Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

USUL FIKIH AL ISTIBATH AL AHKAM

"AMAR DAN NAHI"

Dosen Pengampu :
Dr. Syahrial Dedi, M.Ag
Disusun Oleh :
Arora Anjarwani (22621003)

PROGRAM STUDI HUKUM KELURGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP
2023/2024

KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr., Wb.
Segala puji atas kehadirat Allah SWT., karena berkat rahmat dan hidayah-Nyalah
sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang berjudul Amar Dan Nahi

Dalam proses penyajiannya, makalah ini berusaha disusun dengan baik dengan
sejumlah sumber yang kami gunakan untuk membantu dalam memahami materi yang
menjadi fokus kajian ini. Kemudian, kami ingin mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang turut membantu dalam penulisan dan penyusunan makalah ini. Selain itu, kami
juga mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah ini kedepannya dan
membangun pola pikir yang baik dan benar.Demikianlah makalah ini kami susun, kami
mohon maaf atas segala kekurangan dalam penyusunan makalah ini, Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr., Wb.

Curup, 6 Desember 2023

Pemakalah

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2

DAFTAR ISI 3

2
BAB I PENDAHULUAN 4

A. Latar Belakang 4

B. Rumusan Masalah 4

BAB II PEMBAHASAN 5

A. Pengertian Amar Dan Penjelasan Yang Berkaitan Dengan Amar 5

B. Pengertian Nahi Dan Penjelasan Yang Berkaitan Dengan Nahi 11

BAB III PENUTUP 17

Kesimpulan 17

Daftar Pustaka 18

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

3
Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan
penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau
ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting
sekali ditelaah karena sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan
bahasa arab yang mempunyai banyak makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul
Fiqih adalah ilmu yang sangat diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan
mengistimbathkan hukum dari dalil-dalil syar’i, terutama untuk mengetahui hukum-
hukum dari peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW. Karena
zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Qur’an dan Hadits sudah tidak akan ada
penambahan dan perubahan karena memang segalanya sudah tercakup di dalam Al-
Qur’an.
Sehingga banyak para ulama atau tokoh-tokoh agama islam yang berijtihad
bersama dalam memecahkan banyaknya permasalahan yang semakin hari kian banyak
dan memengaruhi kemantapan hati umat islam dalam beribadah kepada Allah SWT.
Sudah barang tentu, para ulama dalam berijtihad tidak hanya menggunakan akal pikiran
semata namun, semua pemikiran itu dilandaskan pada Al-Qur’an dan As sunnah.
Kemudian halnya, hasil ijtihad para ulama ditetapkan sebagai hukum syara’, yang
disesuaikan dengan berbagai sebab dan keadaannya. Sehingga dapat membantu
meringankan para mukallaf dalam beribadah kepada Allah secara mutlak, seiring
berbagai macam persoalan zaman yang semakin berkembang. Bagitupun juga terkait
dalil-dalil antara perintah dan larangan. Maka, dalam makalah ini kami akan membahas
tentang amar (perintah) dan nahi (larangan).
B. Rumusan masalah
1. Apakah pengertian Amar, dan jelaskan yang berkaitan dengan Amar !
2. Apakah pengertian Nahi, dan jelaskan yang berkaitan dengan Nahi !
C. Tujuan
1.Untuk mengetahui pengertian Amar, dan jelaskan yang berkaitan dengan
Amar !
2. Untuk mengetahui pengertian Nahi, dan jelaskan yang berkaitan dengan
Nahi !
BAB II
PEMBAHASAN

4
A. Pengertian Amar, dan Penjelasan yang Berkaitan dengan Amar
1. Pengertian Amar
Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar adalah
suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk megerjakan suatu
perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa
Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat (bentuk
kata) Amar saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang didalamnya
mengandung arti perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan untuk
mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.1
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya orang
mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah menyatakan
bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal ini, tidak
diharuskan bahwa orang yang menyuruh lebih tinggi derajatnya dari orang yang
disuruh, walaupun perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena
derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian ulama mensyaratkan
bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya daripada orang yang
disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
2. Sighat (bentuk kata) Amar
Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighat
Amar berbentuk sebagai berikut:
a. Berbentuk Fi’il Amar / perintah langsung.
Misalnya, firman Allah:
‫َاِقْيُم وا الَّصَالَة‬
Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43)
Contoh lain:
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syar’i datang dalam shighat amar atau
perintah, maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya menuntut perbuatan yang
diperintah itu secara penetapan dan kepastian. Allah swt berfirman:
‫َو اْلُم َطَّلَقاُت َيَتَر َّبْص َن‬
Artinya: “wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu) …..”.
Firman tersebut menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk menahan
diri atau beriddah selama tiga kali quru’ (suci). Sebab menurut pendapat yang rajih
1 Muhammad Ma’sum Zein Zudbah, UshulFiqh,Darul Hikmah, JawaTimur . 2008. hal. 52.

5
(unggul) bahwasannya shighat amar dan shighat lain yang bermakna sama dengannya
ditetapkan untuk mewajibkan. Sedangkan suatu lafadz ketika di mutlakkan, maka ia
menunjukkan terhadap maknanya yang hakiki yang telah ditetapkan untuknya. Ia
tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki, kecuali dengan adanya suatu
qarinah (hubungan/keterkaitan kata sebelum dan sesudahnya).
Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah (keterkaitan / hubungan) yang dapat
memalingkan shighat perintah dari makna kewajiban kepada makna lainnya, maka ia
dipahami sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti ibahah
(pembolehan).
b. Berbentuk Fi’il mudhari’ yang didahului oleh lam Amar.
Misalnya, firman Allah:
‫َو ْلَيَّطَّو ُفْو ا ِباْلَبْيِت اْلَعِتْيِق‬
Artinya: “dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu (Baitullah)”. (QS.Al Haj: 29)
‫َو ْلَتُك ْن ِّم ْنُك م ُاَّم ٌة‬
Artinya: “dan hendaklah ada segolongan umat”. (QS. Ali Imran: 104)
c. Isim Fi’il Amr, seperti:
‫َع َلْيُك ْم َاْنُفَس ُك ْم‬
Artinya: “Jagalah dirimu”. (QS. Al Maidah: 105)
d. Masdar pengganti fi’il, seperti:
‫َو ِبا ْلَو اِلَد ْيِن ِاْح َس اًنا‬
Artinya: “dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak”. (QS. Al Baqarah: 83)
e. Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain sebagainya.
‫َقْد َع ِلْم َنا َم ا َفَر ْض َنا َع َلْيِهْم ِفْي َاْز َو اِجِه ْم‬
Artinya: “sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada
mereka tentang istri istri mereka”. (QS. Al Ahzab: 50).
‫َيَأُّيَهاَّلِذ ْيَن ءاَم ُنوا ُك ِتَب َع َلْيُك ُم الِّص َياُم‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa”. (QS. Al
Baqarah: 183)
‫ِاَّن َهّللا َيْأ ُم ُر ُك ْم َاْن ُتَؤ ُّد اَآْلَم َنِت‬
Artinya: “sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan
amanah”. (QS. An Nisa’: 58)

6
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan digunakan untuk
makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari susunan kalimatnya.2
Amr (perintah) memiliki kaidah yaitu ketentuan-ketentuan yang dipergunakan
para mutjahid dalam mengistinbatkan hukum. Ulama ushul merumuskan kaidah-
kaidah amar dalam lima bentuk, yaitu :
Kaidah pertama; pada dasarnya ‘amar (perintah) itu menunjukan kepada wajib
dan tidak menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah (hubungan
keterkaitan). Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan sesuatu
pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat.
Imam Ar Razi berkata di dalam kitabnya Al Mahsul, bahwa ahli Ushul telah
sepakat menetapkan bahwa bentuk fi’il ‘amar dipergunakan dalam 15 macam makna
sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya, antara lain:
1. Ijab (Wajib)
Contoh:
‫َاِقْيُم وا الَّصَالَة‬
Artinya: “Dirikanlah Shalat”. (QS. Al baqarah: 43)
2. Nadb (anjuran)
‫َو آُتْو ُهْم ِّم ْن َّم اِل ِهّللا اَّلِذ ي أتُك ْم‬
Artinya: “dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan
Nya kepadamu”. (QS. An Nur : 33)
3. Takdzib (mendustakan)
‫ُقْل َهاُتوا ُبْر َهاَنُك ْم ِاْنُكْنُتْم َصِد ِقْيَن‬
Artinya: “tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar”. (QS.
Al Baqarah 111).
4. Irsyad (membimbing atau Menunjukkan)
Contoh firman Allah:
‫َو اْسَتْش ِهُدوا َش ِهْيَد ْيِن ِم ْن ِر َج اِلُك ْم‬
Artinya: “dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki
(diantaramu). (QS. Al Baqarah : 282)
5. Ibahah (kebolehan)
‫َو ُك ُلْو ا َو اْش َر ُبْو ا َح َّتى َيَتَبَّيَن َلُك ُم اْلَخْيُط اَألْبَيُض ِم َن اْلَخْيِط اَألْس َوِد ِم َن اْلَفْج ِر‬

2 Moh.Zuhri, dan Ahmad Qarib,Ilmu Ushul Fiqih,Toha Putra Group.semarang.1994.hal.306.

7
Artinya: “makan dan minumlah hingga jelas bagimu beng putih dan benang hitam
bagimu”. (QS. Al Baqarah : 187)
‫َو ِإَذ اَح َلْلُتْم َفاْص َطاُد ْو ا‬
Artinya: dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah
berburu. (QS. Al-Ma’idah:2)
6. Tahdid (Ancaman)
‫ِاْع َم ُلْو ا َم اِش ْئُتْم ِاَّنُه ِبَم ا َتْع َم ُلْو َن َبِص ْيٌر‬
Artinya: “kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya Dia maha melihat
apa yang kamu kerjakan”. (QS. Fusshilat : 40)
7. Inzhar (peringatan)
‫ُقْل َتَم َّتُعْو ا َفِاَّن َم ِص ْيَر ُك ْم ِاَلى الَّناِر‬
Artinya: “Katakanlah, “Bersuka rialah kamu, karena sesungguhnya tempat kembalimu
adalah neraka”. (QS. Ibrahim : 30)
8. Ikram (memuliakan)
‫ُاْدُخ ُلْو َها ِبَس َالٍم آِمِنْيَن‬
Artinya: “(dikatakan kepada mereka): masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi
aman”. (QS. Al Hijr : 46)
9. Taskhir (penghinaan)
‫ُك ْو ُنْو ا ِقَر َد ًة َخ اِسِئْيَن‬
Artinya: “Jadilah kamu sekalian kera yang hina”. (QS. Al Baqarah : 65)
10. Ta’jiz (melemahkan)
‫َفْأُتْو ا ِبُسْو َرٍة ِم ْن ِم ْثِلِه‬
Artinya: “datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama )Al Qur’an( itu”. (QS. Al
Baqarah : 23)
11. Taswiyah (mempersamakan)
‫َفاْص ِبُروا َاْو َالَتْص ِبُروا‬
Artinya: “maka bersabar atau tidak”. (QS. At Thur :16)
12. Tamanni (angan-angan)
Contoh Syi’ir Arab:
‫َياُصْبُح ِقْف اَل َتْطَلُع‬ ‫َيا َلْيُل ُطْل َيا َنْو ُم ُز ْل‬
Artinya: “wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk menghilanglah. Wahai
waktu subuh berhentilah dahulu, jangan segera dating.
13. Do’a

8
‫َر ِّب اْغ ِفْر ِلى‬
Artinya: “Ya Allah ampunilah aku”. (QS. Shad : 35)
14. Ihanah (meremehkan)
‫ُذ ْق ِإَّنَك َاْنَت اْلَع ِزْيُز‬
Artinya: “Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa lagi mulia”. (QS. Ad
Dukhan : 49)
15. Imtinan
‫َفُك ُلْو ا ِمَّم ا َر َز َقُك ُم هّللا‬

Artinya: “Makanlah apa yang direzekikan kapadamu”. (QS. An Nahl :114)


Kaidah kedua: Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan. Maksud dari
kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula dilarang, lalu datang
perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah wajib tetapi bersifat
membolehkan. Seperti Firman Allah swt:
‫َفِاَذ ا ُقِضَيِت الَّص َالُة َفا ْنَتِش ُرْو ا ِفى اَأْلْر ِض َو اْبَتُغ ْو ا ِم ْن َفْض ِل هلّلا‬
“apabila shalat telah dilaksanakan , maka bertebaranlah kamu di bumi, carilah karunia
allah{ QS.al-jumu’ah 62:10}”.
Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi, seperti kata ayat diatas,
hukumnya tidak wajib, tapi diperbolehkan.
Kaidah ketiga: Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera
dilaksanakan. Misalnya tentang haji. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah
mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu, maka harus dikerjakan sesuai
dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak bleh di luar waktu. Bila dilakukan
diluar waktu, tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara’ maka hukumnya akan berdosa.
Kaidah Keempat: pada dasarnya perintah ini tidak menghendaki pengulangan
(berkali-kali mengerjakan perintah). Misalnya dalam ibadah haji, yaitu satu kali
seumur hidup namun bila perintah itu dimaksudkan pengulangan, maka harus ada
qarinah atau kalimat yang menunjukan pada pengulangan.
Allah berfirman:
‫َو َأِتُّم اْلَح َّج َو اْلُع ْمَر َة هّلِل‬

“dan Sempurnakan haji dan umrah karena Allah”. (QS. Al Baqarah: 196).
Kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Jadi bila dikerjakan sekali saja
sudah cukup.

9
Kaidah Kelima: kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang diperintahkan
itu tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain yang dapat
mewujudkan perbuatan yang diperintah itu. Misalnya, kewajiban melaksanakan
sholat, sholat ini tidak sah untuk dikerjakan tanpa suci (wudhu) terlebih dahulu. Maka
para ulama menetapkan bahwa “ Tiap-tiap perkara yang kewajiban tidak sempurna
kecuali dengannya, maka perkara itu wajb pula”.
3. Dilalah dan Tuntutan Amar
a. Menunjukkan wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakariya Al Bardisy bahwa
jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajib suatu
tuntutan yang secara mutlaq selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari
ketentuan amar tersebut. Berdasarkan kaidah juga ada yang mengatakan bahwa arti
pokok dalam ‘amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang
diperintahkannya).
Contoh:
‫ُاْسُج ُد ْو ا َأِلَد َم َفَسَج ُد ْو ا ااَّل ِاْبِلْيَس‬
Artinya: “Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis”. (QS. Al
Baqarah : 34)
Bentuk perintah amar dalam ayat tersebut, yaitu perkataan sujudlah (usjuduu) dengan
tidak disertai qarinah menunjukkan kemestian / keharusan. Kalau tidak demikian
Allah tidak mencela iblis karena kedurhakaannya itu.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah atau suruhan yang tidak ada qarinahnya, dengan
suatu hal yang lain berarti menunjukkan arti kemestian (wajib).
b. Menunjukkan anjuran (nadb) berdasarkan sebuah kaidah yang berarti amar /
suruhan ialah menunjukkan sebuah anjuran (nadb).
Suruhan itu memang adakalanya untuk suruhan (wajib), seperti salat lima waktu,
adakalanya untuk anjuran (nadb), seperti salat dluha. Di antara kemestian dan anjuran
yang paling diyakini adalah anjuran (sunnah).
Kesimpulannya, amar tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amar tadi sudah
tidak mutlaq lagi, atau terdapat qarinah yang dapat mengubah ketentuan tersebut,
sehingga amar itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan wajib, tetapi menjadi
bentuk yang menunjukkan hukum sunnah atau mubah dan sebagainya sesuai dengan
qarinah yang memengaruhinya.3
4. Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah :
3 Syafi’I Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung.2001.hal.224.

10
a. Harus berupa ucapan perintah (Amar) seperti kata uf’ul (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu bertatus tidak
mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan namanya
do’a.
Suatu kata perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:
a) Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan tuntunan
perbuatan dalam waktu yang tertentu atau waktu mendatang.
b) Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang diminta
(ma’addatul amri). Hal ini menunujukkan macamnya perbuatan yang diminta, seperti
berdiri, duduk. Apabila disatukan kedua sisi tersebut dalam amar, maka maksudnya
tidak lebih dari pada hanya menuntut perbuatan yang disebutnya, dan tidak ada tanda-
tanda yang menunjukkan berulang-ulanya perbuatan itu. Memenuhi tuntunan suruhan
tersebut cukup dengan dikerjakan sekali saja, karena menurut qaidah “tidak ada
kewajiban lebih dari pada tanggungan yang sebenarnya (sesuai kemampuan seorang
hamba)”.4
B. Pengertian Nahi, dan Penjelasan yang Berkaitan dengan Nahi
1. Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u),
sedangkan Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu
perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya
mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu pekerjaan
yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga disebut nuhyah
(nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah untuk
meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu larangan
yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT
kepada hamba-Nya.5
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti dalam
firman Allah:
‫َو اَل َتْأُك ُلوا الِّر َبا َأْض َع اًفا ُمَض اَع َفًة‬

4 Syafi’I Karim,Op,Cit,.hal.224.
5 Muhammad Ma’sum Zein Zudbah,.Op,Cit,.hal. 64.

11
Artinya: “dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”. (QS. Ali Imran:
130)
Karena La ta’kulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram,
maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah
hukum asli dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut tidak lagi
menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh, mubah, dan
sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada ulama yang
berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum makruh. Namun,
pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.6
2. Sighat (bentuk kata) Nahi
Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat larangan yang
mutlak. Seperti firman Allah:
‫َياَأُّيَها اَّلِذ ْيَن اَم ُنوا اَل َتْقَر ُب الَّصَالَة َو َأْنُتْم ُس َك اَر ى‬
Artinya: “hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat dalam keadaan
mabuk”. (QS.An Nisa : 43)
Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa bentuk
diantaranya:
a) Fi’il Mudhari’ yang disertai dengan la nahi, seperti:

‫اَل ُتْفِس ُد ْو ا ِفى اَاْلْر ِض‬


Artinya: “janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. (QS. Al Baqarah: 11).
b) Lafadz-lafadz yang member pengertian haram atau perintah meninggalkan
sesuatu perbuatan, seperti:
‫َو َاَح َّل َهّللا َو َح َّر َم الِّر َبوا‬
Artinya: “dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (QS. Al
Baqarah: 275).
Kaidah-kaidah Nahi:
Kaidah pertama, pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram,
seperti:
‫َو اَل َتْقَر ُبوا الِّز َنى‬
Artinya: “dan janganlah kalian mendekati zina”. (QS. Al Isra: 32).
Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:

6 Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,Op,Cit,. hal.118.

12
a. Untuk do’a
‫َر َّبَنا اَل ُتَؤاِخ ْذ َنا ِاْن َنِس ْيَناَاْو َاْخ َطْأَنا‬
“hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah”.
b. Untuk pelajaran
‫اَل َتْسَئُلْو اَع ْن َاْش َياَء ِاْن ُتْبَد َلُك ْم َتُس ْؤ ُك ْم‬
“janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya
menyusahkan kamu”.
c. Putus asa
‫اَل َتْعَتِذ ُروا اْلَيْو َم‬
“janganlah kamu cari-cari alasan hari ini”
d. Untuk menyenangkan (menghibur)
‫اَل َتْح َزْن ِإَّن َهّللا َم َع َنا‬
“jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita”
Kaidah kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan kebalikannya, seperti:
‫اَل ُتْش ِر ْك ِباهّلل‬

Artinya: “janganlah kamu mempersekutukan Allah”.


Kaidah ketiga: pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki pengulangan
larangan dalam setiap waktu. Seperti:
‫اَل َتْقَر ُبوا الَّص َلواَة َو َاْنُتْم ُس َك اَر ى‬
Artinya: “janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk”. (QS. An Nisa’:43).
Nahi terbagi kedalam 4 bagian yakni:
1. Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas yang
menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak) haram.
2. Nahi yang menunjukkan juz’I dari perbuatan (bagian dari perbuatan). Misalnya,
larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan ibunya.
3. Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan, misalnya
larangan berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah agar semua umat
Islam dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari tersebut.
4. Nahi yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti berhubungan
dengan perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli sewaktu shalat jum’at
yang akibatnya akan meninggalkan shalat jum’at.7
3. Dilalah dan Tuntutan Nahi

7 Ibid,.hal.120.

13
Dalam melarang suatu perbuatan, menurut pendapat Muhammad Khudhari Beik,
Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya:
a. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti dengannya yang
secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl ayat 90 yang artinya:
‫َو َيْنَهى َع ِن اْلَفْح َش اِءَو اْلُم ْنَك ِر َو اْلَبْغ ِي‬
“Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan”.
b. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan, misalnya
ayat 33 surat Al-A’raf:
‫ُقْل ِإَّنَم اَح َّر َم َر ِّبَي اْلَفَو اِح َش َم ا َظَهَرِم ْنَهاَو َم اَبَطَن َو اِإْل ْثَم َو اْلَبْغ َي ِبَغْيِر اْلَح ِّق‬
Artinya: “Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar”.
c. Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan,
contoh surat An-Nisa’ ayat 19:
‫َيا َاُّيَهااَّلِذ ْيَن اَم ُنوا اَل َيِح ُّل َلُك ْم َاْن َتِرُثوا اِّنَس اَء َكْر َها‬
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita
dengan jalan paksa”.
d. Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari’ (kata kerja untuk sekarang
atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan larangan, misal surat Al-
An’am ayat 152:
‫َو اَل َتْقَر ُبْو ا َم اَل الَيِتْيِم ِااَّل ِباَّلِتْي ِهَي َاْح َس ُن َح َّتى َيْبُلَغ َاُش َّد ُه‬
Artinya:“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa”.
e. Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk
meninggalkan misalnya, surat Al-An’am ayat 120 artinya:
‫َو َذ ُرْو اَظاِهَر اِإْل ْثِم َو َباِط َنُه‬
“Dan tinggalkanlah dosa yang Nampak dan yang tersembunyi”.
f. Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih, misalnya
surat Al-Taubah : 34.
‫َو اَّلِذ ْيَن َيْك ِنُز ْو َن الَّذ َهَب َو اْلِفَّض َة َو اَل ُيْنِفُقْو َنَها ِفي َس ِبْيِل هّللا َفَبِّش ْر ُهْم ِبَع َذ اٍب َاِلْيٍم‬
Artinya: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih”.

14
g. Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya surat Ali
Imran : 180
‫َو اَل َيْح َسَبَّن اَّلِذ ْيَن َيْبَخ ُلْو َن ِبَم ا أتُهُم ُهّللا ِم ْن َفْض ِلِه ُهَو َخْيًرا َّلُهْم‬
Artinya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah
berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi
mereka”.
h. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri, misalnya surat al-
Baqarah : 193
‫َفِإِن اْنَتَهواَفاَل ُعْد َو اَن َااَّل َع َلى الَّظاِلِم ْيَن‬
Artinya: “Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan
(lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim”8
4. Syarat-syarat Nahi
1. Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari’ yang disertai la nahi.
Arti nahi yang pokok.
a. Menunjukkan haram
Artinya: “ larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang dilarang)”.
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal kita dapat
mengerti keharusan yang diminta larangan itu, yang segera dapat dimengerti
menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan larangan itu
tidak menyebabkan haram.
b. Menunjukan makruh
Artinya: “Bermula larangan menunjukkan makruh”. (makruhnya perbuatan yang
dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya) perbuatan yang
dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan menunjukkan rusaknya
perbuatan yang dilarang.9
c. Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi
rusak dan tidak sah.
Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan perbuatan yang
dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah. Contoh zina. Sebagian
ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat bahwa “nahi itu tidak

8 Satria Efendi dan Ma’shum Zein, UshulFiqh, KencanPerdana Media Group, Jakarta, hal. 187-190.
9 Syafi’I Karim,Op,Cit,. hal.234.

15
menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang dilakukan, kecuali hanya dalam soal
ibadah saja, tidak dalam muamalah”. Sebagian ulama Syafi’iyyah, hanafiah, dan
muktazilah berpendapat bahwa “nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan
yang dilarang, tidak pada lughah / bahasanya, tidak pada syara’, dan tidak pula dalam
soal-soal ibadah dan muamalah”. Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab
shulnya Irsyadul Fuhul bahwa “tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara ibadah
dan muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya, dan tidak
sahnya hukum menurut syara’ berarti batal (tidak sah).10

10 Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,Op,Cit,.124.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. ‘Amar
· Pengertian ‘Amar
Jadi ‘Amar merupakan suatu permintaan untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya
mewajibkan/mengharuskan yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
· Sighat (bentuk kata) ‘Amar
· Dilalah dan Tuntutan ‘Amar
· Syarat yang harus ada pada kata’ Amar (perintah) adalah :
2. Nahi
· Pengertian Nahi
Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan,
yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
· Sighat (bentuk kata) Nahi
· Dilalah dan Tuntutan Nahi
· Syarat-syarat Nahi

17
DAFTAR PUSTAKA
Efendi,Satria dan Ma’shum Zein.tt. UshulFiqh.Jakarta: Kencan Perdana Media Group.
Karim,Syafi’i.2001. Fiqih-Ushul Fiqih.Bandung: Pustaka Setia.
Uman,Chaerul dan Achyar Aminudin.2001. Ushul Fiqih II.Bandung: Pustaka Setia.
Zudbah, Muhammad Ma’sum Zein.2008. UshulFiqh.Jawa Timur:Darul Hikmah.
Zuhri,Moh dan Ahmad Qarib.1994.Ilmu Ushul Fiqih.Semarang:Toha Putra Group.

18

Anda mungkin juga menyukai