Dosen pengampu:
Achmad Syauqi Alfanzari M.Ag.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
A. Kesimpulan ......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
PEMBAHASAN
Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti
memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang
mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai.
Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih, dan
membedakan antara yang hak dan yang bathil.1 Sedang dalam kitab Mabahits fii
Ulum al-Qur’an dijelaskan:
1
Muhammad Chirzin, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
2000), 70.
2
Manna’ al-Qathan, Mabahits fii Ulum al-Qur’an (Mesir: Maktabah Wahbah, 1973), 216.
3
Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 199.
4
Usman, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2000), 221.
Secara tegas dapat dikatakan bahwa asal mula adanya ayat-ayat
muhkamah dan mutasyabihat ialah dari Allah SWT. Allah SWT memisahkan atau
membedakan ayat-ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikan ayat
muhkam sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat. Allah SWT berfirman:
):هوالّذي انزل عليك الكتب منه ايت محكمت هن ام الكتب واخر متشبهت (ال عمران
Dari ayat tersebut, jelas Allah SWT menjelaskan bahwa Dia menurunkan
Alquran itu ayat-ayatnya ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat.
Menurut kebanyakan ulama, sebab adanya ayat-ayat muhkamat itu sudah jelas,
yakni sebagaimana sudah ditegaskan dalam ayat 7 surah Ali Imran di atas. Di
samping itu, Al Quran merupakan kitab yang muhkam, seperti keterangan ayat 1
surah Hud:
Juga karena kebanyakan tertib dan susunan ayat-ayat Alquran itu rapi dan
urut, sehingga dapat dipahami umat dengan mudah, tidak menyulitkan dan tidak
samar artinya, disebabkan kebanyakan maknanya juga mudah dicerna akal
pikiran. Tetapi sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran ialah karena
adanya kesamaran maksud syarak dalam ayat-ayat-Nya sehingga sulit dipahami
umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena bisa dita’wilkan
dengan bermacam-macam dan petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar
merupakan hal-hal yang pengetahuannya hanya dimonopoli oleh Allah SWT.5
5
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an , Dunia Ilmu, Surabaya, 1998, halm 243-244.
}٧ : {العمران....َو َما يَ ْع َم ُل تَْأ ِو ْيلَ ۤهُ اِاَّل هللاُ َوالرَّا ِس ُخونَ فِى ْال ِع ْلم ِيَقُوْ لُوْ نَ آ َمنَّابِه
Kedua : ataukah ia ma’tȗf, sedang lafaz َ يَقُوْ لُوْ نmenjadi hâl dan waqafnya pada
lafaz َّاس ُخونَ فِى ْال ِع ْلم
ِ َوالر. 6
َ ُّاَاْل ِ ْستِ َوا ُء َم ْعلُوْ ٌم َو ْال َكيْفُ َمجْ هُوْ ٌل َوالسََّؤ ا ُل َع ْنهُ بِ ْد َعةٌ َواَظُن.
ك َرج َُل السُّوْ ِء اَ ْخ ِرجُوْ هُ َعنِّ ْي
6
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 122.
7
Ibid., 310.
Dalam menerapkan sistem ini, madzhab salaf mempunyai dua argumen,
yaitu argumen aqli dan argumen naqli. Argumen aqli adalah bahwa menentukan
maksud dari ayat-ayat mutasyabihat hanyalah berdasarkan kaidah-kaidah
kebebasan dan pengunaannya di kalangan bahasa Arab. Penentuan seperti ini
hanya dapat menghasilkan ketentuan yang bersifat zanni (tidak pasti). Lantaran
dasar yang memutuskan dan menyerahkan ketentuan maksudnya kepada Allah
Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.8
“Dari Aisyah, ia berkata: Rasul SAW. membaca ayat: “inilah yang menurunkan
al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu”, sampai kepada “orang-orang yang berakal”,
berkata ia : Rasul SAW. berkata: “jika engkau melihat orang-orang yang
mengikuti ayat-ayat yang musytabihat daripadanya maka mereka itulah orang-
orang yang disebut Allah, maka hati-hatilah terhadap mereka”. (dikeluarkan oleh
Bukhari dan Muslim dan yang lainnya).9
8
Acep Hermawan, “Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011), 212.
9
Ibid., 213.
Madzhab ini berpendapat, bahwa waqaf(memberhentikan bacaan) dalam
ayat (surat Ali-Imran: 7) di atas adalah lafal : َوالرَّا ِس ُخونَ فِى ْال ِع ْل ِم. dengan demikian,
selain Allah, orang-orang yang mendala ilmunya juga dapat mengetahui takwil
dari ayat-ayat mutâsyabihât itu. Adapun wawu ( ) َوpada lafal ayat tersebut adalah
berkududukan sebagai hurf ‘athf. Oleh karena itu, kata َ الرَّا ِس ُخونdi-‘athaf-kan
kepada lafal ُ هللاpada kalimat sebelumnya. Diantara ulama yang berpendapat
demikian –menurut Shubhi al-Shalih- adalah Abu Hasan al-‘Asy’ariy. Pendapat
ini diperjelas lagi oleh Abu Ishaq al-Syirazi yang sekaligus mendukung dengan
mengatakan, “bahwa pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat
itu, juga dilimpahkan kepada para ulama yang mendalam ilmunya. Sebab firman
yang diturunkan itu merupakan pujian bagi mereka yang luas dan mendalam
ilmunya. Bila mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti tidak ada
bedanya dengan orang awam.”10
لَوْ لَ ْم يَ ْعلَ ُموْ ا تَْأ ِو ْيلَهُ لَ ْم يَ ْعلَ ُموْ ا نَا ِس َخهُ ِم ْن َم ْنسُوْ ِخ ِه َواَل َحاَل لُهُ ِم ْن َح َرا ِم ِه َواَل ُمحْ َك َمهُ ِم ْن: ك قَا َل َّ ع َْن ال
ِ ضحَّا
–اخرجه ابن ابى حاتم. ُمتَ َشابِ ِه-
10
Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras), 244-245.
11
Ibid., 245.
Dari al-Dahhak, berkata ia: “orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui
takwilnya. Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya tidak mengetahui
nasikh dan mansukhnya, halal dan haramnya, dan muhkam ari mutasyabihnya”.
(H.R. Ibn Abi Hatim).12
1. Muhkam
2. Mutasyabih
12
Acep Hermawan, “Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja
Rosdakarya), 219.
c. Ayat yang hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya,
sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rosululloh untuk ibnu Abbas “Ya Alloh,
karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahkanlah
pengetahuan tentang ta’wil kepadanya,” 13
Pada penghujung surat Ali ‘Imran [3] ayat 7, Allah menyebutkan َو َما يَ َّذ َّك ُر ِإاّل ۤ َ ُأولُوا
ِ اَأل ْلبَاsebagai cercaan bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih.
ب
Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami ilmunya,
yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk mengotak-atik
ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata َربَّنَا الَ تُ ِز ْغ قُلُوْ بَنَا. Mereka menyadari
keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.
13
Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta:Bulan Bintang, 1993, hlm 166
Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia diberi
gambaran indrawi terlebih dahulu.Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja Allah
memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-Nya.
Bersamaan dengan itu, Allah menegaskan bahwa diri-Nya tidak sama dengan
hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi
dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah
ayat-ayat yang maknanya belum jelas.
Secara tegas dapat dikatakan bahwa asal mula adanya ayat-ayat
muhkamah dan mutasyabihat ialah dari Allah SWT. Allah SWT memisahkan atau
membedakan ayat-ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikan ayat
muhkam sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat. Allah SWT berfirman:
DAFTAR PUSTAKA
Syadali, Ahmad dan Ahmad Rifa’i. Ulumul Qur’an I. Bandung: Pustaka Setia,
2000.