Anda di halaman 1dari 15

‫حضور الولي‬

(Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Naskah Fikih 2)

Disusun Oleh:

Muhammad Rausyan Fikry (0202191013)

Perbandingan Madzhab 6 A

Dosen Pembimbing:

Ingah Maulana, S.HI., M.H.

JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan penulis kemudahan sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya, tentu
penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Selawat serta
salam semoga terlimpahkan kepada baginda tercinta kita, yaitu Nabi Muhammad saw.
yang kita nanti-nantikan syafaatnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah Swt. atas limpahan nikmat sehat dari-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran sehingga penulis mampu untuk
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas dari mata kuliah Studi Naskah Fikih 2
dengan judul “‫”حضور الولي‬.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, khusunya kepada
Bapak Ingah Maulana, S.HI., M.H. selaku dosen pembimbing mata kuliah Studi Naskah
Fikih 2 yang telah memberikan pengarahan seputar penulisan makalah ini.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini supaya nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian, apabila terdapat banyak kesalahan
pada makalah ini, penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Binjai, 30 Juni 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................ i

DAFTAR ISI ....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang ....................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................. 1
C. Tujuan Penulisan ................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 2

A. Pembahasan Wali dalam Kitab Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh Karya Wahbah


Az-Zuhaili ............................................................................................... 2
B. Pembahasan Wali dalam Kitab Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah Karya
Abdurrahman Al-Juzairiy .................................................................... 8

BAB III PENUTUP .......................................................................................... 11

Kesimpulan ......................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wali adalah salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan daripada pembahasan yang
berkaitan dengan pernikahan. Sebagaimana yang kita ketahui, secara umum wali adalah orang
yang memiliki hak untuk menikahkan seorang anak perempuan dengan lelaki pilihan yang akan
menjadi suaminya. Kemudian, Islam sendiri juga tentu telah menetapkan berbagai prosedur
yang harus dilalui pada saat sepasang kekasih ingin menikah, termasuk di dalamnya
pembahasan tentang kehadiran wali dalam pernikahan. Sebagai seorang muslim yang masih
belum bisa berlepas diri dari yang namanya mazhab, maka perlu bagi kita untuk mengetahui
bagaimana pandangan ulama mazhab termasyhur terkait dengan kehadiran wali dalam
pernikahan. Oleh karena itu, pemakalah akan menguraikan beberapa pandangan ulama mazhab
terkait hal tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep wali yang tertera dalam kitab Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu?
2. Bagaimana konsep wali yang tertera dalam kitab Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui konsep wali yang tertera dalam kitab Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuhu.
2. Untuk mengetahui konsep wali yang tertera dalam kitab Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Wali dalam Kitab Fiqh Al-Islamiy wa Adillatuh Karya Wahbah Az-
Zuhaili

2
3
Kehadiran Wali

Ini merupakan syarat menurut jumhur ulama, selain Hanafiyah. Akad nikah tidak sah,
kecuali dengan kehadiran seorang wali. Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya, "Maka
janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya." (Al-
Baqarah: 232). Imam Syafi'i berkata, "Ini merupakan ayat yang paling jelas menerangkan
tentang pentingnya wali, jika tidak demikian maka tidak ada artinya lagi para wali menghalangi
perkawinan." Juga karena sabda Nabi saw. ‫( اَل نِ اكا اح ا ََِل بِ اولِي‬Tidak ada pernikahan, melainkan
dengan seorang wali).

Hadis tersebut mengandung pengertian bahwa pernikahan tanpa wali, tidak dianggap sah
oleh syariat. Hal itu diperkuat oleh hadis yang diriwayatkan Aisyah:

‫ت بِغاي ِْر اِذْ ِن اولِيِ اها فانِكاا ُح اها بااطِ ٌل فانِكاا ُح اها بااطِ ٌل فانِكاا ُح اها بااطِ ٌل فاا ِْن دا اخ ال بِ اها فالا اها ْال ام ْه ُر بِ اما ا ْست ا اح َل مِ ْن‬
ْ ‫اايُّ اما ا ْم ارأاةٍ نُ ِك اح‬
‫ي لاه‬
َ ‫ي ام ْن اَل او ِل‬ ‫فا ْر ِج اها فاا ِِن ال ْشت ا اج ُروا فاالس ُّْل ا‬
ُّ ‫طا ُن او ِل‬

"Seorang perempuan yang dinikahi tanpa izin walinya, maka pernikahan tersebut batil,
batil, batil. Jika sang suami telah bersenggama dengannya, maka perempuan tersebut berhak

4
mendapatkan mahar karena untuk menghalalkan kemaluannya. Jika terjadi perselisihan, maka
pemimpin adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali."

Hadis yang pertama tidak boleh dipahami bahwa pernikahan tanpa wali itu sekadar
kurang sempurna sebab sabda Nabi saw. harus dipahami sebagai hakikat syariat yang berarti
bahwa tidak ada pernikahan di dalam syariat melainkan dengan seorang wali. Sedangkan dari
hadis yang kedua, tidak dapat dipahami bahwa pernikahan sah hanya dengan izin wali karena
hal itu sudah umum dilakukan. Juga tidak dapat dipahami bahwa pada umumnya perempuan
menikahkan dirinya sendiri tanpa izin walinya.

Hal itu diperkuat oleh hadis yang ketiga, yaitu sabda Nabi saw. yang berbunyi:

‫اَل تُزا َو ُج ْال ام ْرأ اة ُ ْال ام ْرأاة ُ او اَل تُزا ِو ُج ْال ام ْرأاة ُ نا ْف ا‬
‫س اها‬

"Seorang perempuan tidak dapat menikahkan perempuan, juga tidak dapat menikahkan
dirinya sendiri."

Hadis di atas menunjukkan bahwasanya perempuan tidak punya hak wali untuk
menikahkan dirinya dan perempuan lain. Di dalam pernikahan, dia tidak mempunyai hak untuk
mengucapkan kalimat ijab dan qabul. Dia tidak dapat menikahkan dirinya sendiri meski dengan
seizin wali, pun juga tidak dapat menikahkan perempuan lain. Dia tidak dapat menikahkan
perempuan lain secara hak kewalian maupun wakil. Demikian juga dia tidak dapat menikahkan
dirinya sendiri dengan hak kewalian maupun wakil.

Kesimpulannya, jumhur ulama berkata bahwa pernikahan tidak terlaksana dengan


ungkapan dari kalangan perempuan. Jika ada seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri
atau menikahkan orang lain, atau mewakili hak kewalian atas dirinya kepada orang lain untuk
menikahkannya sekalipun dengan seizin walinya, maka pernikahannya tidaklah sah. Itu karena
syarat akad nikah belum terpenuhi, yaitu keberadaan seorang wali.

Sedangkan ulama Hanafiyah berkata, sebagaimana riwayat yang jelas dari Abu Hanifah
dan Abu Yusuf, "Bagi perempuan berakal yang telah baligh boleh menikahkan dirinya sendiri
dan putrinya yang masih kecil. Juga boleh menerima hak wakil dari orang lain. Akan tetapi,
seandainya dia menikahkan dirinya dengan yang tidak selevel dengannya, maka walinya boleh
menolaknya.

Teks perkataan ulama Hanafiyah sebagai berikut, "Pernikahan seorang perempuan


merdeka yang berakal baligh, terlaksana dengan keridhaannya, sekalipun tanpa seorang wali,

5
baik itu gadis maupun janda. Ini menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf dalam riwayat yang
jelas. Hak kewalian itu hanya disunnahkan dan dianjurkan saja.

Dalil mereka dari Al-Qur'an adalah adanya penyandaran nikah kepada perempuan dalam
tiga ayat, yaitu firman Allah Swt. yang artinya, "Kemudian jika si suami menolaknya (sesudah
talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami
yang lain." (Al-Baqarah: 230). Juga firman Allah Swt., "Apabila kamu menolak istri-istrimu
lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi
dengan calon suaminya." (Al-Baqarah: 232). Ayat ini ditujukan kepada para suami, bukan para
wali, sebagaimana dikatakan oleh jumhur ulama. Juga firman Allah Swt. yang berarti, "Maka
tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut." (Al-Baqarah: 234). Ayat-ayat tersebut secara jelas menyatakan bahwa pernikahan
seorang perempuan itu dilakukan oleh dirinya sendiri.

Sedangkan dalil mereka dari sunnah:

ُ ‫الثَيْبُ ا ا اح ُّق بِنا ْف ِس اها مِ ْن او ِليِ اها او ْالبِ ْك ُر ت ُ ْست اأْ ام ُر او اِذْنُ اها‬
‫س ُك ْوت ُ اها‬

"Janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya. Sedangkan gadis ditawari, dan izinnya
adalah diamnya." (HR. Muslim)

Dalam riwayat yang lain dikatakan:

‫ْف اِذْنُ اها؟ قاا ال أ ا ْن تا ْس ُكتا‬


‫هللا او اكي ا‬ ُ ‫اَل ت ُ ْن اك ُح األايَ ُم احتَى ت ُ ْست اأ ْ ام ُر او اَل ت ُ ْن اك ُح ال ِب ْك ُر احتَى ت ُ ْست اأْذانُ قاالُوا ايا ار‬
ِ ‫سو ال‬

"Janda tidak dinikahkan hingga ia ditawari. Dan gadis tidak dinikahkan hingga dimintai
izin. Para sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana ia mengizinkan?' Beliau menjawab,
'dia diam'." (HR. Bukhari Muslim)

Hadis tersebut dengan jelas menyatakan bahwa hak nikah bagi wanita janda diserahkan
kepada dirinya sendiri, pun begitu juga dengan gadis. Akan tetapi, melihat pada umumnya para
wanita itu malu, maka syariat mencukupkan untuk meminta izin padanya yang cukup untuk
menunjukkan keridhaannya. Itu bukan berarti haknya untuk melangsungkan akad dicabut
karena ia mempunyai kapasitas umum dalam hal itu.

Di sana ada pendapat moderat yang dilontarkan oleh salah seorang pakar fikih dalam
kalangan Syafi'iyah yang bernama Abu Tsaur, yakni dalam pernikahan harus ada ridha
perempuan dan walinya sekaligus. Salah seorang dari mereka berdua tidak boleh menerima
pernikahan tanpa persetujuan dan ridha yang lainnya. Kapanpun mereka berdua ridha, maka

6
masing-masing dari mereka boleh melangsungkan akad karena perempuan mempunyai
kapasitas sempurna untuk melakukannya.

7
B. Pembahasan Wali dalam Kitab Fiqh ‘ala Madzahibil Arba’ah karya Abdurrahman
Al-Juzairiy

8
Definisi Wali

Wali dalam nikah adalah orang yang menjadi acuan sahnya akad nikah. Dengan
demikian, akad nikah dinyatakan tidak sah bila tanpa wali. Yang dimaksud dengan wali adalah
bapak atau orang yang mendapat wasiat darinya, kerabat ashabah, orang yang memerdekakan
budak, penguasa, dan pemilik (tuan bagi budaknya).

Mazhab Hanafi mengatakan bahwa kerabat ashabah (keluarga utama) bukan sebagai
syarat, tetapi didahulukan. Jika tidak ada kerabat ashabah, maka perwalian beralih kepada
kerabat yang lain.

Mazhab Maliki menambahkan perwalian juga ditetapkan lantaran asuhan. Dengan


demikian, siapa yang mengasuh seorang perempuan yang kehilangan orang tuanya dan
ditinggal pergi keluarganya, yaitu dengan mengasuhnya selama kurun waktu tertentu, maka dia
memiliki hak perwalian padanya dalam pernikahannya. Namun, perwaliannya ini terikat
dengan dua syarat, yakni:

1. Wanita tersebut tinggal bersamanya selama kurun waktu yang memungkinkan baginya
untuk mendapatkan kasih sayang dan empati darinya menurut kebiasaan yang berlaku.
Dengan demikian, harus ada interaksi yang intensif antara keduanya sebagaimana interaksi
antara anak dengan orang tuanya. Kurun waktu ini tidak mesti terbatas pada jangka waktu
tertentu, seperti empat tahun atau sepuluh tahun, menurut pendapat yang paling shahih.
2. Wanita yang diasuh berasal dari kalangan bawah, bukan dari kalangan terhormat. Yang
dimaksud dari kalangan terhormat dalam hal ini adalah wanita yang memiliki kecantikan
dan harta. Dua hal ini harus ada padanya, bukan salah satu dari keduanya. Jika dia hanya
memiliki harta saja atau kecantikan saja, maka tidak ada perwalian terhadapnya, tetapi
walinya adalah wali hakim (pejabat berwenang). Namun, sebagian dari mereka menganut
pendapat yang menyatakan bahwa perwakilan pengasuh berlaku umum hingga mencakup
wanita terhormat dan wanita dari kalangan bawah. Dengan demikian, masing-masing dari
dua pendapat ini diperkuat dengan landasannya tersendiri.

Apakah jika yang mengasuhnya juga seorang wanita, maka pengasuhnya memiliki hak
perwalian? Pendapat yang shahih menyatakan tidak ada perwalian padanya karena tidak ada
perwalian bagi wanita. Ada yang mengatakan bahwa dia berhak atas perwalian, tetapi dia tidak
boleh melaksanakan akad nikah secara langsung, tetapi diwakilkan kepada seorang laki-laki
yang langsung melaksanakan akad nikah.

9
Demikian pula mazhab Maliki menambahkan terkait perwalian bahwa seorang wali
memiliki kewenangan perwalian yang berlaku umum. Yang dimaksud perwalian umum adalah
perwalian yang menjadi kewenangan setiap muslim dengan pelaksanaan oleh seorang dari
mereka, sebagai fardu kifayah. Jika seorang wanita mewakilkan kepada seorang dari kaum
muslimin untuk secara langsung melaksanakan akad nikahnya, lantas orang itu
melaksanakannya, maka itu sah jika wanita tersebut tidak memiliki bapak atau orang yang
mendapatkan wasiat dari bapaknya, tetapi dengan syarat wanita tersebut dari kalangan bawah,
bukan kalangan terhormat. Inilah makna yang dapat dipahami dari pendapat yang dinukil dari
mazhab Maliki yang menyatakan bahwa wanita dari kalangan bawah tidak dikenai syarat harus
ada wali agar akadnya sah. Yang mereka maksud ini adalah wali khusus. Adapun wali dengan
ketentuan perwalian umum, maka harus ada walinya, yaitu seandainya wanita tersebut
langsung melaksanakan sendiri akad nikahnya, maka akadnya tidak sah. Hal ini kurang
dicermati oleh sebagian kalangan yang menerangkan hadis hingga mereka menukilnya dari
mazhab Maliki tanpa penjelasan yang memadai.

10
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Menurut mazhab Hanafi, wali dalam pernikahan itu tidak wajib ada. Hal ini dikarenakan
seorang wali bukanlah termasuk ke dalam syarat dan rukun pernikahan meskipun di sisi lain
mazhab Hanafi memberikan ketentuan terkait perwalian. Adapun menurut mazhab Maliki,
Syafi’i, dan Hambali, wali dalam pernikahan termasuk syarat dan rukun nikah yang mana bila
tidak adanya wali dalam hal tersebut akan mengakibatkan batal atau tidak sahnya pernikahan.

Dalil yang dipakai oleh mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, yakni surah Al-Baqarah ayat
230, 232, dan 234, hadis dan qiyas. Sedangkan mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali memakail
dalil surah Al-Baqarah ayat 221 dan 232 serta menggunakan beberapa dalil dari hadis Nabi
saw. Adapun terjadinya perbedaan pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh illat hukum,
penafsiran yang berbeda, hadis yang dipakai, dan penilaian terhadap hadis yang digunakan oleh
imam mazhab yang lain.

11
DAFTAR PUSTAKA

Al-Juzairiy, Abdurrahman. Kitab Al-Fiqh ‘ala Al-Madzhib Al-Arba’ah (Jilid 4). Beirut: Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Az-Zuhaili, Wahbah. Kitab Al-Fiqhu Al-Islamiy wa Adillatuhu (Jilid 7). Suriah: Dar Al-Fikr.

12

Anda mungkin juga menyukai