Dosen Pengampu:
Muhammad Jayus, M.H.I.
Disusun Oleh:
Kelompok 8
NAMA NPM
Arya Aldiyanto Prasetyo 2331010013
Muhammad Alfazri 2331010017
Bagas Aji Satria 2331010031
Puji Syukur ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaian tugas makalah yanga berjudul Perwalian dan
Muharramat ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak
Jayus, M.H.I. pada mata kuliah Fiqih. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Perwalian dan Muharramat.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Jayus, M.H.I. selaku dosen
mata kuliah Fiqih yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dan bidang studi kami.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karna itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 4
1. Latar Belakan ..................................................................................... 4
2. Rumusan Masalah .............................................................................. 4
3. Tujuan ................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 5
1. PERWALIAN .................................................................................. 5
2. AL-MUHARRAMAT...................................................................... 13
BAB III PENUTUP .................................................................................... 17
Kesimpulan ............................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 18
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fiqih Munakahat atau fiqih pernikahan adalah ilmu yang menjelaskan
tentang syariat suatu ibadah termasuk pengertian, dasar hukum dan tata cara
yang dalam hal ini menyangkut pernikahan, talak, rujuk dan lain sebagainya.
Perwalian dan Muharramat adalah termasuk menyangkut pernikahan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Perwalian?
2. Siapa saja yang Termasuk Muharramat?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Perwalian.
2. Untuk Mengetahui Siapa saja yang Termasuk Muharramat.
4
BAB II
PEMBAHASAN
1. PERWALIAN
a. Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban mengurus
anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa;
b. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan
janji nikah dengan pengantin laki-laki);
c. Orang saleh (suci), penyebar agama; dan
d. Kepala pemerintah dan sebagainya.
Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang
yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya.
Jumhur ulama, sepeni Imam Malik, Imam Syafi'i, mengatakan bahwa wali itu
adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah, bukan dari garis ibu.
Wali nikah bertanggung jawab atas sahnya pernikahan, maka wali nikah
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Islam, orang yang bukan muslim tidak sah mennjadi wali nikah. Allah swt
berfirman :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
yahudi dan nasrani menjadi wali (mu). (Al maidah :51)
2. Baligh. Anak kecil, budak, dan orang gila tidak dapat menjadi wali nikah,
karena mereka tidak memiliki kemampuan melaksanakan tugas dan tanggung
jawab sebagai wali nikah.
3. Berakal. Orang gila, kurang waras, kurang ingatan tidak dapat menjadi wali
nikah.
4. Merdeka. Orang yang tidak memiliki kebebasan menggunakan haknya tidak
dapat menjadi wali nikah. Orang dipenjara, karena haknya dibatasi oleh ketentuan
hukum.
5. Laki-laki.
6. Adil
5
7. Cerdas
1. Ayah;
2. Ayahnya Ayah (kakek) terus ke atas;
3. Saudara laki-laki seayah seibu;
4. Saudara laki-laki seayah saja;
5. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu;
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu;
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah:
9. Anak laki-laki no.7;
10. Anak laki-laki no.8 dan seterusnya;
11. Saudara laki-laki ayah, seayah seibu;
12. Saudara laki-laki ayah, seayah saja:
13. Anak laki-laki no. 11:
14. Anak laki-laki no. 12: dan
15. Anak laki-laki no. 13. dan seterusnya.
Para ulama fikih berbeda pendapat dalam masalah wali, apakah ia menjadi
syarat sahnya pernikahan atau tidak? Imam Malik berpendapat bahwa tidak sah
pernikahan tanpa wali. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi'i. Imam
Abu Hanifah, Zufar, Al-Sya'bi, dan Al-Zuhri ber- pendapat bahwa apabila seorang
perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding
(kufu"). Maka pernikahannya boleh.
Abu Dawud memisahkan antara gadis dan janda dengan syarat adanya wali
pada gadis dan tidak mensyaratkannya kepada janda. Pendapat lain mengatakan
bahwa persyaratan wali itu hukumnya sunah bukan fardu, karena mereka
berpendapat bahwa adanya waris antara suami dan istri yang pekawinannya terjadi
tanpa menggunakan wali, juga wanita terhormat itu boleh mewakilkan kepada
seorang laki-laki untuk menikahkannya Imam Malik juga menganjurkan agar
seorang janda mengajukan walinya untuk menikahkannya.
6
mengatakan bahwa wali itu termasuk syarat sahnya nikah, bukan syarat
kelengkapan pernikahan.
Mereka yang mengatakan bahwa wali itu menjadi syarat sahnya pernikahan
dengan dasar:
Kemudian apabila Telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka. (QS Al- Baqarah [2]: 234)114
Menurut mereka, ayat ini ditujukan kepada para wali, jika mereka tidak
mempunyai hak dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-
halangi.
Di dalam Hadis Nabi Saw., yang diriwayatkan oleh Al-Zuhrn, dari Urwah, dari
Aisyah juga dijelaskan:
Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. (QS Al-
Baqarah [2]: 234)
7
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya. (QS Al-Baqarah [2]: 232)
َ َحتَّى ت َن ِك َح زَ ْو ًجا
ُغي َْره
Hingga dia kawin dengan suami yang lain. (QS Al-Baqarah [2] 230)
Di samping ayat-ayat Al-Qur'an juga disebutkan dalan hadis Nabi Saw, juga
menyebutkan:
Hadis tersebut oleh Abu Dawud dijadikan untuk memisahkan antara janda
dengan gadis dalam masalah ini. Dalam hadis lain juga disebutkan:
Dari Ibnu Abbas za bahwa Rasulullah Saw, bersabda, "Janda itu lebih
berhak kepada dirinya sendiri daripada walinya. Dan gadis hendaknya dimintai
izinnya dalam perkara dirinya. Dan izinnya adalah diamnya." (HR Jama'ah, kecuali
Bukhari).
2. Macam-macam Wali
Wali nikah ada empat macam, yaitu: wali nasab, wali hakim (sultan), wali tahkim,
dan wali maula.
A. Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita
yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab terdapat
perbedaan pendapat di antara ulama fikih. Imam Malik mengatakan bahwa
perwalian itu didasarkan atas "ashbah, kecuali anak laki-laki dan keluarga terdekat
lebih berhak untuk menjadi wali.
8
Dalam Al-Mugni terdapat keterangan bahwa kakek lebih utama daripada
saudara lelaki dan anaknya saudara lelaki, karena kakek adalah asal, kemudian
paman-paman dari pihak ayah ber dasarkan urut-urut saudara-saudara lelaki sampai
ke bawah, kemudian bekas tuan (Almaula).
Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab'ad adalah sebagai berikut.
B. Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadi, Rasulullah Saw.
bersabda:
"Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada
walinya." (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa'i).
Apabila tidak ada orang-orang di atas, maka wali hakim dapat diangkat oleh
orang-orang yang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang yang alim.
Wali hakim dibenarkan menjadi wali dari sebuah akad nikah jika dalam
kondisi-kondisi berikut.
9
3. Tanpa seizin wanita yang akan menikah; dan
4. Wanita yang berada di luar daerah kekuasaannya.
C. Wali Tahkim
Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri.
Adapun cara pengangkatnya (cara tahkim adalah: Calon suami mengucapkan tahkin
kepada seseorang dengan kalimat, "Saya angkat bapak/saudara untuk menikahkas
saya dengan si....(calon istri) dengan mahar...dan putusan bapak/saudara saya
terima dengan senang." Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama.
Kemudian calon hakim itu menjawab, "Saya terima tahkim ini."
D. Wali Maula
Diceritakan dari Said bin Khalid, dari Ummu Qais binti Qaridh, ia berkata
kepada Abdur Rahman bin Auf, "Lebih dari seorang yang datang meminang saya.
Oleh karena itu, nikahkanlah saya dengan salah seorang yang engkau sukai.
Kemudian, Abdur Rahman bertanya," Apakah berlaku juga bagi diri saya? "la
menjawab," Ya."Lalu kata Abdur Rahman, "Kalau begitu aku nikahkan diri saya
dengan kamu."
10
boleh membeli barangnya sendiri adalah suatu pendapat yang tidak benar. Sebab,
jika seorang dikuasakan untuk menjual suatu barang lalu membelinya sendin asal
ia tidak melalaikan, maka hukumnya boleh. la Berhujjah dengan sebuah hadis yang
diriwayatkan dari Anas r.a.:
Adapun yang dimaksud dengan Jjbår (mujbir) adalah hak seseorang (ayah
ke atas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan,
dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:
11
1. Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan perempuan, yang ia sendiri,
menjadi walinya (calon pengantin wanita);
2. Calon suaminya sekufu dengan calon istri, atau ayah lebih tinggi, dan
3. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilang. sungkan akad nikah.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hak ijbar gugur. Sebenarnya, ijbar
bukan harus diartikan paksaan, tetapi lebih cocok bila diartikan pengarahan.
Apabila wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah balig yang akan
menikah dengan seorang pria yang kufu', maka dinamakan wali 'adlal. Apabila
terjadi seperti itu, maka perwalian langsung pindah kepada wali hakim.
Bukan kepada wali ab'ad, karena 'adlal adalah zalim, sedangkan yang
menghilangkan sesuatu yang zalim adalah hakim. Akan tetapi, jika 'adlal-nya
sampai tiga kali, berarti dosa besar dan fasik maka perwaliannya pindah ke wali
ab'ad.
Lain halnya kalau 'adlal-nya karena sebab nyata yang dibenarkan oleh
syarak, maka tidak disebut 'adlal, seperti wanita menikah dengan pria yang tidak
kufu', atau menikah maharnya di bawah mitsli, atau wanita dipinang oleh pria lain
yang lebih pantas (kufu') dan peminang pertama.
Maksud bakal suaminya adalah kawin lagi dengan mantan suaminya atau
dengan laki-laki lainnya. Selanjutnya, Ma'qil berkata, "Kemudian saya membayar
kafarat atas sumpah saya, lalu saya nikahkan dia dengannya."
12
2. AL-MUHARRAMAT
A. Pengertian Al-Muharramat
Wanita yang haram dinikahi untuk selama- lamanya dapat dibagi menjadi:
a. Ibu. Termasuk dalam pengertian ibu adalah nenek dan terus ke atas, baik
dari pihak bapak maupun dari pihak ibu.
b. Anak perempuan. Termasuk dalam pengertian anak perempuan adalah
cucu perempuan dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan dan terus ke
bawah.
c. Saudara perempuan, baik sebapak dan seibu, maupun sebapak saja atau
seibu saja.
d. Bibi, yaitu saudara perempuan bapak dan ibu, baik sekandung maupun
sebapak atau seibu.
e. Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-
laki atau saudara perempuan dan terus ke bawah.
a. Ibu susuan, yaitu seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak.
Ibu tersebut dipandang sebagai ibu kandung, sehingga haram untuk dinikahi.
b. Nenek susuan, yaitu ibu dari yang menyusui, atau ibu dari suami yang
menyusui.
c. Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan atau saudari
perempuan dari suami ibu susuan.
d. Keponakan perempuan, yaitu anak perempuan dari saudara ibu susuan.
e. Saudara perempuan, baik saudara sebapak kandung maupun seibu saja.
13
Kemudian timbul pertanyaan, seberapa lama anak itu menyusu, yang
menye- babkan haram menikahi ibu yang me- nyusuinya itu dan lain-lainnya yang
disebutkan di atas (a, b, c, d, e)?
Diriwayatkan dari 'Uqbah Ibnu Harits dia berkata: "Saya pernah kawin
dengan Ummu Yahya putri Abi Ihab, lalu datang- lah seorang budak perempuan
hitam seraya mengatakan, kamu berdua dahulu pernah aku susui, lalu saya datang
kepada Nabi menceritakan hal tersebut", kemudian Nabi bersabda: "Bagaimana
lagi, karena sudah terjadi, karena itu ceraikanlah dia" (HR. Bukhari dan Muslim)
a. Imam Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa tidak ada pembatasan berapa kali
anak itu menyusu, asal anak sudah kenyang, sudah dianggap haram nikah.
b. Imam Syafi'i dan Imam Ahmad me nurut sebagian riwayat: Anak it menyusu
sekenyang-kenyangnya lima kali menyusu dan mengenyangkan.
c. Abu Tsaur, Abu Ubaid, Daud Ibnu An Adz-Dzakini dan Ibnu Mudzakkir ber-
pendapat, bahwa sekenyang-kenyang-nya tiga kali susu yang mengenyangkan
Menurut hemat penulis, sekiranya sudah pernah menyusu kepada seorang wanita,
sebaiknya jangan menikahinya dan nasabnya sebagaimana telah disebutkan di atas
(a, b, c, d, e). Sebab sukar untuk memastikannya berapa kali sudah menyusu, dan
apakah beru benar kenyang atau tidak. Penulis berpegang kepada sikap berhati-hati
dalam masalah hukum
a. Mertua perempuan dan nenek perem- puan istri, baik dari pihak bapak maupun
ibu.
b. Anak tiri, dengan ketentuan telah bercampur dengan ibu anak tiri itu.
c. Menantu, yaitu istri anak, istri cucu dan terus ke bawah.
d. Ibu tiri, yaitu bekas istri bapak.
14
"Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk
orang- orang benar. Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atasnya, jika
dia termasuk orang-orang yang berdusta Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang-orang yang dusta dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah
atasnya, jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nûr': 6-9)
mengatakan: "Orang yang sedang ikra tidak boleh menikah, tidak boleh me
nikahkan dan tidak boleh (pula) memin (HR. Muslim)
1. Memadu dua orang wanita yang ber saudara atau dengan bibinya.
Di samping telah ditegaskan dalam ayat: 23 Surah an-Nisa' di atas, di dalam
hadits pun ditegaskan:
Larangan dalam ayat dan hadits tersebu hanya bersifat sementara. Bila
istrinya meninggal, dia boleh menikah denga saudara istrinya itu. Di Indonesia
terkenal dengan istilah "ganti tikar atau tur ranjang."
2. Wanita yang masih menjadi istri orang lain atau bekas istri orang lain
yang masih dalam masa iddah.
15
Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan rneninggalkan
istri- istri, (hendaklah para istri itu) menahan dirinya menunggu atau beriddah)
selama empat bulan sepuluh hari." (al-Baqarah: 234)
5. Wanita musyrik
Firman Allah:
“Dan jangan kamu nikahi Wanita Wanita musyrik, sebelum mereka beriman..."
(Baqarah: 221)
Islam membatasi hanya boleh berist empat orang dan selebihnya diharamkan.
16
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Wali adalah orang yang berhak menikahkan atau memberi izin kepada
seorang wanita untuk menikah. Wali merupakan rukun nikah yang harus ada dalam
pernikahan. Tanpa wali maka pernikahan batal. Namun, Imam Abu Hanifah, Zufar,
Al-Sya'bi, dan Al-Zuhri berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan
akad nikah tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding (kufu"). Maka
pernikahannya boleh.
17
DAFTAR PUSTAKA
Nurhayati. Ali Imran. 2018. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Prenadamedia Group.
Tahami. 2009. Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers.
Mardani. 2016. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Suma, Muhammad Amin. 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Hasan, Ali. 2003. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Prenada
Media.
18