THAHARAH
A. Pembagian Thaharah/Bersuci.
1. Pengertian Thaharah.
Thaharah dalam pengertian bahasa berarti bersih dan
suci dari kotoran. Sedangkan dalam pengertian fikih berarti
menghilangkan hadas atau menghilangkan sesuatu yang
berkaitan dengan badan yang dapat menghalangi sahnya
shalat dan ibadah-ibadah lain yang serupa dengannya, dan
melenyapkan najis yang melekat di badan dan pakaian
seorang muslim, serta tempat ibadahnya. Secara pendek kata
thaharah dapat dikatakan menghilangkan hadas dan najis,
baik berkenaan dengan diri pribadi ataupun terhadap benda
di luar diri, seperti menyucikan pakaian, tempat, dan benda-
benda lainnya.
Ajaran Islam sangat memperhatikan akan masalah
kebersihan, dalam buku atau kitab-kitab fikih masalah
thaharah atau kebersihan tersebut biasanya dibicarakan pada
bagian-bagian awal. Perintah untuk bersuci atau yang
berkenaan dengan masalah kebersihan antara lain terdapat
dalam al-Qur’an surat al-Maidah/5 ayat 6. Dalam ayat
tersebut Allah Swt berfirman:
Artinya:
“…dan jika kamu junub maka mandilah..”
Selanjutnya dalam surat al-Muddatsir/74 ayat 4 Allah Swt
berfirman:
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
Artinya:
“Dan pakaianmu bersihkanlah”.
Ajaran kebersihan dalam Islam terlihat dari
diwajibkannya shalat yang dilakukan setiap hari. Shalat
dapat membersihkan lahiriyah melalui wudhu’ yang
merupakan syarat sebelum melaksanakannya. Orang yang
mengerjakan shalat berarti selalu dalam keadaan bersih.
2. Pembagian Bersuci.
Bersuci itu terbagi dua, yaitu bersuci batin dan
bersuci lahir:
a. Bersuci batin, ialah mensucikan diri dari dosa
dan maksiat, yaitu dengan tobat yang sungguh-sungguh
dari segala dosa dan maksiat, dari kotoran kemusyrikan,
keraguan dan kebencian, dengki, curang, tipuan, takabur,
riya. Caranya dengan bertindak ikhlas, yakin, cinta
kebajikan, benar, tawadlu’, hanya menghendaki kerelaan
Allah, bagi setiap perbuatan.1 Prinsipnya membersihkan
batin atau hati dari segala hal yang tidak baik.
b. Bersuci lahir, ialah bersih dari kotoran dan hadas.
Menjaga kebersihan dari kotoran caranya ialah dengan
menghilangkan kotoran atau najis terutama pada tempat
ibadah, pakaian yang dipakai dan pada badan seseorang.
Sedang kebersihan dari hadas dilakukan dengan
1
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. Fiqh I,
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Pusat, Jakarta, 1982,
hal. 11
15
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
ب َعَلي
َ َجسُُه شَْيٌئ ِاّال مَ ا َغل
ِّ املاء ال ُيَن
َ َّصَّلى اهللُ َعليَِه َوَسَّلمَ ِان
َ ِول اهلل ُ قال َرُس
ِرِحيِه َوَطعِْمِه َولَْوِنِه
Artinya:
“Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatupun yang dapat
menajiskannya, kecuali sesuatu yang dapat merubah –
mengalahkan – baunya, rasanya dan warnanya” (H.R.
Ibnu Majah)2
b. Banyak air kurang dari dua kullah, asal terkena najis
dianggap najis, kecuali dimasuki najis yang dima’afkan,
misalnya nyamuk, lalat, belalang (hewan yang tidak
mempunyai darah mengalir).
4. Air Kena Benda Suci.
a. Jika campurannya tidak terlalu banyak sekadar merubah
sedikit rasa atau bau, maka air masih dianggap suci dan
boleh dipakai untuk bersuci seperti air mawar, ja’faran.
Hal ini berdasarkan hadis dari Ummu Athiyah yang
diperintahkan Rasul Saw ketika memandikan anak
perempuanya yang meninggal, “Mandikan anak itu
dengan air (yang dicampur dengan daun widoro), pada
siraman terakhir, gunakan air campuran kapur, atau
sedikit campuran kapur”. Artinya air ini masih dapat
digolongkan pada air mutlak lantaran campuran yang
dimasukkan tidak sampai merubah namanya.
b. Kalau campuran itu banyak sampai merubah rasa, bau
dan warna, maka dia walaupun suci tidak bisa untuk
bersuci. Seperti air kopi, teh dan sejenisnya. Kerena
2
Al-Ustadz H. Abdullah Shonhaji dkk. Tarjamah Sunan Ibnu
Majah, Jilid 1, Asy-Syifa, Semarang, 1992, hal. 395-396
17
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
ىف ِاناَء
ِ ُب ْالَكْلب
َ ِاذا شَِر:َاهلل َعَلْيِه َوَسلََّم قال
ُ صلَّى َ اهلل
ِ ول ُ َاَّن رَُس
َاَحِدُكْم َفلُْيَغسُِّلُه َسْبعًا
Artinya:
“Bahwa Rasulullah Saw bersabda: Apabila anjing
minum dari bejana salah seorang di antaramu, maka
cucilah bejana itu tujuh kali” (H.R. Bukhari).3
b. Najis mutawassithoh (sedang) yaitu benda-benda
najis selain dari anjing dan babi seperti, darah, nanah,
bangkai dan sebagainya. Cara mensucikannya dibasuh
sampai hilang najisnya. Namun ada najis ini yang bisa
dima’afkan kalau hanya sedikit. Seperti setetes darah,
nanah atau terkena darah binatang yang tidak mengalir
seumpama, nyamuk, lalat, ikan dan belalang. Kumpulan
najis seperti ini disebut dengan istilah “najis ma’fu’anhu
(najis yang dima’afkan)”.
c. Najis Mukhaffafah (ringan), yaitu najis dari air kencing
bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun. Cara
membersihkannya cukup dengan memercikkan air ke
tempat yang terkena najis tersebut.
Di samping itu, ada najis yang disepakati tentang
kenajisannya, yaitu:
3
Achmad Sunarto dan Syamsuddin Noor, Himpunan Hadits Shahih
Bukhari, An-Nur, Jakarta, 2005, hal. 34
19
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
4
Lihat: Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah,
terj. Anshori Umar Sitanggal, Asy-Syifa, Semarang, t.t. hal. 86
20
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
B. Wudhu’.
1. Pengertian Wudhu’.
Wudhu’ menurut bahasa berarti baik dan bersih.
Sedangkan pengertian wudhu’ menurut istilah ialah
“menyampaikan air ke anggota tertentu dengan cara
tertentu”.
Kamil Musa dalam buku yang ditulisnya Ahkam al-
Ibadat: Shalat, Zakat, Shaum, Hajj memberikan definisi
wudhu’ dengan:
6
عََّما َتَتعََّلُق ِبِه الصَّالة-صَغِر
ْ َث اال
ِ َ اَْحلد-ث
ِ َيل ْاَحلد
ِ صُل َِملِز
َح
ْ صفٌَة ُمعَِّيَنٌة ُت
ِ
Artinya:
“Sifat yang nyata (perbuatan yang dilakukan dengan
anggota-anggota badan tertentu) yang dapat menghilangkan
hadas kecil yang ada hubungannya dengan shalat”.
Wudhu’ merupakan syarat sah pelaksanaan shalat, dan
dilakukan sebelum pelaksanaan shalat. Perintah berwudhu’
berdasarkan pada firman Allah dalam surat AlMaidah/5 ayat
6:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu
6
Kamil Musa, Ahkam al-Ibadat: Shalat, Zakat, Shaum, Hajj, Dar al-
Fikr, 1991, hal. 27-28
22
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
ان رَضَِي اهللُ َعْن ُه َدعا َ َّماَن َاْخَبَرُه َاَّن ُعْثَمانَ ْبَن َعف َ ىل ُعْثَ ان َمْو َ َاَّن ُحمَْر
ض َوِاْسَتْنشََر ُثَّم َغسَل َ َضم ْ َالث َمَّراتٍ ُثَّم مَ ضاءَ َفَغسََل َكفَّْيِه َث َّ ضٍؤ َفَتَو
ُ ِبُو
َّات ُثَم
ٍ الث مَ َّر َ ىن ِاَلى ْاَملرَاِف ِق َث َ ات ُثمَّ َغسََل َي َدُه ُالي ْم ٍ الث مَ َّرَ َوْج َه ُه َث
ك ُثمَّ َمسََح رَْاءسَُه ُثَّم َغسََل ِرْجلَ ُه ْاُليمَْنى َ َغسََل َي دَُه ْاُليسَْرى مِْث َل َذ ِال
ك ُثمَّ َقاَل َرَاْيت َ ات ُثمَّ غسََل ُْاليسَْرى مِْث َل َذ ِال ٍ الث َم َّرَ الكعَْبْيِن َث َ ْ ِاَلى
وءئ َه ذَا ُثمَّ َقاَل ِ ُح َو ُوض ْ اهلل َعَلْي ِه َوسَلََّم َتَوضََّاء َنُ ول اهللِ صَلَّى َ ُرَس
َوءئ َه َذا ُثَّم َقام ِ ُح َو ُوض ْ اهلل َعَلْيِه َوسَلََّم َم ْن َتَوضََّاء َن
ُ صلَّى َ اهلل ِ ول ُ رَُس
ما َتقََّدمَ ِمْن َذْنِبِهَ يهمَا َنْفسَُه ُغفَِر َلُه ِ ث ِفُ ِّحد َ َفَرَكَع رَْكعََتْيِن َال ُي
Artinya:
”Humran, hamba sahaya Usman bin Affan r.a
menceritakan, bahwa Usman minta air untuk berwudhuk.
Mula-mula dicucinya kedua telapak tangannya tiga kali.
Sesudah itu dia berkumur-kumur dan memasukkan air
kehidung. Kemudian dia mencuci muka tiga kali. Sesudah
itu mencuci tangan kanan hingga siku tiga kali. Sesudah itu
mencuci tangan kiri seperti yang kanan. Kemudian menyapu
kepala. Kemudian mencuci kaki kanan hingga dua mata kaki
tiga kali. Kemudian mencuci kaki kiri seperti yang kanan.
Sesudah itu dia berkata, “Seperti itulah kulihat Rasulullah
Saw berwudhuk. Sesudah itu Rasulullah Saw bersabda:
23
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
8
Muwalat yaitu berurutan antara membasuh anggota-anggota
wudhu’ dan apabila telah selesai dari satu anggota lalu pindah (melakukan)
pada anggota selanjutnya dengan segera.
9
Tadlik, yaitu menggosok anggota wudhu’ dengan tangan serta
meratakan air, terutama di sekitar sela-sela jari.
25
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
َ اء َفَا
يت ٍ عا ِبَم
َ وء َفَد
ِ ضُ ان ُسِئَل َعن ِ الُْو
َ ان ْبَن َعَّف
َ َرَاْيتُ ُعْثَم
الثا
ً ض َث َ لى َي ِد ِه ْاُليْمَنى ُثَّم َاْدَخلَ َه ا فِى ْا َمل اءِ فََتَمضَْم
َ َاها ع َ َِبِمْيضََاء ٍة َف ا َصْغ
ُالثا َوغَسََل َي َده ً ىن َث َ الثا ُثَّم غَسََل َي َدهُ ْاُلي ْم
ً الثا َوغَسََل َوْج َه ُه َث ً َوِاْسْتنَشََرَث
ْاُليس َْرى َثالثَ ا ُثَّم َاْد َخ َل َي َدهُ فََا َخ َذ مَ اءً فََمسََح ِبَرا ْءسِِه َوُاُذَنْي ِه َفغَسََل
ِون َعن ِ ُبُطونَُه َم ا َوُظُهْوَرمهََُا مَ َّرًة َو
َ ُ َاْينَ السَِّائل:َاح َدًة ُثَّم َغسََل ِرْجلَْي ِه ُثَّم َقال
ضُاء
َّ اهلل َعلَْيِه َوَسلََّم َيَتَو
ُ صَّلى َ ِول اهللَ ت َرُس ُ وء َهَكَذا َرَاْيِ ض ُ ْالُو
Artinya:
“Aku pernah melihat Usman bin Affan, ketika ditanya
tentang wudhu, maka dia meminta air. Setelah didatangkan
kepadanya satu bejana berisi air wudhu. Maka
dituangkannya atas tangan kanannya, kemudian beliau
memasukkan tangannya ke dalam air, lalu berkumur-kumur
tiga kali dan menghembuskan air dari hidungnya tiga kali
kemudian beliau membasuh mukanya tiga kali, lalu beliau
membasuh tangan kanannya tiga kali dan tangan kirinya
tiga kali, lalu beliau memasukkan tangan ke dalam air buat
mengambil air lalu menyapu kepalanya dan kedua
10
Lihat: Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib
al-Khamsah, terj. Masykur A.B dkk.,Cet. keempat, PT Lentera Basritama,
Jakarta, 1999, hal. 22-25 dan H.M Asywadie Syukur Lc., Perbandingan
Mazhab, Bina Ilmu, Surabaya, 1980, hal. 81-82 dan 103.
26
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
11
Ustadz Bey Arifin dkk, Tarjamah Sunan Abi Daud, Jilid 1, Asy-
Syifa, Semarang, 1992, hal. 60-61
12
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Op.cit., hal. 46-47
27
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
13
Lihat: Imam Az-Zabidi. Al-Tajrid Al-Shalih li Ahadits Al-Jami’
Al-Shahih, Terjemahan oleh Drs.Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis,
Cetakan II, Mizan, Bandung, 1999, hal. 56
28
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
14
Al-Ustadz H.Abdullah Shonhaji, Op. cit., hal. 365
15
Ustadz Bey Arifin,Op. cit., hal. 125-126
16
Al-Ustadz H. Abdullah Shonhaji, Op. cit., hal. 366
29
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
31
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
C. Mandi.
1. Pengertian dan Dasar Hukum.
Yang dimaksud dengan mandi ialah membasahi dan
meratakan air ke seluruh tubuh. Menurut istilah, mandi
adalah menggunakan (mengalirkan) air yang suci untuk
seluruh badan dengan cara yang ditentukan oleh syara’.
Ungkapan “seluruh badan” mengecualikan wudhu, karena
wudhu menggunakan air hanya untuk sebagian anggota
badan18.
Mandi merupakan bagian dari masalah thaharah atau
kebersihan. Disyari’atkannya mandi berdasar firman Allah
dalam surat Al-Maidah/5 ayat 6:
Artinya:
“...dan jika kamu junub mandilah..”
2. Sebab-sebab Yang Mewajibkan Mandi.
a. Bersetubuh.
Surat Al-Maidah ayat 6 seperti tersebut di atas
menunjukkan akan kewajiban mandi bagi orang yang
junub. Akibat junub atau bersetubuh tersebut diwajibkan
mandi, sekalipun tidak mengeluarkan mani. Hal ini
sesuai dengan sebuah hadis yang berasal dari Siti
Aisyah r.a:
18
Abd.Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz 1,
Maktabah Isyiq, Istanbul, Turki, 1975, hal. 105
35
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
ال سََئ َل رَسُْوَل اهلل ً يب صََّلى اهللُ َعلَْي ِه َوسََّلمَ َقاَلتْ ِانَّ َرُج
ِّ ج َّالِنُ َعْن َعائشََة زَْو
- الر ُج ِل ُجي َاِمعُ َاْهَل ُه ُثمَّ ُيْكسُِل َه ْل َعلَْيِه َم ا ْالغُسُْلَّ صََّلى اهلل َعلَْي ِه َوسََّلمَ َعِن
ك َانا
َ ىن لََاْف َع ُل َذ ِال
ِّ ال َرسُْوُل اهللِ صََّلى اهللُ َعلَْي ِه َوسََّلمَ ِا
َ َ فَق- جالِسٌَة َ عائشَُة ِ َو
َوَهذِِه ُثمَّ َنْغَتسُِل
Artinya:
“Dari Aisyah r.a. isteri Nabi Saw. katanya:
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw.
tentang orang yang sanggama dengan isterinya tetapi
tidak keluar mani, wajibkah keduanya mandi? – Padahal
Aisyah ketika itu duduk di situ – Maka Sabda Rasulullah
Saw.: “Aku pernah pula mengalami seperti itu. Yaitu
aku dan isteriku ini. Namun kami mandi sesudah itu”
(H.R Muslim)19
37
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
22
Lihat: Ibrahim Muhammad Al-Jamal. Fiqh al-Mar’ah al-
Muslimah, terj. Anshori Umar Sitanggal, CV Asy-Syifa, Semarang, 1986,
hal. 77
39
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
26
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, 1983,
hal. 431
27
Wahbah Zuhaili, Loc. Cit.
42
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
Artinya:
“…Aisyah r.a. seringkali berkata :”Andaikata aku
mengetahui lebih dahulu peristiwa yang telah lalu itu,
tentu yang memandikan beliau (Nabi Muhammad) itu
hanyalah para isteri beliau” (H.R Ahmad, Abu Daud,
dan Ibn Majah)28
Hadis pertama menunjukkan atas bolehnya seorang
suami memandikan mayat isterinya, dan hadis kedua
menunjukkan sah atau bolehnya isteri memandikan
mayat suaminya. Jadi, baik suami atau isteri dibolehkan
memandikan mayat isteri/suaminya.
Kecuali terhadap orang yang mati syahid, dalam hal
ini pendapat atau pandangan para ulama tidak
mewajibkan untuk memandikannya berdasar hadis dari
Jabir :
ٍ ال َف ِاَّن لِ ُك ِّل َج
رح َ وهمْ َق
ُ الَ ُتَغسُِّل:َانَّ َرسُْوَل اهللِ صََّلى اهللُ َعلَْي ِه َوسََّلمَ َقاَل
سًكا َيْومَ ْالقِياََمِة
ْ ِوح م
ُ َاْوَدمٍ َيُن
Artinya:
Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah
mandikan mereka (yang mati dalam peperangan)
karena sesungguhnya setiap luka dan darah yang ada
28
Bey Arifin, Op. cit. Jilid 3, hal. 735-736
43
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
30
Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nail al-Authar
Syarh Muntaqa al-Akhbar, jilid 1, Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Babi
al-Halabi, t.t., hal. 237
31
Ibid.,hal. 236
45
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
D. Tayamum.
1. Pengertian dan Dasar Hukum.
Pengertian tayamum secara bahasa atau etimologi
berarti “menyengaja”. Sedangkan pengertian tayamum
dalam terminologi fikih adalah menyampaikan tanah (debu)
ke muka dan dua tangan sebagai ganti dari berwudhu dan
mandi dengan syarat-syarat tertentu.
Tayamum yang dilaksanakan merupakan salah satu cara
menghilangkan hadas, sebagai pengganti wudhu’. Apabila
seorang yang dalam keadaan berhadas kehabisan air dan
tidak mendapatkannya lagi, atau merasa khawatir akan
celaka bila memakai air, baik karena sakit maupun tidak
kuat menahan rasa kedinginan, maka dibolehkan melakukan
tayamum sebagai solusinya.
Dasar hukum pelaksanaan tayamum adalah firman Allah
dalam surat An-Nisa’/4 ayat 43:
Artinya :
“…dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);
46
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
32
Lihat: H.M. Asywadie Syukur Lc., Op. cit., hal. 174
48
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
33 ?
Ibid., hal. 174-175
49
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
53
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah
54