Anda di halaman 1dari 15

AMAR DAN NAHI

(Perintah, Sighot Dan Kaidah-Kaidahnya)

Makalah

Di Ajukan Guna Menyelesaikan


Tugas Tambahan

Disusun Oleh :

Rifka Aziz Setiawan


NIM : 210201.3915

PROGRAM STUDI AHWAL AS-SYAKHSIYYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NURUL IMAN

PARUNG - BOGOR

1444 H/2022 M
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan bentuk-bentuk ‘Amr.

2.2 Hukum-hukum yang mungkin ditunjukan ‘Amr

2.3. Kaidah-kaidah dalam ’Amr

2.4. Segi-segi lain dari Amr

2.5 Pengertian dan bentuk-bentuk Nahi

2.6 Kemungkinan hukum yang ditunjukan bentuk Nahi

2.7 Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi

BAB III SIMPULAN DAN SARAN

3.1 Simpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Allah SWT. Yang telah memberikan kita akal fikiran, rahmat dan
hidayah sehingga kita bisa membedakan yang hak dan yang bathil, sholawat serta salam semoga
tetap mengucur deras kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Berkat beliau agama Islam
tersebar luas di dunia dengan metode "rohmatan lil'alamin ".

Dengan ucapan bismillah dan alhamdulillah sepenuh hati, saya penulis merasa sangat
berbahagia dengan selesainya makalah yang telah menjadi tugas saya dalam mencari lebar dan
dalamnya ilmu pengetahuan.

Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai peranan penting
dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu hukum islam atau ilmu fiqih.
Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian lughawiyah, sangat penting sekali ditela’ah karena
sumber hukum islam yaitu al-Qur’an dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai
banyak makna yang terkandung idalamnya. Penulis akan mengetengahkanmasalahamar dan nahi
sebagai bagian dari pada makna kebahasaan tersebut.

Kami haturkan kepada para pembaca, makalah yang menurut kami jauh dari kata
sempurna ini. Kami mohon ma'af apabila dalam panuturan makalah ini terddapat kesalahan,
maka dari itu kritik dan saran yang membangun kami mohon dengan sangat kepada para
pembaca sekalian. Semoga bermanfaat, dan kita mendapatkan rahmat dan ridho Alloh Swt.
Amin.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Memahami redaksi Al-Qur’an dan Al-Hadits bagaikan menyelam ke dalam samudra yang
dalam lagi luas dibutuhkan kunci, metode dan keilmuan khusus untuk sampai ke sana sehingga
kita bisa mengetahui maksud dan tujuan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks
maupun dari aspek makna. Diantara beberapa pembahasan yang berkaitan dengan Ilmu Ushul
Fiqh yang didalamnya terdapat kaidah-kaidah (ushuliyah) yaitu tentang ‘Am, Khos, Amr, Nahi
dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam makalah ini pembahasan yang akan kita pelajari adalah
yang berkaitan dengan Amr dan Nahi.

1.2. Rumusan Masalah

Agar dalam penulisan makalah ini lebih mengarah dan efektif, kami merumuskan
masalah yang akan kami bahas yaitu :

1. Pengertian Amr dan Nahi

2. Bentuk-bentuk Amr dan Nahi

3. Kemungkinan hukum berkenaan dengan Amr dan Nahi

1.3. Tujuan

Tujuan pembahasan makalah ini adalah :

1. Menjelaskan tentang pengertian Amr dan Nahi

2. Menjelaskan tentang bentuk-bentuk Amr dan Nahi

3. Menjelaskan tentang kemungkinan hukum berkenaan dengan Amr dan Nahi.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian dan bentuk-bentuk ‘Amr.

Amar menurut bahasa berarti perintah. Sedangkan menurut istilah adalah,

‫األمر طلب الفعل من األعلى إلى األدنى‬

”amr adalah perbuatan meminta kerja dari yang lebih tinggi tingkatannya kepada yng lebih
rendah tingkatannya.”

atau dapat didefinisikan,

‫اللفظ الدال على طلب الفعل على جهة اإلستعالء‬

Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.

Adapun perintah untuk melakukan suatu perbuatan, seperti dikemukakan oleh Khudari
Bik dalam bukunya Tarikh al Tasyri’, disampaikan dalam berbagai gaya atau redaksi antara lain:

a) Perintah tegas dengan menggunakan kata amara (‫)أمر‬

QS. An-Nahl (16) : 90

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”

b) Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan
memakai kata kutiba (‫)كتب‬

QS. Al-Baqarah (2) : 178


“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang
yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan
wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar
(diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih.”

c) Perintah dengan menggunakan kata faradha (‫فرض‬/mewajibkan).

QS. Al-Ahzab (33) : 50

“Sesungguhnya kami Telah mengetahui apa yang kami wajibkan kepada mereka tentang isteri-
isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu.
Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

2.2 Hukum-hukum yang mungkin ditunjukan ‘Amr.

Suatu bentuk perintah, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Adib Saleh, Guru Besar
Ushul Fiqh Universitas Damaskus, bisa digunakan untuk berbagai pengertian, yaitu:

a) Menunjukkan hukum wajib seperti perintah untuk sholat.

b) Untuk menjelaskan bahwa sesuatu itu boleh dilakukan.

QS. Al-Mukminun (23) : 51

”Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh.
Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”

c) Sebagai anjuran.

QS. Al-Baqarah (2) : 282

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. ..”

d) Untuk melemahkan.
QS. Al-Baqarah (2) : 23

”Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba
kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-
penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar..”

2.3. Kaidah-kaidah dalam ’Amr.

Apabila dalam nash syara’ terdapat salah satu dari bentuk perintah, maka ada beberapa
kaidah yang mungkin bisa diberlakukan.

Kaidah pertama, ‫وب‬jj‫ر للوج‬jj‫ل قى األم‬jj‫األص‬, meskipun suatu perintah bisa menunjukkan
berbagai pengertian, namun pada dasarnya suatu perintah menunjukkan hukum wajib
dilaksanakan kecuali bila ada indikasi atau dalil yang memalingkannya.

Contoh perintah yang terbebas dari indikasi yang memalingkan dari hukum wajib adalah
QS. An-Nisa (4) : 77

”Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: Tahanlah


tanganmu (dari berperang), Dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat!…”

Ayat tersebut menunjukkan hukum wajib mendirikan sholat lima waktu dan menunaikan
zakat. Adapun contoh perintah yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain wajib,
QS. Al-Baqarah (2) : 283

”Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah
Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

Kaidah kedua, ‫دة‬jj‫رار أو الواح‬jj‫داللة األمر على التك‬, adalah suatu perintah, haruskah dilakukan
berulang kali atau cukup dilakukan sekali saja?. Menurut jumhur ulama ushul fiqh, pada
dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang kali dilakukan kecuali ada dalil untuk
itu.

Contohnya QS. Al-Baqarah : 196

”Dan sempurnakanlah ibadah haji dan ‘umrah Karena Allah….”

Perintah melakukan haji dalam ayat diatas sudah terpenuhi satu kali haji dalam seumur
hidup. Adanya kemestian pengulangan ditunjukkan oleh dalil lain. QS. Al-Isra (17) : 78

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula
shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”

Menurut sebagian ulama Ushul Fiqh, seperti Abu Ishaq al-Syirazi (w. 476 H), ahli Ushul
Fiqh dari kalangan Syafi’iyah seperti dinukil Muhammad Adib Saleh,

suatu perintah pada dasarnya menunjukkan berulang kali dilakukan sepanjang hidup,
kecuali ada dalil yang menunjukkan cukup dilaukan satu kali.

Kaidah ketiga, ‫داللة األمر على الفور أو التراخىو‬, adalah suatu perintah, dilakukan sesegera mengkin
atau bisa ditunda-tunda?.Pada dasarnya suatu perintah tidak menghendaki untuk segera
dilakukan selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan untuk itu. Pendapat ini dianut oleh
jumhur ulama Ushul Fiqh. Sedangkan adanya ajaran suatu kebaikan segera dilakukan, bukan
ditarik dari perintah itu sendiri, tetapi dari dalil lain.

Menurut sebagian ulama, antara lain Abu Hasan al-Karkhi (w. 340 H) seperti dinukil
Muhammad Adib Salih, bahwa suatu perintah menunjukkan hukum wajib segera dilakukan.
Barangsiapa yang tidak segera melakukan suatu perintah di awal waktunya, maka ia berdosa.

2.4. Segi-segi lain dari Amr

Perintah atau suruhan ada kalanya datang sesudah larangan, dan dipertanyakan pula
apakah harus segera dikerjakan atau harus berulang-ulang kali dikerjakan.

Oleh karena itu para ulama uul telah memberikan beberapa patokan dan ketentuan-
ketentuan untuk menjadi pedoman dalam menginsbatkan hukum.
1) Perintah sesudah larangan (‫)األمر بعد النهي‬

Ada perbedaan pendapat ulama tentang dalalah amar sesudah nahi (larangan). Ada yang
mengatakan bahwa amar itu tetap wajib dikerjakan walaupun sebelumnya ada larangan untuk
berbuat

Contoh sabda nabi:

‫دعى الصالة أيام أفرائك فإذا ادبرث الحيصة فاغثسلى عنك الدم‬

“Tinggalkanlah (janganlah mengerjakan) shalat pada hari-hari haidlmu, apabila haid sudah
hilang maka mandilah. Kemudian teruskan sholat seperti biasa.”

Namun demikian yang masyhur dikalangan ulama ushul ialah amar sesudah nahi adalah ibahah (
‫) األمر بعد النهي يفيد اإلباجة‬.[5]

2) Perintah dan waktu mengerjakannya

Lafadz amar dalam al-Qur’an maupun al-Hadits pada hakekatnya adalah untuk
mengerjakan apa yang disuruh. Suruhan itu tidak harus segera dikerjakan dalam waktu yang
cepat ataupun ditangguhkan.

Ada kaidah yang menegaskan:

‫األمر ال يقثضي الفور‬

Suatu perintah atau suruhan itu tidak menghendaki kesegeraan dikerjakan

Contoh yang menunjukkan tidak harus segera dikerjakan, seperti firman Allah dalam QS. Al-Isra
(17) : 78

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula
shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”

Dan sabda nabi :


)‫إن هللا كثب عليكم الحج فحجوا (الحديت‬

3) Perintah dan perulangan mengerjakannya

Pada dasarnya tidak ada ketentuan bahwa lafadz amar menuntut supaya suruhan atau
perintah dikerjakan sekali saja atau lebih atau berulang-ulang.

Oleh karena itu dikalangan ulama ushul fiqh ada kaedah:

‫اإلصل فى األمر ال يقثضى الثكرار‬

Pada dasarnya suruhan/perintah titu tidak menghendaki perulangan (berulang-ulang


mengerjakan perintah itu).

Kalau perintah itu harus dikerjakan berulang-ulang, maka harus ada kata-kata atau
qarinah yang menyertainya yang menunjukkan kepada perulangan itu.

4) Perintah dan perantaranya (wasilah)

Kadang-kadang ada perintah yang tidak dapat terwujud tanpa adanya perbuatan-
perbuatan lain yang mendahuluinya atau alat-alat tertentu untuk dapat melaksanakan perintah-
perintah tersebut.

Perbuatan-perbuatan lain atau alat-alat tertentu disebut wasilah (perantara)

‫األمر بالشيئ أمر بوسائله‬

Memerintahkan sesuatu berarti memerintahkan pula seluruh wasilahnya.

Wasilah-wasilah itu bisa berupa:

1. Syarat seperti bersuci untuk sahnya sholat

2. Adat kebiasaan seperti memakai paying bila ingin menghindari panas sinar matahari atau
basah karena hujan.

2.5. Pengertian dan bentuk-bentuk Nahi


Mayoritas ulama Ushul Fiqh mendefinisikan nahi sebagai

‫طلب الكف عن الفعل على جهة اإلستعالء بالسيغة الدال عليه‬

Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada
yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.

Jika lafal khusus yang terdapat dalam nash syara’ berbentuk nahi atau bentuk berita yang
nermakna larangan, maka berarti haram. Yaitu menuntut untuk tidak melakukan yang dilarang
secara tetap dan pasti.

Firman Allah Swt, QS. Al-Baqarah (2) : 221

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,”

Memberikan pengertian: Haram bagi seorang laki-laki muslim mengawini wanita


musyrik.

Dalam melarang suatu perbuatan, seperti disebutkan oleh Muhammad Khudari Bik. Allah juga
memakai berbagai ragam bahasa, diantaranya adalah:

a) Larangan tegas dengan memakai kata naha (‫ )نهى‬atau yang seakar dengannya yang secara
bahasa berarti melarang.

Seperti surat dalam QS. An-Nahl (16) : 90,

”Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia
memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

b) Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan. Al-’Araf : 33


”Katakanlah: “Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun
yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan

Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan)
mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.”

d) Larangan dengan mengancam pelakunya dengan siksaan pedih.

QS. At-Taubah (9) : 34

“..dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,”

2.6 Kemungkinan hukum yang ditunjukan bentuk Nahi.

Seperti dikemukakan Adib Saleh, bahwa bentuk larangan dalam penggunaannya menunjukkan
berbagai pengertian, antara lain:

a) Menunjukkan hukum haram, misalnya QS. Al-Baqarah (2) : 221

”Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,”

b) Sebagai anjuran untuk meninggalkan, seperti dalam QS. Al-Maidah (5) : 101

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang
jika diterangkan kepadamu akan menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al
Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang
hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.”

c) Penghinaan, dalam QS. At-Tahrim (66) : 7

“Hai orang-orang kafir, janganlah kamu mengemukakan uzur pada hari ini. Sesungguhnya kamu
Hanya diberi balasan menurut apa yang kamu kerjakan.”

2.7 Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Nahi.


Para ulama Ushul Fiqh merumuskan beberapa kaidah yang berkenaan dengan larangan,
antara lain,

Kaidah pertama, ‫األصل فى النهى للتحريم‬, pada dasarnya suatu larangan menunjukkan hukum haram
melakukan perbuatan yang dilarang kecuali ada indikasi yang menunjukkan hukum lain.

Contohnya ayat 151 surat al-An’am.

“dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan
dengan sesuatu (sebab) yang benar“

Contoh larangan yang disertai indikasi yang menunjukkan hukum selain haram, dalam Surat Al-
Jum’ah (62) : 9.

“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, Maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu
jika kamu Mengetahui.

Kaidah kedua, ‫األصل فى النهى يطلق الفساد مطلقا‬, suatu larangan menunjukkan fasad (rusak) perbuatan
yang dilarang itu jika dikerjakan. Kaidah ini disepakati bilamana larangan itu tertuju kepada zat
atau esensi suatu perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan itu.

Kaidah ketiga, ‫النهي عن الشيئ أمر بضده‬, suatu larangan terhadap suatu perbuatan berarti perintah
terhadap kebalikannya. Seperti dalam QS. Luqman (31) : 18

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah
kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang sombong lagi membanggakan diri..”

Larangan tersebut mengajarkan agar berjalan di permukaan bumi dengan rendah hati dan sopan.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN


KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut,

1. ‘Amr adalah Suatu tuntutan (perintah) untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya.

2. Nahi adalah Larangan melakukan suatu perbuatam dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya
kepada yang lebih rendah tingkatannya dengan kalimat yang menunjukkan atas hal itu.

SARAN

Dengan pemaparan makalah tentang pengertian, bentuk-bentuk, kemungkinan hukum serta


kaidah-kaidah yang berhubungan dengan Amr dan Nahi ini semoga kita dapat :

1. Dengan mudah mengetahui arti dan maksudnya dalam menghayati makna maksudnya agar
mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya. Serta mendorong kita bisa mengetahui
maksud dan tujuan nash Al-Qur’an dan Al-Hadits baik dari sudut teks maupun dari aspek makna.

2. Dengan mudah untuk membuktikan kelemahan dan kebodohan kita sebagai manusia. Sebesar
apapun usaha dan persiapan kita, masih ada kekurangan dan kelemahannya. Hal tersebut
menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah Swt, dan kekuasaan ilmu-Nya yang Maha
Mengetahui segala sesuatu.

DAFTAR PUSTAKA
Effendi, Satria dan M. zein, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2005

Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh.

Quraisy Syihab, Ushul Fiqh II, hlm. 33.

http://bayanzhou.blogspot.com/2011/02/amr-nahi-takhyir-am-dan-khos.html

Anda mungkin juga menyukai