PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan ilmu tentang fikih, hasil ijtihad di
masa lampau. Alasannya, karena ternyata warisan fikih yang terdapat dalam
masalah-masalah baru yang belum ada sebelumnya, tetapi juga di sana sini
terhadap warisan fikih, dan yang paling penting lagi agar mampu menemukan
fikih masa silam. Terutama dalam BAB ijtihad kali ini, penulis
1
2. Rumusan Masalah
6. hukum berijtihad? ;
2
3. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijtihad
mengandung kesulitan. Oleh karena itu, tidak disebut berijtihad jika hanya
mendefinisikan ijtihad, namun intinya adalah sama. Sebagai contoh, Ibnu Abd
ketingkat zhanni (dugaan kuat) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa
4
Sedangkan al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan
menurut Abu Zahrah. Ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal kedua puluh ini
amal perbuatan dari satu per satu dalilnya”. Pada definisi ketiga ini,
fikih, yaitu mujtahid, dan tempat menemukan hukum-hukum itu adalah dalil-
dalil-nya. Pada definisi pertama dan kedua hal seperti ini tidak ditegaskan
karena dianggap sudah dimaklumi bahwa orang yang akan melakukan ijtihad
itu mestilah ahli fikih atau mujtahid. Demikian pula pada definisi kedua dan
ditemukan oleh kegiatan ijtihad itu hanya sampai ketingkat zhanni (dugaan
bahwa setiap hasil ijtihad bobotnya hanya sampai ke tingkat zhanni, tidak
definisi ini, ijtihad terbagi kepada dua macam, yaitu ijtihad untuk membentuk
5
Menurut Abu Zahrah, ijtihad bentuk pertama itu khusus dilakukan oleh
dalilnya. Menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, pada masa tertentu mungkin
terjadi kevakuman dari ijtihad seperti ini bilamana hasil-hasil ijtihad di masa
muncul di kalangan umat Islam. Menurut kalangan Hanabilah, tidak ada satu
masa yang boleh kosong dari kegiatan ijtihad seperti ini karena selalu banyak
hukum, akan selalu ada di setiap masa, selama umat islam mengamalkan
ajaran agama mereka karena tugas mujtahid semacam ini adalah untuk
Dalam penjelasan berikut ini, yang kita maksud dengan ijtihad adalah ijtihad
6
2. Dasar Hukum Ijtihad
Antara lain :
َأُّيَه ا اَّلِذيَن آَم ُنوا َأِط يُعوا َهَّللا َو َأِط يُعوا الَّر ُسوَل َو ُأوِلي اَأْلْم ِر ِم ْنُك ْم ۖ َف ِإْن َتَن اَز ْع ُتْم ِفي َش ْي ٍء َفُرُّدوُه ِإَلى
ِهَّللا َو الَّر ُسوِل ِإْن ُكْنُت ْم ُت ْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو اْلَي ْو اآْل ِخ ِر ۚ َٰذ ِلَك َخ ْيٌر َو َأْح َس ُن َت ْأِو ياًل
ِم
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
dan Rasulnya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau
hadits yang barangkali tidak mudah untuk dijangkal begitu saja, atau
yang tidak di tegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebut dalam Al-
7
2. Hadits yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal.
mengatakan: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri
utusan dari Rasulullah dengan apa yang di ridhoi oleh Allah dan Rasul-
persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya: “kalau
tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan dasar
penalaranku, maka nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah
8
3. Fungsi Ijtihad
Imam Syafi’I ra. (150 H-204 H), penyusun pertama Ushul Fiqh, dalam
menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk
yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan
berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadits yang tidak sampai ke
memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya sehingga
tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk
9
Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum
dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karenan dengan itu ayat-ayat
dan hadits-hadits hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab
4. Lapangan Ijtihad
Para ulam Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau Hadits Rasulullah
yang sudah tidak diragukan lagi kepastiannya (qath’i) datang dari Allah atau
di kalangan umat Islam sekarang ini adalah pasti atau (qath’i) keasliannya
datang dari Allah dan begitu juga Hadits Mutawatir adalah pasti (qath’i)
datang dari Rasulullah. Kepastian itu dapat diketahui karena baik Al-Qur’an
atau Hadits Mutawatir sampai kepada kita dengan riwayat yang mutawatir
Demikian pula halnya para ulama Ushul Fiqh telah sepakat bahwa
ijthad tidak lagi diperlakukan pada ayat-ayat atau hadits yang menjelaskan
10
secara tegas dan pasti dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Misanya kewajiban
telah ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun hal-hal yang menjadi
masalah-masalah yang tidak pasti atau (zhanni) baik dari segi datangnya dari
Rasulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dapat dikategorikan kepada tiga
macam :
1. Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang atau
periwayatannya.
pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal
atau redaksi itu. Ayat-ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya ini
11
oleh suatu teks. Dan hal ini sering membawa kepada perbedaan pendapat
3. Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau hadits dan tidak pula ada
prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Fungsi ijtihad
Tidak perlu menghafal diluar kepala dan tidak pula perlu menghafal
12
Menurut Imam al-Ghazali jumlah ayat-ayat hukum yang perlu dikuasai
hukum dalam Al-Qur’an bias jadi berlipat ganda dari jumlah yang
dalam pemakaian syara, seperti yang telah diuraikan pada syarat pertama.
Hadist yang berhubungan dengan hukum tidak perlu dihafal akan tetapi
tersebut.
3. Mengetahui tentang makna ayat dan hadist yang telah di mansyuh (telah
dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasulnya) dan ayah dan
13
ini diperlukan seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum
rukunnya tentang ’illat. Hukum dan cara menemukan ‘illat itu dari ayat
hukum dari dua sumber tanpa mengetahui seluk beluk bahasa Arab.
Antara lain, misalnya, mengetahui mana lafal umum dan mana lafal
khusus, mana hukum hakikat dan mana lafal majaz, lafal mutlaq dan
Penguasaan bahasa Arab tidak perlu menjadi ahli, tetapi cukup sekedar
14
15
8. Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suuatu hukum.
maslahat mursalah.
6. Hukum Berijtihad
melaksanakan ijtihad baginya bisa fardhu ‘ain, bisa fardhu kifayah, bisa
16
Hukum melakukan ijtihad adalah fardhu ‘ain (wajib dilakukan oleh
wajib diamalkan, ia tidak boleh bertaklib pad mujtahid lain. Melakukan ijtihad
juga fardhu ‘ain bilamana sesseorang ditanya tentang suatu masalah yang
mereka melakukan ijtihad, berarti sudah memadai dan tuntutan sudah terbayar
1. Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti
yang pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh
pertanyaan seseorang.
1. Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash yang tegas (qath’i) bak berupa
ayat atau hadits Rasulullah, atau hasil ijtihad itu menyalahi ‘ijma. Ijtihad
17
2. Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat seperti yang
berarti berbicara dalam agama Allah tanpa ilmu yang hukumnya adalah
haram.
7. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid
fi at-tarjih.
yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam
18
2. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah Ushul
Ibnu Abidin (w. 1252 H), seorang pakar fikih mazhab Hanafi,
Syaibani (131 H-189 H) dan Qadhi Abu Yusuf (113 H-182 H). dari
H), dan dari kalangan Malikiyah antara lain Abdurrahman bin al-
Qasim (132 H-191 H) dan Abdullah bin Wahhab (125 H-197 H).
panutannya.
19
Mereka tidak lagi melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang
Misalnya, Abu al-Hasan al-Karkhi (260 H-340 H), Abu Ja’far al-
Tahawi (230 H-321 H) dan al-Hasan bin al-Ziyad (w. 204 H) dari
20
8. Macam-Macam Ijtihad
Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua: Ijtihad
dimaksud dengan ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan
atau hanya beberapa orang mujtahid. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh
para imam mujtahid besar; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i
Sedangkan ijtihad jama’I adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam
sejarah Ushul Fiqih, ijtihad jama’I dalam pengertian ini hanya melibatkan
melibatkan seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu.
ilmu di sampingb ilmu fikih itu sendiri sesuai dengan permasalahan yang akan
berkaitan dengan ilmu selain ilmu fikih, seperti ilmu kedokteran, pertanian
dibahas.
21
22
Berkaitan dengan masalah di atas, Nadiyah Syarif al-‘Umari, ahli
23
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
dengan berkembang dan meluasnya agama Islam, dan berbagai macam bangsa
yang masuk Islam dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi
Sementara itu, nash Al-Qur’an dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu
terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih
berganti (al-wahy qad intaha wal al-waqa’i la yantahi). Oleh karena itu,
24
DAFTAR PUSTAKA
1. M. Zein, Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.A, Ushul Fiqih, Indonesia: Kencana
25