Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

NAHI / LARANGAN
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Makalah
Pada Mata Kuliah Ushul Fiqh

Disusun Oleh:

1. Khanip
2. M. Fuad Hasyim Muzzaki
3. Safadi Ahmad

Dosen Pengampu:
Rohmad Muzakki, M.Pd

INSTITUT AGAMA ISLAM FAQIH ASY’ARI (IAIFA) KEDIRI


2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum. Wr. Wb

Dengan mengucap Alhamdulillah Puji Syukur kehadirat Allah SWT, yang senantiasa selalu
melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua. Sholawat serta salam atas
junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta sahabat, kerabat dan orang-orang yang mengikuti
langkah beliau hingga akhir zaman.Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Dalalah Lafadz Nahi (Larangan).”
Kami selaku penyusun makalah memohon maaf apabila makalah ini terdapat banyak
kekurangan atau kesalahan baik dari segi penulisan ataupun penyusunannya sehingga membuat
makalah ini kurang sempurna. Oleh karena itu, kami menerima segala kritik dan saran yang
membangun untuk perbaikan makalahkami. Demikian, semoga bermanfaat.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb

Kediri, 19 Mei 2023


Penulis
DAFTAR ISI

Cover

Kata pengantar ...................................................................................................

Daftar Isi .............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .........................................................................................


B. Rumusan Masalah ....................................................................................
C. Tujuan ......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian lafadz nahi ........................................................................


B. Perbedaan ulama hanafiyah dan syafi’iyah terhadap petunjuk lafadznahi
.....................................................................................................
C. Perbedaan ulama hanafiyah dan syafi’iyah terkait kaidah-kaidah denganlafadz nahi
...........................................................................................
BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ..............................................................................................
B. Saran .........................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ilmu ushul fiqh merupakan ilmu yang digunakan sebagai metodologi dalam menggali
hukum-hukum yang terdapat dalam Al-Qur`an dan sunnah begitu juga dengan penetapan hukum
yang secara eksplisit tidakdiatur dalam Al-Qur`an dan sunnah tersebut.
Dalam menggali hukum perlunya keterampilan yang dimiliki oleh mujtahid baik itu
keterampilan secara kebahasaan maupun keterampilan dalam menggali hukum sedalam-dalamnya.
Salah satu hal yang harus dikuasai dalam menetapkan hukum Islam adalah dengan memahami
secaramendalam susunan bahasa yang terdapat dalam teks-teks keagamaan tersebut.
Dalam ilmu ushul fiqh terdapat materi khusus yang berbicara mengenai dalalah lafaz
tersebut. Salah satu materi yang penting untuk dipahami adalah lafaz yang berkaitan dengan
larangan (nahi). Karena banyaknya bentuk kata berupa larangan di dalam teks-teks keagamaan
tersebut. Maka terdapatlah materi khusus yang membahas segala hal yang berkaitan dengan bentuk
nahi ini. Sehingga nantinya ketika menggali hukum Islam pemahaman terhadap petunjuk nahi ini
sangat memberikan dampak yang signifikan terhadap penetapan hukum Islam tersbut.
Melalui tulisan ini penulis akan mencoba beberapa hal yang berkaitan dengan bentuk kata
nahi. Sehingga nantinya kita dapat memahami secara seksama apa saja materi ushul fiqh ini yang
berkaitan dengan nahi dan juga dapat memberikan kita kemampuan dalam memahami kata yang
berbentuk larangan yang terdapat dalam Al-Qur`anmaupun sunnah.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Jelaskan pengertian lafadz nahi?
2. Jelaskan perbedaan ulama hanafiyah dan syafi’iyah terhadap petunjuk lafadz nahi ?
3. Jelaskan perbedaan ulama hanafiyah dan syafi’iyah terkait kaidah-kaidah dengan lafadz nahi?

C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian lafadz nahi
2. Mengetahui perbedaan ulama hanafiyah dan syafi’iyah terhadap petunjuk lafadz nahi
3. Mengetahui perbedaan ulama hanafiyah dan syafi’iyah terkait kaidah- kaidah dengan lafadz
nahi
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN LAFADZ NAHI


Nahi adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan dengan cara penguasaan dan bentuknya :
“jangan lakukan!” dan sebagainya. Pengertian yang senada diekemukakan oleh Abu Zahrah bahwa
nahi adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan (larangan). Sebagaimana amar, nahi juga
merupakan suatu tuntutan (meninggalkan)yang harus.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk meninggalkan
sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang
datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba- Nya. Sehingga
apabila lafaz yang khas dalam nash syar`i datang dalam bentuk larangan, atau dengan bentuk khabar
yang bermakna larangan, maka ia menunjukkan pengharaman, artinya menghendaki meninggalkan
terhadap yang dilarang itu secara tetap dan pasti.
Sebagai contoh yang dapat dikemukakan adalah firman Allah dalamsurat Al-Baqarah ayat 221 :
‫ََل ت َن َكو وحا ا َل َكا رتحتَ َى يَ َؤَم ن‬
‫َمش‬
Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanitamusyrik, sebelum merek beriman.
.......................................................................................... ”

Firman tersebut menunjukkan pengharaman terhadap menikahi wanita musyrik, sebab menurut
pendapat yang rajih bentuk larangan ditetapkan menurut bahasa untuk menunjukkan pengharaman.
Makapengharaman itulah yang diambil dari bentuk larangan dalam keadaan mutlak tersebut.
Selanjutnya apabila ada qarinah yang menunjukkan pemalingan dari makna yang hakiki kepada
makna majazi, maka apa yang ditunjuki oleh indikator tersebutlah yang dipahami. Sebagaimana
pengertian doa pada firman Allah :
‫برَ َنَا َلغقَ لَ وبَنَا بَ َعَدإَ َذهَ َدَتيَ نَا‬
‫تَ ز‬
Artinya “Mereka berdoa : Ya tuhan Kami, janganlah engkau jadikan kami condong kepada
kesesatan sesudah engkau beri petunjuk kepada kami. ”

Dengan demikian bentuk larangan tersebut bukanlah sesuatu yang mesti ditinggalkan. Karena
doa tersebut merupakan permintaan hamba kepada tuhannya.
Dalam konteks kajian ushul fiqh, larangan (nahi) bersumber dari Syari` kepada manusia
sebagao hamba-Nya. Dalam hal ini Allah adalah pihak yang tinggi dan yang menuntut agar larangan
tersebut dipatuhi. Sedangkan manusia sebagai mukallaf adalah pihak yang rendah dan
meninggalkan perbuatan yang dilarang.
Nahi dapat digunakan dalam berbagai bentuk lafaz, di antaranya :
1. Dengan menggunakan lafaz nahi itu sendiri.
‫يوَ َنهَ ى عن ا َلفَ حشا َءوا َل َمَن َكر وا َل ب َغي‬
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran, dan permusushan”
2. Dengan menggunakan shigat la taf`al, yaitu fi`il mudhari` yang
diawali dengan laa nahiyah.
‫وََلتَ َق َبروا ال نزَا إنَ َهَ كا نفَاحشةَ وسا َءسبَي َل‬
“Dan janganlah kamu mendekati perbuatan zina, sesungguhnya itu adalah perbuatan keji
dan sebururk-burukjalan”
3. Dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan tidak halal, melalui
penggunaan lafaz laa yaillu (tidak halal). ‫َك َم أ َن ت‬
‫اسَرها‬ ‫ح لَ ل ثرَوا‬ ‫َلي‬
‫ك‬ ‫النََ َء‬
“Tidak halal bagimu mewarisi para wanita dengancara paksa”
4. Dengan menjelaskan bahwa perbuatan adalah haram.
‫حرَمت علَ َي َكَما َل َمَتيَةَ وال ََدَمولَ حَمالَخ َنزير‬
“Diharamkan atas kamu bangkai, dan darah dandaging babi”
5. Dengan memerintahkan untuk meninggalkan perbuatan yang
dilarang.
‫يَا أَ ََيهَا الَ َ َيذ نآ َ َنموا ََاتقوا ََللَ و َذ روا ما بقَ ي م نال برَا إَ َنك َتنَ َمم َؤَمين ن‬
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”
6. .Dengan menjelaskan ancaman bagi pelaku perbuatan yangdilarang.
‫َإنَ َ َام ج از َءالَ َ َيذ نيَ اح برو نََللَ و رسولَهَ ويَس َعَو نفَ ي ا ََلَ َرض فَسا َ اد أَ َنيَ قَتَ َلَ وا‬

‫أَ َو‬
‫َقطََ عأَ َي َيد َهموأَ َرج َلهَ َمم َنخ َلف أَ َويَ َنفَ َاو م نا ََلَ َرض‬
‫يَ ص ََلبوا أَ َو ت‬
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya
dan membuat kerusakan di muka bumi, adalah mereka dibunuh, atau dipotong tangan dan kaki
mereka dengan menyilang, atau dibuang dari negeri (tempat kediaman)
7. Dengan menjelaskan perbuatan yang dilarang adalah bentuk buruk.

‫خَ َيد ن ه‬
‫ك َم‬ ‫ال‬ ‫وا َل رَيك نفَي هجَن‬ ‫إَ نالَ َ َيذ ن َروا َن هلا َل‬
‫فَيهَا‬ ‫نَار ََ م‬ ‫كف أ م َتكَا َمش ب‬
َ‫أَ ولَئ‬
‫شرا َلبَريَ َ َة‬
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yakni para ahli kitab dan orang-orang yang
musyrik (Akan) berada di neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah
seburuk-buruk makhluk”.
Dalam Al-Qur`an, nahi yang menggunakan kata larang itu mengandung beberapa
maksud :
1. Untuk hukum haram
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Isra` ayat 33 :
َ‫َوا النَ َ َفس ا ََلتَ ي ح رَمََلل‬
‫وََلتَ َتق َ ل‬
Artinya : “Janganlah kamu membunuh jiwa yangdiharamkan Allah (membunuhnya)”
2. Untuk makruh
Sebagaimana sabda Nabi dalam hadis :
Artinya : “di antara kamu sekalian jangan memegang kemaluannyadengan tangan kanan ketika
buang air kecil”
3. Untuk mendidik
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 101:
‫َلتَسأ ََلوا ع َنأَشيَا َءإَ َنتَ َب َدلَ َكمتَس َؤ َكم‬
Artinya : “janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya
menyusahkan kamu”.
4. Untuk doa
Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 8 :

Artinya : “ya.... Tuhan kami janganlah engkau ‫ََبنرَا َلتَ زغ قَ لَ وبَ نَا بَ َعَدإَ َذهَ َدَيتَ نَا‬
jadikan hati kami condong kepada kesesatan setelah engkaumemberi petunjuk kepada kami.
5. Untuk merendahkan
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hijr ayat 88 :
‫َلتَ َمََد نع َينَ َيك إَلَ ى ما متَ َ َ نعَا بَه‬
Artinya :”Janganlah sekali-kali kamu menunjukkan pandanganmu kepada kenikmatan
hidup yang telah kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang kafir).
6. Untuk penjelasan akibat
Sebagaimana firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 42 :
‫وََلتَ حسبَ نََللَ غافَ َلع ََام يَ َعَمل الظََالَ َمو ن‬
Artinya : “janganlah sekali-sekali kamu Muhammad mengira bahwa Allah lalai dari apa
yang diperbuat oleh orang-orang yang zhalim”.
7. Untuk keputusan
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Tahrim ayat 7 :
‫َلتَ َ تعَ َذ روا ا َليَ َوَم إنَ َ َام تَ جزَو نما ك َنتَ َمتَ َعَلمَ و ن‬
Artinya : “hai orang-orang kafir, janganlah kamumengemukakan uzur pada hari ini”.

B. PERBEDAAN ULAMA HANAFIYAH DAN SYAFIIYAH TERHADAP PETUNJUK


LAFADZ NAHI
Memang dalam Al-Qur`an terdapat beberapa kemungkinan maksud dari larangan. Untuk apa
sebenarnya (hakikat) nahi itu dalam pengertian bahasa? Hal ini menjadi perbincangan di kalangan
ulama. Pembicaraan dan pendapat yang berkembang dalam hal ini sama dengan pendapat yang
berkembang dalam membicarakan hakikat amar:
1. Jumhur ulama yang berpendapat bahwa amar itu menurut hakikat asalnya adalah untuk wujud,
berpendapat bahwa hakikat asal nahi itu adalah haram, yang demikian ini jika tidak ada indikator
yang menunjukkan pada hukum yang lain dan ia baru bisa menjadi bukan haram bila ada dalil yang
menunjukkannya. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Asy-Syafi`i bahwa
sesungguhnya segala sesuatu yang dilarang adalah diharamkan sampai datangnya petunjuk untuk
menunjukkanselain dari haram tersebut. Dalam hal ini jumhur mengemukakansebuah kaidah :
‫الصل في النهي للتحريم‬

2. Ulama Mu`tazilah yang berpendapat bahwa hakikat amar adalah untuk sunah,
berpendapat bahwa nahi itu menimbulkan hukum makruh. Berlakunya untuk haram tidak diambil
dari larangan itu sendiri, tetapi karena ada dalil lain yangmemberi petunjukk
3. Ulama yang berpendapat
bahwa lafaz amar itu pengertiannya musytarak, berpendapat bahwa nahi itu adalah
musytarak (pengertian ganda) antara beberapa maksud tersebut di atas.
Terkait dengan nahi wa Al-Fasad, sebagai kebalikan dari kata shahihah, ialah suatu pekerjaan
yang tidak membawa manfaat dan hasil. Dalam pengertian ini fasad berarti rusak (tidak sah).
Menurut syari`at, suatu pekerjaan atau suatu yang dikerjakan. Berkaitan dengan pembahasannahi ada
perbedaan dalam ha apakah sesuatu ditunjuk nahi itu fasad atau tidak. Jumhur ulama mneyatakan
bahwa nahi itu menunjuk pada fasad. Namun demikian, ulama berbeda pendapat dalam hal apakah
fasad tersebut dari sisi lughah, syara` atau makna illat. Berikut beberapa pendapat ulama berkaitan
dengan hal tersebut :
1. Nahi menunjukkan fasad dari segi bahasanya baik dalam ibadahn ataupun muamalah. Dengan
beralasan bahwa nahi itu digunakankarena mengandung fasad.
2. Nahi menunjukkan fasad dari segi syara` baik dalam bidang ibadah maupun muamalah, karena
jikalau ditinjau dari segi lughah menunjukkan pada larangan terhadap mengerjakan sesuatu yang
mengandung fasad yang hal ini hanya diketahui syara`.
3. Nahi menunjukkan fasad dari segi makna, baik dari segi ibadah maupun muamalah, karena suatu
yang dilarang mengerjakannya dikarenakan mempunyai kandungan fasad sehingga illatnya lah yang
menunjukkan kefasadanya.
4. Nahi menunjukkan fasad dalam bidang ibadah karena berkaitan dengan
masalah ukhrawi, yang hal ini kemudian tampak pada perolehan pahala bagi yang meninggalkan
dan mendapatkan siksa bagi yang mengerjakannya, tapi tidak menunjukkan fasad dalam masalah
muamalah, karena hal ini hanya mengatur masalah duniawi yang tidak mengandung pahala dan dosa
dalamhal pelaksanaan atau tidaknya.
5. Nahi menunjukkan fasad dalam bidang ibadah secara mutlak, sedang dalam masalah muamalah
yang berhubungan dengan keharaman misalnya barang yang dijual, misalnya menjual darah, tapi
apabila tidak berhubungan dengan hal yang diharamkan menjualnya.

C. PERBEDAAN ULAMA HANAFIYAH DAN SYAFIIYAH TERKAIT KAIDAH-KAIDAH


DENGAN LAFADZ NAHI
Dalam hal ini penulis akan mengemukakan beberapa perbedaan ulama terkait dengan kaidah-
kaidah nahi. Diantaranya :
1. Tuntutan lafaz nahi untuk selamanya
Perbedaan pendapat ulama tentang masa berlakunya tunjukan makna nahi berkaitan erat dengan
ketentuan masa berlaku tuntutan amar. Mereka yang berpendapat tuntutan mengerjakan amar secara
berulang-ulang maka berpendapat tuntutan meninggalkan nahi juga berulang-ulang. Demikian juga
sebaliknya. Akan tetapi jumhur ulama berpendapat, tuntutan nahi untuk selamanya, kecuali terdapat
dalil yang menunjukkansebaliknya. Oleh karena itu dirumuskan kaidah yang berbunyi :
Syarifuddin di dalam bukunya ‫اَلصل في النهي للتأبيد مالم يدل دليل علي خلفه‬
Lebih jelas Amir

menyebutkan :

(1) Ulama yang berpendapat bahwa amar tidak menunjukkan perintah mengerjakan untuk selamanya,
berpendapat bahwa larangan juga tidak menunjukkan berlakunya larangan itu untuk sepanjang
masa. Tuntutan berlakunya sepanjang masa tidak muncul dari lafaz itu sendiri, tetapi dari dalil lain
yang menyertainya.
(2) Ulama yang berpendapat bahwa amar menuntut perintah mengerjakan untuk selamanya,
berpendapat bahwa nahi juga menuntut larangan sepanjang masa, namun dapat menerima
pembatasan waktu jika ada dalilnya. Menurut Abu Zahrah sebagaimana ulama berpendapat, nahi
menunjukkan berlakunya larangan tersebut selama-lamanya, meskipun dapat dibatasi oleh waktu.
Karena nahi adalah menunjukkan larangan sejak mulai diungkapkannya. Oleh karena itu. Jika
sewaktu- waktu larangan tersebut dilanggar, maka berarti menentang shigat nahi.. selama sighat
nahi bersifat mutlak, dan tidak ada nash, maka sighat nahi tersebut berlaku sepanjang masa.
2. Tuntutan lafaz nahi atas kesegeraan berbuat
Pembicaraan di kalangan ulama yang berhubungan dnegan tuntutan amar atas kesegeraan
berbuat berlaku pada nahi, apakah nahi itu menghendaki kesegeraan meninggalkan larangan atau
boleh ditangguhkan.
(1) Ulama yang berpendapat bahwa amar tidak menunjukkan kesegeraan untuk dilakukan, berpendapat
bahwa nahi juga tidak menghendaki kesegeraan untuk ditinggalkan. Adanya kesegeraan tidak datang
dari lafaz itu sendiri tetapi dari dalillain yang menjelaskannya.
(2) Ulama yang berpendapat bahwa amar itu menuntut kesegeraan untuk dilakukan, berpendapat
bahwa nahi juga menuntut kesegeraan untuk meninggalkan apa yang dilarang.
(3) Ulama yang bersikap tawaqquf dalam amar, demikian juga pendapatnya tentang nahi. Menurutnya,
antara amar dannahiterdapat kesamaan, yaitu sama-sama berupa tuntutan.
3. Nahi atas beberapa pilihan larangan
Bila amar kadang ditujukan atas suatu dari beberapa pilihan,nahi pun kadang ditujukan terhadap
sesuatu dari beberapa pilihan. Apakah nahi itu hanya ditujukan untuk salah satu dari beberapa
pilihan (alternatif) itu atau berlaku untuk semuanya? Dalam, hal ini terdapat perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Umpamanya seseorang berkata. “jangan kau dekati si Amat atau si Amit.” Yang
tidak boleh di dekati dalam contoh di atas, apakah keduanya atau hanya salah seorang di antara si
Amat atausi Amit.
(1) Jumhur ulama berpendapat bahwa larangan hanya berlaku untuk salah satu dari beberapa larangan
pilihan.
Mereka mengemukakan argumen sebagai berikut :
Firman Allah dalam surat Al-Insan ayat 24 :
‫وََلتَ ط عم َنهَ َمآ ث َام أَ َوكفَو ار‬
“janganlah kamu ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka”
Meskipun larangan dalam ayat tersebut dinyatakan secara pilihan dengan menggunakan kata
penghubung “atau”, namun ayat itu berarti tidak boleh mematuhi mereka yang berdosa dan juga
tidak boleh yang kufur.
Dalam menjauhi kedua hal yang dilarang itu terdapat tindakan yang kebih hati-hati sehingga
sama sekali terhindardari dosa.
(2) Golongan Mu`tazilah berpendapat bahwa nahi tersebut menghendaki meninggalkan keseluruhan
yang dilarang. Pendapat ini diikuti juga oleh Al-Jurjani.
4. Hubungan timbal balik antara amar dan nahi
Perbuatan yang diperintahkan senantiasa memiliki lawan yang keberadaannya saling
bertentangan, sehingga tidak mungkin untuk dikompromikan bersama salah satu dari keduanya.
Begitu pula perbuatan yang dilarang, ia memiliki lawan yang mana meninggalkannya tidak dapat
terbukti tanpa melakukan salah satu di antara lawan-lawan tersebut.
Apabila seseorang berkata kepada yang lain : Berdirilah !, berarti ia menuntut orang tersebut
untuk berdiri. Sedangkan berdiri itu memiliki lawan kata seperti duduk dan tidur. Jika ia berkata :
Jangan makan!, di sini makan, sebagai tuntutan yang harus ditinggalkan memiliki lawan seperti
tidur dan lain-lain.
Sudah jelas pada waktu menunaikan sesuatu tuntutan harus meninggalkan semua lawan-
lawannya, jika tidak maka dikatakan ada sudah menunaikan dan. Dan meninggalkan sesuatu yang
dilarang harus melakukan salah satu dari lawan-lawan itu. Perkiraan ini adalah jelas yang tidak
membutuhkan alasan.
a. Segolongan ulama, di antaranya ulama Hanbali, berpendapat bahwa bila ia datang larangan
mengerjakan satu perbuatan dan ia hanya mempunyai satu lawan kata, berarti disuruh melakukan
lawan kata itu dari segi artinya. Umpamanya, dilarang untuk bergerak berarti disuruh untuk diam.
Bila lawan kata dari yang dilarang itu banyak berarti disuruh melakukan salah satu dari lawan
katanya. Umpamanya, dilarang berdiri berarti disuruh duduk atau perbuatan lain yang berlawanan
dengan berdiri.
Mereka mengemukakan alasan bahwa bila dilarang melakukan suatu perbuatan berarti wajib
meninggalkannya dan tidak mungkin meninggalkannya kecuali dengan cara melakukan salah satu
di antara lawan-lawan kata tersebut. Dengan demikian, larangan berbuat sesuatu mengandung arti
untuk meninggalkan salah satu di antara lawannya. Hal itu berarti kewajiban melakukan lawan kata
yang tersebut.
b. Kebanyakan ulama, di antaranya Imam Haramain, Al- Ghazali, An-Nawawi, Al-Jujaini dan lainnya
berpendapat bahwa amar-nafsi (tentang suatu yang tertentu), baik hukumnya wajib atau nadb
bukanlah berarti larangan itu menghasilkan hukum haram atau karahah; baik lawan kata itu satu
atau lebih dari satu. Alasan ulama ini adalah sebagaiberikut :
Pada waktu menghadapi tuntutan meninggalkan sesuatu tidak terlintas dalam pikiran untuk
melakukan lawan-lawan kata sesuatu tersebut. Begitu pula sebaliknya bila disuruh mengerjakan
sesuatu tidak terlintas dalam pikiran untuk meninggalkan lawan-lawan kata sesuatu tersebut.
c. Seandainya disuruh melakukan sesuatu berarti dilarang mengerjakan lawan sesuatu itu, tentu tidak
akan mungkin dikerjakan tanpa mengetahui lawan dari sesuatu tersebut dan meninggalkannya,
karena lawan dari sesuatu itulah yang menjadi tuntutan nahi. Hal yang demikian tidak benar karena
sudah pasti bahwa tuntutan itu tetap harus terpenuhi meskipun kita tidak mengetahui lawan
katanya. Dengan demikian, tidak lah benar pandangan bahwa amar tentang sesuatu adalah nahi
terhadap lawannya. Demikian pula sebaliknya.
5. Hubungan nahi dengan pelanggaran perbuatan yang dilarang Para ulama berbeda pendapat
mengenai larangan syara`
terhadap suatu perbuatan, baik yang berupa ibadah maupun muamalah, apakah larangan tersebut
menunjukkan atas batalnya suatu pebuatan atau tidak. Misalnya larangan puasa pada hari raya Idul
Fitri dan Idhul Adha, apakah larangan tersebut menunjukkan atas batalnya ibadah puasa bila
dikerjakan pada hari itu atau tidak. Contoh lain, adanya hadis yang melarang seseorang membeli
barang yang akan dibeli orang lain, apakah jika barang tersebut dibeli menyebabkan batalnya
transaksi atautidak. Dalam hal ini, ada tiga pendapat sebagai berikut :
(1) Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa larangan tidak menyebabkan batalnya suatu perbuatan, apalagi
tidak memenuhi rukun dan syaratnya dengan sempurna. Misalnya, orang yang berpuasa pada hari
syak yang diragukan apakah sudah memasuki bulan Ramadhan atau masih berada di bulan Sya`ban,
ibadah puasanya sah, akantetapi hukumnya makruh. Orang yang berpuasa pada hari raya Idhul Fitri,
puasanya sah akan tetapi hukumnya haram. Orang yang mengadakan transaksi jual beli pada barang
yang tidak dapat diserahkan, hukumnya adalah sah. Larangan meminang wanita yang telah dipinang
orang lain tidaklah menyebabkan batalnya akad pernikahan. Demikian juga larangan jual beli pada
waktu azan salat jumat, tidaklah menyebabkan batalnya transaksi jual beli tersebut. Semua akad di
atas adalah sah, akan tetapi hukumnya makruh.
(2) Larangan menyebabkan batalnya suatu perbuatan, baik berupa ibadah
maupun muamalah. Karena sahnya aqad dan ibadah adalah bersumber dari hukum syara`, sedang
larangan tidak mungkin dapat dipadukan dengan sahnya akad dan ibadah. Sebab bila terjadi
demikian, niscaya akan menyebabkan kontradiksi dalam hukum syara`, baik yang berkaitan dengan
ibadah maupun muamalah. Karena sahnya suatu hukum adalah bersumber dari perintah dan
larangan syara`.
(3) Jika larangan tersebut berkenaan dengan ibadah, maka menyebabkan batalnya ibadah yang
dikerjakan. Seperti larangan berpuasa pada hari raya dan hari tasyri` menyebabkan batalnya iabadah
puasa yang dikerjakan. Akan tetapi, jika larangan tersebut berkenaan dengan muamalah, maka tidak
menyebabkan batalnya akad.Seperti larangan jual beli pada waktu azan salat jumat, membeli barang
dagangan orang desa sebelum sampai di pasar dan sebagainya.

Adapaun dalil yang menunjukkan bahwa larangan dalam ibadah menyebabkan batalnya ibadah
tersebut ialah, bahwa menjalankan ibadah bertujuan untuk mendekatkan diri (mengabdi) kepada
Allah. Sedang Allah tidak mungkin dapat didekati dengan perbuatan yang dilarang-Nya. Di
samping itu, ibadah merupakan perintah agama yang tergantung pada perintah Allah. Jika Allah
melarang suatu perbuatan, itu berarti Allah tidak memerintahkan perbuatan tersebut. Kalau tidak
demikian logikanya, niscaya akan terjadi kontradiksi antara perintah dan larangan dalam satu kasus.
Dan kontardiksi tersebut tidak dapat dihindarkan, kecuali jika perbuatan yang dilarang tersebut
tidak diperintahkan untuk dikerjakan. Bila larangan tersebut dikerjakan, berarti mengerjakan suatu
perbuatan yang tidak termasuk dalam kategori ibadah menurut pandangan syara`.
BAB III
KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan apa yang penulis paparkan di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai dilalah
nahi ini merupakan tuntutan untuk meninggalkan sesuatu dari yang lebih tinggi kepada yang lebih
rendah. Setidaknya demikian lah pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli ushul fiqh
mengenai pengertian nahi ini.
Di samping itu ada beberapa sighat yang menunjukkan terhadap lafaz nahi ini sehingga
dapat diketahui dengan sighat tersebut bahwa ketika ada salah satu shigat tersebut, bahwa hal yang
dibicarakan merupakan shigat dalam bentuk nahi. Selanjutnya juga ada beberapa dilalah nahi
sehingga yang dimaksud nahi tidak hanya haram saja terkadang karahah, dan lain sebagainya.
Banyaknya perbedaan pendapat ulama terkait dengan kaidah-kaidahyang terkait dengan nahi.
Adapun ayang mendasari perbedaan tersebut adalah berbeda dalam mehamai nahi tersebut baik dari
segi hakikat nahi, nahi dilakukan secara berulang, nahi menghendaki bersegera, serta hubungan
timbal balik antara amar dan nahi.
Dengan demikian dapat dipahami dengan mengetahui dilalah nahi ini setidaknya kita yang
bergelut di bidang hukum Islam secara aplikatif dapat menerapkan pemahaan kita ketika hendak
memahami hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur`an dan sunnah. Karena begitu banyak bentuk
lafaz yang terdapat dalam al-Qur`an maupun sunnah, dan salah satunya adalah dilalah lafaz nahi ini.
B. SARAN
Penulis sangat mengharapkan saran dari dosen pengampu pada penulisan makalah ini untuk
kemajuan bagi penulis dalam mengahsilkan tulisan-tulisan berikutnya agar lebih baik lagi
kedepannya
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Al-Khudari Biek, Ushul Fiqh, terj : Faiz El-Muttaqin, (UshulFiqh), (Jakarta : Pustaka
Amani, 2007)
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (UshulFikih), (Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2016), cet-9, hal. 293
Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, Ushul Fiqh, (JawaTimur : DarulHikmah, 2008)
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, terj. Moh Zuhri dan AhmadQarib, (Ilmu Ushul Fiqh),
Semarang : Dina Utama, 1994)
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,...,
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta : Hamzah, 2014), hal. 255-256 Amir Syarifuddin, Ushul
Fiqh Jilid II, (Jakarta : Kencana, 2011)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II
Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta : Teras, 2008)
Abu Bakar Ahmad bin Ali, Al-Fiqhiyah wa Al-Muatafaqah Juz I, Muhaqqiq
Abu Abdirrahman Adil bin Yusuf Al-Farazi, (Su`udiyah : Dar IbnuJauzi, 1421 H)
Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan, (Jakarta : Pustaka Sa`adiyah putra, tth)
Syamsul Bahri, dkk , Metodologi Hukum Islam, (Yogyakarta : Teras, 2008)
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh,..., hal. 258 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (UshulFikih)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II,..., hal. 211Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II
Qadhi Abu Ya`li, Al-`Adah fi Ushul Al-Fiqh Juz II, (tt, 1990 )
Muhammad Al-Khudari Biek, Ushul Fiqh, terj : Faiz El-Muttaqin, (UshulFiqh)
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, terj. Saefullah Ma`shum, dkk, (UshulFikih)

Anda mungkin juga menyukai