Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ZHIHAR DAN ILA’


Makalah ini dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pembelajaran Fiqih
Keluarga

Dosen Pengampu:

HAMDI ABDUL KARIM, M.Pd.I

Disusun Oleh:

Nevi Nia Agusningtias 1904030007

JURUSAN BIMBINGAN PENYUHAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDIN, ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO LAMPUNG
T.A.1442 H/2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang, penulis panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis
dapat meyelesaikan makalah tentang Makalah “ Zhihar dan Ila’ ”.
Makalah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapat bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu penulis meyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari semua itu, penulis
meyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan
kalimat maupun tata bahasanya.
Oleh karena itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata
penulis berharap semoga makalah tentang Zhihar dan Ila’ ini dapat memberikan
manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Metro, 08 Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 2
C. Tujuan Penulis...................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Zhihar.................................................................................. 3
B. Hukum dan Dasar Hukum Zhihar......................................................... 6
C. Rukun dan Syarat Zhihar...................................................................... 6
D. Pengertian Ila’....................................................................................... 7
E. Hukum Ila’............................................................................................ 8

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan.......................................................................................... 10
B. Saran.................................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan salah satu ibadah yang pasti akan dilewati oleh
setiap orang Islam, dan tujuan utama didalam perkawinan selain sebagai
pelengkap keislaman seseorang didalam ibadah ialah juga agar dapat
membangun keluarga yang sakinah, sehingga membuahkan mawadah
warahmah serta dapat mewariskan keindahan islam kepada keturunannya yang
tak lain agar Islam tetap eksis dan berjaya. Namun disamping itu yang sudah
tak asing lagi bagi kita khususnya kaum muslim bahwa kerap kali didalam
membangun rumah tangga seperti yang dicita-citakan oleh Rasulullah sering
kali menghadapi problematika-problematika hidup, bila ada diantara suami istri
berbuat di luar hak dan kewajibannya maka Islam memberi petunjuk
bagaimana cara mengatasinya dan mengembalikannya kepada hak. Tetapi bila
dalam suatu rumah tangga terjadi krisis yang tidak lagi dapat diatasi, maka
Islam memberikan jalan keluar berupa perceraian. Meskipun perceraiana itu
merupakan perbuatan yang halal, namun Allah sangat membenci perceraian
tersebut.
Ada dua istilah dalam Islam yakni putusnya perkawinan dan terhentinya
perkawinan. Perbedaan konsep antara keduanya juga membuat hukum yang
ada di dalamnya berbeda. Dalam makalah ini, penulis hanya akan membatasi
pembahasan pada istilah terhentinya perkawinan menurut Islan yakni Zhihar,
dan Ila’.

1
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, penulis
merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apakah pengertian Zhihar ?
2. Apakah hukum dan dasar hukum Zhihar ?
3. Apakah rukun dan syarat Zhihar ?
4. Apakah pengertian Ila’ ?
5. Apakah hukum Ila’ ?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian Zhihar.
2. Mengetahui hukum dan dasar hukum Zhihar.
3. Mengetahui rukun dan syarat Zhihar.
4. Mengetahui pengertia Ila’.
5. Mengetahui hukum Ila’.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Zhihar
Zhihar secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang secara arti kata
berarti “punggung”. Penggunaan kata “punggung” dan bukan anggota badan
yang lainnya melainkan hanya karena kata ersebut digunakan untuk suatu yang
dikendarai atau diracak. Dalam hal ini, istri merupakan seseorang yang
dipimpin (yang maknanya secara sama dengan yang diracak) oleh laki-laki
yaitu suaminya. Zhihar berasal dari kata azh-Zahr, artinya tulang belakang.
Maksudnya, ucapan suami kepada istrinya, “bagiku, engkau seperti punggung
ibuku”. Seorang Arab, pada masa kegelapan jahiliyah mungkin akan
mengatakan “Anti ‘alayya ka zhahri ummi”, hal ini disebut zhihar. Setelah kata
itu diucapkan, dengan seketika juga hubungan suami istri itu berakhir seperti
perceraian.1
Secara istilah, al-Mahalli dalam Syarh Minhaj al-Thalibin merumuskan
definisi Zhihar sebagai berikut:
1. Kata: “menyamakan” (tasybih) yang mengandung arti zhihar itu merupakan
tindakan seseorang untuk menyamakan atau menganggap sama, meskipun
yang dianggap sama itu menurut hakikatnya adalah berbeda.
2. Kata : “suami” menjelaskan bahwa yang melakukan penyamaan atau yang
menganggap sama adalah suami terhadap istrinya, bukan yang lain, atau
istri yang menyamakan suaminya, bukan disebut zhihar.
3. Kata “mahramnya” atau orang yang haram dikawininya, mengandung arti
orang kepada siapa istrinya disamakannya adalah orang-orang yang haram
dikawininya. Hal itu mengandung arti bahwa bila suami menyamakan
istrinya dengan orang yang tidak haram dikawininya, seperti saudara
sepupunya atau perempuan lain yang tidak ada hubungan mahram, tidak
disebut zhihar.

1
Dadang jaya, “Zhihar Sebagai Perbuatan Pidana (sebuah kajian pustaka)” at-Tadbir: Media
Hukum dan Pendidikan, Vol. 30 No. 1, 2020, hlm. 40.

3
Dalam sumber lain, zhihar didefinisikan sebagai ucapan laki-laki yang
mengharamkan istrinya bagi dirinya dengan menyerupakan keharamannya
seperti ibunya, saudara perempuannya, atau salah satu mahramnya dan tidak
diikuti talak.2
Secara etimologi Zhihar berasal dari kata zhahr artinya punggung,
(mengatakan kepada istrinya, “engkau seperti punggung ibuku,” maksudnya
istri tersebut itu haram baginya) yang demikian ini jika suami berkata seperti di
atas itu adalah merupakan talak (perceraian), paling hebat terjadi pada masa
Jahiliyah.
Pada kitab Fathul Bari menyatakan bahwa pernyataan punggung bukan
anggota tubuh yang lain, karena punggung adalah sebuah tunggangan, halnya
seorang perempuan yang diserupakan seperti punggung sebab ia menjadi
tunggangan laki-laki. Maksudnya adalah seorang perempuan memiliki laki-laki
tersebut namun tidak bisa melakukan apa yang ia inginkan pada laki-laki
tersebut. Seperti yang disebutkan dalam tafsir al-Misbah bahwa zhihar dalam
Bahasa Arab yaitu zahr yang artinya punggung maka dari itu dalam Fathul Bari
menerangkan hal tentang masud zhihar.3
Zhihar adalah perkataan yang digunakan untuk menyamakan seorang
istri dengan ibunya, peristiwa itu pada masa Jahiliyah bearti talak, apabila
seorang suami mengucapkan kamu seperti punggung ibuku, maka seorang
suami tersebut telah mengharamkan istrinya dikarenakan istri telah disamakan
seperti mahram yang haram untuk dinikahi yaitu diantarannya ibunya, itulah
sebabnya saat seorang suami telah menzihar maka seorang suami tidak boleh
mecampuri istrinyahi hingga suami membayar kaffarat. Setalah membayar
kaffarat zihar tersebut tidak lagi menjadi perbuatan zihar, dan boleh
mencampuri istrinya jika telah membayar salah satu kaffarat yang telah
ditetapkan oleh Allah.
Secara terminologi zhihar adalah perkataan seorang suami kepada
istrinya, “Bagiku engkau seperti punggung ibuku,” para ulama madzhab
2
Ali Yusuf as-Subki, “Alih bahasa oleh Nur Khozin, Fiqh Keluarga”, (AMZAH: Jakarta, 2012),
hal. 306
3
M. Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah” (Jakarta: Lentera Hati, 2002),hal,63.

4
sepakat bahwa, jika seorang suami telah mengatakan ucapan tersebut kepada
istrinya, maka laki-laki itu tidak halal lagi mencampuri istrinya sampai dia
membayar denda/kaffarat.4
Ibnu Qayyim berkata, “hal itu ppada masa Jahiliyah, zihar adalah talak,
namun Islam menghapus hukum itu, karena itu tidak boleh menggunakan
kembali hukum yang sudah dihapus oleh Islam, begitu juga karena pada pada
ayat Alqur’an diterangkan bahwa Aus bin Shamit melakukan zhihar pada
istrinya dengan maksud talak, namun dalam permasalahan zhihar selanjutnya
karena zhihar sudah jelas diharamkan dan tidak boleh dilakukan kembali yang
mana telah disebutkan oleh ketentuan Allah SWT, bahwa ketentuan Allah
SWT merupakan sesuatu yang paling benar dan paling pantas untuk
dipraktikan.
Dari pemaparan pengertian-pengertian di atas tentang zhihar dapat
disumpulkan bahwa zhihar adalah perkataan seorang suami kepada istrinya
dengan berkata “Anti ‘Alayya ka-zhahri ummi,” yang berarti, “bagiku kamu
bagaikan punggung ibuku,” yaitu menyamakan istrinya dengan mahram yang
haram untuk dinikahi seperti ibunya, bentuk penyerupaan seperti ini
diharamkan secara nash Alqur’an sebagaimana disebutkan dalam ayat ini,
“orang-orang yang menzihar istrinya diantara kamu (menganggap istri sebagai
ibunya), padahal ia adalah istri mereka buka ibu mereka. Sedangkan ibu
mereka tiada lain adalah wanita yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya
mereka telah bersungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan yang munkar
dan dusta, maka jika terjadi penyerupaan ini maka dianggap sebagai zhihar dan
diharamkan baginya untuk bersetubuh dengan istri. Sehingga ia membayar
tebusan. Sebagaimana ini menjad kesepakatan para fuqaha.
Maka dari itu zhihar tidak dianjurkan bagi suami untuk melakukan
perbuatan yang munkar lagi dusta tersebut, karena zhihar tersebut dilakukan
suami yang ingin meninggalkan istri namun suami tidak lagi menyukainya.

4
Afif Muhammad, “Fiqih Lima Mazhab” (Jakarta, Lentera, 2007),hal.207.

5
B. Hukum dan Dasar Hukum Zhihar
Hukum zhihar, berdasarkan kesepakatan para ulama, adalah haram.
Dasarnya adalah sebagai berikut:
a) Kebencian dan celaan Allah terhadap orang yang menyamakan istrinya
dengan ibunya, seperti yang terdapat dalam surat al-Mujadilah ayat 2 yang
berbunyi:
“Orang-orang yang menzhihar istrinya di antara kamu, (menganggap
istrinya sebagai ibunya), padahal tiadalah istri mereka itu ibu mereka. Ibu-
ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. Dan
sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu perkataan
mungkar dan dusta, dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi maha
pengampun.
b) Dari segi sangsi dan ancaman Allah dengan memberatkan kaffarat terhadap
pelakunya yang melanggar apa yang dilakukannya itu, seperti yang
tercantum dalam ayat al-Mujadilah ayat 3 yang berbunyi:
“Orang-orang yang menzhihar istri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.
Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan.

C. Rukun dan Syarat Zhihar


Berikut merupakan rukun yang harus terpenuhi oleh sebuah perbuatan
hukum untuk dapat dikatakan sebagai zhihar sehingga dapat diberlakukan
hukum zhihar atasnya, yakni:
a) Suami yang mengucapkan zhihar (Muzhahir)
Adapun syaratnya adalah suami yang telah baligh, berakal, dan
berbuat dengan kehendak dan kesadarannya.
b) Perempuan yang kepadanya diucapkan zhihar oleh suaminya (Muzhahar
minhu).

6
Syaratnya yakni istri yang terikat dalam tali perkawinan dengan laki-
laki yang menzhiharnya. Seorang perempuan disebut istri jika telah
melangsungkan akad nikah.
c) Perempuan yang disamakan dengan istri (muzhahar atau musyabbahbih).
Syarat utama bagai perempuan yang disamakan dengan istri itu adalah
ibu dari suami karena alasan haramnya zhihar itu adalah mengharamkan
istrinya untuk digauli sebagaimana haramnya menggauli perempuan yang
secara hukum haram dikawininya.
d) Ucapan zhihar.

D. Pengertian Ila’
Secara etimologi ila’ berasa dari masdar ‘ala-ya’lo-laan yang artinya
berarti melarang diri dengan menggunakan kata sumpah. Sedangkan secara
istilah ila’ adalah bersumpah untuk tidak mencampuri istrinya lagi dalam
waktu empat bulan atau dengan tidak menyebutkan jangka waktunya.5
Ila’ berarti bersumpah dengan nama Allah untuk tidak mencampuri
istrinya selama empat bulan atau lebih. Jika tidak di iringi dengan sumpah
maka tidak dikatakan dengan ila’. Menurut An-Nakhai jika suami memurkai,
mencelakai dan mengharamkan istrinya atau tidak lagi hidup bersama maka
demikian itu telah termasuk ila’.
Bahkan menurut Ali dalam bukunya Nizham al-Israh fii al-Islam yang
diterjemahkan oleh Nur Khozin dengan judul Fiqh Keluarga menyebutkan
bahwa ila’ adalah sumpahnya seoranng laki-laki untuk idak menyentuh istrinya
secara mutlak atau lebih dari empat bulan dengan maksud untuk menyakiti
istri, menyakiti kehormatan istri dan merendahkan keperempuannya bahkan
hingga berpisah tempat tidur, menaruh kebencian, dan tidak memberinya (istri)
hak-hak sesuai dengan yang disyari’atkan. Ila’ menurut definisi ini, diartikan
lebih mendalam hingga kepada tindakan-tindakan yang menyakiti keadaan
istri.

5
Syaikh Hasan Ayyub, “Fiqih Keluarga”, (Jakarta Timur: Pustaka Alkautsar, 2005),hal.289.

7
E. Hukum Ila’
Apabila seorang suami melakukan fai’ah atau hubungan badan dengan
istrinya maka ia harus membayar kaffarat. Menurut madzhab hanafi hukum ila’
ada dua yakni hukum akhirat dan hukum dunia. Hukum akhirat adalah berdosa
jika suami tidak menebus sumpahnya. Berdasarkan firman Allah SWT
“kemudian jika mereka kembali kepada istrinya maka Allah maha pengampun
lagi maha penyayang”. Sedangkan hukum dunia ada dua yang berkaitan
dengan ila’ yakno hukum pelanggarann dan hukum berbuat baik. Hukum
pelanggaran adalah dilazimkan kafarat. Jika suami bersumpah dengan
menyebut nama Allah atau degan salah satu sifatnya, maka diwajibkan
kepadanya untuk memberi makan sepuluh orang miskin dalam satu hari atau
memberikan pakaian bagi mereka atau membebaskan budak sesuai dengan
tingkat ekonominya.
Sedangkan hukum kebaikan yaitu dengan tidak menyentuh istri yang dia
jadikan sebagai objek sumpah atau tidak mendekati istrinya tersebut. Maka hal
ini membuat jatuhnya talak ba’in dengan tanpa mengadukan kepada qadhi
dengan hanya sekedar lewat masa ila’ dengan tanpa melakukan penebusan.
Jumhur ulama berselisih pendapat dengan madzhab hanafi tentang dua
perkara:
1. Sesungguhnya pembatalan ila’ menurut jumhur fuqaha dilakukan sebelum
dan sesudah berakhirnya masa ila’, sedangkan menurut madzhab hanafi
pembatalan ila’ dilakukan sebelum berakhirnya masa ila’. Oleh karena itu,
jika terjadi pembatalan sebelum berakhirnya masa ila’ maka ila’ menjadi
hilang, dan orang yang membatalkan ila’ ini dikenakan ketentuan membayar
kifarat yamin menurutkesepakatan ulama. Jika tidak terjadi pembatalan
setelah masa ila’, si istri mengadukan kepada qadhi dan qadhi memberi dua
pilihan kepada suami membatalkan ila’ atau menjatuhkan talak. Jika ia tidak
mau membatalkan ila’ maka qadhi menjatuhkan talak untuknya.
2. Sesungguhnya talak menurut pendapat jumhur tidak jatuh hanya sekadar
lewat waktunya. Dia jatuh dengan penjatuhan talak dari suami , atau dari
qadhi jika istri melaporkan perkara ini kepadanya.

8
Jadi, sesungguhnya lewatnya waktu tidak membuat talak jatuh. Hanya
saja perkara ini diajukan kepada hakim.6

6
Wahabah Az-Zuhaili, “Fiqih Islam Wa Adillatuhu”, (Jakarta: Gema Insani, 2011),hal. 479-480.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah
terputusnya perkawinan dan terhentinya perkawinan sangatlah berbeda
sehingga perbedaannya tersebut menyebabkan akibat hukum yang berbeda
pula.
Zhihar terdapat pada kondisi dimana suami tidak boleh menggauli
istrinya karena ia telah menyamakan istrinya dengan ibunya dan ia dapat
meneruskan hubungan suami istri bila si suami telah membayar kaffarah yang
mana bentuk kaffarah zhiharr adalah memerdekakan seorang budak sebelum
melakukan hubungan suami istri atau berpuasa dua bulan berturut-turut, atau
memberi makan 60 orang miskin dengan catatan ia tidak mampu melakukan
yang pertama lalau yang bedua baru bisa yang ketiga.
Ila’ terjadi pada kondisi dimana suami tidak boleh menggauli istrinya
karena ia telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam masa-masa
tertentu, sebelum ia membayar kaffatrah atas sumpahnya itu, namun
perkawinan tetap utuh. Adapun kaffarah ila’ adalah memberi makan sepuluh
orang miskin menurut makan yang wajar yang biasa kamu berikan untuk
keluarga kamu, atau memberikan pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
memerdekakan seorang budak, atau hendaklah kamu berpuas tiga hari dengan
catatan tidak sanggup untuk mengerjakan yang pertama, kedua dan ketiga
dengan tingkatan yang berurutan.

B. Saran
Dengan selesainya makalah ini, penulis berharap agar pembaca dapat
mengambil sedikit hikmah dari kandungan yang ada didalamnya. Setiap karya
pasti indah namun setiap keindahan itu belum tentu yang terbaik. Maka penulis
mohon maaf apabila terdapat kekurangan dalam penulisan ataupun kandungan

10
pokok bahasan. Kritik dan saran akan penulis terima, guna karya yang lebih
baik kedepannya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Dadang jaya. 2020. Zhihar sebagai perbuatan pidana (sebuah kajian pustaka).
At-Tadbir: Media Hukum dan Pendidikan. 30(1): 40.

Sd-Subki, Ali Yususf. 2012. Alih bahasa oleh Nur Khozin, Fiqh Keluarga.
AMZAH: Jakarta.

Shihab, m. Quraish, Tafsiral-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Muhammad, Afif, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta, Lentera, 2007.

Ayyub, Hasan, Fiqih Keluarga, Jakarta, Alkautsar, 2005.

Az-Zuhaih, Wabbah, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jakarta, gema Insani, 2011.

12

Anda mungkin juga menyukai