Anda di halaman 1dari 41

BAB 2

THAHARAH

A. Pembagian Thaharah/Bersuci.
1. Pengertian Thaharah.
Thaharah dalam pengertian bahasa berarti bersih dan
suci dari kotoran. Sedangkan dalam pengertian fikih berarti
menghilangkan hadas atau menghilangkan sesuatu yang
berkaitan dengan badan yang dapat menghalangi sahnya
shalat dan ibadah-ibadah lain yang serupa dengannya, dan
melenyapkan najis yang melekat di badan dan pakaian
seorang muslim, serta tempat ibadahnya. Secara pendek kata
thaharah dapat dikatakan menghilangkan hadas dan najis,
baik berkenaan dengan diri pribadi ataupun terhadap benda
di luar diri, seperti menyucikan pakaian, tempat, dan benda-
benda lainnya.
Ajaran Islam sangat memperhatikan akan masalah
kebersihan, dalam buku atau kitab-kitab fikih masalah
thaharah atau kebersihan tersebut biasanya dibicarakan pada
bagian-bagian awal. Perintah untuk bersuci atau yang
berkenaan dengan masalah kebersihan antara lain terdapat
dalam al-Qur’an surat al-Maidah/5 ayat 6. Dalam ayat
tersebut Allah Swt berfirman:
    
Artinya:
“…dan jika kamu junub maka mandilah..”
Selanjutnya dalam surat al-Muddatsir/74 ayat 4 Allah Swt
berfirman:
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

  

Artinya:
“Dan pakaianmu bersihkanlah”.
Ajaran kebersihan dalam Islam terlihat dari
diwajibkannya shalat yang dilakukan setiap hari. Shalat
dapat membersihkan lahiriyah melalui wudhu’ yang
merupakan syarat sebelum melaksanakannya. Orang yang
mengerjakan shalat berarti selalu dalam keadaan bersih.
2. Pembagian Bersuci.
Bersuci itu terbagi dua, yaitu bersuci batin dan
bersuci lahir:
a. Bersuci batin, ialah mensucikan diri dari dosa
dan maksiat, yaitu dengan tobat yang sungguh-sungguh
dari segala dosa dan maksiat, dari kotoran kemusyrikan,
keraguan dan kebencian, dengki, curang, tipuan, takabur,
riya. Caranya dengan bertindak ikhlas, yakin, cinta
kebajikan, benar, tawadlu’, hanya menghendaki kerelaan
Allah, bagi setiap perbuatan.1 Prinsipnya membersihkan
batin atau hati dari segala hal yang tidak baik.
b. Bersuci lahir, ialah bersih dari kotoran dan hadas.
Menjaga kebersihan dari kotoran caranya ialah dengan
menghilangkan kotoran atau najis terutama pada tempat
ibadah, pakaian yang dipakai dan pada badan seseorang.
Sedang kebersihan dari hadas dilakukan dengan

1
Direktorat Pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam. Fiqh I,
Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi Agama/IAIN di Pusat, Jakarta, 1982,
hal. 11
15
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

berwudlu untuk menghilangkan hadas kecil, atau mandi


untuk menghilangkan hadas besar.
3. Alat Bersuci.
Alat bersuci ialah air. Firman Allah dalam surat al
Anfal/8 ayat 11:
      
Artinya:
“.. dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit
untuk mensucikan kamu dengan hujan itu.”
Air merupakan alat untuk bersuci yang paling utama,
namun tidak semua air dapat digunakan untuk bersuci. Oleh
karena itu dilihat dari sisi dapat atau tidaknya air untuk
bersuci terbagi pada tiga, yakni:
a.. Air mutlak yaitu air suci (bersih) dan bisa digunakan
untuk bersuci. Air ini terdiri dari tujuh macam air, yaitu
air hujan, mata air, air laut, air salju, air sungai, air
sumur dan air embun.
b. Air suci tidak mensucikan adalah air suci dan halal untuk
dikomsumsi tapi tidak bisa untuk bersuci, contohnya air
teh, air kopi dan sejenisnya.
c. Air najis, yaitu merupakan air yang secara zatnya
dikategorikan najis seperti alkohol, racun, atau
kemasukan benda najis seperti masuk bangkai, darah dan
lain sebagainya.
3. Air Kena Benda Najis.
a. Jika ukuran air lebih dari dua kullah dianggap suci asal
tidak berobah salah satu dari rasa, bau, dan warna. Hal
ini berdasarkan hadis Rasulullah dari Abi Umamah al-
Bahily;
16
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

‫ب َعَلي‬
َ َ‫جسُُه شَْيٌئ ِاّال مَ ا َغل‬
ِّ ‫املاء ال ُيَن‬
َ َّ‫صَّلى اهللُ َعليَِه َوَسَّلمَ ِان‬
َ ِ‫ول اهلل‬ ُ ‫قال َرُس‬
‫ِرِحيِه َوَطعِْمِه َولَْوِنِه‬
Artinya:
“Sesungguhnya air itu tidak ada sesuatupun yang dapat
menajiskannya, kecuali sesuatu yang dapat merubah –
mengalahkan – baunya, rasanya dan warnanya” (H.R.
Ibnu Majah)2
b. Banyak air kurang dari dua kullah, asal terkena najis
dianggap najis, kecuali dimasuki najis yang dima’afkan,
misalnya nyamuk, lalat, belalang (hewan yang tidak
mempunyai darah mengalir).
4. Air Kena Benda Suci.
a. Jika campurannya tidak terlalu banyak sekadar merubah
sedikit rasa atau bau, maka air masih dianggap suci dan
boleh dipakai untuk bersuci seperti air mawar, ja’faran.
Hal ini berdasarkan hadis dari Ummu Athiyah yang
diperintahkan Rasul Saw ketika memandikan anak
perempuanya yang meninggal, “Mandikan anak itu
dengan air (yang dicampur dengan daun widoro), pada
siraman terakhir, gunakan air campuran kapur, atau
sedikit campuran kapur”. Artinya air ini masih dapat
digolongkan pada air mutlak lantaran campuran yang
dimasukkan tidak sampai merubah namanya.
b. Kalau campuran itu banyak sampai merubah rasa, bau
dan warna, maka dia walaupun suci tidak bisa untuk
bersuci. Seperti air kopi, teh dan sejenisnya. Kerena
2
Al-Ustadz H. Abdullah Shonhaji dkk. Tarjamah Sunan Ibnu
Majah, Jilid 1, Asy-Syifa, Semarang, 1992, hal. 395-396
17
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

campuran yang dimasukan itu sudah merubah nama air


jadi “air kopi, air teh”, sesuai dengan nama campuran
yang dimasukkan. Para ulama fikih menamakan air
seperti ini dengan istilah air yang sudah dipakai.
5. Ukuran Air dua kullah.
a. Tempatnya persegi empat, dengan ukuran panjang, lebar,
dan dalam 1 ¼ hasta orang dewasa.
b. Tempat bundar. Ukuran garis tengahnya 1 hasta, dalam 2
¼ hasta dan keliling 3 1/7 hasta.
6. Najis.
Yang menyebabkan seseorang atau benda lainnya tidak
suci adalah terkena najis atau kedatangan hadas. Najis
merupakan nama yang diberikan oleh syari’at terhadap
benda-benda yang dipandang secara zatnya najis seperti,
darah, nanah, bangkai dan sebagainya. Jika benda najis
tersebut menempel kepada sesuatu yang suci, konsekuensi
hukumnya adalah benda yang suci tersebut dikatakan najis
atau terkena najis. Contoh jika setimba air suci dimasuki
oleh bangkai tikus maka air tidak dapat dikatakan suci lagi.
Begitu pun jika bejana yang suci dijilat anjing, maka bejana
tersebut dikatakan kena najis, untuk mensucikannya, maka
najis tersebut harus dibuang atau dihilangkan dengan cara
yang telah digariskan atau ditentukan oleh syara’.
Tata cara menghilangkan najis atau kotoran itu terbagi
pada tiga cara:
a. Najis mughallazah (berat) yaitu najis yang berasal dari
jilatan anjing dan babi. Cara mensucikannya dengan
disiram tujuh kali dengan air, dan siraman pertama
dicampur dengan tanah. Hal tersebut sesuai dengan
18
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

bunyi hadis Nabi Muhammad Saw yang berasal dari Abu


Hurairah sebagai berikut:

‫ىف ِاناَء‬
ِ ُ‫ب ْالَكْلب‬
َ ‫ ِاذا شَِر‬:َ‫اهلل َعَلْيِه َوَسلََّم قال‬
ُ ‫صلَّى‬ َ ‫اهلل‬
ِ ‫ول‬ ُ ‫َاَّن رَُس‬
‫َاَحِدُكْم َفلُْيَغسُِّلُه َسْبعًا‬
Artinya:
“Bahwa Rasulullah Saw bersabda: Apabila anjing
minum dari bejana salah seorang di antaramu, maka
cucilah bejana itu tujuh kali” (H.R. Bukhari).3
b. Najis mutawassithoh (sedang) yaitu benda-benda
najis selain dari anjing dan babi seperti, darah, nanah,
bangkai dan sebagainya. Cara mensucikannya dibasuh
sampai hilang najisnya. Namun ada najis ini yang bisa
dima’afkan kalau hanya sedikit. Seperti setetes darah,
nanah atau terkena darah binatang yang tidak mengalir
seumpama, nyamuk, lalat, ikan dan belalang. Kumpulan
najis seperti ini disebut dengan istilah “najis ma’fu’anhu
(najis yang dima’afkan)”.
c. Najis Mukhaffafah (ringan), yaitu najis dari air kencing
bayi laki-laki yang belum berumur dua tahun. Cara
membersihkannya cukup dengan memercikkan air ke
tempat yang terkena najis tersebut.
Di samping itu, ada najis yang disepakati tentang
kenajisannya, yaitu:

3
Achmad Sunarto dan Syamsuddin Noor, Himpunan Hadits Shahih
Bukhari, An-Nur, Jakarta, 2005, hal. 34
19
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

a. Bangkai binatang yang hidup di darat, kecuali


belalang. Adapun binatang yang hidup di laut, maka
bangkainya suci dan halal dimakan.
b. Darah yang mengalir, yakni darah yang mengalir dari
binatang darat ketika disembelih. Adapun yang
masih terdapat pada binatang yang disembelih secara
syara’, itu dimaafkan.
c. Daging babi.
d. Kencing manusia
e. Tahi manusia
f. Madzi, yaitu cairan encer atau air putih bergetah yang
keluar ketika timbul syahwat. Adapun yang keluar dari
pihak wanita disebut qadzi
g. Wadi, yaitu cairan putih kental yang keluar sehabis
kencing atau ketika dalam keadaan letih.
h. Daging binatang yang tidak halal dimakan.
i. Anggota badan yang dipotong dari seekor binatang
hidup-hidup.
j. Darah haid.
k. Darah nifas.
l. Darah istihadhah4.
Sedangkan berbagai najis yang diperselisihkan tentang
kenajisannya adalah:
a. Kencing dari binatang yang halal dimakan.
b. Kotoran (tahi) dari binatang yang halal dimakan.
c. Mani.
d. Muntah.

4
Lihat: Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah,
terj. Anshori Umar Sitanggal, Asy-Syifa, Semarang, t.t. hal. 86
20
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

e. Bangkai dari binatang yang darahnya tidak mengalir,


seperti lalat, lebah, dan lain-lain5.
7. Hadas.
Hadas merupakan hasil perbuatan manusia atau yang
terdapat dalam diri manusia yang menyebabkan dia tidak
suci, seperti, junub, haid, buang angin, dan sejenisnya.
Dilihat dari cara membersihkan atau mensucikannya, hadas
dapat dibagi dua:
a. Hadas kecil seperti buang air besar, buang air kecil,
buang angin dan menyentuh kemaluan, maka cara
mensucikannya cukup dengan berwudhu’ saja.
b. Hadas besar seperti junub, haid, dan nifas. Untuk
mensucikannya atau membersihkannya harus dengan
mandi.
8. Cara Bersuci dari Hadas.
Bersuci dapat dilakukan dengan tiga sarana yang
mensucikan, yakni air, batu (dikenal dengan istilah istijmar)
dan tanah (debu) yang boleh menggantikan air dalam
keadaan-keadaan tertentu. Istilah ini dikenal dengan sebutan
“tayamum” sebagaimana akan dijelaskan nantinya pada
bagian yang membicarakan tentang tayamum.
Untuk menghilangkan hadas yang berada pada diri
seseorang adalah dengan cara berwudhu’ jika hadas tersebut
hadas kecil, dan dengan cara mandi bagi yang berhadas
besar. Dapat juga dilakukan dengan cara tayamum sebagai
pengganti air dalam kondisi tertentu. Sedangkan cara bersuci
atau membersihkan dari najis adalah dengan cara membasuh
sampai hilang najis tersebut.
5
Ibid., hal. 87
21
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

B. Wudhu’.
1. Pengertian Wudhu’.
Wudhu’ menurut bahasa berarti baik dan bersih.
Sedangkan pengertian wudhu’ menurut istilah ialah
“menyampaikan air ke anggota tertentu dengan cara
tertentu”.
Kamil Musa dalam buku yang ditulisnya Ahkam al-
Ibadat: Shalat, Zakat, Shaum, Hajj memberikan definisi
wudhu’ dengan:
6
‫ عََّما َتَتعََّلُق ِبِه الصَّالة‬-‫صَغِر‬
ْ َ‫ث اال‬
ِ َ‫ اَْحلد‬-‫ث‬
ِ َ‫يل ْاَحلد‬
ِ ‫صُل َِملِز‬
َ‫ح‬
ْ ‫صفٌَة ُمعَِّيَنٌة ُت‬
ِ
Artinya:
“Sifat yang nyata (perbuatan yang dilakukan dengan
anggota-anggota badan tertentu) yang dapat menghilangkan
hadas kecil yang ada hubungannya dengan shalat”.
Wudhu’ merupakan syarat sah pelaksanaan shalat, dan
dilakukan sebelum pelaksanaan shalat. Perintah berwudhu’
berdasarkan pada firman Allah dalam surat AlMaidah/5 ayat
6:
      
    
     
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu

6
Kamil Musa, Ahkam al-Ibadat: Shalat, Zakat, Shaum, Hajj, Dar al-
Fikr, 1991, hal. 27-28
22
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh)


kakimu sampai dengan kedua mata kaki”.
Perintah wudhu’ dan cara-cara menurut yang disebut
dalam ayat di atas dijelaskan antara lain dengan hadis Nabi,
yang berasal dari Humran:

‫ان رَضَِي اهللُ َعْن ُه َدعا‬ َ َّ‫ماَن َاْخَبَرُه َاَّن ُعْثَمانَ ْبَن َعف‬ َ ‫ىل ُعْث‬َ ‫ان َمْو‬ َ ‫َاَّن ُحمَْر‬
‫ض َوِاْسَتْنشََر ُثَّم َغسَل‬ َ َ‫ضم‬ ْ َ‫الث َمَّراتٍ ُثَّم م‬َ ‫ضاءَ َفَغسََل َكفَّْيِه َث‬ َّ ‫ضٍؤ َفَتَو‬
ُ ‫ِبُو‬
َّ‫ات ُثَم‬
ٍ ‫الث مَ َّر‬ َ ‫ىن ِاَلى ْاَملرَاِف ِق َث‬ َ ‫ات ُثمَّ َغسََل َي َدُه ُالي ْم‬ ٍ ‫الث مَ َّر‬َ ‫َوْج َه ُه َث‬
‫ك ُثمَّ َمسََح رَْاءسَُه ُثَّم َغسََل ِرْجلَ ُه ْاُليمَْنى‬ َ ‫َغسََل َي دَُه ْاُليسَْرى مِْث َل َذ ِال‬
‫ك ُثمَّ َقاَل َرَاْيت‬ َ ‫ات ُثمَّ غسََل ُْاليسَْرى مِْث َل َذ ِال‬ ٍ ‫الث َم َّر‬َ ‫الكعَْبْيِن َث‬ َ ْ ‫ِاَلى‬
‫وءئ َه ذَا ُثمَّ َقاَل‬ ِ ُ‫ح َو ُوض‬ ْ ‫اهلل َعَلْي ِه َوسَلََّم َتَوضََّاء َن‬ُ ‫ول اهللِ صَلَّى‬ َ ُ‫رَس‬
َ‫وءئ َه َذا ُثَّم َقام‬ ِ ُ‫ح َو ُوض‬ ْ ‫اهلل َعَلْيِه َوسَلََّم َم ْن َتَوضََّاء َن‬
ُ ‫صلَّى‬ َ ‫اهلل‬ ِ ‫ول‬ ُ ‫رَُس‬
‫ما َتقََّدمَ ِمْن َذْنِبِه‬َ ‫يهمَا َنْفسَُه ُغفَِر َلُه‬ ِ ‫ث ِف‬ُ ِّ‫حد‬ َ ‫َفَرَكَع رَْكعََتْيِن َال ُي‬
Artinya:
”Humran, hamba sahaya Usman bin Affan r.a
menceritakan, bahwa Usman minta air untuk berwudhuk.
Mula-mula dicucinya kedua telapak tangannya tiga kali.
Sesudah itu dia berkumur-kumur dan memasukkan air
kehidung. Kemudian dia mencuci muka tiga kali. Sesudah
itu mencuci tangan kanan hingga siku tiga kali. Sesudah itu
mencuci tangan kiri seperti yang kanan. Kemudian menyapu
kepala. Kemudian mencuci kaki kanan hingga dua mata kaki
tiga kali. Kemudian mencuci kaki kiri seperti yang kanan.
Sesudah itu dia berkata, “Seperti itulah kulihat Rasulullah
Saw berwudhuk. Sesudah itu Rasulullah Saw bersabda:
23
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

Siapa berwudhuk seperti wudhukku ini, dan kemudian dia


shalat dua rakaat tanpa bercakap dengan dirinya sendiri
(tanpa berangan-angan), diampuni Allah dosa-dosanya
yang terdahulu” (H.R. Muslim)7
2. Rukun dan Sunat Wudhu’.
Rukun wudhu adalah hal-hal yang harus dilakukan
dalam pelaksanaan wudhu’, artinya rukun tersebut
merupakan bagian yang tidak terpisahkan di dalam
pelaksanaan wudlu’, apabila salah satu rukunnya saja
tertinggal, berarti wudhu’nya tidak sah. Rukun wudhu’
tersebut adalah:
a. Niat.
Yang dimaksud dengan niat adalah cetusan hati
mengerjakan suatu perbuatan, beriringan dengan awal
perbuatan itu.
b. Membasuh muka.
Membasuh muka ialah membasuh daerah yang berada di
antara tepi dahi sebelah atas sampai tepi bawah janggut,
dan dari batas telinga sebelah kanan sampai batas telinga
sebelah kiri.
c. Membasuh dua tangan hingga siku.
Dalam membasuh tangan harus diperhatikan ketika
memakai cincin atau gelang. Cincin atau gelang tersebut
digerak-gerakkan agar tidak tersisa kulit yang kena air.
d. Mengusap kepala.
Mengusap kepala ialah membasahi sebahagian dari
kepala dengan air.
e. Membasuh kaki hingga dua mata kaki.
7
Ma’mur Daud, Terjemah Hadis Shahih Muslim, Jilid 1, Cet. ketiga,
Widjaya, Jakarta, 1993, hal. 123
24
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

f. Tertib.Yang dimaksudkan dengan tertib dalam


berwudhu’
ialah mengerjakan rukun wudlu’ sesuai dengan urutan
yang terkandung dalam surat Al-Maidah/5 ayat 6 seperti
telah disebutkan.
Dalam hal menetapkan rukun wudhu, terdapat perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Rukun wudhu’ seperti tersebut
di atas adalah berdasarkan pendapat dari mazhab Syafi’i.
Imam Hanafi menetapkan rukun wudhu’ ada empat, yaitu
membasuh muka, membasuh dua tangan hingga siku,
mengusap kepala dan membasuh kaki hingga mata kaki.
Imam Maliki menetapkan rukun wudhu’ ada enam, yaitu
niat, membasuh muka, membasuh dua tangan hingga siku,
membasuh kepala, membasuh kaki hingga mata kaki, dan
muwalat.8 Sedangkan Imam Hanbali dalam menentukan dan
menetapkan rukun wudhu’ ada tujuh, yaitu niat, membasuh
muka, membasuh dua tangan hingga siku, mengusap kepala,
membasuh kaki hingga mata kaki, muwalat, dan tertib.
Jika diurutkan dalam hal jumlah rukun wudhu, maka
Imam Hanafi menetapkannya empat, Imam Syafi’i enam,
Imam Maliki enam, dan Imam Hanbali tujuh.
Di samping itu terdapat perbedaan pendapat di sekitar
tadlik9 Ada yang berpandangan bahwa tadlik termasuk
rukun wudlu’. Pandangan ini adalah pendapat yang masyhur

8
Muwalat yaitu berurutan antara membasuh anggota-anggota
wudhu’ dan apabila telah selesai dari satu anggota lalu pindah (melakukan)
pada anggota selanjutnya dengan segera.
9
Tadlik, yaitu menggosok anggota wudhu’ dengan tangan serta
meratakan air, terutama di sekitar sela-sela jari.
25
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

dalam mazhab Maliki yang diriwayatkan dari ‘Atha’, Mazni


dan Abu Aliyah10
Hal-hal yang disunatkan dalam berwudhu’ antara lain
tersebut dalam hadis dari Abdullah bin Ubaidillah, ia
berkata:

َ ‫اء َفَا‬
‫يت‬ ٍ ‫عا ِبَم‬
َ ‫وء َفَد‬
ِ ‫ض‬ُ ‫ان ُسِئَل َعن ِ الُْو‬
َ ‫ان ْبَن َعَّف‬
َ ‫َرَاْيتُ ُعْثَم‬
‫الثا‬
ً ‫ض َث‬ َ ‫لى َي ِد ِه ْاُليْمَنى ُثَّم َاْدَخلَ َه ا فِى ْا َمل اءِ فََتَمضَْم‬
َ َ‫اها ع‬ َ َ‫ِبِمْيضََاء ٍة َف ا َصْغ‬
ُ‫الثا َوغَسََل َي َده‬ ً ‫ىن َث‬ َ ‫الثا ُثَّم غَسََل َي َدهُ ْاُلي ْم‬
ً ‫الثا َوغَسََل َوْج َه ُه َث‬ ً ‫َوِاْسْتنَشََرَث‬
‫ْاُليس َْرى َثالثَ ا ُثَّم َاْد َخ َل َي َدهُ فََا َخ َذ مَ اءً فََمسََح ِبَرا ْءسِِه َوُاُذَنْي ِه َفغَسََل‬
ِ‫ون َعن‬ ِ ‫ُبُطونَُه َم ا َوُظُهْوَرمهََُا مَ َّرًة َو‬
َ ُ‫ َاْينَ السَِّائل‬:َ‫اح َدًة ُثَّم َغسََل ِرْجلَْي ِه ُثَّم َقال‬
‫ضُاء‬
َّ ‫اهلل َعلَْيِه َوَسلََّم َيَتَو‬
ُ ‫صَّلى‬ َ ِ‫ول اهلل‬َ ‫ت َرُس‬ ُ ‫وء َهَكَذا َرَاْي‬ِ ‫ض‬ ُ ‫ْالُو‬
Artinya:
“Aku pernah melihat Usman bin Affan, ketika ditanya
tentang wudhu, maka dia meminta air. Setelah didatangkan
kepadanya satu bejana berisi air wudhu. Maka
dituangkannya atas tangan kanannya, kemudian beliau
memasukkan tangannya ke dalam air, lalu berkumur-kumur
tiga kali dan menghembuskan air dari hidungnya tiga kali
kemudian beliau membasuh mukanya tiga kali, lalu beliau
membasuh tangan kanannya tiga kali dan tangan kirinya
tiga kali, lalu beliau memasukkan tangan ke dalam air buat
mengambil air lalu menyapu kepalanya dan kedua
10
Lihat: Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib
al-Khamsah, terj. Masykur A.B dkk.,Cet. keempat, PT Lentera Basritama,
Jakarta, 1999, hal. 22-25 dan H.M Asywadie Syukur Lc., Perbandingan
Mazhab, Bina Ilmu, Surabaya, 1980, hal. 81-82 dan 103.
26
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

telinganya. Beliau menyapu luar dan dalam telinganya


sekali saja. Kemudian beliau membasuh kedua kakinya.
Sesudah itu beliau berkata, manakah orang yang bertanya
tentang cara mengambil air sembahyang tadi? Begitulah
aku melihat Rasulullah Saw. berwudhu”. (H.R.Bukhari
Muslim, Ahmad dan Abu Daud)11
Berdasarkan hadis tersebut di atas dan hadis-hadis yang
lain, maka yang disunatkan dalam berwudhu’ itu ialah:
berkumur-kumur, memasukkan air ke dalam hidung,
menggosok gigi, menyela-nyelai jari, mengusap dua telinga,
mengulang tiga kali dalam setiap membasuh, meratakan
kepada seluruh kepala dalam mengusap kepala, bersegera
dalam mengerjakan wudhu’, menggosok seluruh anggota
badan yang dibasuh/diusap, mendahulukan anggota sebelah
kanan, menghadap kiblat, mengusap tengkuk dan meluaskan
membasuh muka sampai kebagian atas dahi, membasuh
tangan dan kaki lebih dari tempat yang ditentukan, hemat
dalam penggunaan atau pemakaian air, berdo’a setelah
selesai mengerjakan wudhu’, dan sembahyang dua raka’at
sesudah wudhu’12. Inilah hal-hal yang disunatkan ketika
dalam melaksanakan wudhu’.
3. Yang membatalkan wudhu’.
Ada beberapa hal yang menyebabkan batalnya wudhu:
a. Keluar dari salah satu dua jalan, baik muka maupun
belakang (qubul dan dubur). Termasuk dalam hal ini
keluar angin atau kentut, sebagaimana dalam sebuah

11
Ustadz Bey Arifin dkk, Tarjamah Sunan Abi Daud, Jilid 1, Asy-
Syifa, Semarang, 1992, hal. 60-61
12
Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam, Op.cit., hal. 46-47
27
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

hadis Nabi Muhammad Saw yang berasal dari Abu


Hurairah:
َ‫الَة َا َح ِدُكْم ِاَذا َا ْح َدث‬
َ َ‫ الَ َيْقَب ُل اهللُ ص‬: َ‫ول اهللِ صََّلى اهللُ َعلَْي ِه َوسََّلم‬
ُ ُ‫ال َرس‬ َ ‫َق‬
ٌ‫ فُسَاط‬:‫ال‬ َ ‫ث َيا َاَبا ُهَرْي َرَة؟ َق‬
ُ ‫ضَر مَ ْوت مَْااحلَ َد‬ ْ ‫ال َرُجٌل مِْن َح‬ َ َ‫ضَاء َفق‬َّ ‫َحَّتى َيَتَو‬
ٌ ‫ضَر‬
‫اط‬ ُ ‫َاْو‬
Artinya:
“Telah bersabda Rasulullah Saw: “Allah tidak
menerima shalat salah seorang di antaramu jika ia
berhadas sampai ia berwudhu” Maka berkatalah
seorang laki-laki dari Hadramaut: “Apakah maksudnya
hadas, ya Abu Hurairah?” “Kentut atau berak” ujarnya.
(H.R. Muttafaq ‘alaih)13
b. Tidur nyenyak. Maksudnya tidur dalam keadaan lelap.
Ketentuan yang menerangkan masalah ini berdasar dari
sebuah hadis Nabi Muhammad Saw yang berasal dari Ali
bin Abi Thalib yang berbunyi sebagai berikut:
ُ‫اهلل َعَلْي ِه َوسَلََّم َقاَل َاْلعَْيُن ِوك اء‬
ُ ‫ب َاَّن رَسُْوَل اهللِ صَلَّى‬ٍ ‫ىب َط ِال‬ ِ ‫علِى ْبِن َا‬َ ‫َعْن‬
َ‫ضاء‬
َّ ‫السِه َفمَْن َنَام َفْلَيَتَو‬
َّ
Artinya:
“Dari Ali bin Abi Thalib, bahwasanya Rasulullah
Saw bersabda: Mata itu pengikat dubur, maka

13
Lihat: Imam Az-Zabidi. Al-Tajrid Al-Shalih li Ahadits Al-Jami’
Al-Shahih, Terjemahan oleh Drs.Cecep Syamsul Hari dan Tholib Anis,
Cetakan II, Mizan, Bandung, 1999, hal. 56
28
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

barangsiapa tidur, hendaklah dia berwudhu’ (H.R Ibnu


Majah)14
Jika tidur itu tidak nyenyak, artinya dalam keadaan
duduk, dan duduknya itu tidak berubah, maka
wudhu’nya tidak batal. Disebutkan dalam sebuah
hadis dari Anas r.a:
‫خفِ َق‬
ْ ‫اخ َرَة َت‬
ِ َ‫صَّلى اهللُ َعلَْيِه َوسََّلمَ َيْنَت ِظ ُرْوَن ْالعِشَاءَ ْال‬
َ ‫حابُ َرُسْوَل اهلل‬ َ‫ص‬ ْ ‫كانَ َا‬
َ
‫ضُؤْوَن‬
َّ ‫صلُّْوَن َوَال َيَتَو‬
َ ‫ُرُؤوسُُهْم ُثمَّ ُي‬
Artinya:
“Para Sahabat Rasulullah Saw menunggu-nunggu
waktu Isya hingga larut malam, sampai mereka
mengantuk, lalu mereka mengerjakan shalat dan tidak
berwudhu’ (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Daud dan
Tarmidzi)15
c. Hilang akal, baik karena gila, pingsan, mabuk atau
disebabkan obat, baik sedikit atau banyak.
d Menyentuh kemaluan tanpa ada batas, berdasar hadis
Nabi dari Busrah binti Shafwan:
‫ضَاء‬
َّ ‫س َاَحُدُكْم َذَكَرُه َفلَْيَتَو‬
َّ ‫اذاَ َم‬:ِ َ‫صَّلى اهللُ َعلَْيِه َوَسَّلم‬
َ ِ‫َقاَل َرُسْوُل اهلل‬
Artinya: “Bahwa Nabi Saw bersabda: Apabila salah
seorang di antara kamu menyentuh dzakarnya,
hendaklah dia berwudhu’” (H.R. Al-Khamsah)16
e. Menyentuh Wanita.

14
Al-Ustadz H.Abdullah Shonhaji, Op. cit., hal. 365
15
Ustadz Bey Arifin,Op. cit., hal. 125-126
16
Al-Ustadz H. Abdullah Shonhaji, Op. cit., hal. 366
29
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

Ulama berbeda pendapat tentang batal tidaknya


wudhu’ kerena menyentuh wanita dengan tangan atau
dengan anggota tubuh lain yang sensitif.
Ulama Syafi’iyah mayoritas berpendapat bahwa
menyentuh atau meraba wanita secara langsung tanpa
pelapis membatalkan wudhu’. Demikian juga halnya
mencium—terlepas dari merasakan nikmat atau tidak—
karena mencium menurut mereka termasuk sentuhan
juga. Pada waktu lain Imam Syafi’i membedakan antara
wanita yang haram dikawini (mahram) dan selain
mahram. Ia menyatakan bahwa menyentuh istri itu
membatalkan wudhu’, sedangkan menyentuh mahram
tidak batal wudhu’. Golongan ini beralasan bahwa kata
“lams” dalam ayat 6 surat al-Maidah di atas, hakikatnya
berarti menyentuh dengan tangan, walau secara majaz
(metafora) dapat berarti hubungan suami istri (jima’).
Jika suatu kata berada di antara arti hakikat dan majaz,
maka kata itu sebaiknya dibawa ke arti hakikat, sehingga
ada dalil yang memalingkan pada makna majaznya.
Imam Malik dan pengikutnya menyatakan bahwa
jika persentuhan itu menimbulkan kenikmatan (nafsu),
maka itu membatalkan wudhu’. Dalam hal ini tidak
dipertimbangkan apakah persentuhan itu menggunakan
pelapis/alas atau tidak, juga tidak menyebutkan anggota
tubuh tertentu. Sedangkan ciuman—menurut mereka—
walaupun tanpa syahwat sudah membatalkan wudhu’
karena konotasi ciuman adalah bermesraan. Kelompok
ini beralasan bahwa kata “lams” setimbangan dengan
faa’ala (bina musyarakah). Oleh karena itu kata “laams”
dalam ayat berarti saling menyentuh dan itu sudah dapat
30
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

dipastikan dengan bermesraan yang mendatangkan


kenikmatan bagi pelakunya.
Menurut Abu Hanifah, menyentuh wanita tidak
membatalkan wudhu’ dengan dalil bahwa arti kata
“lams” adalah jima’. Ini artinya sekadar bersentuhan
tidak membatalkan wudhu’, karena Abu Hanifah
memalingkan makna hakikat pada makna majaz.
Pemahaman Abu Hanifah ini diperkuat dengan hadits
yang berasal dari Aisyah:
‫ضاء‬
َ ‫صَّلى اهللُ َعلَْيِه َوَسَّلمَ َقَّبَلَها َوَمل َْيَتَو‬
َ ‫َانَّ َّالنِبَّي‬
Artnya:“Bahwa Nabi Saw. Pernah menciumnya dan
beliau tidak berwudhu’ (H.R.Abu Daud dan Tarmizi)17
Menurud Ibnu Rusyd, bahwa maksud kata “lams”
walaupun mengandung dua arti sekaligus; menyentuh
dan bersetubuh, itu mempunyai argumentasi yang sama
atau hampir sama yang berarti bersetubuh, walaupun itu
menggunakan arti majaz. Sebab untuk bersetubuh Allah
Swt memberi kinayah (bahasa sindiran) dengan kata
“mubasyarah” (saling bersentuhan) dan “lams”
(menyentuh). Kedua kata tersebut sama artinya dengan
kata “lams”.
4. Beberapa Persoalan di Sekitar Wudhu’.
a. Batasan Membasuh Tangan.
Di kalangan para ulama terjadi kesepakatan tentang
membasuh tangan merupakan salah satu rukun wudhu’,
namun para ulama berbeda pendapat dalam hal siku,
apakah termasuk bagian dari tangan atau tidak.

Ustadz Bey Arifin, Op.cit., hal. 108


17

31
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

Perselisihan pendapat terjadi dikalangan mereka


disebabkan kata “ila” punya arti ganda, kadang berarti
sampai (ghayah), kadang juga bisa berarti beserta atau
bersama (ma’a). Kata “al-yad” dalam bahasa Arab juga
mengandung tiga arti; (a) telapak tangan, (b) telapak
tangan beserta siku, (c) telapak tangan, siku dan lengan.
Para ulama yang berpendapat bahwa “ila”
mempunyai arti beserta (ma’a) atau yang berpahamkan
bahwa “al-yad” mengandung arti seluruh bagian tangan
(telapak tangan sampai lengan) mewajibkan membasuh
siku. Sedang ulama yang berpendirian bahwa “ila”
bermakna sampai (ghayah) dan kata “al-yad” berarti
sesuatu yang di bawah siku dan siku sendiri bukan
bagian dari tangan, tetapi hanya merupakan pembatas
antara lengan atas dan bawah, maka siku tidak wajib
basuh.
b. Batasan Mengusap Kepala.
Para ulama telah sepakat bahwa mengusap kepala
merupakan rukun wudhu. Namun, mereka tidak
sepaham tentang kadar bagian kepala yang diusap. Imam
Malik menyatakan bahwa seluruh kepala wajib diusap
dengan alasan bahwa huruf “ba” yang terdapat pada
kalimat “bi ru’usikum” berfungsi dan statusnya sebagai
huruf “zaidah” (tambahan) dan memfaedahkan
sebagai“penguat” untuk mewajibkan mengusap seluruh
kepala.
Di tempat lain, Imam Abu Hanifah membatasi
kewajiban mengusap seperempat kepala yakni selebar
telapak tangan. Untuk memperkuat pendapatnya Abu
Hanifah melampirkan hadits dari Mughirah yang
32
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

meceritakan bahwa Nabi Saw cuma membasuh


jambulnya ketika wudhu’ di waktu musafir. Imam
Syafi’i menekankan pada nama mutlak menyapu,
asalkan sudah menyapu dianggap sah walaupun minimal
tiga helai rambut di kepala. Di samping itu, kedua tokoh
ini beralasan bahwa huruf “ba” di situ menunjukkan
pengertian “tab’idhiyah” (sebagian), oleh karena itu
mereka mengatakan wajib menyapu sebagian dari
kepala.
c. Hukum Mengusap Kedua Telinga.
Persoalan mengusap kedua telinga tidak luput dari
perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama
mujtahid. Perpedaan pendapat itu berkisar mengenai
hukum mengusap kedua telinga, apakah itu sunat atau
rukun dan juga air yang digunakan untuk mengusap itu
harus air baru atau bukan. Abu Hanifah berfatwa,
mengusap kedua telinga hukumnya wajib, namun untuk
mengusapnya sudah cukup dengan air yang digunakan
ketika mengusap kepala. Artinya telinga diusap
bersamaan dengan mengusap kepala. Abu Hanifah
beralasan bahwa hadis yang menjelaskan tentang praktek
wudhu’ Nabi Saw menyapu kedua telinga
mengindikasikan sebagai penafsir terhadap al-Qur’an
tentang mengusap kepala. Dengan kata lain telinga
bagian dari kepala.
Imam Malik dan Syafi’i beranggapan bahwa telinga
termasuk anggota wudhu’ tersendiri dan oleh karena itu
harus disapu dengan menggunakan air yang baru.
Mereka berdalil bahwa hadis yang menceritakan
perbuatan Nabi Saw mengusap kedua telinga adalah
33
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

berfungsi sebagai tambahan dari mengusap kepala, dan


hukumnya adalah sunat, karena jika dianggap
berkonotasi hukum wajib, maka menurut pandangan
mereka antara hadis dan al-Qur’an seakan-akan ada
pertentangan.
d. Cara Membasuh Kaki.
Ulama telah sepakat bahwa kedua kaki adalah
anggota wudhu’, tetapi mereka berselisih pendapat
tentang cara mensucikannya. Sebab perselisihan mereka
adalah cara membaca kalimat (arjula/likum) dalam ayat
wudhu’. Ada yang membaca kalimat arjulakum, lam
dibaca fathah (baris di atas) diathofkan (dihubungkan)
kepada kalimat aidiyakum, maka konsekuensi hukumnya
adalah kaki mesti dibasuh. Namun jika di baca
arjulikum, lam dikasrahkan (baris di bawah), melahirkan
hukum kaki mesti disapu seperti menyapu sepatu.
Dengan demikian kaki boleh dibasuh dan juga boleh
disapu. Tetapi jika ditinjau dari sisi makna, kiranya
“membasuh” lebih cocok dengan kondisi kedua kaki.
Sama halnya dengan “mengusap” itu cocok untuk kepala
(rambut). Sebab, biasanya, kotoran yang melekat pada
kaki tidak dapat hilang kecuali dengan cara dibasuh,
sedangkan kotoran yang terdapat pada rambut kepala itu
biasanya dapat hilang dengan hanya diusap.
Rasionalitas penafsiran di atas tidak harus menjadi
sebab adanya “sistem peribadatan wajib”. Sebab,
syari’at peribadatan mengandung dua pengertian
substansial, yakni masalih (mengandung unsur
kemashlahatan) dan ‘ibadi (bersifat ibadah). Yang
pertama berkaitan dengan kebersihan yang dapat
34
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

dirasakan oleh panca indera, sedangkan yang kedua


berkenaan dengan kebersihan jiwa dan hati, atau sering
juga disebut dengan batin.

C. Mandi.
1. Pengertian dan Dasar Hukum.
Yang dimaksud dengan mandi ialah membasahi dan
meratakan air ke seluruh tubuh. Menurut istilah, mandi
adalah menggunakan (mengalirkan) air yang suci untuk
seluruh badan dengan cara yang ditentukan oleh syara’.
Ungkapan “seluruh badan” mengecualikan wudhu, karena
wudhu menggunakan air hanya untuk sebagian anggota
badan18.
Mandi merupakan bagian dari masalah thaharah atau
kebersihan. Disyari’atkannya mandi berdasar firman Allah
dalam surat Al-Maidah/5 ayat 6:
   
Artinya:
“...dan jika kamu junub mandilah..”
2. Sebab-sebab Yang Mewajibkan Mandi.
a. Bersetubuh.
Surat Al-Maidah ayat 6 seperti tersebut di atas
menunjukkan akan kewajiban mandi bagi orang yang
junub. Akibat junub atau bersetubuh tersebut diwajibkan
mandi, sekalipun tidak mengeluarkan mani. Hal ini
sesuai dengan sebuah hadis yang berasal dari Siti
Aisyah r.a:
18
Abd.Rahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Juz 1,
Maktabah Isyiq, Istanbul, Turki, 1975, hal. 105
35
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

‫ال سََئ َل رَسُْوَل اهلل‬ ً ‫يب صََّلى اهللُ َعلَْي ِه َوسََّلمَ َقاَلتْ ِانَّ َرُج‬
ِّ ‫ج َّالِن‬ُ ‫َعْن َعائشََة زَْو‬
- ‫الر ُج ِل ُجي َاِمعُ َاْهَل ُه ُثمَّ ُيْكسُِل َه ْل َعلَْيِه َم ا ْالغُسُْل‬َّ ‫صََّلى اهلل َعلَْي ِه َوسََّلمَ َعِن‬
‫ك َانا‬
َ ‫ىن لََاْف َع ُل َذ ِال‬
ِّ ‫ال َرسُْوُل اهللِ صََّلى اهللُ َعلَْي ِه َوسََّلمَ ِا‬
َ َ‫ فَق‬- ‫جالِسٌَة‬ َ ‫عائشَُة‬ ِ ‫َو‬
‫َوَهذِِه ُثمَّ َنْغَتسُِل‬
Artinya:
“Dari Aisyah r.a. isteri Nabi Saw. katanya:
“Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw.
tentang orang yang sanggama dengan isterinya tetapi
tidak keluar mani, wajibkah keduanya mandi? – Padahal
Aisyah ketika itu duduk di situ – Maka Sabda Rasulullah
Saw.: “Aku pernah pula mengalami seperti itu. Yaitu
aku dan isteriku ini. Namun kami mandi sesudah itu”
(H.R Muslim)19

b. Keluar mani (sperma).


Menurut kebiasaan yang terjadi ada dua hal yang
menyebabkan keluarnya mani, pertama karena
melakukan hubungan seksual, dan yang kedua selain
dengan hubungan seksual, yaitu bercumbu atau
berciuman, dan ada pula yang disebabkan oleh penyakit
atau penganiayaan seperti pukulan pada tulang sulbi.
Golongan Syafi’iyah berpendapat jika keluar mani
dari jalan yang biasa, maka mewajibkan mandi, baik
disebabkan oleh kenikmatan atau dengan sebab lain, baik
kenikmatan itu dengan cara yang biasa seperti bercumbu
maupun dengan cara yang tidak biasa seperti dirangsang
melalui tulang sulbi.
19
Ma’mur Daud, Op. cit., hal. 175
36
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

Para ulama ahli fikih dari golongan Hanabilah


menetapkan bahwa kewajiban mandi itu semata-mata
disebabkan oleh sebab keluarnya mani tanpa
mempertimbangkan apakah mani itu keluar karena
persetubuhan atau dengan sendirinya. Apabila seseorang
merasa maninya keluar dari sulbinya, kepadanya
diwajibkan mandi, walaupun mani tersebut tidak sampai
keluar. Meskipun demikian mereka mensyaratkan
adanya kenikmatan ketika keluar mani tersebut; sehingga
apabila seseorang mandi sesudah bersetubuh, kemudian
tanpa disengaja maninya keluar dengan perasaan nikmat,
maka kepadanya diwajibkan mandi. Tetapi bila keluar
tanpa disertai dengan rasa nikmat, maka itu hanya
membatalkan wudhu, tidak mewajibkan mandi. Begitu
juga halnya mani yang keluar disebabkan penyakit atau
yang sejenisnya.
Golongan Hanafiyah mensyaratkan untuk wajib
mandi itu dengan keluarnya mani, baik dibarengi dengan
kenikmatan atau tidak. Seseorang yang mencium
isterinya, lalu maninya keluar, maka dia wajib mandi.
Begitu juga halnya orang yang sudah mandi sehabis
bersetubuh, kemudian keluar lagi sisa mani dari
kemaluannya, baik dengan kenikmatan atau tidak, maka
dia wajib mengulangi mandi.
Para fukaha (ahli fikih) dari golongan Malikiyah
menetapkan apabila keluar mani setelah hilangnya
kenikmatan yang bukan disebabkan persetubuhan, wajib
mandi. Tetapi bila kenikmatan itu muncul disebabkan
oleh persetubuhan, lalu keluar mani sesudah hilangnya

37
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

kenikmatan itu, maka tidak wajib mandi bila dia sudah


mandi sesudah persetubuhan itu20.
Sedangkan akibat dari mimpi bersetubuh (ihtilam)
yang berakibat mengeluarkan mani mewajibkan mandi.
Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw yang
diriwayatkan oleh An-Nasa’i dari Anas bin Malik
menyebutkan sebagai berikut:

‫ىف مََنِام َه ا َم ا‬ َّ ‫َانَّ ُامُّ سَُلْيمٍ سََاَلتِْ َّالِن‬


ِ ‫يب صََّلى اهللُ َعلَْي ِه َوسََّلمَ َعِن ْالمَ ْرَاِة َت َرى‬
‫ت ْالمَُاء َفلَْتْغسِْل‬
ِ َ‫ ِاَذا َاْنَزل‬:‫ال‬
َ َ‫رجُل َفق‬
ُ ‫َيَرى َّال‬
Artinya:
“Bahwasanya Ummu Sulaim pernah bertanya pada
Rasulullah Saw tentang seorang wanita yang
ihtilam/mimpi bersetubuh. Sabda Rasulullah Saw: “Ia
diwajibkan mandi, jika ia sampai melihat tanda-tanda
mengeluarkan air mani” (H.R. An-Nasa’i)21
Di samping itu, juga diwajibkan mandi ketika keluar
mani akibat syahwat, bercumbu atau sebab lain
sebagaimana telah dikemukakan. Sebaliknya, menurut
Ibrahim Muhammad Al-Jamal apabila mani itu keluar
tanpa syahwat, karena sakit, kedinginan atau sebab lain,
maka tidak diwajibkan mandi. Begitu pula kalau
bermimpi, tapi dalam mimpinya tidak sampai
mengeluarkan mani, juga tidak wajib mandi22
c. Habis haid dan nifas.
20 ?
Lihat: A. Rahman Ritonga, dan Zainuddin., Fiqh Ibadah, Gaya
Media Pratama, Jakarta,, hal. 65-66
21
Ustadz Bey Arifin dan Yunus Ali Al-Muhdhor, Tarjamah Sunan
An-Nasa’iy, Jilid 1, Asy-Syifa, Semarang, 1992, hal. 97-98
38
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

Haid adalah darah yang keluar dari rahim wanita


dalam kondisi sehat, tidak karena melahirkan atau
pecahnya selaput darah dan tidak pula karena sakit.
Untuk membedakan antara darah haid dan bukan
terdapat perbedaan pendapat di kalangan fukaha.
Golongan Malikiyah berpandangan bahwa apabila darah
keluar dari gadis remaja sembilan sampai 13 tahun,
kemudian wanita itu ditanya tentang hal itu. Bila dia
beranggapan bahwa darah itu haid atau ragu, maka ia
telah haid. Dan bila ia meyakinkan bahwa darah itu
bukan darah haid, maka ia belum haid, tetapi darah
penyakit (istihadhah) dan dia harus diperiksa oleh dokter
ahli yang jujur. Bila darah itu keluar dari wanita yang
usianya lebih dari 13 tahun sampai 50 tahun, maka itu
pasti darah haid. Jika darah itu keluar dari wanita yang
usianya lebih dari 50 sampai 70 tahun, maka wanita itu
ditanya tentang hal itu. Bilamana darah itu keluar dari
wanita yang berumur 70 tahun, maka pasti itu bukan
darah haid, tetapi darah penyakit. Begitu pula jika darah
itu keluar dari gadis kecil yang umurnya belum
mencapai sembilan tahun.
Golongan Hanafiyah berpandangan bahwa jika darah
itu keluar dari anak berumur sembilan tahun, maka darah
itu adalah darah haid. Dan apabila keluar darah pada usia
di atas 55 tahun, maka itu bukan darah haid, kecuali bila

22
Lihat: Ibrahim Muhammad Al-Jamal. Fiqh al-Mar’ah al-
Muslimah, terj. Anshori Umar Sitanggal, CV Asy-Syifa, Semarang, 1986,
hal. 77

39
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

darah yang keluar adalah darah hitam atau merah tua,


maka dianggap darah haid.
Golongan Hanabilah menetapkan batas usia putus
haid adalah 50 tahun. Andaikata wanita melihat darah di
atas usia itu, maka bukan darah haid, walaupun
memancar kuat.
Fukaha dari golongan Syafi’iyah berpendapat bahwa
tidak ada batas akhir bagi usia haid. Mungkin haid
berlangsung selama wanita masih hidup. Akan tetapi
pada umumnya ia berhenti sesudah umur 62 tahun23
Sedangkan nifas adalah darah yang keluar
mengiringi kelahiran anak. Batas maksimal nifas adalah
40 hari, dan tidak ada batas minimal untuk nifas, karena
untuk mengetahui dan menetapkannya tidak memerlukan
tanda selain melahirkan. Wanita yang melahirkan anak,
apabila telah berhenti tidak lagi mengeluarkan darah,
maka ia wajib mandi.
d. Orang yang meninggal dunia.
Kewajiban memandikan orang muslim yang
meninggal dunia ditetapkan berdasar hadis dari Ibnu
Abbas sbagai berikut:
‫ىف َثْوَبْيِه‬
ِ ُ‫سلُْوا ِبمٍَاء َوِسدٍْرَوَكِّفُنوه‬
ِ ‫ َاْغ‬:‫ال‬
َ ‫صَّلى اهللُ َعلَْيِه َوَسَّلمَ َق‬
َ ‫يب‬
َّ ‫َانَّ َّالِن‬
Artinya:
“Bahwasanya Nabi Saw bersabda: Mandikanlah
olehmu mayit itu dengan air dan bidara, dan kapanilah
ia dengan kedua pakaiannya” (H.R. Muttafaq ‘alaih)24
23
Lihat: Drs.Jumantoro, Op.cit., hal. 74
24
Al-Kahlani, Subul al-Salam, Jilid II, Maktabah Dahlan, Bandung,
t.t.. hal. 93
40
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

Apabila seorang muslim meninggal karena


kecelakaan yang mengakibatkan bagian tubuhnya
terpisah-pisah, maka menurut ulama mazhab Syafi’i dan
Maliki, wajib memandikan bagian yang diperoleh itu,
meskipun hanya sedikit. Sementara Imam Hanbali dan
Imam Malik mengatakan jika bagian yang ditemukan itu
lebih banyak dari yang hilang cukup memandikan yang
ditemukan25. Artinya cukup memandikan bagian
anggota badan yang ditemukan saja.
Jika mayat itu laki-laki, maka yang lebih utama
memandikannya adalah laki-laki yang mempunyai
hubungan nasab atau hubungan kekeluargaan yang
paling dekat dengan si mayat. Demikian juga halnya jika
mayat itu perempuan, maka yang lebih utama
memandikannya adalah perempuan yang mempunyai
hubungan nasab atau kekeluargaan yang paling dekat
dengan si mayat.
Perbedaan pendapat terjadi dalam menetapkan
hukum seorang suami memandikan mayat isterinya atau
sebaliknya. Ahli fikih dari kalangan Hanabilah
berpendapat, suami tidak dibolehkan memandikan mayat
isterinya, karena hubungan perkawinan antara keduanya
telah berakhir seiring dengan kematian isterinya. Akan
tetapi jika tidak ada oang lain yang akan memandikan
selain suami, maka dalam keadaan ini suami boleh
dengan mentayamumkannya dan tidak boleh
memandikannya, karena bila dengan tayamum hal-hal
yang tidak baik dapat dihindari. Lain halnya jika yang
25
Wahbah Zuhayli, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Jilid II, Dar al-
Fikr, Beirut, 1989, hal. 458
41
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

meninggal lebih dahulu adalah suami, dalam hal ini,


menurut Hanabilah, boleh isteri memandikannya, karena
statusnya sebagai isteri masih berlangsung selama ia
masih dalam iddah wafat26.
Mayoritas ahli fikih berpendapat atas bolehnya suami
memandikan mayat isterinya. Demikian juga halnya
isteri memandikan mayat suaminya dengan syarat
perkawinan mereka tidak terputus oleh talak sampai
salah seorang di antara keduanya wafat. Namun
demikian, mereka mengatakan bahwa antara suami isteri
itu tidak boleh memandikan dengan tangan telanjang,
tidak pula dibolehkan memandang ke bagian yang
terlarang dari si mayat27. Artinya kebolehan suami
memandikan mayat isterinya atau sebaliknya adalah
dengan syarat tertentu.
Dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw dari Siti
Aisyah r.a:
‫ت َقبلِْى‬
ِّ ُ‫اهلل َعَلْي ِه َوسَلََّم مَ ا ضََّرَلْو م‬
ُ ‫ت َقاَل رَسُْوُل اهللِ صَلَّى‬ ْ ‫َعْن َعِائشََة َق َال‬
ِ ‫فنت‬
‫ك‬ ُ ‫ك َوَد‬
ِ ‫صَّلْيتُ َعلَْي‬
َ َّ‫ك ُثم‬
ِ ‫ك َوَكفنُْت‬
ِ ‫َفَغسَْلُت‬
Artinya:
“Dari Aisyah r.a, Rasululah Saw bersabda: Tidak
ada apa-apa buatmu (hai Aisyah) jika engkau lebih dulu
wafat dariku, lalu aku memandikan dan mengapanimu
dan kemudian aku menshalatkan dan menguburkanmu”
(H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).

26
Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, 1983,
hal. 431
27
Wahbah Zuhaili, Loc. Cit.
42
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

Dalam hadis lain diterangkan:


‫ت مَا َغسلُُه ِاَّال ِنسَُاءُه‬
ْ ‫ااسَتدَْبَر‬
ْ َ‫ت َعِائشََة َتُقْوُل لَْوِاْسَتقَْبْلتُ ِمْن َاْمِرى م‬
ْ َ‫َوَكان‬

Artinya:
“…Aisyah r.a. seringkali berkata :”Andaikata aku
mengetahui lebih dahulu peristiwa yang telah lalu itu,
tentu yang memandikan beliau (Nabi Muhammad) itu
hanyalah para isteri beliau” (H.R Ahmad, Abu Daud,
dan Ibn Majah)28
Hadis pertama menunjukkan atas bolehnya seorang
suami memandikan mayat isterinya, dan hadis kedua
menunjukkan sah atau bolehnya isteri memandikan
mayat suaminya. Jadi, baik suami atau isteri dibolehkan
memandikan mayat isteri/suaminya.
Kecuali terhadap orang yang mati syahid, dalam hal
ini pendapat atau pandangan para ulama tidak
mewajibkan untuk memandikannya berdasar hadis dari
Jabir :
ٍ ‫ال َف ِاَّن لِ ُك ِّل َج‬
‫رح‬ َ ‫وهمْ َق‬
ُ ‫ الَ ُتَغسُِّل‬:‫َانَّ َرسُْوَل اهللِ صََّلى اهللُ َعلَْي ِه َوسََّلمَ َقاَل‬
‫سًكا َيْومَ ْالقِياََمِة‬
ْ ِ‫وح م‬
ُ ‫َاْوَدمٍ َيُن‬
Artinya:
Bahwasanya Rasulullah Saw bersabda: “Janganlah
mandikan mereka (yang mati dalam peperangan)
karena sesungguhnya setiap luka dan darah yang ada

28
Bey Arifin, Op. cit. Jilid 3, hal. 735-736
43
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

pada badan mereka akan menjadi minyak kesturi di hari


kiamat” (H.R. Ahmad).
3. Hukum Mandi Karena Hal-hal Lain.
Selain kewajiban untuk mandi pada hal-hal seperti telah
disebutkan di atas, maka disunatkan pula mandi dalam hal:
a. Ketika akan melaksanakan shalat jum’at.
Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw
dari Siti Aisyah:
‫اهلل َعَلْي ِه َوسَلََّم َيغْسُِل مِْن َارَْب ٍع مَِن‬
ُ ‫اهلل صَلَّى‬
ِ ‫ان رَسُْوُل‬ َ ‫ت َك‬ ْ ‫َعْن َعِائشََة َق َال‬
ِ‫غسِل ْاَملِّيت‬
ْ ‫جَامِة َومِْن‬
َ‫ح‬
ِ ‫جْمعَِة َوِمَن ْال‬
ُ ‫ْاجلََناَبِة َوَيْوم ْال‬
Artinya:
“Dari Aisyah dia berkata: Sesungguhnya Nabi Saw
biasanya mandi karena empat perkara: 1.Junub 2. Hari
Jum’at 3. Berbekam dan 4. Karena memandikan mayat”
(H.R Abu Daud)29
b. Selesai memandikan janazah.
Hal ini berdasarkan hadis Nabi:
‫ مَْن َغس ََل مَْيًتا َفالَْيْغَتس ِْل َوَمْن َحْمَل ُه‬:َ‫َقاَل َّالنِبُّي ص ََّلى اهللُ َعلَْي ِه َوس ََّلم‬
‫ضَاء‬
َّ ‫َفْالَيَتَو‬
Artinya:
“Nabi Saw bersabda: Orang yang telah memandikan
mayat hendaklah dia mandi, dan orang yang
membawanya hendaklah berwudhu” (H.R. Khamsah)30
c. Ketika akan melaksanakan shalat hari raya.
29
Bey Arifin, Op. cit., hal. 237-238
44
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

Disunatkan mandi untuk melaksanakan shalat hari


raya, baik hari raya idul fitri maupun hari raya idul adha,
berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw dari Fakih bin
Sa’ad:
‫جْمعَ ِة َوَي ْوَم َعَرَف َة َوَي ْوَم ا‬
ُ ‫ان َيغَْتسُِل َي ْومَ ْال‬
َ ‫يب صََّلى اهللُ َعلَْي ِه َوسََّلمَ َك‬َّ ‫َانَّ َّالِن‬
ِ ‫ْلفِْطِرَوَيْوَم َّالن‬
‫حر‬
Atinya:
“Bahwa Nabi Saw mandi hari Jum’at, hari Arafah,
hari raya fitri dan hari raya qurban” (H.R.Ibn Majah)31
d. Karena hendak ihram.
Mandi untuk ihram haji dan umrah, wuquf di Arafah,
bermalam di Muzdalifah dan tawaf, karena Nabi
Muhammad Saw mandi terlebih dahulu sebelum beliau
melakukan ihram. Dalam hadis dari Zaid bin Tsabit r.a.
disebutkan:
‫غتسََل‬
َ ‫صَّلى اهللُ َعلَْيِه َوَسَّلمَ جترد الهالله َوْا‬
َ ِ‫َان َُّه َرَاى َرُسْوُل اهلل‬
Artinya:
“Bahwa ia melihat Rasulullah Saw membuka
pakaiannya buat ihram lalu mandi” (H.R. Ad-
Daruquthni, Baihaqi dan Tarmidzi).
e. Sesudah siuman dari pingsan.

30
Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Nail al-Authar
Syarh Muntaqa al-Akhbar, jilid 1, Maktabah wa Mathba’ah Musthafa al-Babi
al-Halabi, t.t., hal. 237
31
Ibid.,hal. 236
45
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

Disunatkan mandi sesudah siuman dari pingsan.


Termasuk juga dalam hal ini ketika sembuh dari gila
dan mabuk.

D. Tayamum.
1. Pengertian dan Dasar Hukum.
Pengertian tayamum secara bahasa atau etimologi
berarti “menyengaja”. Sedangkan pengertian tayamum
dalam terminologi fikih adalah menyampaikan tanah (debu)
ke muka dan dua tangan sebagai ganti dari berwudhu dan
mandi dengan syarat-syarat tertentu.
Tayamum yang dilaksanakan merupakan salah satu cara
menghilangkan hadas, sebagai pengganti wudhu’. Apabila
seorang yang dalam keadaan berhadas kehabisan air dan
tidak mendapatkannya lagi, atau merasa khawatir akan
celaka bila memakai air, baik karena sakit maupun tidak
kuat menahan rasa kedinginan, maka dibolehkan melakukan
tayamum sebagai solusinya.
Dasar hukum pelaksanaan tayamum adalah firman Allah
dalam surat An-Nisa’/4 ayat 43:
         
      
     
      
Artinya :
“…dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau
datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh
perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci);

46
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha


Pema'af lagi Maha Pengampun.”
Dalam memahami ayat di atas terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Diriwayatkan dari Umar bin
Khattab dan Ibn Mas’ud, mereka berpendapat bahwa
tayamum tidak bisa menggantikan ketika berhadas besar.
Sedangkan Ali r.a dan beberapa sahabat yang lain
berpendapat bahwa tayamum boleh menjadi ganti hadas
besar. Ini pendapat mayoritas fukaha.
Sebab perbedaan pendapat tersebut adalah adanya
berbagai kemungkinan pemahaman yang berbeda terhadap
ayat tayamum. Simpanan dhamir “antum” pada ayat itu
kembali hanya kepada orang yang berhadas kecil, atau bisa
dipahami kembali kepada orang yang berhadas kecil dan
besar secara bersamaan. Fukaha yang memahami lafadz “au
lamastumun nisa’” dengan makna “jima’”, jelas dhamir itu
kembali pada orang yang berhadas kecil dan besar secara
bersamaan. Sedangkan ulama yang memahami pengertian
“mulamasah” dengan “menyentuh” menggunakan tangan,
maka dhamir itu hanya kembali pada yang berhadas kecil
saja.
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika ‘Amr
bin al-‘Ash dikirim dalam perang Dzatus Salasil, ia
menuturkan, “Pada suatu malam yang sangat dingin, aku
bermimpi (junub). Saat itu aku tidak berani mandi karena
khawatir akan celaka, maka aku tidak mandi lalu menjadi
imam shalat subuh bagi sahabat-sahabatku. Setelah kembali
dan bertemu dengan Rasulullah Saw, mereka menceritakan
apa yang telah aku lakukan. Rasulullah bertanya kepadaku,
Hai ‘Amr engkau mengimami shalat dalam keadaan junub?
47
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

Aku menjawab, Demi Allah saat itu aku teringat dengan


firman Allah Ta’ala, Dan janganlah kamu membunuh diri.
Sesungguhnya Allah Swt adalah Maha Penyayang
kepadamu. (an-Nisa’/4: ayat 29), Maka aku bertayamum lalu
shalat. Rasulullah hanya tersenyum tanpa berkata sepatah
kata pun”. (H.R.Abu Daud).
Berdasarkan hadis ini maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa tayamum dapat menggantikan mandi junub,
walaupun kevaliditasan hadis ini dalam pertikaian di
kalangan ulama muhadditsin.
Adapun alat yang dipergunakan dalam bertayamum
adalah tanah atau debu sebagai pengganti air, sesuai dengan
firman Allah Swt di dalam surat al-Maidah/5 ayat 6:
     
Artinya:
“Jika tidak mendapatkan air, maka bertayamumlah
dengan tanah yang baik (bersih)”.
Ketika dalam hal penggunaan tanah yang dapat
dipergunakan untuk bertayamum, terdapat perbedaan
pendapat:
a. Pendapat pertama yang mengatakan diperbolehkan
bertayamum dengan tanah atau lainnya yang juga berasal
dari bagian tanah yang di atasnya, karena juga termasuk
dalam bagian tanah. Pendapat ini berasal dari mazhab
Hanafi, Maliki, Ibnu Hazmin dari mazhab Zahiri dan
mazhab Imamiyah dari golongan Syi’ah, yang
diriwayatkan dari Atha’, Sofyan Tsauri dan Auza’i dari
golongan Tabi’in.32 Termasuk ke dalam pemahaman

32
Lihat: H.M. Asywadie Syukur Lc., Op. cit., hal. 174
48
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

pendapat pertama ini membolehkan bertayamum dengan


benda-benda di permukaan tanah seperti debu, batu,
kerikil, kayu, dinding dan sebagainya dengan cacatan
benda tersebut suci.
b. Pendapat kedua yang hanya membatasi alat yang
dipergunakan dalam bertayamum itu hanya tanah.
Pendapat ini berasal dari kalangan mazhab Syafi’i,
Hanbali, Abu Yusuf dari mazhab Hanafi dan
diriwayatkan dari Daud, Itrah dan Ibnu Munzir dari
golongan Tabi’in dan dari Ali bin Abi Thalib, Huzaifah
bin Yaman dan Ibnu Abbas dari kalangan Sahabat33
2. Hal-hal Yang Menyebabkan Harus Bertayamum.
a. Karena ketiadaan air.
Sebagaimana disebutkan dalam surat al-Maidah/5
ayat 6, bahwa pelaksanaan tayamum adalah sebagai
pengganti kalau ketiadaan air. Termasuk dalam
pengertian ini apabila ada air yang sangat terbatas, yang
tidak cukup untuk wudhu atau mandi, dan ada air tetapi
harganya melebihi harga pasaran sehingga sulit
membelinya. Demikian juga, ada air tetapi berada di
tempat yang cukup jauh dan untuk mencari atau
mendapatkannya terkendala dan mengalami kesulitan.
b. Tidak ada kemampuan untuk memakai air.
Termasuk ke dalam pengertian ini orang yang
dipenjara dalam rumah tahanan yang terletak di pinggir
sungai, dan dia tidak memperoleh izin keluar
mendapatkan air untuk wudhu. Demikian halnya orang
yang diikat dipinggir kali dan orang yang tidak berani

33 ?
Ibid., hal. 174-175
49
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

keluar rumah mengambil air karena menurut biasa ada


bahaya yang mengancam jiwanya. Terhadap orang yang
berada dalam keadaan tersebut dibolehkan bertayamum,
meskipun ada air di sekitarnya.34
c. Karena takut menggunakan air.
Kalaupun ada air, tapi berhalangan atau tidak bisa
untuk menggunakannya, seperti keadaan iklim atau
cuaca yang sangat dan terlalu dingin, atau berhubungan
dengan penyakit/kecelakaan seperti luka yang diperban
yang tidak boleh kena air, maka dalam keadaan yang
demikian diperbolehkan bertayamum.
3. Cara Tayamum.
Tayamum yang dilakukan Nabi, cukup dengan satu kali
menyentuhkan dua telapak tangan untuk menyapu muka dan
kedua tangan. Cara ini berdasarkan praktek tayamum yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw:
ْ‫ك َان‬
َ ‫ ِاَّنمَ ا َك انَ َيْكِفْي‬:‫اهلل َعَلْي ِه َوس َلََّم َقاَل‬
ُ ‫َعْن َعَّمارِ ْبِن َياس َر َانَّ َّالنِبَّي ص َلَّى‬
ّ ‫ىل‬
‫الر‬ َ ‫ك ِا‬
َ ‫ك َوَكَّفْي‬
َ ‫ما َوْج َه‬
َ ‫ما ُثَّم َمتسَُح ِبِه‬
َ ‫فخ ِفيِه‬
ُ ‫اب ُثمَّ َتْن‬
ِ ‫ك ِفى ُّالتَر‬
َ ‫رب ِبَكفَّْي‬َ ِْ‫َتض‬
َ‫سغني‬
Artinya:
“Dari ‘Amar bin Yasar bahwa Nabi Saw bersabda:
Hanyasanya cukuplah bagi engkau memukulkan dua
telapak tangan engkau ke tanah, lalu meniup keduanya,
kemudian beliau menyapukannya ke muka dan dua telapak
hingga pergelangan”. (H.R. Ad-Daruquthni)35
34
A.Rahman Ritonga, Op.cit., hal. 76
35
Al-Syaukani, Op.cit., hal. 264
50
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

Selain itu, juga ada hadis dari Ammar menjelaskan


praktek tayamum Rasulullah Saw melalui sabdanya: “Lalu
kamu menyapu dengan kedua tanganmu sampai ke siku”.
Hadis ini juga diperkuat oleh riwayat Ibn Umar tentang
menyapu kedua tangan sampai mata siku. Dengan
demikian, batasan menyapu tangan ketika bertayamun ada
yang melakukan sampai pergelangan tangan dan ada juga
ulama yang sampai mata siku. Jadi mengenai batasan tangan
ini merupakan masalah khilafiyah atau perbedaan pendapat.
Adapun jumlah hentakan (pukulan ke tanah) pada debu
yang bersih untuk bertayamum, juga ada perbedaan di
kalangan ulama; ada yang mengatakan cukup satu kali untuk
dua anggota, berdasar hadis Nabi Muhammad Saw dari
‘Ammar bin Yasir:
‫احدٌَة ِللَْوْجِه َوْالَكَّفْيِن‬ َ ِ‫ فِى َّالَتيمَُم‬:َ‫صَّلى اهللُ َعلَْيِه َوَسَّلم‬
ِ ‫ضْرَبٌة َو‬ َ ‫َقاَل َّالِنبُّي‬
Artinya:
“Bersabda Nabi Saw: Tayammum itu, satu kali pukulan
(tepuk) buat muka dan dua tangan” (H.R. Ahmad)36
Dan ada juga yang mengatakan dua kali hentakan,
sebagai mana hadis yang berasal dari Abu Umamah dan Ibn
Umar sebagai berikut:
ُ‫ َالََّتيُّمم‬:‫صَّلى اهللُ َعلَْيِه َوَسَّلم ََقاَل‬
َ َّ‫اهلل َعْنُهَما َانَّ َّالِنيب‬
ُ ‫ضَي‬ ِ َ‫ىب ُامََامة َوْابِن ُعَمرر‬
ِ ‫َعْن َا‬
‫ىل ْالِمْرَفقَْيِن‬
َ ‫ضْرَبٌة ِللَْيَدْيِن ِا‬
َ ‫ضْرَبٌة ِللَْوْجِه َو‬
َ ِ‫ضْرَبَتان‬
َ
Artinya:

Ahmad ibn Hanbal, Al-Musnad, Jilid VIII, Tahqiq Muhammad


36

Abdullah Muhammad al-Darwis, Dar al-Fikr, Beirut, 1991, hal. 365


51
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

“Dari Abi Umamah dan Ibn Umar r.a. “Bahwa Nabi


Saw bersabda: Tayamum itu (dilakukan) dengan dua kali
hentakan, satu kali untuk wajah dan satu kali untuk kedua
tangan sampai kesiku”. (H.R.Al-Hakim dan Ad-
Daruquthni)37
4. Hal-Hal Lain di Sekitar Tayammum.
a. Yang Membatalkan Tayamum.
Yang membatalkan tayamum sama dengan yang
membatalkan wudhu’, ditambah dengan ketersediaan air
(bagi orang yang tidak mendapatkannya) dan mampu
menggunakannya.
b. Orang yang telah bertayamum dan mendapatkan air.
Apabila ditemukan air setelah shalat, sedangkan
waktu shalat masih tersisa, maka tidak wajib hukumnya
mengulangi shalat, melainkan hanya sunat. Hal tersebut
berdasarkan hadis yang berasal dari Abu Sa’id al-Khudri
yang menyatakan sebagai berikut:
‫اطِّيًبا‬
َ ً‫الُة َوَلْيس مََعُهمَ ا َم اءٌ َفَتَيَّمم ِعْي د‬ َ َّ‫ت الص‬ ِ ‫حضََر‬ َ ‫ان ِفى َسفٍَرَف‬ ِ َ‫ج َرُجل‬ َ ‫َخ َر‬
‫الَة َوْالُوضُْوَء َولَْم َيعِ ِد‬ َ َّ‫اد َا َح ُدُهَما الص‬َ ‫ت َفَا َع‬ِ ‫ماَء ِفى ْالوَْق‬َ ‫َفصَلََّيا ُثَّم َو َج دَ ْال‬
‫قاَل ِللَِّذى‬ َ ‫ك لَ ُه َف‬َ ِ‫صلَّى اهلل َعلَْي ِه َوسََّلمَ َف َذكَر َ َذال‬ َ ِ‫اخَر ُثمَّ َاَتياَ َرُسْوَل اهلل‬ َ ‫ْال‬
‫راالْجُر مََّرَتْيِن‬
َ ‫اخ‬
َ ْ‫ال ِلل‬َ ‫ك َوَق‬َ ‫ال ُت‬
َ‫ص‬ َ ‫ك‬ َ ‫السَّنَة َوَاْجَزاْءُت‬
ُّ َ‫صْبت‬ َ ‫ َا‬:ْ‫َلمْ َيِعد‬
Artinya:
“Ada dua orang yang melakukan perjalanan, lalu
ketika waktu shalat tiba mereka tidak menemukan air.
Maka mereka bertayamum dengan debu yang suci lalu
37
Muhammad bin Ismail Al-Kahlani, Subul al-Salam, Jilid I,
Maktabah Dahlan, Bandung, t.t., hal. 96
52
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

shalat. Namun tidak lama setelah itu, mereka


menemukan air. Seseorang di antara mereka mengulangi
shalat sedangkan kawannya tidak. Saat itu bertemu
Rasulullah Saw, mereka menceritakan pengalamannya
kepada beliau. Beliu berkata pada orang yang tidak
mengulangi shalat, keputusanmu sesuai dengan cara
yang benar dan shalatmu cukup (sah), sementara kepada
orang yang wudhu’ dan mengulangi shalat, beliau
berkata, engkau memperoleh dua pahala”. (H.R. Abu
Daud dan An-Nasai).
c. Mendapatkan air sebelum mengerjakan shalat atau sedang
shalat.
Apabila orang yang sudah tayamum dan
mendapatkan air sebelum atau sedang mengerjakan
shalat, maka ia harus berwudhu’ dan tayamumnya
dianggap batal. Dengan demikian, seseorang
mengerjakan shalat sebagaimana biasa.
d. Satu tayamum untuk satu shalat.
Berbeda dengan wudhu’, di mana wudhu’ baru batal
apabila ada hal-hal yang membatalkan wudhu’.
Sedangkan tayamum penggunaannya hanya untuk satu
shalat, sehingga tiap-tiap akan melakukan shalat harus
bertayamum lebih dahulu.

53
Bab 2 Thaharah Fikih
Ibadah

54

Anda mungkin juga menyukai