Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Hukum Islam menghadapi tantangan lebih serius, Terutama pada abad

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menjawab berbagai

permasalahan baru yang berhubungan dengan hukum Islam, para ahlinya

sudah tidak bisa lagi hanya mengandalkan ilmu tentang fikih, hasil ijtihad di

masa lampau. Alasannya, karena ternyata warisan fikih yang terdapat dalam

buku-buku klasik,bukan saja terbatas kemampuannya dalam menjangkau

masalah-masalah baru yang belum ada sebelumnya, tetapi juga di sana sini

mungkin terdapat pendapat-pendapat yang tidak atau kurang relevan dengan

abad kemajuan ini.

Oleh karena itu, umat islam perlu mengadakan penyegaran kembali

terhadap warisan fikih, dan yang paling penting lagi agar mampu menemukan

rumusn-rumusan baru fikih dalam rangka memberikan jawaban terhadap

masalah-masalah sekarang yang belum ada jawabannya dalam buku-buku

fikih masa silam. Terutama dalam BAB ijtihad kali ini, penulis

menyamapaikan beberapa poin terpenting yang bias menjadikan pembelajaran

bagi penulis dan juga pembaca.

1
2. Rumusan Masalah

Dengan adanya makalah ini, penulis berusaha merumuskan beberapa

hal yang akan menjadi pembahasan di bab selanjutnya. Diantaranya :

1. Apa itu ijtihad? ;

2. Apa yang menjadi dasar hukum ijtihad? ;

3. Apa saja yang fungsi ijtihad? ;

4. Apa saja yang termasuk kedalam larangan ijtihad? ;

5. Apa saja syarat-syarat seorang mujtahid? ;

6. hukum berijtihad? ;

7. Apa saja tingkatan-tingkatan mujtahid? ; dan

8. Apa saja macam-macam ijtihad?

2
3. Tujuan

Selain menuliskan rumusan masalah yang penulis akan sampaikan di

bab pembahasan, maka dengan itu penulis ingin menyampaikan beberapa

tujuan dalam pembuatan makalah ini. Diantaranya sebagai berikut :

1. Pembaca dapat mengetahui pengertian ijtihad ;

2. Pembaca dapat mengetahui dasar hukum ijtihad ;

3. Pembaca dapat mengetahui fungsi ijtihad ;

4. Pembaca dapat mengetahui lapangan ijtihad ;

5. Pembaca dapat mengetahui syarat-syarat seorang mujtahid ;

6. Pembaca dapat mengetahui hukum berijtihad ;

7. Pembaca dapat mengetahui tingkatan-tingkatan mujtahid ; dan

8. Pembaca dapat mengetahui macam-macam ijtihad.

3
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad secara etimologi berarti bersungguh-sungguh dalam

menggunakan tenaga baik fisik maupun fikiran. Kata ijtihad, seperti

dikemukakan al-Ghazali, biasanya tidak digunakan kecuali pada hal-hal yang

mengandung kesulitan. Oleh karena itu, tidak disebut berijtihad jika hanya

mengangkat hal-hal yang ringan, seperti mengangkat sebiji sawi.

Di kalangan ulama Ushul Fiqh terdapat berbagai redaksi dalam

mendefinisikan ijtihad, namun intinya adalah sama. Sebagai contoh, Ibnu Abd

al-Syakur, dari kalangan Hanafiyah mendefinisikannya sebagai: “Pengerahan

kemampuan untuk menemukan kesimpulan hukum-hukum syara’ sampai

ketingkat zhanni (dugaan kuat) sehingga mujtahid itu merasakan tidak bisa

lagi berupaya lebih dari itu”.

4
Sedangkan al-Baidawi (w. 685 H), ahli Ushul Fiqh dari kalangan

Syafi’iyah mendefinisikan sebagai: “Pengerahan seluruh kemampuan dalam

upaya menemukan hukum-hukum syara’”. Lebih jelas lagi definisi ijtihad

menurut Abu Zahrah. Ahli Ushul Fiqh yang hidup pada awal kedua puluh ini

mendefinisikan ijtihad sebagai: “Pengerahan seorang ahli fikih akan

kemampuannya dalam upaya menemukan hukum yang berhubungan dengan

amal perbuatan dari satu per satu dalilnya”. Pada definisi ketiga ini,

ditegaskan bahwa pihak yang mengerahkan kemampuannya itu adalah ahli

fikih, yaitu mujtahid, dan tempat menemukan hukum-hukum itu adalah dalil-

dalil-nya. Pada definisi pertama dan kedua hal seperti ini tidak ditegaskan

karena dianggap sudah dimaklumi bahwa orang yang akan melakukan ijtihad

itu mestilah ahli fikih atau mujtahid. Demikian pula pada definisi kedua dan

ketiga, tidak ditegaskan bahwa kesimpulan-kesimpulan fikih yang akan

ditemukan oleh kegiatan ijtihad itu hanya sampai ketingkat zhanni (dugaan

kuat) sebagaimana ditegaskan pada definisi kedua, karena sudah di maklumi

bahwa setiap hasil ijtihad bobotnya hanya sampai ke tingkat zhanni, tidak

sampai ke tingkat yang lebih meyakinkan.

Definisi ijtihad lain yang dikemukakan oleh Abu Zahrah adalah:

“Mencurahkan seluruh kemampuan secara maksimal baik untuk meng-

istinbat-kan hukum syara’, maupun dalam penerapannya”. Berdasarkan

definisi ini, ijtihad terbagi kepada dua macam, yaitu ijtihad untuk membentuk

atau meng-istinbat-kan hukum dari dalilnya dan ijtihad untuk menerapkannya.

5
Menurut Abu Zahrah, ijtihad bentuk pertama itu khusus dilakukan oleh

para ulama yang mengkhususkan diri untuk meng-istinbat-kan hukum dari

dalilnya. Menurut jumhur ulama Ushul Fiqh, pada masa tertentu mungkin

terjadi kevakuman dari ijtihad seperti ini bilamana hasil-hasil ijtihad di masa

lampau masih dianggap cukup untuk menjawab masalah-masalah yang

muncul di kalangan umat Islam. Menurut kalangan Hanabilah, tidak ada satu

masa yang boleh kosong dari kegiatan ijtihad seperti ini karena selalu banyak

masalah-masalah baru yang harus dijawab.

Sedangkan ijtihad dalam bentuk kedua, yaitu ijtihad dalam penerapan

hukum, akan selalu ada di setiap masa, selama umat islam mengamalkan

ajaran agama mereka karena tugas mujtahid semacam ini adalah untuk

menerapkan hukum islam termasuk hasil-hasil ijtihad para ulama terdahulu.

Dalam penjelasan berikut ini, yang kita maksud dengan ijtihad adalah ijtihad

dalam meng-istinbat-kan hukum.

6
2. Dasar Hukum Ijtihad

Banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad.

Antara lain :

1. Ayat 59 Surat an-Nisa :

‫َأُّيَه ا اَّلِذيَن آَم ُنوا َأِط يُعوا َهَّللا َو َأِط يُعوا الَّر ُسوَل َو ُأوِلي اَأْلْم ِر ِم ْنُك ْم ۖ َف ِإْن َتَن اَز ْع ُتْم ِفي َش ْي ٍء َفُرُّدوُه ِإَلى‬

‫ِهَّللا َو الَّر ُسوِل ِإْن ُكْنُت ْم ُت ْؤ ِم ُنوَن ِباِهَّلل َو اْلَي ْو اآْل ِخ ِر ۚ َٰذ ِلَك َخ ْيٌر َو َأْح َس ُن َت ْأِو ياًل‬
‫ِم‬
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),

dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat

tentang sesuatu, maka kembalilah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul

(Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari

kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik

akibatnya. (QS An-Nisa (4) : 59)

Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan

Sunnah, menurut Ali Hasaballah, adalah peringatan agar orang tidak

mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah

dan Rasulnya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau

hadits yang barangkali tidak mudah untuk dijangkal begitu saja, atau

berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari

Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, seperti menyampaikan hukum sesuatu

yang tidak di tegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebut dalam Al-

Qur’an Karena persamaan illat-Nya seperti praktik qiyas (analogi), atau

dengan meneliti kebijakan-kebijakan syariat.

7
2. Hadits yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal.

Ketika akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan Rasulullah

dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu

dengan Al-Qur’an, kemudian dengan Sunnah Rasulullah, dan kemudian

dengan melaksanakan ijtihad. Rasulullah mengakui hal itu dengan

mengatakan: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri

utusan dari Rasulullah dengan apa yang di ridhoi oleh Allah dan Rasul-

Nya. Hadits tersebut secara lengkap sebagai berikut :

Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az,

sesungguhnya Rasulullah SAW. mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau

bertanya kepada Mu’az, atas dasar apa Anda memutuskan suatu

persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya: “kalau

tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan dasar

Sunnah Rasulullah SAW. Beliau bertanya lagi:”kalau tidak Anda temukan

dalam Sunnah Rasulullah?, Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan

penalaranku, maka nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah

memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW.” (HR. Tirmizi)

8
3. Fungsi Ijtihad

Imam Syafi’I ra. (150 H-204 H), penyusun pertama Ushul Fiqh, dalam

bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an

menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk

agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang

hukumnya”. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an

yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan

ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya

untuk berijtihad dalam dalam upaya menimba hukum-hukum dari

sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketaatan

seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji

ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.

Pernyataan Imam Syafi’i di atas, menggambarkan betapa pentingnya

kedudukan ijtihad di samping Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad

berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadits yang tidak sampai ke

tingkat Hadits Mutawatir seperti Hadits Ahad, atau sebagai upaya

memahami redaksi ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya sehingga

tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad, dan berfungsi untuk

mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan

Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan maslahah mursalah.

9
Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsip hukum

dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karenan dengan itu ayat-ayat

dan hadits-hadits hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab

berbagai permasalahan yang tidak terbatas jumlahnya.

4. Lapangan Ijtihad

Para ulam Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau Hadits Rasulullah

yang sudah tidak diragukan lagi kepastiannya (qath’i) datang dari Allah atau

Rasul-Nya, seperti Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir (hadis yang diriwayatkan

oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong), bukan lagi

merupakan lapangan ijtihad dari segi periwayatannya. Al-Qur’an yang beredar

di kalangan umat Islam sekarang ini adalah pasti atau (qath’i) keasliannya

datang dari Allah dan begitu juga Hadits Mutawatir adalah pasti (qath’i)

datang dari Rasulullah. Kepastian itu dapat diketahui karena baik Al-Qur’an

atau Hadits Mutawatir sampai kepada kita dengan riwayat yang mutawatir

yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan.

Demikian pula halnya para ulama Ushul Fiqh telah sepakat bahwa

ijthad tidak lagi diperlakukan pada ayat-ayat atau hadits yang menjelaskan

secara tegas dan pasti (qath’i). Wahbah az-Zuhaili menegaskan tidak

dibenarkan berijtihad pada hukum-hukum yang sudah ada keterangannya

10
secara tegas dan pasti dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Misanya kewajiban

melakukan sholat lima waktu, kewajiban berpuasa, zakat, haji.

Larangan berzinah, membunuh, dan kadar pembagian harta warisan yang

telah ditegaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Adapun hal-hal yang menjadi

larangan ijtihad, seperti dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf, adalah

masalah-masalah yang tidak pasti atau (zhanni) baik dari segi datangnya dari

Rasulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dapat dikategorikan kepada tiga

macam :

1. Hadits Ahad, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang atau

beberapa orang yang tidak sampai ke tingkat hadits mutawatir. Hadits

ahad dari segi kepastian datangnya dari Rasulullah hanya sampai

ketingkat dugaan kuat atau (zhanni) dalam arti tidak tertutup

kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit. Dalam hal ini seorang

mujtahid perlu melakukan ijtihad dengan cara meneliti kebenaran

periwayatannya.

2. Lafal-lafal atau redaksi Al-Qur’an atau Hadits yang menunjukkan

pengertiannya secara tidak tegas (zhanni) sehingga ada kemungkinan

pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal

atau redaksi itu. Ayat-ayat atau hadits yang tidak tegas pengertiannya ini

menjadi lapangan ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi

ijtihad disini adalah untuk mengetahui makna sebenarnya yang dimaksud

11
oleh suatu teks. Dan hal ini sering membawa kepada perbedaan pendapat

ulama dalam menetapkan hukum.

3. Masalah-masalah yang tidak ada teks ayat atau hadits dan tidak pula ada

ijma’ yang menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan

perannya yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-

prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Fungsi ijtihad

disini adalah disini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya

lewat tujuan hukum, seperti dengan qiyas, istihsan, maslahah mursalah,

‘uruf, istishab, dan sadd al-zari’ah. Disini terbuka kemungkinan luas

untuk berbeda pendapat.

5. Syarat-Syarat Seorang Mujtahid

Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan ada delapan persyaratan yang harus

dipenuhi oleh seorang mujtahid :

1. Mengerti dengan makna makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum

dalam Al-Qur’an baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat.

Tidak perlu menghafal diluar kepala dan tidak pula perlu menghafal

seluruh Al-Qur’an. Seorang mujtahid cukup mengetahui tempat-tempat

dimana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya menemukan

waktu yang dibutuhkan.

12
Menurut Imam al-Ghazali jumlah ayat-ayat hukum yang perlu dikuasai

itu sekitar 500 ayat. Pembatasan jumlah ayat-ayat hukum seperti

dikemukakan pleh al-Ghazali itu oleh sebagian ulama tidak disepakati.

Al-Syaukani (w.1255 H) umpamanya menyebutkan bahwa ayat-ayat

hukum dalam Al-Qur’an bias jadi berlipat ganda dari jumlah yang

disebutkan al-Ghazali itu. Orang yang mendalam pemahamannya bahkan

mungkin meng-istinbat-kan hukum dari ayat-ayat dalam bentuk kisah

umat-umat terdahulu. Demikian komentar al-Syaukani bisa dianggap

benar bila yang dimaksud adalah ayat-ayat yang menunjukkan hukum.

2. Mengetahui tentang hadits-hadits hukum baik secara Bahasa maupun

dalam pemakaian syara, seperti yang telah diuraikan pada syarat pertama.

Hadist yang berhubungan dengan hukum tidak perlu dihafal akan tetapi

cukup dengan pengetahuan dan pemahaman tentang hadist hukum

tersebut.

3. Mengetahui tentang makna ayat dan hadist yang telah di mansyuh (telah

dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasulnya) dan ayah dan

hadist yang men-nasakh atau sebagai penggantinya. Pengetahuan seperti

ini diberlakukan, agar seorang mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari

ayat atau hadist yang sudah dinyatakan tidak lagi berlaku.

4. Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi

ijma tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan

13
ini diperlukan seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum

yang telah disepakati para ulama.

5. Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-

rukunnya tentang ’illat. Hukum dan cara menemukan ‘illat itu dari ayat

atau hadist, dan mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu

ayat hukum dan prinsip-prinsip umum syariat islam.

6. Menguasai Bahasa arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan

dengannya. Pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat Al-Qur’an dan

Sunnah adalah berbahasa Arab. Seseorang tidak bisa menginstinbatkan

hukum dari dua sumber tanpa mengetahui seluk beluk bahasa Arab.

Antara lain, misalnya, mengetahui mana lafal umum dan mana lafal

khusus, mana hukum hakikat dan mana lafal majaz, lafal mutlaq dan

muqqoyad, dan berbagai cara penunjukan lafal terhadap maknanya.

Penguasaan bahasa Arab tidak perlu menjadi ahli, tetapi cukup sekedar

mampu memahami secara benar ungkapan-ungkapan dalam Bahasa Arab

dan kebiasaan orang arab dalam pemakaiannya.

7. Menguasai Ushul Fiqih, seperti tentang hukum dan macam-macamnya

tentang sumber hukum atau dalil-dalilnya tentang kaidah-kaidah dan cara

menginstinbatkan hukum dari sumber tersebut, dan tentang ijtihad.

Pengetahuan tentang hal ini diperlukan karena Ushul Fiqih merupakan

pedoman yang harus di pegang dalam melakukan ijtihad.

14
15
8. Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suuatu hukum.

Pengetahuan ini dibutuhkan karena untuk memahami suatu redaksi dan

dalam penerapannya kepada berbagai peristiwa, ketepatannya sangat

tergantung kepada pengetahuan tentang bidang ini. hal itu disebutkan,

penunjukan suatu lafal kepada maknanya mengandung berbagai

kemungkinan dan pengetahuan tentang maqosid al-Syariah memberi

petunjuk untuk memilih pengertiannya yang mana yang layak diangkat

dan difatwakan. Disamping itu, dan yang terpenting, dengan penguasaan

bidang ini prinsip-prinsip hukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah

Rasululloh dapat dikembangkan, seperti dengan qiyas, istuhsan, dan

maslahat mursalah.

6. Hukum Berijtihad

Para ulama Ushul Fiqih antara lain al-Tayyib khudri al-Sayyid,

seorang ahli ushul fiqih berkembangsaan mesir berpendapat, bahwa bilamana

syarat-syarat tersebut diatas telah cukup pada diri seseorang, hukum

melaksanakan ijtihad baginya bisa fardhu ‘ain, bisa fardhu kifayah, bisa

mandub (sunnat), dan bisa pula haram.

16
Hukum melakukan ijtihad adalah fardhu ‘ain (wajib dilakukan oleh

setiap orang yang mencukupi syarat-syarat diatas) bilamana terjadi pada

dirinya sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya. Hasil ijtihadnya itu

wajib diamalkan, ia tidak boleh bertaklib pad mujtahid lain. Melakukan ijtihad

juga fardhu ‘ain bilamana sesseorang ditanya tentang suatu masalah yang

sudah terjadi yang menghendaki segera mendapat jawaban tentang hukumnya,

padahal tidak ada mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya.

Melakukan ijtihad menjadi fardhu kifayah jika disampingnya ada lagi

mujtahid lain yang akan menjelaskan hukumnya. Bilamana satu diantara

mereka melakukan ijtihad, berarti sudah memadai dan tuntutan sudah terbayar

dari mujtahid lainnya.

Berijtihad hukumnya sunnah dalam dua hal, yaitu :

1. Melakukan ijtihad dalam hal-hal yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti

yang pernah dilakukan oleh Imam Abu Hanifah yang dikenal dengan fiqh

iftiradhi (fiqh pengandaian).

2. Melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang belum terjadi berdasarkan

pertanyaan seseorang.

Sedangkan berijtihad haram hukumnya dalam dua hal, yaitu :

1. Berijtihad dalam hal-hal yang ada nash yang tegas (qath’i) bak berupa

ayat atau hadits Rasulullah, atau hasil ijtihad itu menyalahi ‘ijma. Ijtihad

hanya dibolehkan pada hal selain itu.

17
2. Berijtihad bagi seseorang yang tidak melengkapi syarat-syarat seperti yang

telah dijelaskan diatas. Orang yang tidak memenuhi syarat, ijtihadnya

tidak akan menemukan kebenaran. Akan tetapi, bisa menyesatkan dan

berarti berbicara dalam agama Allah tanpa ilmu yang hukumnya adalah

haram.

7. Tingkatan-Tingkatan Mujtahid

Abu Zahrah membagi mujtahid kepada beberapa tingkat, yaitu

mujtahid mustaqil, mujtahid muntasib, mujtahid fi al-madzhab, dan mujtahid

fi at-tarjih.

1. Mujtahid mustaqil (independen) adalah tingkat tertinggi, oleh Abu

Zahrah disebut juga sebagai al-mujtahid fi al-syar’I, atau disebut

juga mujtahid Mutlaq. Untuk sampai ke tingkat ini seseorang harus

memenuhi syarat-syarat tersebut. Mereka disebut mujtahid

mustaqil, yang berarti independen, karena mereka terbebas dari

bertaqlid kepada mujtahid lain, baik dalam metode istinbat (Ushul

Fiqih) maupun dalam furu’ (fikih hasil ijtihad). Mereka sendiri

mempunyai metode istinbat, dan mereka sendirilah yang

menerapkan metode istinbat itu dalam berijtihad untuk membentuk

hokum fikih. Contohnya, para imam mujtahid yang empat orang,

yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam

Ahmad bin Hanbal.

18
2. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah Ushul

Fiqih, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu

merumuskannya, namun tetap berpegang kepada Ushul Fiqih salah

seorang imam mujtahid mustaqil, seperti berpegang kepada Ushul

Fiqih Abu Hanifah. Akan tetapi, mereka bebas dalam berijtihad,

tanpa terikat dengan salah seorang mujtahid mustaqil. Menurut

Ibnu Abidin (w. 1252 H), seorang pakar fikih mazhab Hanafi,

seperti dikutip Abu Zahrah, termasuk kedalam kelompok ini

murid-murid Abu Hanifah, seperti Muhammad bin Al-Hasan Al-

Syaibani (131 H-189 H) dan Qadhi Abu Yusuf (113 H-182 H). dari

kalangan Syafi’iyyah, antara lain adalah Al-Muzanni (175 H-264

H), dan dari kalangan Malikiyah antara lain Abdurrahman bin al-

Qasim (132 H-191 H) dan Abdullah bin Wahhab (125 H-197 H).

mujtahid seperti ini dinisbahkan kepada salah seorang mujtahid

mustaqil karena memakai metode istinbat-nya.

3. Mujtahid fi al-Mazhab, yaitu tingkat mujtahid yang dalam Ushul

Fiqih dan furu’ bertaklid kepada imam mujtahid tertentu. Mereka

disebut mujtahid karena mereka berijtihad dalam meng-istinbat-

kan hukum pada permasalahan-permasalahan yang tidak

ditemukan dalam buku-buku mazhab imam mujtahid yang menjadi

panutannya.

19
Mereka tidak lagi melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang

sudah ditegaskan hukumnya dalam buku-buku fikih mazhabnya.

Misalnya, Abu al-Hasan al-Karkhi (260 H-340 H), Abu Ja’far al-

Tahawi (230 H-321 H) dan al-Hasan bin al-Ziyad (w. 204 H) dari

kalangan Hanafiyah, Muhammad bin Abdullah al-Abhari (289 H-

375 H) dari kalangan Malikiyah, dan Ibnu Abi Hamid al-Asfraini

(344 H-406 H) dari kalangan Syafi’iyah.

4. Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan

meng-istinbat-kan hukum tetapi terbatas memperbandingkan

berbagai mazhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan

untuk mentarjih atau memilih salah satu pendapat terkuat dari

pendapat-pendapat yang ada, dengan memakai metode tarjih yang

telah dirumuskan oleh ulama-ulama mujtahid sebelumnya. Dengan

metode itu, ia sanggup melaporkan dimana kelemahan dalil yang

dipakai dan dimana keunggulannya.

20
8. Macam-Macam Ijtihad

Ijtihad dilihat dari sisi jumlah pelakunya dibagi menjadi dua: Ijtihad

Fardi dan Ijtihad Jama’i. Menurut al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, yang

dimaksud dengan ijtihad fardi adalah ijtihad yang dilakukan oleh perorangan

atau hanya beberapa orang mujtahid. Misalnya, ijtihad yang dilakukan oleh

para imam mujtahid besar; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i

dan Ahmad bin Hanbal.

Sedangkan ijtihad jama’I adalah apa yang dikenal dengan ijma’ dalam

kitab-kitab Ushul Fiqih, yaitu kesepakatan para mujtahid dari umat

Muhammad SAW. Setelah Rasulullah wafat dalam masalah tertentu. Dalam

sejarah Ushul Fiqih, ijtihad jama’I dalam pengertian ini hanya melibatkan

ulama-ulama dalam satu disiplin ilmu, yaitu ilmu fikih. Dalam

perkembangannya, apa yang dimaksud dengan ijtihad jama’i, seperti

dikemukakan oleh al-Thayyib Khuderi al-Sayyid, di samping bukan berarti

melibatkan seluruh ulama mujtahid, juga bukan dalam satu disiplin ilmu.

Ijtihad jama’i merupakan kegiatan ijtihad yang melibatkan berbagai disiplin

ilmu di sampingb ilmu fikih itu sendiri sesuai dengan permasalahan yang akan

dibahas. Hal ini mengingat, masalah-masalah yang bermunculan, ada yang

berkaitan dengan ilmu selain ilmu fikih, seperti ilmu kedokteran, pertanian

dan ilmu-ilmu social yang berhubungan dengan permasalahan yang akan

dibahas.

21
22
Berkaitan dengan masalah di atas, Nadiyah Syarif al-‘Umari, ahli

Ushul Fiqih berkebangsaan Mesir, dalam bukunya al-ijtihad fi al-islam,

menjelaskan bahwa upaya untuk menjawab masalah-masalah baru yang tidak

terdapat hukumnya dalam mazhab-mazhab fikih terdahulu, sesuai dengan

keputusan muktamar pertama Lembaga Majma’ al-Buhus al-Islamiyah di

Kairo tahun 1383 H, adalah dengan melakukan ijtihad jama’i. untuk

merealisir ijtihad jama’i dalam keputusan tersebut, menurut al-‘Umari ada

beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Masalah menentukan kelengkapan syarat-syarat sebagai seorang

mujtahid yang akan ikut dalam ijtihad seperti ini diserahkan

kepada penguasa muslim yang mengatur orang Islam. Orang yang

dipilih itu mewakili umat di masyarakat tempat ia berada.

2. Di samping para ulama, dilibatkan pula para pakar berbagai bidang

ilmu sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas.

3. Jika terjadi perbedaan pendapat dalam siding, maka diambil

pendapat dari ulama terbanyak; dan

4. Penguasa hendaklah memberikan instruksi untuk menerapkan hasil

ijtihad jama’i ini ke dalam kehidupan sehingga putusan ijtihad

jama’i itu mempunyai kekuatan mengikat.

23
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Problema hukum yang dihadapi umat Islam semakin beragam, seiring

dengan berkembang dan meluasnya agama Islam, dan berbagai macam bangsa

yang masuk Islam dengan membawa berbagai macam adat istiadat, tradisi

dan sistem kemasyarakatan.

Sementara itu, nash Al-Qur’an dan Sunnah telah berhenti, padahal waktu

terus berjalan dengan sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih

berganti (al-wahy qad intaha wal al-waqa’i la yantahi). Oleh karena itu,

diperlukan usaha penyelesaian secara sungguh-sungguh atas persoalan-

persoalan yang tidak ditunjukkan secara tegas oleh nash itu.

Dengan demikian ijtihad menjadi sangat penting sebagai sumber ajaran

Islam setelah Al-Qur’an dan al-Sunnah dalam memecahkan berbagai

problematika masa kini.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. M. Zein, Prof. Dr. H. Satria Effendi, M.A, Ushul Fiqih, Indonesia: Kencana

Prenada Media group, 2005, Cet. III.

25

Anda mungkin juga menyukai