.”
f. Adanya ancaman bagi yang tidak melakukannya, seperti
ancaman Allah terhadap yang tidak mau melaksanakan
ketentuan Allah tentang pembagian waris, sebagaimana
firman Allah dalam QS. An-Nisaa’ : 4.
  

 
 
 
  

“Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-
Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya
Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia
kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang
menghinakan.”

g. Tergantung kepadanya pelaksaan wajib, yang disebut

‫مقدمة الواجب‬.3

Penunjukan (dalalah) Lafadz Amr

Setiap amar atau perintah yang diberikan allah kepada hambanya,


menurut asalnya menunjukkan hokum wajib. Oleh karena itu ulama
menetapkan kaidah ushul fiqh yang berbunyi :

‫االصل في االمر للوجوب‬

“menurut asalnya amr itu adalah untuk hukum wajib”

Amr itu dapat saja tidak menunjukkan wajib bila ada qarinah atau
indikasi yang memalingkannya dari prinsip “wajib” itu. Dalam hal ini
amar itu dapat berarti sebagai berikut4 :

3
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 131-134.
4
Amir Syarifuddin, Garis garis besar ushul fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2012), hlm
134-139
1. Untuk hukum nadab atau Sunnah, seperti firman allah dalam surat An
Nur (24) ayat 33 :
  
  
“Buat perjanjianlah dengan mereka untuk dimerdekakan jika kamu
melihat padanya ada baiknya.”

2. Untuk mendidik (‫ )لالرشاد‬seperti suruhan allah untuk mempersaksikan


transaksi dalam firman allah surat al Baqarah ayat 282 :

 
   
  
 
 


“Persaksikanlah dengan dua orang saksi laki laki di antaramu. Jika


tidak adadua orang saksi laki laki, maka seorang laki laki dan dua
orang perempuan yang kamu sukai.”

3. Untuk hukum mubah, seperati suruhan makan dan minum dalam


firman allah surat al baqarah ayat 60 :
  
    
  
“Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan allah) dan janganlah
kamu berkeliaran di muka bumi ini dengan berbuat kerusakan.”
4. Untuk menakut nakuti, seperti firman allah dalam surat Ibrahim (14)
ayat 30 :

  
 
  
  
 
“Orang orang kafir itu telah menjadikan sekutu sekutu bagi allah
supaya mereka menyesatkan (manusia) dari jalannya. Katakanlah
“bersenang senanglah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu
ialah neraka”

5. Untuk merangsang keinginan. Seperti firman allah dalam surat al


Anam (6) ayat 142 :

  


   
 

“Dan diantara binatang ternak itu ada yang dijadikan untuk


pengangkutan dan ada yang untuk disembelih. Makanlah dari rezeki
yang telah diberikan allah kepadamu.”
6. Untuk memuliakan yang disuruh, seperti firman allah dalam surat al
Hijr (15) ayat 46 :

  




“Dikatakan kepada mereka “masuklah ke dalamnya dengan sejahtera


lagi aman”.”

7. Untuk menghinakan, seperti suruhan allah kepada orang yahudi yang


durhaka dihari sabtu dalam firman allah surat al baqarah (2) ayat 65 :
  
  
  
 
 

“Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang orang yang melanggar


diantaramu pada hari sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka : “
jadilah kamu kera yang hina”

8. Untuk melemahkan, seperti firman allah dalam surat al baqarah (2)


ayat 23 :
   
  
 
  
 
    
 
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al qur’an yang kami
wahyukan kepada hamba kami (muhammad), buatlah satu surat saja
yang semisal al qur’an itu dan ajaklah penolong penolongmu selain
allah, jika kamu orang orang yang benar”

9. Untuk mengejek, seperti firman allah dalam surat ad Dukhan (144)


ayat 49:
   
 
“Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”

10. Untuk doa, seperti dalam firman allah surat Ibrahim (14) ayat 41 :

  


 
   
“Ya tuhan kami, berilah ampunlah aku dan kedua ibu bapakku dan
sekalian orang orang mukmin pada hari terjadinya hisab (hari
kiamat)”
11. Untuk menganggap enteng, seperti dalam firman allah dalam surat asy
syu’ara (126) ayat 43 :
   
   
“Berkata musa kepada mereka :”lemparkanlah apa yang hendak
kamu lemparkan”
12. Untuk maksud penciptaan, seperti dalam firman allah surat yasin (36)
ayat 82:

  


    
  
“Sesungguhnya perintah nya apabila dia menghendaki sesuatu
hanyalah berkata kepadanya :” jadilah! Maka terjadilah ia

Ada bebarapa kaidah yang berhubungan denga amr diantaranya dalah “

1. Artinya : “perintah itu pada asalnya tidak menunjukkan segera”

Maksud kaidah diatas bahwa sebuah perintah tidak harus dilakukan secara segera.
Karena pelaksanaan sebuah perintah bukan terletak pada kesegeraannya tetapi
berdasarkan kepada kesempurnaan dan kesiapan untuk melakukan perintah itu.
Contohnya ialah perintah melakukan ibadah haji tidak harus dilakukan secara segera,
tetapi harus menunggu kemampuan dan kesiapan untuk melakukannya.

2. Artinya : perintah yang jatuh setelah larangan maka hukumnya boleh.

Contoh : ziarah kubur.

Maksud kaidah diatas adalah jika kita diperintahkan untuk mengerjakan sesuatu
padahal sebelumnya ada larangan untuk melakukannya, maka mengerjakan perintah
itu hukumnya mubah. Contohnya ialah ziarah kubur. Sebelum ada perintah ziarah
kubur hukum ziarah kubur ini dilarang. Maka hukum ziarah kubur boleh berdasarkan
hadis nabi :

Artinya : “dahulu aku melarang kalian untuk ziarah kubur sekarang berziarahlah
kubur kalian. (HR.Muslim)5

2. Al-Nahi
Secara bahasa al-nahi bisa berarti larangan dan mencegah. Adapun
dalam istilah ushul, nahi berarti:

‫النهي هو طلب الكف عن فعل‬


“Tuntutan untuk meninggalkan perbuatan.”6
Adapun dalam istilah sederhana yang didefinisikan oleh ahli ushul
fiqh, yaitu:

‫طلب الترك من األعلى الى األدنى‬


“Tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang
lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah.”
Bahasan tentang al-nahi dalam banyak aspeknya menyamai bahasan
tentang al-amr. Bedanya adalah yang satu berbuat dan yang satu tidak
diperbuat.7
Jumhur ulama sepakat bahwa pada asalnya al-nahi itu mengandung
hukum haram karena semua bentuk larangan akan mendatangkan
kerusakan. Contohnya larangan merusak alam, larangan berzina, larangan

5
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2011), hlm 178-180
6
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 180.
7
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 141.
berlaku riba, dan sebagainya. Jika larangan-larangan tersebut dilanggar
manusia, maka akan mengakibatkan kerusakan dan kemusnahan bagi
kehidupan manusia.8

Sighat al-Nahi
Sighat al-nahi juga terdiri dari dua bentuk, yaitu yang sharih dan
yang dzahir. Sighat yang sharih untuk al-nahi adalah fi’l mudhari’ (kata

kerja yang didahului oleh ‫الالناهية‬ yang berarti "jangan", sedangkan

lafadz yang dzahir atau berarti larangan dan dapat juga digunakan untuk
yang lainnya, di antaranya adalah ancaman bagi yang melakukannya,
seperti firman Allah dalam QS. An-Nur : 2.

 
  
  
   
    
  
  
 
 
 

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas
kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah
8
Sapiudin Shidiq, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2017), hlm. 180.
(pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang
yang beriman

Anda mungkin juga menyukai