Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH ULUMUL QUR’AN

ILMU MUHKAM DAN MUTASYABIH

Dosen pengampu:
Achmad Syauqi Alfanzari M.Ag.

Disusun Oleh :Kelompok 1


Bani Ahsan (22561011)
Erisa Anggraini (22561020)
Sofia Safitri Ramadhani (22561042)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM


FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP
TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat
serta salam semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi
Muhammad SAW yang kita nantikan syafa’atnya di akhirat kelak.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampu Bapak
Achmad Syauqi Alfanzari M.Ag.yang telah memberikan amanah untuk
menyelesaikan pembahasan tentang Imu muhkam dan Mutasyabih .Penulis
tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah
ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Curup , 1 Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................

DAFTAR ISI ...............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................

A. Latar Belakang .................................................................................................


B. Rumusan Masalah ............................................................................................
C. Tujuan .............................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................

1. Bagaimana Pengertian Muhkam dan Mutasyabih ?

2. Bagaimana sejarah perkembangan muhkam dan mutasyabih ?

3. Bagaimana Pandangan Para Ulama’ Mengenai Muhkam dan Mutasyabih ?

4. Bagaimana karakteristik ayat muhkam dan mutasyabih

5. Bagaimana Hikmah dari Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih ?

BAB III PENUTUP .....................................................................................................

A. Kesimpulan ......................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang dijadikan pedoman dalam setiap


aspek kehidupan umat Islam, tentunya harus dipahami secara mendalam.
Pemahaman al-Qur’an dapat diperoleh dengan mendalami atau menguasai ilmu-
ilmu yang tercakup dalam ulum al-Qur’an. Dan menjadi salah satu bagian dari
cabang keilmuan ulum al-Qur’an adalah ilmu yang memnahas tentang Muhkam
dan Mutasyabih ayat.

Muhkam Mutasyabih ayat hendaknya dapt dipahami secara mendalam.


Hal ini dikarenakan, dua hal ini termasuk dalam objek yang urgen dalam kajian
atau pemahaman al-Qur’an. Berdalih agar tidak terjadi ketimpangan dalm
memahami ayat-ayat al-Qur’an khususnya dalam ranah Muhkam dan Mutasyabih,
maka kelompok kami menyusun makalah yang membahas tentang kedua hal
tersebut. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal yang
berhubungan dengan Muhkam dan Mutasyabih, akan dijelaskan dalam bab
berikutnya yaitu bab pembahasan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pengertian Muhkam dan Mutasyabih ?

2. Bagaimana sejarah perkembangan muhkam dan mutasyabih ?

3. Bagaimana Pandangan Para Ulama’ Mengenai Muhkam dan Mutasyabih ?

4. Bagaimana karakteristik ayat muhkam dan mutasyabih

5.Bagaimana Hikmah dari Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui . Bagaimana Pengertian Muhkam dan Mutasyabih ?

2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan muhkam dan mutasyabih ?

3. Untuk mengetahui Pandangan Para Ulama’ Mengenai Muhkam dan


Mutasyabih ?

4. Untuk mengetahui karakteristik ayat muhkam dan mutasyabih

5. Untuk mengetahui Hikmah dari Keberadaan Ayat Muhkam dan Mutasyabih


?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Muhkam dan Mutasyabih

Muhkam secara lughawi berasal dari kata hakama. Kata hukm berarti
memutuskan antara dua hal atau lebih perkara, maka hakim adalah orang yang
mencegah yang zalim dan memisahkan dua pihak yang sedang bertikai.
Sedangkan muhkam adalah sesuatu yang dikokohkan, jelas, fasih, dan
membedakan antara yang hak dan yang bathil.1 Sedang dalam kitab Mabahits fii
Ulum al-Qur’an dijelaskan:

‫ ما استأثر هللا بعلمه‬:‫ ما عرف المراد منه – والمتشابه‬:‫المحكم‬.2

Artinya:“Muhkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya, sedangkan


mutasyabih hanyalah diketahui maksudnya oleh Allah sendiri.”

Mutasyabih secara bahasa berasal dari kata tasyabuh yang berarti


keserupaan dan kesamaan yang biasanya membawa kesamaran antara dua hal.3
Adapun secara istilah, mutasyabih adalah lafadz yang maksud dan maknanya
hanya diketahui oleh Allah S.W.T., dan tidak dapat diketahui oleh manusia.4

Mayoritas ulama ahl al-Fiqh mengemukakan, muhkam ialah lafadz yang


tidak dapat ditakwilkan kecuali hanya satu segi makna saja. Mutasyabih ialah
lafadz yang artinya dapat ditakwilkan ke dalam beberapa segi karena masih
terdapat kesamaran, seperti masalah surga, neraka, dan lain sebagainya.

B. Sejarah Ayat Muhkam dan Mutasyabih

1
Muhammad Chirzin, Al Qur’an dan Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
2000), 70.
2
Manna’ al-Qathan, Mabahits fii Ulum al-Qur’an (Mesir: Maktabah Wahbah, 1973), 216.

3
Ahmad Syadali dan Ahmad Rafi’i, Ulumul Qur’an I (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 199.

4
Usman, Ulumul Qur’an (Yogyakarta: Teras, 2000), 221.
Secara tegas dapat dikatakan bahwa asal mula adanya ayat-ayat
muhkamah dan mutasyabihat ialah dari Allah SWT. Allah SWT memisahkan atau
membedakan ayat-ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikan ayat
muhkam sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat. Allah SWT berfirman:

):‫هوالّذي انزل عليك الكتب منه ايت محكمت هن ام الكتب واخر متشبهت (ال عمران‬

Artinya: “Dia-lah yang telah menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepada


kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi
Alquran, dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat”. (Q. S. Ali Imron: 7)

Dari ayat tersebut, jelas Allah SWT menjelaskan bahwa Dia menurunkan
Alquran itu ayat-ayatnya ada yang muhkamat dan ada yang mutasyabihat.
Menurut kebanyakan ulama, sebab adanya ayat-ayat muhkamat itu sudah jelas,
yakni sebagaimana sudah ditegaskan dalam ayat 7 surah Ali Imran di atas. Di
samping itu, Al Quran merupakan kitab yang muhkam, seperti keterangan ayat 1
surah Hud:

):‫كتب احكمت ايته (هو د‬

Artinya: “Suatu Kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi”.

Juga karena kebanyakan tertib dan susunan ayat-ayat Alquran itu rapi dan
urut, sehingga dapat dipahami umat dengan mudah, tidak menyulitkan dan tidak
samar artinya, disebabkan kebanyakan maknanya juga mudah dicerna akal
pikiran. Tetapi sebab adanya ayat-ayat mutasyabihat dalam Alquran ialah karena
adanya kesamaran maksud syarak dalam ayat-ayat-Nya sehingga sulit dipahami
umat, tanpa dikatakan dengan arti ayat lain, disebabkan karena bisa dita’wilkan
dengan bermacam-macam dan petunjuknya pun tidak tegas, karena sebagian besar
merupakan hal-hal yang pengetahuannya hanya dimonopoli oleh Allah SWT.5

C. Sikap Para Ulama’ terhadap Ayat-Ayat Muhkam dan Mutasyabih

Sumber perbedaan pendapat berpangkal pada masalah waqaf dalam ayat :

5
Abdul Djalal, Ulumul Qur’an , Dunia Ilmu, Surabaya, 1998, halm 243-244.
}٧ : ‫ {العمران‬....‫َو َما يَ ْع َم ُل تَْأ ِو ْيلَ ۤهُ اِاَّل هللاُ َوالرَّا ِس ُخونَ فِى ْال ِع ْلم ِيَقُوْ لُوْ نَ آ َمنَّابِه‬

Pertama : apakah kedudukan lafaz ini sebagai mubtada’ yang khabarnya


adalah َ‫يَقُوْ لُوْ ن‬, dengan “wawu” diperlakukan sebagai huruf isti’nâf (permulaan) dan
waqaf dilakukan pada lafaz ُ‫ َو َما يَ ْع َم ُل تَْأ ِو ْيلَ ۤهُ اِاَّل هللا‬.

Kedua : ataukah ia ma’tȗf, sedang lafaz َ‫ يَقُوْ لُوْ ن‬menjadi hâl dan waqafnya pada
lafaz ‫َّاس ُخونَ فِى ْال ِع ْلم‬
ِ ‫ َوالر‬. 6

Ulama yang berpendapat mengenai ayat-ayat muhkam dan mutasyabih


terbagi menjadi dua: Madzhab Ulama Salaf dan Madzhab Ulama Khalaf.

1. Madzhab Ulama Salaf

Orang-orang yang mempercayai dan mengimani sifat-sifat mutasyabih itu


dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Mereka mensucikan Allah
dari pengertian-pengertian lahir bagi Allah dan mengimaninya sebagaimana yang
diterangkan Al-Qur’an serta menyerahkan urusan mengetahui hakikatnya kepada
Allah sendiri. Ketika Imam Malik ditanya tentang makna istiwa’, dia berkata:

َ ُّ‫اَاْل ِ ْستِ َوا ُء َم ْعلُوْ ٌم َو ْال َكيْفُ َمجْ هُوْ ٌل َوالسََّؤ ا ُل َع ْنهُ بِ ْد َعةٌ َواَظُن‬.
‫ك َرج َُل السُّوْ ِء اَ ْخ ِرجُوْ هُ َعنِّ ْي‬

Artinya: Istiwa’ itu maklum, caranya tidak diketahui, mempertanyakannya bid’ah


(mengada-ada), saya duga engkau ini orang jahat. Keluarkan olehmu orang ini
dari majlis saya.

Maksud istiwa’ (bersemayam) telah kita ketahui, namun mengenai


bagaimana caranya kita tidak mengetahuinya. Iman kepadanya adalah wajib dan
menanyakan adalah bid’ah. “Rabi’ah bin Abdur-rahman, guru Malik, jauh
sebelumnya pernah berkata: “Arti istiwa’ sudah kita ketahui, tetapi bagaimana
caranya tidak diketahui. Hanya Allahlah yang mengetahui apa sebenarnya. Rasul
pun hanya menyampaikan, sedang kita wajib mengimaninya.” Jadi, jelaslah

6
Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an (Bandung: Pustaka Setia, 2010), 122.
bahwa arti istiwa’ itu sendiri sudah diketahui tetapi caranyalah yang tidak
diketahui.7

Dalam menerapkan sistem ini, madzhab salaf mempunyai dua argumen,


yaitu argumen aqli dan argumen naqli. Argumen aqli adalah bahwa menentukan
maksud dari ayat-ayat mutasyabihat hanyalah berdasarkan kaidah-kaidah
kebebasan dan pengunaannya di kalangan bahasa Arab. Penentuan seperti ini
hanya dapat menghasilkan ketentuan yang bersifat zanni (tidak pasti). Lantaran
dasar yang memutuskan dan menyerahkan ketentuan maksudnya kepada Allah
Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengenal.8

Adapun dalam argumen naqli, mereka mengemukakan beberapa hadits dan


atsar. Diantaranya :

ِ ‫ ـُولُوا ْالبَ––ا‬... ‫الَى قَوْ لِ ِه‬... ‫ك ْال ِكتَاب‬


)‫ب‬ َ ‫ (هُ َو الَّ ِذى َأ ْن َز َل َعلَ ْي‬: َ‫ ٰه َذا ااْل ٰ يَة‬.‫ع‬.‫ تَاَل َوسُوْ ُل هللاِ ص‬: ‫ت‬ ْ َ‫ع َْن عَاِئ َشةَ قَال‬
ٰ ‫ فَا ِ َذا َرَأيْتَ الَّ ِذىنَ يَتَّبِعُوْ نَ َما تَ َشابَهَ ِم ْنهُ فَُأ‬: .‫ع‬.‫ قَا َل َرسُو ُل هللاِ ص‬: ‫ت‬
‫ –رواه‬.‫ولِئكَ الَّ ِذ ْينَ َس َّمى هللاُ فَاحْ – َذرْ هُ ْم‬ ْ َ‫قَال‬
‫البجارى و مسلم‬-

“Dari Aisyah, ia berkata: Rasul SAW. membaca ayat: “inilah yang menurunkan
al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu”, sampai kepada “orang-orang yang berakal”,
berkata ia : Rasul SAW. berkata: “jika engkau melihat orang-orang yang
mengikuti ayat-ayat yang musytabihat daripadanya maka mereka itulah orang-
orang yang disebut Allah, maka hati-hatilah terhadap mereka”. (dikeluarkan oleh
Bukhari dan Muslim dan yang lainnya).9

Ini menunjukkan bahwa wawu untuk isti’naf(permulaan). Di samping itu,


ayat tersebut juga mencela orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutsyabihat dan
memberikan mereka itu sebagai yang mempunyai kecenderungan kepada
kesesatan dan mencari fitnah. Sebaliknya, ayat yang sama memuji orang-orang
yang menyerahkan pengetahuan tentang itu kepada Allah.
7
Ibid., 310.

8
Acep Hermawan, “Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2011), 212.
9
Ibid., 213.
2. Madzhab Ulama Khalaf

Madzhab ini berpendapat, bahwa waqaf(memberhentikan bacaan) dalam


ayat (surat Ali-Imran: 7) di atas adalah lafal : ‫والرَّا ِس ُخونَ فِى ْال ِع ْل ِم‬.
َ dengan demikian,
selain Allah, orang-orang yang mendala ilmunya juga dapat mengetahui takwil
dari ayat-ayat mutâsyabihât itu. Adapun wawu ( ‫ ) َو‬pada lafal ayat tersebut adalah
berkududukan sebagai hurf ‘athf. Oleh karena itu, kata َ‫َّاس – ُخون‬
ِ ‫ الر‬di-‘athaf-kan
kepada lafal ُ‫ هللا‬pada kalimat sebelumnya. Diantara ulama yang berpendapat
demikian –menurut Shubhi al-Shalih- adalah Abu Hasan al-‘Asy’ariy. Pendapat
ini diperjelas lagi oleh Abu Ishaq al-Syirazi yang sekaligus mendukung dengan
mengatakan, “bahwa pengetahuan Allah mengenai takwil ayat-ayat mutasyabihat
itu, juga dilimpahkan kepada para ulama yang mendalam ilmunya. Sebab firman
yang diturunkan itu merupakan pujian bagi mereka yang luas dan mendalam
ilmunya. Bila mereka dianggap tidak mengetahui maknanya berarti tidak ada
bedanya dengan orang awam.”10

Mujtahid dan sahabat-sahabatnya, demikian juga al-Nawawi cenderung


kepada pendapat kedua ini. Menurut al-Nawawi, pendapat ini lebih banyak
diterima sebab tidak mungkin Allah akan mengkhithabkan hamba-Nya dengan
sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya. Selanjutnya madzhab khalaf
mengatakan, bahwa suatu hal yang seyogyanya dilakukan dalam hal memahami
ayat-ayat mutasyabihat itu adalah memalingkan lafal dari kradaan kehampaan
yang mengakibatkan kebingungan manusia, sehingga membiarkan makna itu
“terlantar” tidak bermakna. Selama ayat tersebut memungkinkan untuk dilakukan
penakwilan terhadapnya dengan makna yang benar dan rasional, maka tidak ada
halangan bagi nalar manusia -dalam hal ini bagi mereka yang sudah memiliki
ilmu yang mendalam dan kemampan tinggi- untuk melakukannya.”11

Secara naqli, mereka mengemukakan atsar sahabat :

10
Usman, Ulumul Qur’an, (Yogyakarta: Teras), 244-245.

11
Ibid., 245.
ِ ‫ لَوْ لَ ْم يَ ْعلَ ُموْ ا تَْأ ِو ْيلَهُ لَ ْم يَ ْعلَ ُم––وْ ا ن‬: ‫ال‬
‫َاس– َخهُ ِم ْن َم ْن ُس–وْ ِخ ِه َواَل َحاَل لُ–هُ ِم ْن َح َرا ِم– ِه َواَل ُمحْ َك َم– هُ ِم ْن‬ َ َ‫َّاك ق‬
ِ ‫ضح‬ َّ ‫ع َْن ال‬
‫ –اخرجه ابن ابى حاتم‬. ‫ ُمتَ َشابِ ِه‬-

Dari al-Dahhak, berkata ia: “orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui


takwilnya. Sekiranya mereka tidak mengetahuinya, niscaya tidak mengetahui
nasikh dan mansukhnya, halal dan haramnya, dan muhkam ari mutasyabihnya”.
(H.R. Ibn Abi Hatim).12

D. Karakteristik Al-Muhkan dan Al-Mutasyabih

Banyaknya perbedaan pendapat mengenai muhkan dan mutasyabih,


menyulitkan untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk muhkan dan
mutasyabih.

J.M.S Baljon mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat barwa


yang termasuk kriteria ayat-ayat muhkam adalah apabia ayat-ayat tersebut
berhubungan dengan hakikat (kenyataan). Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah
yang menuntut penelitian.

Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kriteria ayat-ayat muhkam dan mutasyabih


sebagai berikut :

1. Muhkam

a. Yakni ayat-ayat yang membatalkan ayat-ayat yang lain

b. Ayat-ayat yang menghalalkan atau membatalkan ayat-ayat lain.

c. Ayat-ayat yang mengandung kewajiban yang harus diimani dan diamalkan.

2. Mutasyabih

a. Yakni ayat-ayat yang tidak diketahui hakikat maknanya seperti tibanya hari
kiamat.

12
Acep Hermawan, “Ulumul Quran Ilmu Untuk Memahami Wahyu, (Bandung: Remaja
Rosdakarya), 219.
b. Ayat-ayat yang dapat diketahui maknanya dengan sarana bantu baik dengan
hadits atau ayat muhkam.

c. Ayat yang hanya dapat diketahui oleh orang-orang yang dalam ilmunya,
sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rosululloh untuk ibnu Abbas “Ya Alloh,
karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan limpahkanlah
pengetahuan tentang ta’wil kepadanya,” 13

E. Hikmah Keberadaan Ayat Mutasyabihat dalam Al-Qur’an

Diantara hikmah keberadaan ayat-ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an


adalah sebagai berikut:

1. Memperlihatkan kelemahan akal manusia

Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih


sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal
yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang
yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannyasehingga enggan
tunduk kepada naluri kehambaannya.

Ayat-ayat mutasyabihat merupakan sarana bagi penundukan akal terhadap


Allah karena kesadarannya akan ketidakmampuan akalnya untuk mengungkap
ayat-ayat mutasyabih itu.

2. Teguran bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat mutasyabih

Pada penghujung surat Ali ‘Imran [3] ayat 7, Allah menyebutkan َ ۤ ‫َو َما يَ َّذ َّك ُر ِإاّل‬
ِ ‫ ُأولُ–––وا اَأل ْلبَ–––ا‬sebagai cercaan bagi orang-orang yang mengotak-atik ayat-ayat
‫ب‬
mutasyabih. Sebaliknya, memberikan pujian pada orang-orang yang mendalami
ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk
mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata ‫–ز ْغ قُلُوْ بَنَا‬
ِ –ُ‫ َربَّنَ––ا الَ ت‬.
Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu ladunni.

13
Hasbi Ash-Shiddieqy, ilmu-ilmu Al-Qur’an, Jakarta:Bulan Bintang, 1993, hlm 166
3. Memberikan pemahaman abstrak-ilahiah kepada manusia melalui pengalaman
indrawi yang biasa disaksikannya.

Sebagaimana dimaklumi bahwa pemahaman diperoleh manusia tatkala ia


diberi gambaran indrawi terlebih dahulu.Dalam kasus sifat-sifat Allah, sengaja
Allah memberikan gambaran fisik agar manusia dapat lebih mengenal sifat-sifat-
Nya. Bersamaan dengan itu, Allah menegaskan bahwa diri-Nya tidak sama
dengan hamba-Nya dalam hal pemilikan anggota badan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Muhkam adalah ayat-ayat yang maknanya sudah jelas, tidak samar lagi
dan tidak menimbulkan pertanyaan jika disebutkan. Sedang mutasyabih adalah
ayat-ayat yang maknanya belum jelas.

Secara tegas dapat dikatakan bahwa asal mula adanya ayat-ayat


muhkamah dan mutasyabihat ialah dari Allah SWT. Allah SWT memisahkan atau
membedakan ayat-ayat yang muhkam dari yang mutasyabih, dan menjadikan ayat
muhkam sebagai bandingan ayat yang mutasyabihat. Allah SWT berfirman:

Artinya: “Dia-lah yang telah menurunkan Al-Kitab (Alquran) kepada


kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi
Alquran, dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat”. (Q. S. Ali Imron: 7)

J.M.S Baljon mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat barwa yang


termasuk kriteria ayat-ayat muhkam adalah apabia ayat-ayat tersebut berhubungan
dengan hakikat (kenyataan). Sedangkan ayat-ayat mutasyabih adalah yang
menuntut penelitian.

Ulama’ berbeda pendapat dalam hal memahami ayat-ayat mutasyabih,


yaitu antara bisa tidaknya manusia memahami atau memaknai ayat-ayat
mutasyabihat. Terdapat hikmah adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat
yang secara garis besar masuk pada tataran pemahaman dan penggunaan logika
akal.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Djalal, Ulumul Qur’an , Dunia Ilmu, Surabaya, 1998.


Al-Qattan, Manna’. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Mesir: Maktabah Wahdah,
1973.

Anwar, Rosihon. Ulum al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2010.

Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1993. Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta:Bulan Bintang.

Chirzin, Muhammad. Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Dana Bhakti


Prima Yasa, 2000.

Hermawan, Acep. Ulumul Qur’an: Ilmu Untuk Memahami Wahyu. Bandung:


Remaja Rosdakarya, 2011.

Syadali, Ahmad dan Ahmad Rifa’i. Ulumul Qur’an I. Bandung: Pustaka Setia,
2000.

Usman. Ulumul Qur’an. Yogyakarta: Teras, 2000.

Anda mungkin juga menyukai