Anda di halaman 1dari 12

“HUKUM-HUKUM ILA' DAN HUKUM-HUKUM DHIHAR”

Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah kajian kitab fathul qarib

Dosen pengampu:

Ust. Abdul Salam, S.Pd

Disusun oleh:
1. Dewi pujianik
2. Dista sintia
3. Eka rizal praria
4. Frida rahmawati
5. Hidayatul marfuah
6. Ikhda nuru khoiriyah

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AT-TANWIR TALUN SUMBERJO
BOJONEGORO
2020/2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah atas izin Allah swt kami akhirnya mampu menyusun dan menyelesaikan
makalah ini sebagai bentuk tanggung jawab kami sebagai mahasiswa terhadap tugas yang
diberikan oleh dosen mata kuliah “KAJIAN KITAB (FATHUL QARIB)”. Shalawat serta salam
semoga selalu tercurah kepada baginda Rasulullah saw, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh
pengikut beliau hingga akhir zaman. Amin.

Makalah ini berjudul “HUKUM-HUKUM DHIHAR” . kami menyadari bahwa makalah


ini jauh dari kesempurnaan karena terbatasnya ilmu dan pengetahuan yang kami miliki. Oleh
sebab itu, saran dan kritik  yang sifatnya membangun amat saya hargai dan perlukan demi
sempurnanya susunan makalah yang sederhana ini.

Dalam kesempatan ini penulis  juga ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah banyak membantu selama penyusunan makalah ini terutama sekali kepada dosen mata
kuliah Kajian kitab(fathul qarib) ust. Abdul Salam, S. Pd yang telah tulus ikhlas mengajarkan
kami ilmu pengetahuan memberikan bimbingan dan saran-saran.

Terakhir saya penyusun makalah ini berharap, semoga makalah ini bermanfaat bagi
penulis sendiri terutamanya dan bagi pembacanya lainnya. Amin. 

Bojonegoro,06 Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................


KATA PENGANTAR .....................................................................................
DAFTAR ISI ...................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN
1. Latar Belakang .....................................................................................
2. Rumusan Masalah ................................................................................
3. Tujuan penulisan ..................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
A. Syarat-syarat nikah ........................................................................
1. Pengertian dhihar .....................................................................
2. Pengertian kafarat dhihar..........................................................

BAB III PENUTUP


Kesimpulan ..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Salah satu permasalahan yang terjadi di kalangan umat islam adalah ketika seorang suami
menzhihar istrinya dengan mengatakan anti ‘alayya ka zhahri ummi. Yang apabila dilakukan
oleh seorang suami maka suami itu haram menggauli istrinya sebelum ia membayar kafarat. Dan
tata cara pembayaran ini yang di jelaskan dalam surat al-mujadalah ayat 2-4. Dan mengenai
Dhihar ini pemakalah akan berupaya untuk menjelaskannya.

Dalam makalah ini akan menjelaskan mengenai Dhihar. Dan berupaya menjawab mengenai
masalah-masalah yang berhubungan dengan Dhihar yang terdapat di tengah-tengah masyarakat.

B. Rumusan masalah
1. Apa yang di maksud dengan Dhihar
2. Apa yang di maksud khafarat Dhihar
C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Dhihar
2. Untuk mengetahui khafarat Dhihar

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian ila'
Ila’ secara bahasa adalah bentuk kalimat masdar dari fi’il “aala yuli
ila’an” ketika seseorang bersumpah.

Dan secara syara’ adalah sumpah seorang suami yang sah


menjatuhkan talak bahwa ia tidak akan mewathi istrinya pada bagian
vaginanya dengan secara mutlak atau dalam masa lebih dari empat
bulan. Adapun makna ini diambil dari penjelasan mushannif di bawah
ini,

Praktek ila'

Ketika seorang suami bersumpah tidak akan mewathi istrinya secara


mutlak atau dalam waktu tertentu, maksudnya tidak mewathi yang
dibatasi dengan waktu lebih dari empat bulan, maka ia, maksudnya
suami yang bersumpah tersebut adalah orang yang melakukan sumpah
ila’ pada istrinya. Baik ia bersumpah dengan nama Allah Ta’ala atau
dengan salah satu sifat-sifatNya.

Atau ia menggantungkan wathi terhadap istrinya dengan talak atau


memerdekakan budak. Seperti ucapan sang suami, “jika aku
mewathimu, maka engkau tertalak”, atau “maka budakku merdeka”.
Sehingga ketika ia betul-betul mewathi, maka istrinya tertalak dan
budaknya merdeka.

Begitu pula seandainya sang suami berkata, “jika aku mewathimu,


maka aku harus melakukan shalat, puasa, haji, atau memerdekakan
budak karena Allah Swt”. Maka sesungguhnya dia juga melakukan
sumpah ila’.

Konsekwensi Ila’

Wajib memberi tenggang waktu terhadap lelaki yang melakukan sumpah ila’


selama empat bulan, baik lelaki tersebut berstatus merdeka atau budak, di
dalam permasalahan istri yang mampu untuk diwathi jika memang sang istri
meminta hal itu.
Permulaannya waktu tersebut dalam permasalahan wanita yang
masih berstatus istri adalah sejak terjadinya sumpah ila’. Dan di dalam
permasalahan wanita yang tertalak raj’i adalah sejak terjadinya ruju’.

Kemudian, setelah masa tenggang itu habis, maka sang suami yang
melakukan sumpah ila’ disuruh memilih di antara al fai’ah (kembali pada sang
istri) dengan cara ia memasukkan hasyafahnya atau kira-kira ukuran
hasyafah bagi suami yang terpotong hasyafahnya ke dalam vagina istrinya.

Dan membayar kafarat yamin , jika sumpah akan meninggalkan wathi dengan
nama Allah. Atau mentalak istri yang disumpah tidak akan diwathi. Kemudian,
jika sang suami tidak mau melakukan fai’ah dan talak, maka hakim
menjatuhkan satu talak raj’i atas nama sang suami. Sehingga, jika sang
hakim menjatuhkan talak lebih dari satu, maka talak tersebut tidak jatuh.

Jika sang suami hanya tidak mampu fai’ah, maka sang hakim memerintahkan
dia agar menjatuhkan talak.

B. Pengertian dhihar

(Fasal) di dalam menjelaskan hukum-hukum dhihar. Dhihar secara bahasa diambil dari
kata “adh dhahru” (punggung). Dan secara syara’ adalah perkataan suami yang menyerupakan
istrinya yang tidak tertalak ba’in dengan wanita yang tidak halal dinikahi oleh sang suami
tersebut.

Dhihar adalah ucapan seorang laki-laki pada istrinya, “engkau bagiku seperti punggung
ibuku. Ungkapan dhihar tertentu pada kata “adh dhahru (punggung)” bukan perut semisal, karena
sesungguhkan punggung adalah tempat menunggang dan istri adalah tunggangan sang suami.

ِ ‫ك فِي ز َۡو ِجهَا َوت َۡشتَ ِك ٓي إِلَى ٱهَّلل‬


َ ُ‫قَ ۡد َس ِم َع ٱهَّلل ُ قَ ۡو َل ٱلَّتِي تُ ٰ َج ِدل‬

Ialah berhubungan dengan persoalan seorang wanita sebagaimana ia tidak boleh


menggauli ibunya. Menurut adat Jahiliyah kalimat dhihar seperti itu sudah sama dengan
menthalak isteri.
Dhihar adalah menyamakan istri yang halal itu jasadnya terhadap jasad ibunya, dhihar
bukan hanya kepada ibunya saja akan tetapi juga terhadap saudara yang haram di nikahinya:
seperti kakanya, adeknya dan saudaranya yang haram dinikahinya.

Nah, dhihar itu hanya di tujukan hanya pada jasadnya saja, jikalau kepada sifatnya, itu
tidak termaksud dhihar, sebagai contohnya: hadist nabi, laaha anti alaiyya kazhohri ummii,
artinya punggungmu seperti punggung ibuku, jadi dari hadist tersebut sudah merupakan contoh
dari perbuatan dhihar, intinya jika ditujukan kepada jasad itu sudah merupakan dhihar, akan
tetapi jika di tujukan kepada sifat itu tidak dinamakan dhihar contohnya: sifatmu seperti sifat
ibuku.

Ayat Tentang Sebab Turunya Ayat dhihar

ِ َ‫ك فِي ز َۡو ِجهَا َوت َۡشتَ ِك ٓي إِلَى ٱهَّلل ِ َوٱهَّلل ُ يَ ۡس َم ُع ت ََحا ُو َر ُك َم ۚٓا إِ َّن ٱهَّلل َ َس ِمي ۢ ُع ب‬
‫صي ٌر‬ َ ُ‫قَ ۡد َس ِم َع ٱهَّلل ُ قَ ۡو َل ٱلَّتِي تُ ٰ َج ِدل‬

Artinya : Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan
kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar
soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.(Q.S
Al-Mujadilah :1)

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah, telah
menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Tamim ibnu Salamah, dari Urwah, dari Aisyah yang
mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang pendengaran-Nya mencakup semua suara,
sesungguhnya telah datang kepada Nabi Saw. Seorang wanita yang mengajukan gugatan, lalu
wanita itu berbicara kepada Nabi Saw., sedangkan aku berada di salah satu ruangan di dalam
rumah, aku tidak dapat mendengar apa yang dikatakan oleh wanita itu.” Maka Allah Swt.
Menurunkan firman-Nya: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan
gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya. (Al-Mujadilah: 1).[4]

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Kitabut Tauhid-nya
secara ta’liq, dia mengatakan bahwa Al-A’masy telah meriwayatkan dari Tamim ibnu Salamah,
dari Urwah, dari Aisyah, lalu disebutkan hal yang sama. Imam Nasai, Ibnu Majah, Ibnu Abu
Hatim, dan Ibnu Jarir telah mengetengahkan hadis ini melalui berbagai jalur dari Al-A’masy
dengan sanad yang sama.
Menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dari Al-A’masy, dari Tamim ibnu Salamah, dari
Urwah, dari Aisyah, disebutkan bahwa ia pernah berkata, “Mahasuci Tuhan Yang pendengaran-
Nya meliputi segala sesuatu, sesungguhnya aku benar-benar mendengar suara pembicaraan
Khaulah binti Sa’labah, tetapi sebagiannya tidak dapat kudengar, yaitu saat dia mengadukan
perihal suaminya kepada Rasulullah Saw. Dia mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, suamiku telah
makan hartaku dan mengisap masa mudaku, serta kubentangkan perutku untuknya, hingga
manakala usiaku telah menua dan aku tidak dapat beranak lagi, tiba-tiba dia melakukan zihar
terhadapku. Ya Allah, aku mengadu kepada Engkau masalah yang menimpaku ini’.” Siti Aisyah
r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa sebelum Khaulah bangkit pulang, Jibril turun dengan
membawa ayat ini, yaitu: Sungguh, Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan
gugatan kepadamu (Muhammad) tentang suaminya. (Al-Mujadilah: 1)

Sedangkan cerai bid’ah adalah jika seorang suami menceraikan istrinya dalam keadaan
haidh atau dalam keadaan bersih dan telah dicampuri, dan dia tidak mengetahui apakah istrinya
itu hamil atau tidak.[5] Sedangkan cara ketiga adalah bukan cerai sunnah dan bukan cerai bid’ah,
yaitu menceraikan wanita yang masih kecil (belum pernah menjalani haidh), wanita tua yang
sudah mengalami menopouse, dan wanita yang tidak pernah dicampuri. Dan pembahasan
masalah tersebut dan hal-hal yang berkenaan dengannya terdapat.

C. Hukum Dhihar

Ayat Tentang Hukum Dhihar


ٓ
ٌّ rُ‫ور ۚا َوإِ َّن ٱهَّلل َ لَ َعف‬
‫و‬r ٗ r‫ونَ ُمن َك‬rrُ‫دنَهُمۡۚ َوإِنَّهُمۡ لَيَقُول‬rۡ rَ‫ي َول‬rِِٔ‫ٓائِ ِهم َّما ه َُّن أُ َّم ٰهَتِ ِهمۡۖ ِإ ۡن أُ َّم ٰهَتُهُمۡ إِاَّل ٰٱلَّٔـ‬r‫رُونَ ِمن ُكم ِّمن نِّ َس‬r‫ٱلَّ ِذينَ يُ ٰظَ ِه‬
ٗ ‫و ِل َو ُز‬rۡ rَ‫را ِّمنَ ۡٱلق‬r
‫ور‬ٞ ُ‫َغف‬

Artinya : Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai
ibunya, padahal) tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita
yang melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu
perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.
(Q.S Al-Mujadilah: 2)

ۚۡ‫ي َولَ ۡدنَهُم‬rِِٔ‫ٱلَّ ِذينَ يُ ٰظَ ِهرُونَ ِمن ُكم ِّمن نِّ َسٓائِ ِهم َّما ه َُّن أُ َّم ٰهَتِ ِهمۡۖ إِ ۡن أُ َّم ٰهَتُهُمۡ إِاَّل ٰٱلَّٓٔـ‬
Dari ayat tersebut sudah jelas kita tidak boleh menzhihar istri kita terhadap ibu kita,
karena istrimu bukanlah ibumu, karena ibumu hanyalah perempuan yang melahirkanmu, karena
mengibaratkan istri terhadap ibu tidak boleh.

(Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya)
firman ini sebagai sanggahan terhadap sebagian orang-orang kafir yang mengatakan, bahwa dia
memiliki dua hati; yang masing-masingnya mempunyai kesadaran yang lebih utama daripada
kesadaran yang dimiliki oleh Muhammad (dan Dia tidak menjadikan istri-istri kalian yang) lafal
allaa-iy dapat pula dibaca allaa-i (kalian zihari) dapat dibaca tuzhhiruuna dan tuzhaahiruuna
(mereka itu) misalnya seseorang berkata kepada istrinya, “Menurutku kamu bagaikan punggung
ibuku,” (sebagai ibu kalian) yakni mereka diharamkan oleh kalian seperti terhadap ibu kalian
sendiri, hal ini di zaman jahiliah dianggap sebagai talak. dhihar hanya mewajibkan membayar
kifarat dengan persyaratannya yang akan disebutkan di dalam surah Al-Mujadilah (dan Dia tidak
menjadikan anak-anak angkat kalian) lafal ad’iyaa adalah bentuk jamak dari lafal da’iyyun,
artinya adalah anak angkat (sebagai anak kandung kalian sendiri) yakni anak yang sesungguhnya
bagi kalian. (Yang demikian itu hanyalah perkataan kalian di mulut kalian saja.) Sewaktu Nabi
saw. Menikahi Zainab binti Jahsy yang dahulunya adalah bekas istri Zaid bin Haritsah, anak
angkat Nabi saw., orang-orang Yahudi dan munafik mengatakan, “Muhammad telah mengawini
bekas istri anaknya sendiri.” Maka Allah swt. Mendustakan mereka. (Dan Allah mengatakan
yang sebenarnya) (dan Dia menunjukkan jalan) yang benar.

D. Kafarat dhihar

Kafarat dhihar adalah memerdekakan budak mukmin yang beragama islam walaupun sebab
islamnya salah satu dari kedua orang tuanya, yang selamat / bebas dari aib yang bisa
mengganggu / membahayakan pekerjaan dengan gangguan yang begitu jelas Kemudian, jika
orang yang melakukan dhihar tidak menemukan budak yang telah disebutkan, dengan gambaran
ia tidak mampu mendapatkan budak secara kasat mata atau secara tinjauan syara’, maka wajib
melaksanakan puasa dua bulan berturut-turut Yang dibuat acuan menghitung dua bulan tersebut
adalah hitungan tanggal, walaupun masing-masing kurang dari tiga puluh hari. Puasa dua bulan
tersebut disertai dengan niat kafarat di malam hari. ْ

Ayat Tentang Kafarat dhihar


ۡ‫ير فَ َمن لَّم‬rٞ rِ‫ونَ خَ ب‬rrُ‫وا فَت َۡح ِري ُر َرقَبَ ٖة ِّمن قَ ۡب ِل أَن يَتَ َمٓاس َّۚا ٰ َذلِ ُكمۡ تُو َعظُونَ بِ ِۚۦه َوٱهَّلل ُ بِ َما ت َۡع َمل‬ ْ ُ‫َوٱلَّ ِذينَ يُ ٰظَ ِهرُونَ ِمن نِّ َسٓائِ ِهمۡ ثُ َّم يَعُو ُدونَ لِ َما قَال‬
ْ rُ‫كَ لِتُ ۡؤ ِمن‬rrِ‫ ِك ٗين ۚا ٰ َذل‬r‫تِّينَ ِم ۡس‬r‫صيَا ُم َش ۡه َر ۡي ِن ُمتَتَابِ َع ۡي ِن ِمن قَ ۡب ِل أَن يَتَ َمٓاس َّۖا فَ َمن لَّمۡ يَ ۡستَ ِط ۡع فَإ ِ ۡط َعا ُم ِس‬
ِ ۗ ‫ دُو ُد ٱهَّلل‬r‫ كَ ُح‬r‫ولِ ِۚۦه َوتِ ۡل‬r‫وا بِٱهَّلل ِ َو َر ُس‬r ِ َ‫يَ ِج ۡد ف‬
‫َولِ ۡل ٰ َكفِ ِرينَ َع َذابٌ أَلِي ٌم‬

Artinya : Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali
apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua
suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib
atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak
kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada
siksaan yang sangat pedih. (Q.S Al-Mujadilah :3-4)

‫فَت َۡح ِري ُر َرقَبَ ٖة ِّمن قَ ۡب ِل أَن يَتَ َمٓاس َّۚا ٰ َذلِ ُكمۡ تُو َعظُونَ بِ ۚ ِهۦ‬

‫صيَا ُم َش ۡه َر ۡي ِن ُمتَتَابِ َع ۡي ِن ِمن قَ ۡب ِل أَن يَتَ َمٓاس َّۖا فَ َمن لَّمۡ يَ ۡستَ ِط ۡع فَإ ِ ۡط َعا ُم ِستِّينَ ِم ۡس ِك ٗين ۚا‬
ِ َ‫فَ َمن لَّمۡ يَ ِج ۡد ف‬

Artinya : Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua
bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah
atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin.

Dari ayat di atas sudah jelas kaffarat bagi suami yang menzhihar seorang istri yaitu
memmerdekakan hamba sahaya, dan puasa 2 bulan berturut-turut, dan memberikan makan anak
yatim sebanyak 60 orang atau orang miskin.inilah hukuman bagi orang yang menzhihar istri, jadi
barang siapa yang ingkar terhadap hukuman tersebut, maka tunggulah azab allah yang sangat
pedih.

Adapun mereka yang pada mulanya menjatuhkan sumpah dhihar tetapi kemudian
menengok kembali ucapannya itu, menyadari kesalahannya dan menginginkan agar hubungan
suami istri tetap berlanjut, mereka harus memerdekakan seorang hamba sahaya sebelum kembali
berhubungan dengan istri. Memerdekakan hamba sahaya yang telah diwajibkan Allah itu
merupakan pelajaran bagi kalian agar tidak kembali kepada perbuatan semula. Allah mengetahui
semua yang kalian perbuat.

Sedangkan bagi orang yang tidak menemukan seorang hamba sahaya, maka ia harus
melakukan puasa dua bulan berturut-turut sebelum melakukan hubungan suami istri. Jika tidak
mampu juga, maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin. Hal itu Kami syariatkan
agar kalian beriman kepada Allah dan rasul-Nya, kemudian berbuat atas dasar keimanan itu. Itu
semua adalah aturan Allah, maka jangan kalian langgar! Orang-orang kafir akan mendapatkan
siksa yang sangat menyakitkan.

BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan

Dari keterangan dapat kita simpulkan bahwa dzhihar tidak secara langsung berakibat cerai,
melainkan dhihar merupakan prolog dari perceraian. Dzhihar merupakan suatu perkataan dari
seorang suami kepada istrinya dengan mengatakan bahwa istrinya tersebut sama dengan
punggung ibunya, dengan maksud suami untuk mengharamkan istrinya yang sama halnya haram
ibunya atas dirinya untuk digauli. Hal ini disebabkan oleh karena suami tidak berani untuk
mengatakan ucapan talak kepada istrinya,

Dalam permasalah dzhihar ini, ada beberapa syarat atau kaffarat yang yang harus dipenuhi
oleh seorang suami jika ingin menarik ucapan dan hendak menggauli istrinya kembali, dengan
kaffarat seperti yang telah dijelaskan diatas.
DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Bahrun. Terjemahan Tafsir Al Maraghy. Semarang: Toha Putra, 1986

Ali, Muhammad. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam. Surabaya: PT Bina Ilmu, 2008

Ar- rifa’I. Terjemahan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani, 2000

Arsal. Tafsir Ayat Hukum Tentang Hukum Perdata Bukittinggi: STAIN Press, 2007

Katsir, Ibnu. Terj Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani, 1999

Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah. Bandung: PT Al-Ma’arif, 1981

Anda mungkin juga menyukai