Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“PERWALIAN DAN MUHARRAMAT”


Disusun Guna Memenuhi Tugas Dari Mata Kuliah: Fiqih

Dosen Pengampu:
Muhammad Jayus, M.H.I.

Disusun Oleh:
Kelompok 8

NAMA NPM
Arya Aldiyanto Prasetyo 2331010013
Muhammad Alfazri 2331010017
Bagas Aji Satria 2331010031

AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG
2023 /2024
KATA PENGANTAR

Puji Syukur ALLAH SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaian tugas makalah yanga berjudul Perwalian dan
Muharramat ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak
Jayus, M.H.I. pada mata kuliah Fiqih. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang Perwalian dan Muharramat.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Jayus, M.H.I. selaku dosen
mata kuliah Fiqih yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dan bidang studi kami.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.
Kami menyadari makalah yang kami tulis ini jauh dari kata sempurna. Oleh
karna itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Bandar Lampung, 17 November 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 4
1. Latar Belakan ..................................................................................... 4
2. Rumusan Masalah .............................................................................. 4
3. Tujuan ................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................ 5
1. PERWALIAN .................................................................................. 5
2. AL-MUHARRAMAT...................................................................... 13
BAB III PENUTUP .................................................................................... 17
Kesimpulan ............................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Fiqih Munakahat atau fiqih pernikahan adalah ilmu yang menjelaskan
tentang syariat suatu ibadah termasuk pengertian, dasar hukum dan tata cara
yang dalam hal ini menyangkut pernikahan, talak, rujuk dan lain sebagainya.
Perwalian dan Muharramat adalah termasuk menyangkut pernikahan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Perwalian?
2. Siapa saja yang Termasuk Muharramat?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Perwalian.
2. Untuk Mengetahui Siapa saja yang Termasuk Muharramat.

4
BAB II
PEMBAHASAN

1. PERWALIAN

Pengertian Wali Secara etimologis: "wali" mempunyai arti pelindung,


penolong, atau penguasa. 109 Wali mempunyai banyak arti, antara lain:

a. Orang yang menurut hukum (agama atau adat) diserahi kewajiban mengurus
anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa;
b. Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan
janji nikah dengan pengantin laki-laki);
c. Orang saleh (suci), penyebar agama; dan
d. Kepala pemerintah dan sebagainya.

Arti-arti "wali" di atas tentu saja pemakaiannya dapat disesuaikan dengan


konteks kalimat. Adapun yang dimaksud wali dalam pembahasan ini adalah wali
dalam pernikahan, yaitu yang sesuai dengan poin b.

Orang yang berhak menikahkan seorang perempuan adalah wali yang


bersangkutan, apabila wali yang bersangkutan sanggup bertindak sebagai wali.
Namun, adakalanya wali tidak hadir atay karena sesuatu sebab ia tidak dapat
bertindak sebagai wali, maks hak kewaliannya berpindah kepada orang lain.

Wali ditunjuk berdasarkan skala prioritas secara tertib dimulai dari orang
yang paling berhak, yaitu mereka yang paling akrab, lebih kuat hubungan darahnya.
Jumhur ulama, sepeni Imam Malik, Imam Syafi'i, mengatakan bahwa wali itu
adalah ahli waris dan diambil dari garis ayah, bukan dari garis ibu.

Wali nikah bertanggung jawab atas sahnya pernikahan, maka wali nikah
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Islam, orang yang bukan muslim tidak sah mennjadi wali nikah. Allah swt
berfirman :
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang
yahudi dan nasrani menjadi wali (mu). (Al maidah :51)
2. Baligh. Anak kecil, budak, dan orang gila tidak dapat menjadi wali nikah,
karena mereka tidak memiliki kemampuan melaksanakan tugas dan tanggung
jawab sebagai wali nikah.
3. Berakal. Orang gila, kurang waras, kurang ingatan tidak dapat menjadi wali
nikah.
4. Merdeka. Orang yang tidak memiliki kebebasan menggunakan haknya tidak
dapat menjadi wali nikah. Orang dipenjara, karena haknya dibatasi oleh ketentuan
hukum.
5. Laki-laki.
6. Adil

5
7. Cerdas

Jumhur ulama fikih sependapat bahwa urut-urutan wall adalah sebagai


berikut:

1. Ayah;
2. Ayahnya Ayah (kakek) terus ke atas;
3. Saudara laki-laki seayah seibu;
4. Saudara laki-laki seayah saja;
5. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu;
6. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;
7. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah seibu;
8. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah:
9. Anak laki-laki no.7;
10. Anak laki-laki no.8 dan seterusnya;
11. Saudara laki-laki ayah, seayah seibu;
12. Saudara laki-laki ayah, seayah saja:
13. Anak laki-laki no. 11:
14. Anak laki-laki no. 12: dan
15. Anak laki-laki no. 13. dan seterusnya.

Singkatnya urutan wali adalah:

1. Ayah seterusnya ke atas;


2. Saudara laki-laki ke bawah; dan
3. Saudara laki-laki ayah ke bawah.

Para ulama fikih berbeda pendapat dalam masalah wali, apakah ia menjadi
syarat sahnya pernikahan atau tidak? Imam Malik berpendapat bahwa tidak sah
pernikahan tanpa wali. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Imam Syafi'i. Imam
Abu Hanifah, Zufar, Al-Sya'bi, dan Al-Zuhri ber- pendapat bahwa apabila seorang
perempuan melakukan akad nikah tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding
(kufu"). Maka pernikahannya boleh.

Abu Dawud memisahkan antara gadis dan janda dengan syarat adanya wali
pada gadis dan tidak mensyaratkannya kepada janda. Pendapat lain mengatakan
bahwa persyaratan wali itu hukumnya sunah bukan fardu, karena mereka
berpendapat bahwa adanya waris antara suami dan istri yang pekawinannya terjadi
tanpa menggunakan wali, juga wanita terhormat itu boleh mewakilkan kepada
seorang laki-laki untuk menikahkannya Imam Malik juga menganjurkan agar
seorang janda mengajukan walinya untuk menikahkannya.

Dengan demikian, seolah-olah Imam Malik menganggap bahwa wali itu


termasuk syarat kelengkapan pernikahan, bukan syarat sahnya pernikahan. Ini
bertolak belakang dengan pendapat fuqaha Maliki negeri Baghdad, yang

6
mengatakan bahwa wali itu termasuk syarat sahnya nikah, bukan syarat
kelengkapan pernikahan.

Mereka yang mengatakan bahwa wali itu menjadi syarat sahnya pernikahan
dengan dasar:

Firman Allah Swt.:

َ‫علَ ْي ُك ْم فِي َما فَ َع ْلن‬


َ ‫فَإِذَا َبلَ ْغنَ أ َ َجلَ ُه َّن فَ ََل ُجنَا َح‬

Kemudian apabila Telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka. (QS Al- Baqarah [2]: 234)114

Menurut mereka, ayat ini ditujukan kepada para wali, jika mereka tidak
mempunyai hak dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-
halangi.

Dalam ayat lain, Allah Swt. juga berfirman:

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman. (QS Al-Baqarah [2]: 221)

Di dalam Hadis Nabi Saw., yang diriwayatkan oleh Al-Zuhrn, dari Urwah, dari
Aisyah juga dijelaskan:

"Aisyah bekata, Rasulullah Saw., bersabda, "Siapa pun wanita yang


menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya itu batal (diucapkan tiga kali). Jika
suaminya telah menggaulinya, maka mahramnya adalah untuknya (wanita) karena
apa yang telah diperoleh darinya. Kemudian apabila mereka bertengkar, maka
penguasa menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali." (HR
Tirmidzi).

Adapun golongan yang tidak mensyaratkan wali me- ngemukakan alasan


dengan Firman Allah Swt.:

Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali)
membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. (QS Al-
Baqarah [2]: 234)

Menurut mereka, ayat tersebut merupakan dalil atas diperbolehkannya


wanita untuk menikahkan dirinya sendiri. Mereka juga mengatakan bahwa
perbuatan menikahkan yang disandarkan kepada wanita, banyak disebutkan dalam
Al-Qur'an di antaranya:

‫ضلُوه َُّن أَن َينكِحْ نَ أَ ْز َوا َج ُه َّن‬


ُ ‫فَ ََل ت َ ْع‬

7
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya. (QS Al-Baqarah [2]: 232)

َ ‫َحتَّى ت َن ِك َح زَ ْو ًجا‬
ُ‫غي َْره‬

Hingga dia kawin dengan suami yang lain. (QS Al-Baqarah [2] 230)

Di samping ayat-ayat Al-Qur'an juga disebutkan dalan hadis Nabi Saw, juga
menyebutkan:

"Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah Saw. telah bersabda," Janganlah


dinikahkan perempuan janda sebelum dimintai pendapatnya dan perawan sebelum
diminta izinnya. "Sahabatnya bertanya," Bagaimana cara izinnya perawan itu ya
Rasulullah? "Beliau menjawab, "Diamnya adalah izinnya". (HR Jama'ah).

Hadis tersebut oleh Abu Dawud dijadikan untuk memisahkan antara janda
dengan gadis dalam masalah ini. Dalam hadis lain juga disebutkan:

Dari Ibnu Abbas za bahwa Rasulullah Saw, bersabda, "Janda itu lebih
berhak kepada dirinya sendiri daripada walinya. Dan gadis hendaknya dimintai
izinnya dalam perkara dirinya. Dan izinnya adalah diamnya." (HR Jama'ah, kecuali
Bukhari).

Dalam riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud, dan Nasa'i dikatakan,


"seorang gadis hendaknya minta izin kepada ayahnya." (maksudnya sebelum
diadakan akad nikah harus ditanya lebih dahulu tentang persetujuannya).

2. Macam-macam Wali

Wali nikah ada empat macam, yaitu: wali nasab, wali hakim (sultan), wali tahkim,
dan wali maula.

A. Wali Nasab

Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita
yang akan melangsungkan pernikahan. Tentang urutan wali nasab terdapat
perbedaan pendapat di antara ulama fikih. Imam Malik mengatakan bahwa
perwalian itu didasarkan atas "ashbah, kecuali anak laki-laki dan keluarga terdekat
lebih berhak untuk menjadi wali.

Selanjutnya, ia mengatakan anak laki-laki sampai ke bawah lebih utama,


kemudian ayah sampai ke atas, kemudian saudara- saudara lelaki seayah seibu,
kemudian saudara lelaki seayah saja, kemudian anak lelaki dari saudara-saudara
lelaki seayah saja, kemudian anak lelaki dari saudara lelaki seayah saja, lalu kakek
dari pihak ayah, sampai ke atas.

8
Dalam Al-Mugni terdapat keterangan bahwa kakek lebih utama daripada
saudara lelaki dan anaknya saudara lelaki, karena kakek adalah asal, kemudian
paman-paman dari pihak ayah ber dasarkan urut-urut saudara-saudara lelaki sampai
ke bawah, kemudian bekas tuan (Almaula).

Adapun perpindahan wali aqrab kepada wali ab'ad adalah sebagai berikut.

1. Apabila wali aqrabnya nonmuslim,


2. Apabila wali aqrabnya fasik,
3. Apabila wali aqrabnya belum dewasa,
4. Apabila wali aqrabnya gila;
5. Apabila wali aqrabnya bisu/tuli.

B. Wali Hakim

Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadi, Rasulullah Saw.
bersabda:

"Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang yang tidak ada
walinya." (HR Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Nasa'i).

Orang-orang yang berhak menjadi wali hakim adalah: Pemerintah, Khalifah


(pemimpin), Penguasa atau qadi nikah yang diberi wewenang dari kepala negara
untuk menikahkan wanita yang berwali hakim.

Apabila tidak ada orang-orang di atas, maka wali hakim dapat diangkat oleh
orang-orang yang terkemuka dari daerah tersebut atau orang-orang yang alim.

Wali hakim dibenarkan menjadi wali dari sebuah akad nikah jika dalam
kondisi-kondisi berikut.

1. Tidak ada wali nasab;


2. Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab'ad;
3. Wall aqrab gaib atau pergi dalam perjalanan sejauh 92,5 km atau dua hari
perjalanan:
4. Wali aqrab di penjara dan tidak bisa ditemui,
5. Wali aqrabnya 'adlal,
6. Wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit),
7. Wali aqrabnya sedang ihram,
8. Wali aqrabnya sendiri yang akan menikah, dan
9. Wanita akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa das wali mujbir tidak ada.

Wali hakim tidak berhak menikahkan:

1. Wanita yang belum balig;


2. Kedua belah pihak (calon wanita dan pria) tidak sekutu;

9
3. Tanpa seizin wanita yang akan menikah; dan
4. Wanita yang berada di luar daerah kekuasaannya.

C. Wali Tahkim

Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami dan atau calon istri.
Adapun cara pengangkatnya (cara tahkim adalah: Calon suami mengucapkan tahkin
kepada seseorang dengan kalimat, "Saya angkat bapak/saudara untuk menikahkas
saya dengan si....(calon istri) dengan mahar...dan putusan bapak/saudara saya
terima dengan senang." Setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal yang sama.
Kemudian calon hakim itu menjawab, "Saya terima tahkim ini."

Wali tahkim terjadi apabila:

1. Wali nasab tidak ada;


2. Wali nasab gaib, atau bepergian sejauh dua hari agar perjalanan, serta tidak ada
wakilnya di situ; dan
3. Tidak ada Qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).

D. Wali Maula

Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya. Artinya, majikannya


sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya
bilamana perempuan itu rela menerimanya. Maksud perempuan di sini terutama
adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya.

Diceritakan dari Said bin Khalid, dari Ummu Qais binti Qaridh, ia berkata
kepada Abdur Rahman bin Auf, "Lebih dari seorang yang datang meminang saya.
Oleh karena itu, nikahkanlah saya dengan salah seorang yang engkau sukai.
Kemudian, Abdur Rahman bertanya," Apakah berlaku juga bagi diri saya? "la
menjawab," Ya."Lalu kata Abdur Rahman, "Kalau begitu aku nikahkan diri saya
dengan kamu."

Malik berkata, Andaikata seorang janda berkata kepada walinya.


"Nikahkanlah aku dengan lelaki yang engkau sukai, lalu ia nikahkan dengan
dirinya, atau lelaki lain dipilih oleh perempuan yang bersangkutan, maka sahlah
nikahnya walaupun calon suaminya itu tidak dikenal sebelumnya." Pendapat senada
juga disebutkan oleh Hanafi, Laits, Al-Tsauri, dan Auza'i.

Adapun Imam Syafi'i berkata, "Orang yang menikahkannya haruslah hakim


atau walinya yang lain, baik setingkat dengan dia atau lebih jauh. Sebab, wali
termasuk syarat pernikahan. Jadi pengantin tidak boleh menikahkan dirinya sendiri
sebagaimana Penjual yang tidak boleh membeli barangnya sendiri.

Ibnu Hazm tidak sependapat dengan Imam Syafi'i dan Ab Dawud, ia


mengatakan bahwa kalau masalah ini diqiaskan dengan seorang penjual yang tidak

10
boleh membeli barangnya sendiri adalah suatu pendapat yang tidak benar. Sebab,
jika seorang dikuasakan untuk menjual suatu barang lalu membelinya sendin asal
ia tidak melalaikan, maka hukumnya boleh. la Berhujjah dengan sebuah hadis yang
diriwayatkan dari Anas r.a.:

"Sesungguhnya Rasulullah Saw. telah memerdekakan Sofiyah lalu


dijadikan istri dan pembebasannya dari perbudakan menjadi maharnya serta
mengadakan walimahnya dengan seekor kambing." (HR Bukhari).

Demikianlah tindakan Rasulullah Saw. Beliau menikahkan bekas budak


perempuannya dengan beliau sendiri, sedang beliau merupakan sumber hukum bagi
yang lain.

Selain itu, Allah Swt.berfirman:

"Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang


orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan, jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan karunia-Nya, dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha
Mengetahui." (QS. Al-Nur [24]: 32)

Dengan demikian, Allah tidak melarang mereka yang menikahkan budak


perempuan untuk dirinya sendiri atas dasar suka sama suka dan saling rela di antara
keduanya.

3. Wali Mujbir dan Wali 'Adlal

Orang yang kehilangan kemampuannya, seperti orang gila, perempuan yang


belum mencapai umur mumayyiz, termasuk di dalamnya perempuan yang masih
gadis, perwaliannya boleh dilakukan wali mujbir atas dirinya.

Maksud wali mujbir adalah seorang wali yang berhak menikahkan


perempuan yang diwalikan di antara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat
mereka lebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat rida
atau tidaknya pihak yang berada di bawah perwaliannya.

Agama mengakui wali mujbir itu karena memerhatikan kepentingan orang


yang diwalikan. Sebab, orang tersebut kehilangan kemampuan sehingga ia tidak
dapat memikirkan kemaslahatan sekalipun untuk dirinya sendiri. Di samping itu, ia
belum dapat menggunakan akalnya untuk mengetahui kemaslahatan akad yang
dihadapinya.

Adapun yang dimaksud dengan Jjbår (mujbir) adalah hak seseorang (ayah
ke atas) untuk menikahkan anak gadisnya tanpa persetujuan yang bersangkutan,
dengan syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

11
1. Tidak ada rasa permusuhan antara wali dengan perempuan, yang ia sendiri,
menjadi walinya (calon pengantin wanita);
2. Calon suaminya sekufu dengan calon istri, atau ayah lebih tinggi, dan
3. Calon suami sanggup membayar mahar pada saat dilang. sungkan akad nikah.
Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hak ijbar gugur. Sebenarnya, ijbar
bukan harus diartikan paksaan, tetapi lebih cocok bila diartikan pengarahan.

Wali yang tidak mujbir adalah:


1. Wali selain ayah, kakek dan terus ke atas.
2. Perwaliannya terhadap wanita-wanita yang sudah balig, dan mendapat
persetujuan dari yang bersangkutan.
3. Bila calon pengantin wanitanya janda, izinnya harus jelas baik secara lisan atau
tulisan.
4. Bila calon pengantin wanitanya masih gadis, cukup dengan diam.

Apabila wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah balig yang akan
menikah dengan seorang pria yang kufu', maka dinamakan wali 'adlal. Apabila
terjadi seperti itu, maka perwalian langsung pindah kepada wali hakim.

Bukan kepada wali ab'ad, karena 'adlal adalah zalim, sedangkan yang
menghilangkan sesuatu yang zalim adalah hakim. Akan tetapi, jika 'adlal-nya
sampai tiga kali, berarti dosa besar dan fasik maka perwaliannya pindah ke wali
ab'ad.

Lain halnya kalau 'adlal-nya karena sebab nyata yang dibenarkan oleh
syarak, maka tidak disebut 'adlal, seperti wanita menikah dengan pria yang tidak
kufu', atau menikah maharnya di bawah mitsli, atau wanita dipinang oleh pria lain
yang lebih pantas (kufu') dan peminang pertama.

Ma'qil bin Yasar berkata, "Saya mempunyai saudara perempuan yang


datang meminang saya, kemudian datang pula kepada saya seorang laki-laki
anaknya paman saya. Kemudian, saya nikahkan saudara perempuan tersebut
dengannya. Akan tetapi, keduanya bercerai dengan talak raj'i. Hingga masa idahnya
selesai, ketika datang perempuan itu untuk meminang saya, laki-laki tadi datang
pula meminangnya kembali. Lalu saya menjawab, "Tidak. Demi Allah saya tidak
akan nikahkan dia selama-lamanya." Lalu Ma'qil berkata, "Dalam kejadian seperti
ini maka turunlah ayat:

Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis masa idahnya, Maka


janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal
suaminya. (QS Al-Baqarah [2]: 232)

Maksud bakal suaminya adalah kawin lagi dengan mantan suaminya atau
dengan laki-laki lainnya. Selanjutnya, Ma'qil berkata, "Kemudian saya membayar
kafarat atas sumpah saya, lalu saya nikahkan dia dengannya."

12
2. AL-MUHARRAMAT

A. Pengertian Al-Muharramat

Al-muharramat jama’ dari muhrim, artinya wanita-wanita yang haram


dinikahi oleh seorang laki-laki. Al-muharramat terbagi atas dua golongan :
Muharramat selamanya dan muharramat sementara.

B. Wanita Yang Haram Dinikahi Untuk Selama Lamanya.

Wanita yang haram dinikahi untuk selama- lamanya dapat dibagi menjadi:

1. Haram dinikahi karena hubungan nasab.

a. Ibu. Termasuk dalam pengertian ibu adalah nenek dan terus ke atas, baik
dari pihak bapak maupun dari pihak ibu.
b. Anak perempuan. Termasuk dalam pengertian anak perempuan adalah
cucu perempuan dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan dan terus ke
bawah.
c. Saudara perempuan, baik sebapak dan seibu, maupun sebapak saja atau
seibu saja.
d. Bibi, yaitu saudara perempuan bapak dan ibu, baik sekandung maupun
sebapak atau seibu.
e. Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-
laki atau saudara perempuan dan terus ke bawah.

2. Haram dinikahi karena hubungan sesu- suan.

a. Ibu susuan, yaitu seorang wanita yang pernah menyusui seorang anak.
Ibu tersebut dipandang sebagai ibu kandung, sehingga haram untuk dinikahi.
b. Nenek susuan, yaitu ibu dari yang menyusui, atau ibu dari suami yang
menyusui.
c. Bibi susuan, yaitu saudara perempuan dari ibu susuan atau saudari
perempuan dari suami ibu susuan.
d. Keponakan perempuan, yaitu anak perempuan dari saudara ibu susuan.
e. Saudara perempuan, baik saudara sebapak kandung maupun seibu saja.

Berkenaan dengan hubungan sesusuan ditegaskan pula dalam Sabda


Rasulullah SAW:

"Diharamkan karena ada hubungan sesusuan apa yang diharamkan karena


ada hubungan nasab." (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ahmad Nasai dan Ibnu
Majah)

13
Kemudian timbul pertanyaan, seberapa lama anak itu menyusu, yang
menye- babkan haram menikahi ibu yang me- nyusuinya itu dan lain-lainnya yang
disebutkan di atas (a, b, c, d, e)?

Dalam hadits Rasulullah disebutkan:

Diriwayatkan dari 'Aisyah, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: "Tidak


haram nikah karena sekali atau dua kali susuan. (HR. Jamaah kecuali Bukhari)

Sabda Rasulullah SAW:

Diriwayatkan dari 'Uqbah Ibnu Harits dia berkata: "Saya pernah kawin
dengan Ummu Yahya putri Abi Ihab, lalu datang- lah seorang budak perempuan
hitam seraya mengatakan, kamu berdua dahulu pernah aku susui, lalu saya datang
kepada Nabi menceritakan hal tersebut", kemudian Nabi bersabda: "Bagaimana
lagi, karena sudah terjadi, karena itu ceraikanlah dia" (HR. Bukhari dan Muslim)

Telah sepakat ulama, bahwa susuan yang mengakibathan haram nikah,


adalah susuan yang diberikan pada anak yang masih memperoleh makanan dan air
susu. Kemudian berapa kali susuan yang mengakibatkan haram nikah? Dalam hal
ini para ulama berbeda pendapat:

a. Imam Hanafi dan Maliki berpendapat bahwa tidak ada pembatasan berapa kali
anak itu menyusu, asal anak sudah kenyang, sudah dianggap haram nikah.
b. Imam Syafi'i dan Imam Ahmad me nurut sebagian riwayat: Anak it menyusu
sekenyang-kenyangnya lima kali menyusu dan mengenyangkan.
c. Abu Tsaur, Abu Ubaid, Daud Ibnu An Adz-Dzakini dan Ibnu Mudzakkir ber-
pendapat, bahwa sekenyang-kenyang-nya tiga kali susu yang mengenyangkan
Menurut hemat penulis, sekiranya sudah pernah menyusu kepada seorang wanita,
sebaiknya jangan menikahinya dan nasabnya sebagaimana telah disebutkan di atas
(a, b, c, d, e). Sebab sukar untuk memastikannya berapa kali sudah menyusu, dan
apakah beru benar kenyang atau tidak. Penulis berpegang kepada sikap berhati-hati
dalam masalah hukum

3. Haram dinikahi karena hubungan besan atau pernikahan

Wanita yang haram dinikahi karena hubungan besan adalah:

a. Mertua perempuan dan nenek perem- puan istri, baik dari pihak bapak maupun
ibu.
b. Anak tiri, dengan ketentuan telah bercampur dengan ibu anak tiri itu.
c. Menantu, yaitu istri anak, istri cucu dan terus ke bawah.
d. Ibu tiri, yaitu bekas istri bapak.

4. Haram dinikahi karena sudab dili'an (sudah melaksanakan sumpah li'an).


Allah berfirman:

14
"Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina), padahal mereka tidak
ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu
ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk
orang- orang benar. Dan (sumpah) yang kelima bahwa laknat Allah atasnya, jika
dia termasuk orang-orang yang berdusta Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh
sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar
termasuk orang-orang yang dusta dan (sumpah) yang kelima, bahwa laknat Allah
atasnya, jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar." (an-Nûr': 6-9)

Sumpah bersumpah antara suami-istri disebabkan li'an. Para ulama fikih


berpendapat, bahwa sumpah li'an mengakibatkan suami-istri harus pisah (cerai) dan
tidak boleh nikah lagi buat selama-lamanya.

mengatakan: "Orang yang sedang ikra tidak boleh menikah, tidak boleh me
nikahkan dan tidak boleh (pula) memin (HR. Muslim)

C. Wanita Yang Haram dinikahi Untuk Sementara

1. Memadu dua orang wanita yang ber saudara atau dengan bibinya.
Di samping telah ditegaskan dalam ayat: 23 Surah an-Nisa' di atas, di dalam
hadits pun ditegaskan:

"Sesungguhnya Nabi SAW.: melarang menghimpun (memadu) seorang


wanita dengan bibinya (saudara bapak) dan seorang wanita dengan uaknya (saudara
ibu)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Sabda Rasulullah SAW.:

Diriwayatkan dari Fairuz Dailami bahwa ia masuk Islam dengan kedua


istrinya yang masih bersaudara, Rasulullah pun bersabda kepadanya: "Talakkan
salah seorang dari keduanya yang anda kehendaki." (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu
Majah dan Tirmidzi)

Larangan dalam ayat dan hadits tersebu hanya bersifat sementara. Bila
istrinya meninggal, dia boleh menikah denga saudara istrinya itu. Di Indonesia
terkenal dengan istilah "ganti tikar atau tur ranjang."

2. Wanita yang masih menjadi istri orang lain atau bekas istri orang lain
yang masih dalam masa iddah.

Wanita-wanita yang di talak oleh suaminya hendaknya menunggu tiga kali


quru (Suci atau haid). Hal ini dinyatakan dalam firman Allah:

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali


quru (al-Baqarah: 228)

15
Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan rneninggalkan
istri- istri, (hendaklah para istri itu) menahan dirinya menunggu atau beriddah)
selama empat bulan sepuluh hari." (al-Baqarah: 234)

3. Wanita-wanita yang di talak tiga kali Larangan ini dinyatakan dalam


firman Allah:

"Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka


perempuan itu tidak halal lagi baginya, sehingga dia kawin dengan suami yang
lain..." (al- Baqarah: 230)

4 Wanita yang sedang melakukan ihram. Sabda Rasulullah SAW.:

Diriwayatkan dari Usman bin Affan, ia mengatakan: "Orang yang sedang


ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan dan tidak boleh (pula)
meminag (HR. Muslim)

5. Wanita musyrik

Firman Allah:

“Dan jangan kamu nikahi Wanita Wanita musyrik, sebelum mereka beriman..."
(Baqarah: 221)

6. Wanita kelima sesudah beristri empat orang.

Islam membatasi hanya boleh berist empat orang dan selebihnya diharamkan.

16
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Wali adalah orang yang berhak menikahkan atau memberi izin kepada
seorang wanita untuk menikah. Wali merupakan rukun nikah yang harus ada dalam
pernikahan. Tanpa wali maka pernikahan batal. Namun, Imam Abu Hanifah, Zufar,
Al-Sya'bi, dan Al-Zuhri berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan
akad nikah tanpa wali, sedang calon suaminya sebanding (kufu"). Maka
pernikahannya boleh.

Al-muharramat jama’ dari muhrim, artinya wanita-wanita yang haram


dinikahi oleh seorang laki-laki. Al-muharramat terbagi atas dua golongan yaitu
Muharramat selamanya dan muharramat sementara.
Wanita yang haram dinikahi untuk selama- lamanya dapat dibagi menjadi:
1. Haram dinikahi karena hubungan nasab.
2. Haram dinikahi karena hubungan sesu- suan.
3. Haram dinikahi karena hubungan besan atau pernikahan.
4. Haram dinikahi karena sudab dili'an.
Wanita Yang Haram dinikahi Untuk Sementara
1. Memadu dua orang wanita yang ber saudara atau dengan bibinya
2. Wanita yang masih menjadi istri orang lain atau bekas istri orang lain
yang masih dalam masa iddah.
3. Wanita-wanita yang di talak tiga kali.
4 Wanita yang sedang melakukan ihram.
5. Wanita musyrik.
6. Wanita kelima sesudah beristri empat orang.

17
DAFTAR PUSTAKA

Nurhayati. Ali Imran. 2018. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: Prenadamedia Group.
Tahami. 2009. Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers.
Mardani. 2016. Hukum Keluarga Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Suma, Muhammad Amin. 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Hasan, Ali. 2003. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam. Jakarta: Prenada
Media.

18

Anda mungkin juga menyukai