Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

MEMAHAMI PENGERTIAN AMAR DAN NAHI DALAM


USHUL FIQH

Dosen Pengampu:

Ni'mal Faiz,M.Pd.I.

Kelompok 12 (Kelas F)

Nama Kelompok : NPM

1. Holifatul Hidayah (2201010042)


2. syafina Rahayu Setiani (2201011085)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI METRO


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2022 M/ 1444 H

i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur Kami panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada Kami sehingga, Kami berhasil menyelesaikan makalah
yang berjudul “Memahami Pengertian Amar Dan Nahi Dalam Ushul Fiqh”
terselesaikannya dalam penyusunan makalah ini merupakan berkat bantuan dari
berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan kali ini tim penyusun
menyampaikan terimakasih kepada yang terhormat:

1. Ni'mal Faiz,M.Pd.I selaku dosen pengampu Mata Kuliah ushul fiqih yang
telah memberikan tugas, petunjuk, kepada Kami sehingga, kami termotivasi
untuk menyelesaikan makalah ini.

2. Secara khusus Tim Penyusun juga menyampaikan terima kasih kepada


keluarga tercinta, yang telah memberikan dorongan dan bantuan serta
pengertian yang besar kepada Kami, sehingga kami bisa menyelesaikan
makalah ini.

Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.


Dan Kami menyadari bahwa, makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena
itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu Kami
harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhirkata, Kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah
berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir.Semoga
Allah SWT senantiasa meridhoi segala usaha kita.Aamiin.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Metro, Oktober 2022

Kelompok 12

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL

KATA PENGANTAR.......................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1

A. Latar Belakang Makalah.........................................................................1


B. Rumusan Makalah...................................................................................2
C. Tujuan Makalah......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................3

A. Pengertian dan penjelasan amr dan nahi................................................3


B. Bentuk bentuk amr dan nahi...................................................................4
C. Dalil dalil amr dan nahi...........................................................................5

BAB III PENUTUP...........................................................................................10

A. Kesimpulan.............................................................................................10
B. Saran........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................11

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang makalah


Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum
mempunyai peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam
khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi
kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah karena
sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa
arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya.
Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang sangat diperlukan bagi setiap
muslim yang ingin mengetahui dan mengistimbathkan hukum dari dalil-
dalil syar’i, terutama untuk mengetahui hukum-hukum dari peristiwa atau
hal baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW. Karena zaman
selalu berkembang, sedangkan Al-Qur’an dan Hadits sudah tidak akan ada
penambahan dan perubahan karena memang segalanya sudah tercakup di
dalam Al-Qur’an.
Sehingga banyak para ulama atau tokoh-tokoh agama islam yang
berijtihad bersama dalam memecahkan banyaknya permasalahan yang
semakin hari kian banyak dan memengaruhi kemantapan hati umat islam
dalam beribadah kepada Allah SWT. Sudah barang tentu, para ulama
dalam berijtihad tidak hanya menggunakan akal pikiran semata namun,
semua pemikiran itu dilandaskan pada Al-Qur’an dan As sunnah.
Kemudian halnya, hasil ijtihad para ulama ditetapkan sebagai
hukum syara‟, yang disesuaikan dengan berbagai sebab dan keadaannya.
Sehingga dapat membantu meringankan para mukallaf dalam beribadah
kepada Allah secara mutlak, seiring berbagai macam persoalan zaman
yang semakin berkembang. Bagitupun juga terkait dalil-dalil antara
perintah dan larangan. Maka, dalam makalah ini kami akan membahas
tentang amar (perintah) dan nahi (larangan).

1
B. Rumusan masalah
Rumusan masalah diberikan untuk memperjelas materi apa yang
akan di bahas oleh penuli, yaitu sebagai berikut:
1. Pengertian dan penjelasan amr dan nahi ?
2. Bentuk bentuk amr dan nahi ?
3. Dalil dalil amr dan nahi ?

C. Tujuan penelitian
Tujuan penelitian di cantumkan agar makalah yang di bahas tidak
melebar keman-man, yaitu sebai berikut:
1. Untuk mengetahui Pengertian dan penjelasan amr dan nahi.
2. Untuk mengetahui Bentuk bentuk amr dan nahi.
3. Untuk mengetahui Dalil dalil amr dan nahi.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Dan Penjelasan Amr Dan Nahi

Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar


adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk
megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi
tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada
lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi
ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung
arti perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan
sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.1

Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki


supaya orang mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali
Hasbullah menyatakan bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari
pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah
kedudukannya. Dalam hal ini, tidak diharuskan bahwa orang yang
menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun
perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena
derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian ulama
mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya
daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.

Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man‟u),


sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk
meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan
ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita
untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang
lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat
mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
1
M. Noor Harisudin, ILMU USHUL FIQIH, 8 ed. (Jember: Pena Salsabila, 2020).

3
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah
perintah untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi
Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan
kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.2

B. Bentuk Bentuk Amr Dan Nahi

1. Berbentuk Fi’il Amar / perintah langsung

Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar‟i datang


dalam bentuk amar atau perintah, maka lafadz itu menunjukkan
kewajiban. Artinya menuntut perbuatan yang diperintah itu
secara penetapan dan kepastian.

2. Berbentuk Fi’il mudhari’ yang didahului oleh lam Amar.


Misalnya, firman Allah:

‫َو ْلَيَّطَّو ُفْو ا ِباْلَبْيِت اْلَعِتْيِق‬

Artinya: dan melakukan tawaf di sekeliling al-Bait al-‘Atīq (Baitullah).


(QS. Al hajj: 29)

3. Isim Fi’il Amr,


4. Masdar pengganti fi‟il
5. Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan
lain sebagainya.

Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan


hakikat larangan yang mutlak. Seperti firman Allah:

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتْقَر ُبوا الَّص ٰل وَة َو َاْنُتْم ُس ٰك ٰر ى‬

2
MOH. BAHRUDIN, ILMU USHUL FIQH, 1 ed. (Bandar lampung: CV. Anugrah
Utama Raharja, 2019).

4
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati
salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk (QS.An Nisa : 43)

Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada


beberapa bentuk diantaranya:

1. Fi‟il Mudhari‟ yang disertai dengan la nahi, seperti:

‫اَل ُتْفِس ُد ْو ا ِفى اَاْلْر ِۙض‬

Artinya: “Janganlah berbuat kerusakan di bumi,” (QS. Al


Baqarah: 11).

2. Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah


meninggalkan sesuatu perbuatan.3

C. Dalil Dalil Amr Dan Nahi

Penggunaan kata amr bisa dikategorikan menjadi dua yaitu secara


hakiki yang mengandung makna perintah dan majazi yaitu mengandung
makna lain selain perintah dan keluar dari makna asalnya ‫للوجوب األمر فى‬
‫ل‬OO‫ األص‬yaitu asal dari amr adalah untuk mewajibkan seperti ‫و‬OO‫الة أقیم‬OO‫االص‬
dalam ayat ini ada kewajiban untuk mendirikan shalat. Adapun makna amr
(perintah) yang hakiki itupun ada yang mengartikan musytarak karena
didalamnya terkandung makna wajib, sunnah, atau bahkan mubah.10
Terlepas dari pendapat itu bahwa ketika ada amr maka itu bisa
menunjukkan beberapa kemungkinan makna karena adanya petunjuk-
petunjuk atau penjelasan. Amar merupakan lafal yang mengandung
pengertian perintah. Sighat Amar berbentuk sebagai berikut:

Untuk hokum Nadb atau sunnah, artinya amr yang ada bukan
untuk wajib. Umpanya firman Allah surat al-nur (24); 33 ‫خیرا فیھم علمتم إن‬
‫ تبوھم فكا‬Lafadz katabah ‫ كتابھ‬yaitu kemerdekaan dengan pembayaran cicilan

3
Muh Dahlan Thalib, “AL-AMR (PERINTAH DALAM AL-QUR’AN),” t.t., 20.

5
yang disuruh dalam ayat tersebut menimbulkan hokum nadb, sehingga
bagi yang menganggap tidak perlu maka tidak ada ancaman Untuk
suruhan bersifat mendidik (irsyad), seperti dalam surat al-Baqarah (2):
282, tentang apa yang sebaiknya dilakukan seseorang setelah berlangsung
hutang piutang‫ھدوا‬OOOOO‫ھیدین واستش‬OOOOO‫ ش‬Ayat ini mendidik umat untuk
mendatangkan dua saksi pada saat berlangsung transaksi hutang piutang
untuk kemaslahatan mereka. Untuk hokum ibahah atau boleh, seperti
firman Allah dalam surat al-Baqarah (2): 60. ‫هللا رزق من واشربوا كلوا‬Suruhan
dalam ayat ini tidak mengandung tuntutan apa- apa terhadapa orang yang
menerima amr tetapi meliankan hanya suatu kebolehan. Untuk tahdid atau
guna untuk menakut-nakuti, contoh dalam surat Ibrahim (14): 30. ‫هللا الى‬
‫ مصیركم هللا فإن تمتعوا‬Meskipun dalam ayat ini digunakan kata amr, namun
tidak mengandung tuntutan apa-apa, bedanya dengan ibahah diatas, adalah
dalam bentuk tahdid itu disebutkan janji yang tidak enak. Untuk imtinan
atau merangsang keinginan untuk melakukan, seperti dalam surat al-
An’am (6): 142. ‫هللا رزقكم مما كلوا‬

Meskipun imtinan ini sama dengan ibahah dari segi tidak ada
hukuman, namun diantara keduanya ada perbedaan , pada ibahah hanya
semata izin untuk berbuat sedangkan pada imtinan ada qarinah berupa
kebutuhan kita kepadanya dan ketidakmampuan kita untuk mengajaknya.
Untuk Ikram atau memuliakan yang disuruh, seperti terdapat dalam surat
al-Hijr 15 :)46 ‫نین‬O‫ادخلوا بسالم ام‬, Untuk taskhir yaitu menghinakan,contoh
yang terdapat dalam surat al-Baqarah (2): 65, ‫ خاسئین قردة كنوا‬dalam ayat ini
tidak terkandung perintah, karena tidak mungkin Allah menyuruh menjadi
kera. Untuk ta’jiz yaitu melemahkan yang berarti menyatakan
ketidakmampuan 2 :)23. ‫دنا‬OO‫( وإن كنتم فى ریب مما نزلنا على عب‬Baqarah-al surat
dalam Umpanya. seseorang ‫ مثلھ من بسورة فأتوا‬Sebenarnya Allah mengetahui
bahwa orang yang disuruh dalam ayat ini tidak akan mungkin mampu
membuat satu ayatpun yang semisal dengan ayat al-Quran, tetapi Allah
menyuruhnya juga untuk berbuat demikian. Suruhan ini bukan dalam arti

6
yang sebenarnya tetapi hanya sekedar menyatakan ketidakmampuan
manusia.

Untuk Ihanah artinya mengejek dalam sikap merendahkan, seperti


dalam surat al- Dukhan (4): 49 ‫ الكریم العزیز انت إنك ذق‬dalam ayat ini Allah
berkata pada aorang kafir bukan bermaksud untuk menyuruh melainkan
mengejek. Untuk Taswiyah artinya menyamakan pengertian antara berbuat
atau tidak berbuat,umpanya dalam surat al-Thur (52): 16 ‫علیكم سواء تصبروا‬
‫ اوال صبروا فا‬, Untuk doa, seperti dalam surat Ibrahim (14): 41 ‫ولوالدي لي اغفو‬
‫ اللھم‬,

Untuk tamanni yang berati mengangankan suatu yang tidak akan


terjadi seperti kata akan tidak ini suruhan ‫أال أیھا اللیل الطویل أال أنجلي بصبح وما‬
‫ اإلصبا ح منك بامثل‬penyair terwujud juga karena malam tidak dapat dijadikan
sasaran perintah, Untuk ihtiqar artinya menganggap enteng terhadap yang
disuruh, seperti dlam surat al-Syua’ra (26):43 ‫ ملقون انتم ما القوا‬dalam ayat ini
Musa menganggap enteng para ahli sihir itu, bukan menyuruh, Untuk
takwin dalam arti penciptaan, seperti yang terdapat dalam surat yasin
(36):82 15 ‫ون‬OO‫ول لھ كن فیك‬OO‫یئا ان یق‬OO‫إذا ارد ش‬. Untuk takhyir artinya memberi
pilihan seperti hadis Nabi ‫شئت ما صنع فا تستح لم إذا‬4

Para ulama Ushul Fiqh, seperti dikemukakan Muhammad Adib


Shalih, merumuskan beberapa kaidah yang berhubungan dengan larangan,
diantaranya yaitu:

1. Kaidah Pertama

Pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram


melakukan perbuatan yang dilarang itu kecuali ada indikasi yang
menunjukkan hukum lain. Contohnya, pada ayat 151 Surat al-
An’am yang artinya:
4
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul fiqih, 1 ed. (Depok: PT RajaGrafindo Persada, 2015).

7
“….dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan
Allah melainkan dengan suatu (sebab) yang benar…” (Q.S. al-
An’am:151)

Dan contoh larangan yang disertai indikasi yang


menunjukkan hukum selain haram yaitu terdapat pada Surat
Jumu’ah ayat 9 yang artinya:

“Hai orangorang yang beriman, apabila diseru untuk


menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.”(Q.S. al-
Jumu’ah:9)

Larangan berjual beli dalam ayat tersebut menurut


mayoritas ulama Ushul Fiqh menunjukkan hukum makruh karena
ada indikasi, yaitu bahwa larangan tersebut bukan ditujukan pada
esensi jual beli itu sendiri, tetapi kepada hal-hal yang diluar zatnya,
yaitu adanya kekhawatiran akan melalaikan seseorang dari
bersegera pergi shalat Jumat. Oleh karena itu, orang yang tidak
wajib shalat Jumat seperti wanita tidak dilarang melakukan jual
beli.

2. Kaidah Kedua

Suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan yang


dilarang itu jika dikerjakan. Seperti dikemukakan oleh Muhammad
Adib Saleh, kaidah tersebut disepakati oleh para ulama Ushul Fiqh
bilamana larangan itu tertuju kepada zat atau esensi suatu

8
perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak di luar esensi
perbuatan itu.

Contoh larangan terhadap suatu zat ialah larangan berzina,


larangan menjual bangkai, dan dalam masalah ibadah seperti
larangan sholat dalam keadaan berhadas, baik kecil maupun besar.
Larangan-larangan dalam hal-hal tersebut menunjukkan batalnya
perbuatan-perbuatan tersebut bilamana tetap dilakukan. Ulama
berbeda pendapat bilamana larangan itu tidak tertuju pada esensi
suatu perbuatan, tetapi pada hal-hal yang berada diluarnya.
Misalnya, jual beli waktu adzan Jumat dan larangan menyetubuhi
istri yang sedang haid

3. Kaidah Ketiga

Suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah


terhadap kebalikannya. Contoh: terdapat pada Surat Luqman ayat
18 yang artinya:

“…dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan


angkuh…” (Q.S. Luqman:18)

Larangan tersebut mengajarkan agar berjalan dipermukaan


bumi dengan rendah hati dan sopan.5

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

5
Siti Fahimah, “KAIDAH-KAIDAH MEMAHAMI AMR DAN NAHY:
URGENSITASNYA DALAM MEMAHAMI AL QUR’AN” 1 (2018): 13.

9
Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar
adalah suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk
megerjakan suatu perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi
tersebut dapat dipahami bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada
lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk kata) Amar saja, tetapi
ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya mengandung
arti perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan
sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.

Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man‟u),


sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk
meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan
ucapan yang sifatnya mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita
untuk meninggalkan suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang
lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat
mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.

B. SARAN

Jikalau dalam penulisan ini banyak sekali kesalahan dalam


penulisan, mohon diberikan arahan, agar kedepanya penulis, menjadi lebh
baik lagi dalam membuat makalah. Dan diharapakn kepda dosen
pengampu agar membeirkan pengarahan kepad kami agar dalam penulisan
dan memberikan materi, menjadi lebih baik. Semoga dalam penulisan ini
dapat bermanfaat untuk penulis, pembaca dan kita semua dan dapat
diajarkan kepada orang yang belum mengetahui

DAFTAR PUSTAKA

Bahrudin, Moh. Ilmu Ushul Fiqh. 1 Ed. Bandar Lampung: Cv. Anugrah Utama
Raharja, 2019.

10
Fahimah, Siti. “Kaidah-Kaidah Memahami Amr Dan Nahy: Urgensitasnya Dalam
Memahami Al Qur’an” 1 (2018): 13.

Harisudin, M. Noor. Ilmu Ushul Fiqih. 8 Ed. Jember: Pena Salsabila, 2020.

Sanusi, Ahmad Dan Sohari. Ushul Fiqih. 1 Ed. Depok: Pt Rajagrafindo Persada,
2015.

Thalib, Muh Dahlan. “Al-Amr (Perintah Dalam Al-Qur’an),” T.T., 20.

11

Anda mungkin juga menyukai