Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ittiba’ adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan
mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu
hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan jalan yang membanding.

Ijtihad adalah pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqih dalam


menetapkan (istinbat) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari
dalilnya secara terperinci (satu per satu).

Tarjih adalah usaha menguatkan salah satu dari dua dalil yang taarud
(bertentangan), sampai diketahui dalil yang paling kuat sehingga dapat diamalkan
dan digugurkan dalil lain yang lemah

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan ittiba’ ?
2. Bagaimana hukum ittiba’ ?
3. Apa yang dimaksud dengan ijtihad ?
4. Bagaimana dasar ijtihad ?
5. Apa saja syarat – syarat mujtahid ?
6. Apa saja tingkatan mujtahid ?
7. Bagaimana lapangan ijtihad ?
8. Apa saja metode ijtihad ?
9. Bagaimana hukum berijtihad ?
10. Apa yang dimaksud dengan tarjih ?
11. Bagaimana cara pentarjihan ?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian ittiba’
2. Mengetahui hukum ittiba’
3. Mengetahui pengertian ijtihad
4. Mengetahui dalil dasar ijtihad
5. Mengetahui syarat – syarat untuk menjadi mujtahid
6. Mengetahui tingkatan-tingkatan mujtahid

1
7. Mengetahui lapangan atau wilayah untuk berijtihad
8. Mengetahi metode – metode ijtihad
9. Mengetahui hukum berijtihad
10. Mengetahui pengertian tarjih
11. Mengetahui cara pentarjihan dalil

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. ITTIBA’
1. Pengertian Ittiba’
Kata Ittiba’ berasal dari bahasa arab, yakni dari kata kerja atau fi’il “Ittaba’a,
yattabi’u, Ittibaa’an” yang artinya adalah mengikut atau menurut.

Ittiba’ yang dimaksud disini adalah “mengikuti perkataan orang lain yang berkata,
dan kamu mengetahui alasan perkataannya” atau “menerima perkataan seseorang
dengan dalil yang lebih kuat.”

Jika dua pengertian tersebut digabungkan, maka ittiba’ adalah mengambil atau
menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta
tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan
yang dianggap lebih kuat dengan jalan yang membanding.

Ittiba’ bukanlah mengikuti pendapat ulama tanpa alasan. Adapun orang yang
mengambil atau mengikuti alasan-alasan, dinamakan “Muttabi”

2. Hukum Ittiba’

Hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim, karena ittiba’ adalah perintah Allah
subnaanahu wata’alaa.

Sebagaiman firman Allah :

  


   
  
   
 

“Ikuti apa yang diturunkan padamu dari Tuhanmu, dan janganlah ikuti selain Dia
sebagai pemimpin. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran”. (QS. Al-A’raf: 3)

Sabda Rasulullah :

3
“Wajib atas kamu mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahku
sesudahku.” (HR. Abu Daud)

B. IJTIHAD
1. Pengertian Ijtihad

Menurut bahasa kata ٌ ‫اِجْ ِت َهاد‬berasal dari bahasa Arab, yaitu bentuk mashdar
dari kata ‫ َيجْ تَ ِهد‬-َ‫اِجْ تَ َهد‬ yang artinya mengerahkan segala kesanggupan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit. Berdasarkan pengertian bahasa ini, maka tidak
tepat jika kata ijtihad digunakan untuk ungkapan “orang itu berijtihad untuk
mengangkat tongkat”. Sebab mengangkat tongkat adalah perbuatan mudah dan
ringan yang bisa dilakukan oleh siapa saja.

Secara terminologi sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad Abu Zahra,


ijtihad yaitu:

ِ ‫بَ ْذل الفَ ِق ْي ِه و ْس َعةً فِى ا ْس ِت ْنبَاطِ االَحْ ك َِام ال َع َم ِليَّ ِة مِ ْن اَدِلَّتِ َها الت َّ ْف‬
‫ص ْي ِليَّ ِة‬
Artinya: “pengerahan segala kemampuan seorang ahli fiqih dalam menetapkan
(istinbat) hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara
terperinci (satu per satu).”

Menurut definisi sebagian ulama ushul fiqh sebagaimana dikutip oleh Abu
Zahra bahwa ijtihad adalah “mencurahkan segala kesanggupan dan kemampuan
semaksimal mungkin itu adakalanya dalam istinbat (penetapan) hukum syariat
adakalanya dalam penerapan hukum.”1

Berdasarkan definisi kedua yang dikemukakan oleh sebagian ulama di atas


maka ijtihad itu terbagi menjadi dua:

1. Ijtihad yang dilakukan secara khusus oleh para ulama yang mengkhususkan
diri untuk menetapkan hukum dari dalilnya. Menurut jumhur ulama, pada
suatu masa dimungkinkan terjadi kekosongan ijtihad seperti ini, jika ijtihad
masa lalu masih dianggap cukup untuk menjawab masalah hukum di
kalangan umat islam. Namun menurut ulama Hambali, ijtihad bentuk

1 Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Damaskus: Daar al-Fikr, tt.), hlm.379.

4
pertama ini tidak boleh vakum sepanjang masa karena mujtahid semacam ini
selalu dibutuhkan karena banyak masalah yang harus di jawab hukumnya.
2. Ijtihad dalam penerapan hukum. Ijtihad semacam ini akan selalu ada di
setiap masa. Tugas utama mujtahid bentuk kedua ini adalah menerapkan
hukum termasuk hasil ijtihad para ulama terdahulu. Ijtihad bentuk kedua ini
disebut tahqiq al-manath.

Menurut pendapat mazhab Hambali sebagaimana dikutip oleh Imam Abu


Zahra bahwa setiap masa tidak boleh ada kekosongan dari seorang mujtahid dan
pintu ijtihad untuk semua tingkatan harus terbuka terus meski diakui tingkat
kemampuan dan kecerdasan mujtahid berbeda. Dalam kaitan ini, Ibnul al-
Qayyim berkata “para mujtahid dimaksud adalah termasuk orang-orang yang
disebut oleh ahli hadits Nabi di bawah ini yaitu majaddid (pembaru).

Artinya: “Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini untuk setiap seratus
tahun orang yang memperbarui agamanya.” (HR. Abu Dawud)

2. Dasar Ijtihad

Surat An-Nisa: 105

  


 
  
     
 


105. Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah
wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,

5
[347] Ayat ini dan beberapa ayat berikutnya diturunkan berhubungan dengan
pencurian yang dilakukan Thu'mah dan ia Menyembunyikan barang curian itu di
rumah seorang Yahudi. Thu'mah tidak mengakui perbuatannya itu malah
menuduh bahwa yang mencuri barang itu orang Yahudi. hal ini diajukan oleh
kerabat-kerabat Thu'mah kepada Nabi s.a.w. dan mereka meminta agar Nabi
membela Thu'mah dan menghukum orang-orang Yahudi, Kendatipun mereka
tahu bahwa yang mencuri barang itu ialah Thu'mah, Nabi sendiri Hampir-hampir
membenarkan tuduhan Thu'mah dan kerabatnya itu terhadap orang Yahudi.

Surat An-Nisa: 59

 
  
 
   
   
  
  
 
  
  
 

59. Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang
sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Pada ayat di atas terdapat peerintah untuk mengembalikan sesuatu yang


diperselisihkan kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul-Nya (sunah). Hal ini

6
menunjukkan perintah berijtihad dengan tidak mengikuti hawa nafsu tetapi
menjadikan Al-Qur’an dan sunah sebagai sumbernya.

Dalam hadits Nabi antara lain:

a. Penghargaan terhadap hasil ijtihad:


“Apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ia berijtihad lalu
hasil ijtihadnya dinilai benar maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila
seorang hakim memutuskan perkara kemudian ijtihadnya dinilai salah, maka
ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari)
Ijtihad menurut hadits di atas adalah usaha yang sangat dimuliakan
meskipun salah tetap diberikan pahala atas usaha kerasnya itu. Imam Syafi’i
menegaskan dalam kitab risalahnya bahwa kesalahan itu dengan catatan
tidak dilakukan dengan cara sengaja.
b. Hadits yang menceritakan tentang pengangkatan Muadz bin Jabal sebagai
hakim:
“ketika Nabi mengutus Muadz bin Jabal sebagai hakim di negeri Yaman.
Nabi bertanya pada Muadz, dengan apa kamu akan menghukum?
Dengan apa yang ada dalam kitab Allah . Nabi bertanya, jika tidak kamu
dapatkan dalam kitab Allah ? Aku akan berhukum dengan sunah Nabi
. Jika tidak kamu dapatkan dalam sunah Nabi ? Aku akan berijtihad
dengan pendapatku. Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik
atas urusan Rasul-Nya.” (HR. Tirmidzi)

3. Syarat Mujtahid

Para ulama merumuskan persyaratan seorang mujtahid dengan rumusan dan


redaksi yang berbeda-beda. Namun dalam pembahasan ini akan dikemukakan syarat-
syarat mujtahid yang dirumuskan oleh Wahbah Zuhaili sebagai berikut:

a. Mengetahui makna ayat akhkam yang terdapat dalam Al-Qur’an baik secara
bahasa maupun secara istilah syara’. Tidak perlu dihafal cukup mengetahui
tempat ayat-ayat ini berada sehingga mudah untuk mencarinya ketika
dibutuhkan. Menurut Al-Ghazali, Ar-Razi dan Ibn Arabi jumlah ayat-ayat
ahkam yang perlu dikuasai sekitar lima ratus ayat. Maksud ungkapan

7
“secara bahasa” di atas artinya mengetahui makna-makna mufrad dari suatu
lafadz dan maknanya dalam susunan kalimat. Adapun makna syara’ adalah
mengetahui berbagai segi penunjukan lafadz terhadap hukum seperti
mantuq, mafhum mukhalafah, mafhum muwafaqah, lafaz umum, dan khas.
b. Mengetahui hadits-hadits ahkam baik secara bahasa maupun istilah. Tidak
perlu dihafal sebagaimana juga Al-Qur’an. Menurut Ibn Arabi (w. 543 H)
hadits ahkam berjumlah 3.000 hadits, sedangkan menurut riwayat dari
Ahmad bin Hambal 1.200 hadits. Tetapi Wahbah Zulaihi tidak sependapat,
menurutnya seorang mujtahid mengerti seluruh hadits-hadits hukum yang
terdapat dalam kitab-kitab besar seperti shahih Bukhari, shahih Muslim, dan
lain lain.
c. Mengetahui Al-Qur’an dan Hadits yang telah dinasakh dan mengetahui ayat
dan hadits yang menasakh. Tujuannya agar mujtahid tidak mengambil
kesimpulan dari nash (Al-Qur’an dan hadits) yang sudah tidak berlaku lagi.
d. Mengetahui sesuatu yang hukumnya telah dihukumi oleh ijma’, sehingga ia
tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan ijma’.
e. Mengetahui qiyas dan sesuatu yang berhubungan dengan qiyas yang
meliputi rukun, syarat, illat hukum dan cara istinbatnya dari nash,
mashlahah manusia, dan sumber syariat secara keseluruhan. Pentingnya
mengetahui qiyas karena qiyas adalah metode ijtihad.
f. Menguasai bahasa Arab tentang nahwu, shorof, ma’ani, bayan, dan ushlub-
nya karena Al-Qur’an dan hadits itu berbahasa arab. Oleh karena itu tidak
dapat mengistinbatkan hukum yang berdasar dari keduanya tanpa
menguasai bahasa keduanya. Diantaranya mengetahui lafaz umum dan
khusus, hakikat dan majaz, mutlaq dan muqayyad, dan sebagainya. Semua
ini tidak disyaratkan sebagai untuk dihafal tetapi cukup memiliki
kemampuan untuk memahami secara benar ungkapan-ungkapan dalam
bahasa arab dan kebiasaan orang Arab yang menggunakannya.
g. Mengetahui ilmu ushul fiqh, karena ushul fiqh adalah tiang ijtihad berupa
dalil-dalil secara terperinci yang menunjukkan hukum melalui cara tertentu
seperti amr, nahi, aam, dan khas. Istinbat diharuskan untuk mengetahui
cara-cara ini dan semuanya itu ada dalam ilmu ushul fiqh. Tentang urgensi
ushul fiqh dalam ijtihad dijelaskan oleh Al-Razi dalam kitabnya al-mahsul:

8
“Ilmu yang paling penting untuk dikuasai oleh mujtahid adalah ilmu suhul
fiqh.”
h. Mengetahui maqasid syariah dalam penetapan hukum, karena pemahaman
nas dan penerapannya dalam peristiwa bergantung pada maqasid syariah.
Penunjukan suatu lafaz kepada maknanya mengandung beberapa
kemungkinan. Pengetahuan tentang maqasid memberi keterangan untuk
memilih mana yang layak untuk difatwakan. Dan yang paling penting lagi
dari pengetahuan tentang maqasid adalah prinsip hukum dalam Al-Qur’an
dan sunah dapat dikembangkan seperti qiyas, istihsa, dan maslahah
mursalah2

4. Tingkatan Mujtahid

Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid (ٌ ‫)مجْ ت َ ِهد‬. Mujtahid memiliki
tingkatan-tingkatan sebagai berikut:

a. Mujtahid fi asy-syar’i, disebut juga mujtahid mustaqil. Ialah orang yang


membangun suatu mazhab seperti imam mujtahid yang empat yaitu Imam
Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal.
b. Mujtahid fi al-mazhab, ialah mujtahid yang tidak membentuk mazhab
sendiri tetapi mengikuti salah satu seorang imam mazhab. Mujtahid fi al-
mazhab terkadang menyalahi ijtihad imamnya pada beberapa masalah. Ia
berijtihad sendiri tentang masalah itu. Yang termasuk ke dalam mujtahid fi
al-mazhab ini seperti: Abu Yusuf dalam mazhab Hanafi dan al-Muzany
dalam mazhab Syafi’i.
c. Mujtahid fi al-masail, ialah mujtahid yang berijtihad hanya beberapa
masalah dan bukan pada masalah-masalah yang umum, seperti al-Thahawi
dalam mazhab Hanafi dan al-Ghazaly dalam mazhab Syafi’i serta al-
Khiraqyy dalam mazhab Hambali.
d. Mujtahid muqoyyad, yaitu mujtahid yang mengikat diri dengan pendapat
ulama salaf dan mengikuti ijtihad mereka. Hanya saja mereka mengetahui
dasar dan memahami dalalahnya dan inilah yang disebut dengan takhrij.
Mereka mempunyai kesanggupan untuk menentukan mana yang lebih

2 Wahbah Zuhaili, Ushul Fiqh al-Islami, (Damaskus Daar al-Fikr, 1986), Cet. Ke-1, hlm. 1044-1049.

9
utama dari pendapat yang berbeda-beda dalam mazhab di samping dapat
membedakan riwayat yang kuat dengan yang lemah.

5. Lapangan Ijtihad

Ijtihad berlaku pada ayat atau hadits, dengan catatan bahwa nas tersebut
masih bersifat zhan bukan qat’i. Atau pada permasalahan yang hukumnya belum
ada dalam nas. Jadi, ijtihad tidak berlaku pada masalah yang hukumnya sudah
pasti (qat’i) seperti mengeluarkan hukum wajib sholat, puasa, zakat, dan haji.
Karena untuk melakukannya tidak perlu usaha yang berat.

Tidak boleh melakukan ijtihad pada masalah yang sudah ada nasnya secara
qat’i (jelas dan tegas) serta tidak mengandung ta’wil di dalamnya seperti ayat
tentang keesaan Allah , ayat-ayat tentang hukum ibadah (sholat, puasa, zakat,
haji, dan sebagainya), ayat-ayat tentang hukum hudud (hukuman bagi pencuri,
pelaku zina, hukuman membunuh, hukuman qisas, dan sebagainya) dan ayat
yang berbicara tentang hukum muamalat seperti hukum perdagangan, riba
menggauli istri, dan etika kepada orang tua. Ayat-ayat di atas bukanlah termasuk
lapangan ijtihad karena nasnya sudah qat’i, yang menjadi lapangan ijtihad
adalah ayat-ayat atau hadits yang masih mengandung dugaan (zhan) atau belum
jelas. Seperti tentang membasuh kepala dalam wudhu, hukum musik dan
nyanyian, hukum bersentuhan kulit antara ghairu mahram yang berwudhu,
masalah keberadaan wali dalam pernikahan, hukum membaca qunut dalam
sholat Subuh. Dan pada permasalahan yang sama sekali hukumnya tidak ada
dalam nas seperti hukum KB, bayi tabung, operasi plastik, alat kontrasepsi,
bedah mayat, dan mengugurkan kandungan. Semua itu adalah masalah yang
hukumnya belum tegas (zhan), maka diperlukan ijtihad untuk menetapkan
hukumnya.3

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lapangan ijtihad itu ada dua macam:

a. Pada sesuatu yang ada nashnya tetapi nashnya masih zhan


b. Pada sesuatu yang hukumnya tidak ada dalam nash

3 Ibrahim Husen, dkk., Ijtihad dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 123.

10
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan ijtihad. Pertama,
hasil ijtihad seseorang tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad orang lain dalam
perkara yang sama. Sebagaimana hasil ijtihad seseorang juga tidak boleh
menyalahi hasil ijtihad orang lain. Dengan alasan, karena ijtihad yang kedua
tidaklah lebih kuat dari ijtihad yang pertama. Kedua, tidaklah berijtihad di antara
ulama berhak untuk diikuti dari yang lainnya. Ketiga, membatalkan satu ijtihad
dengan ijtihad yang lain dapat mengakibatkan tidak tegasnya suatu hukum dan
ini merupakan kesulitan dan kesempitan. Contoh, Abu Bakar pernah
memutuskan suatu masalah tetapi Umar mempunyai pendapat lain tentang
masalah itu hingga Umar menghukuminya berbeda. Sikap Umar itu tidak
membatalkan ijtihad Abu Bakar. Contoh lain, pada zaman Nabi ada dua
orang dalam perjalanan. Maka ketika itu masuklah waktu sholat dan di sekitar
itu tidak ditemukan air. Maka keduanya sholat dengan bertayamum. Kemudian
setelah sholat mereka meneruskan perjalanan, sampai di sebuah perkampungan
keduanya menemukan air dan waktu sholat Zuhur masih ada. Kemudian salah
satu dari sahabat itu berijtihad dengan berwudhu dan mengulangi sholat
sedangkan sahabat yang satu tidak mengulanginya. Kemudian keduanya
meneruskan perjalanan dan sesampainya di Madinah keduanya menceritakan
peristiwa yang dialami keduanya. Kemudian Nabi berkata: “Bagi kamu yang
mengulangi sholat mendapat dua pahala dan bagi Anda yang tidak mengulangi
sudah sesuai dengan sunahku.” Hadits tersebut selengkapnya berbunyi:

“Ada dua orang sahabat yang bepergian, lalu datang waktu sholat sedangkan
keduanya tidak mendapatkan air maka keduanya bertayamum dengan debu suci.
Kemudian di tempat lain keduanya mendapatkan air, maka salah satunya
berwudhu dan mengulang sholat sedangkan sahabat yang satu lagi tidak
berwudhu dan tidak mengulang sholat. Lalu keduanya menjumpai Nabi dan
menceritakan ihwal keduanya.” Maka Nabi menjawab “Bagi kamu yang
tidak mengulang sholat telah menjalankan sunah dan sudah mencukupi sholatmu
sedangkan bagi yang berwudhu dan mengulang sholatnya, Rasul berkata, kamu
mendapat dua pahala.” (HR. Abu Daud)

Jadi, ijtihad tidak berlaku pada masalah hukumnya sudah pasti (qat’i)
seperti mengeluarkan hukum wajib shalat, puasa, zakat, dan haji

11
6. Metode Ijtihad

Untuk melakukan ijtihad menurut Azhar Basyir ada beberapa cara yang dapat
ditenpuh oleh seorang mujtahid. Cara-cara itu adalah:

a. Qiyas, dengan cara menyamakan hukum sesuatu dengan hukum lain yang
ada hukumnya dikarenakan adanya persamaan sebab. Contoh mencium istri
ketika berpuasa hukumnya tidak membatalkan puasa karena disamakan
dengan berkumur-kumur.
b. Mashlahah mursalah, yaitu menetapkan hukum yang sama sekali tidak ada
nasnya dengan pertimbangan untuk kepentingan hidup manusia yang
bersendikan kepada asas menarik manfaat dan menghindari mudharat,
contohnya mencatat pernikahan.
c. Istihsan, ialah memandang sesuatu lebih baik sesuai dengan tujuan syariat
dan meninggalkan dalil khusus dan mengamalkan dalil umum. Contoh,
boleh menjual harta wakaf karena dengan menjualnya akan tercapai tujuan
syariat yaitu membuat sesuatu itu tidak mubazir.
d. Istishab, ialah melangsungkan berlakunya ketentuan hukum yang ada
sampai ada ketentuan dalil yang mengubahnya. Contoh, segala makanan dan
minuman yang tidak ada dalil keharamannya maka hukumnya mubah.
Urf, ialah kebiasaan yang sudah mendarah daging dilakukan oleh suatu
kelompok masyarakat. Ada dua macam urf. Pertama urf shahih, yaitu urf
yang dapat diterima oleh masyarakat secara luas, dibenarkan oleh akal yang
sehat, membawa kebaikan dan sejalan dengan prinsip nas. Contohnya acara
tahlilan, bagian harta gono gini untuk istri yang ditinggal suaminya. Kedua
urf fasid, yaitu kebiasaan jelek yang merupakan lawan urf shahih,
contohnya kebiasaan meninggalkan sholat bagi seseorang yang sedang
menjadi pengantin, mabuk-mabukan dalam acara resepsi pernikahan dan
sebagainya

7. Hukum berijtihad

Jika seseorang sudah memenuhi syarat-syarat untuk berijtihad sebagaimana


tersebut di atas maka keberadaan seorang mujtahi dalam kegiatan memberikan

12
ijtihadnya bisa menjadi wajib ain, wajib kifayah, bisa mandub, dan bisa pula
haram.

a. Wajib ‘ain, yaitu bagi orang yang sudah mencukupi syarat ijtihad dan terjadi
pada diri mujtahid itu sesuatu yang membutuhkan jawaban hukumnya.
Ijtihadnya wajib diamalkan dan ia tidak boleh bertaklid dengan mujtahid
lainnya. Hukum ijtihad juga wajib bagi mujtahid yang ditanya tentang
hukum suatu masalah yang sudah terjadi dan menghendaki jawaban hukum
segera sedangkan tidak ditemukan mujtahid yang lain.
b. Wajib kifayah, jika ada mujtahid lain selain dirinya yang akan menjelaskan
hukumnya
c. Sunah, melakukan ijtihad pada dua hal. Pertama, tentang permasalahan
yang belum terjadi tanpa ditanya, seperti yang dilakukan oleh Abu Hanifah
yang dikenal dengan fiqh iftiradhi (fiqh pengandaian). Kedua, ijtihad pada
masalah yang belum pernah terjadi berdasarkan pertanyaan dari orang lain
d. Haram, pada dua hal. Pertama berijtihad terhadap permasalahan yang sudah
tegas (qat’i) hukumnya baik berupa ayat atau hadits dan ijtihad yang
menyalahi ijma’. Ijtihad boleh pada permasalahan selain itu. Kedua,
berijtihad bagi seseorang yang belum memenuhi syarat sebagai mujtahid,
karena hasil ijtihadnya tidak akan benar tetapi menyesatkan, dasarnya
karena menghukumi sesuatu tentang agama Allah tanpa ilmu hukumnya
haram.4

C. TARJIH
1. Pengertian Tarjih

Tarjih secara bahasa atau etimologi berarti mengalahkan atau menguatkan,


sedangkan secara istilah atau terminologi ada beberapa definisi.

“Usaha menguatkan salah satu dari dua dalil yang taarud (bertentangan),
sampai diketahui dalil yang paling kuat sehingga dapat diamalkan dan
digugurkan dalil lain yang lemah.”

4 Satria Effendi, M Zein, Ushul Fiqh, (Jakarta: Fajar Interpratama Offset, 2009), Cet. ke-3, 255-256

13
Berdasarkan definisi di atas dapat diketahui bahwa tujuan tarjih adalah
mendapatkan dalil yang kuat untuk diamalkan dan meninggalkan dalil lain yang
lemah.

Ulama Syafiiyah memberikan penegasan bahwa dua dalil yang


bertentangan itu kedudukannya sama-sama zhan. Berbeda dengan ulama
Hanafiyah bahwa dua dalil yang bertentangan itu bisa sama-sama zhan dan bisa
sama-sama qat’i. Jika diperhatikan definisi tarjih sebagaimana tersebut di atas
lebih cenderung kepada pemahaman ulama Hanafiyah.

Menurut Ulama Hanafiyah tarjih adalah “memunculkan adanya tambahan


bobot pada salah satu dari dua dalil yang sama (sederajat), dengan tambahan
yang tidak berdiri sendiri.”
Menurut Jumhur Ulama “menguatkan salah satu dalil yang zhanni dari
yang lainnya untuk diamalkan (diterapkan) berdasarkan dalil tersebut.”
Dengan pengertian tersebut, jumhur mengkhususkan tarjih pada
permasalahan yang zhanni. Menurut mereka tarjih tidak termasuk persoalan
yang qath’i. Juga tidak termasuk antara yang qath’i dengan yang zhanni.
Para ulama telah sepakat bahwa dalil yang rajih (dikuatkan) harus
diamalkan, sebaliknya dalil yang marjuh (dilemahkan) tidak perlu diamalkan. Di
antara alasannya, para sahabat dalam banyak kasus telah melakukan pen-tarjih-
an dan tarjih tersebut diamalkan, seperti para sahabat lebih menguatkan hadits
yang dikeluarkan oleh ‘Aisyah tentang kewajiban mandi apabila telah bertemu
antara alat vital lelaki dengan alat vital perempuan (HR. Muslim dan Tirmidzi),
daripada hadits yang diterima oleh Abu Hurairah, “Air itu berasal dari air”. (HR.
Ahmad Ibnu Hambal dan Ibnu Hibban)

2. Cara Pentarjihan

Menurut para ulam ushul, cukup banyak metode yang bis digunakan untuk
men-tarjih dua dalil yang bertentangan apabila tidak mungkin dilakukan
melalui cara aj-jam’u baina at-taufiq dan nasakh.

Namun cara pen-tarjih-an tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok besar,
yaitu: (1) at-Tarjih baina an-Nushush dan at-Tarjih baina al-Qiyas, yaitu
menguatkan salah satu qiyas (analogi yang bertentangan)

14
a. Tarjih baina an-Nushush
Tarjih baina an-Nushush terbagi menjadi beberapa bagian, berikut ini.

Dari segi sanad


Imam Asy-Syaukani berpendapat bahwa pen-tarjih-an dapat dilakukan melalui
42 cara, di antaranya dikelompokan dalam bagian berikut:

a. Menguatkan salah satu nash dari segi sanadnya


Cara ini antara lain dengan meneliti kuantitas perawi suatu hadits. Menurut
Jumhur, hadits yang banyak perawinya di-tarjih-kan dari yang sedikit, karena
kemungkinan terjadinya kesalahan dalam periwayatan yang sangat kecil.
Tetapi Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Abu Hasan Al-Karkhi menolak pendapat
jumhur tersebut, mereka semua berasal dari mazhab Hanafi. Menurut mereka
banyaknya perawi tidak bisa men-tarjih hadits lain yang lebih sedikir
perawinya, kecuali kalau lebih dari tiga orang perawi (Hadits Masyhur). Mereka
menganalogikan kepada kasus persaksian yang bertentangan, bahwa hakim
tidak boleh memutuskan suatu perkara atas dasar persaksian yang lebih banyak
orangnya.
Jumhur juga berpendapat bahwa pen-tarjih-an boleh dilakukan berdasarkan
pada cara penerimaan hadits, misalnya hadits yang perawi yang lebih dhabit.
Dan dibolehkan pula men-tarjih hadits berdasarkan pada cara penerimaan
hadits, misalnya hadits yang diterima dan dipelihara melalui hafalan perawi
lebih diutamakan daripada hadits yang diterima perawi melalui tulisan.
b. Pen-tarjih-an dengan melihat riwayat itu sendiri
Yaitu menguatkan hadits mutawatir daripada hadits masyhur atau menguatkan
hadits masyhur daripada hadits ahad. Bisa juga dengan melihat persambungan
sanadnya, misalnya hadits yang sampai kepada Rasul di-tarjih daripada hadits
yang tidak sampai ke Rasul.
c. Pen-tarjih-an melalui cara menerima hadits dari Rasul
Yaitu men-tarjih-kan hadits yang diterima dan dipelihara melalui hafalan
perawi dari hadits yang diterima perawi melalui tulisan. Dikuatkan hadits yang

memakai lafazh langsung dari Rasulullah seperti lafal naha (melarang) atau
amara (memerintah) daripada riwayat yang lain. Begitu pula hadits ahad yang
matannya mengandung orang banyak didahulukan dari hadits Ahad matannya
mengandung orang banyak. hal itu didasarkan pada kesangsian Ulama Ushul,
bahwa tidak mungkin hadits yang menyangkut orang banyak memiliki perawi
sedikit.

15
Dari segi matan
Maksud dari matan adalah teks ayat, hadits atau ijma’. Menurut Al-Amidi ada
51 cara dalam pen-tarjh-an dari segi matan, antara lain:

a. Teks yang mengandung larangan diutamakan daripada teks yang mengandung


perintah, karena menolak kemadaratan lebih utama daripada mengambil
manfaat.
b. Teks yang mengandung perintah didahulukan daripada teks yang mengandung
kebolehan karena melaksanakan perintah berarti sekaligus melaksanakan yang
hukumnya boleh
c. Makna hakikat dari suatu lafazh lebih diutamakan daripada makna majazi-nya
d. Dalil khusus diutamakan daripada dalil umum
e. Teks umum yang belum dikhususkan lebih diutamakan daripada teks umum
yang telah di-taksis
f. Teks yang sifatnya perkataan lebih diutamakan daripada teks yang sifatnya
perbuatan
g. Teks yang muhkam lebih diutamakan daripada teks yang mufassar, karena
muhkam lebih pasti daripada mufassar
h. Teks yang sharih (jelas) didahulukan daripada teks yang sifatnya sindiran

Dari Segi Hukum atau Kandungan Hukum


Cara pen-tarjih-an melalui metode ini, menurut Al-Amidi ada 11 cara,
sedangkan menurut Asy-Syaukani ada sembilan cara, yaitu:

a. Teks yang mengandung bahaya menurut jumhur lebih diutamakan dari teks

yang membolehkan. Berdasarkan hadits Rasulullah :


“Tidaklah berkumpul antara yang halal dengan yang haram, kecuali yang
haram lebih dominan.” (HR. Baihaqi)
Namun, menurut Al-Ghazali, kedua hukum itu digugurkan saja. Dengan alasan
bahwa kualitas keduanya sama. Teks yang membolehkan didukung oleh hukum
asal pada sesuatu, yaitu boleh. Sedang hukum yang dilarang itu menggiring
seseorang untuk hati-hati. Dengan demikian, kualitas keduanya sama. (Al-
Ghazali: 46)
b. Di kalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang teks yang bersifat
menetapkan, dengan teks yang meniadakan. Misalnya hadits dari Ibnu Abbas,

yang menyatakan bahwa Rasulullah mengawini Maimunah ketika sedang


ihram (HR. Bukhari dan Muslim). Sedang dalam riwayat lain dinyatakan bahwa

16
Rasulullah mengawini Maimunah tidak dalam keadaan ihram. (HR. Imam
Malik)
Dalam kasus tersebut, menurut Imam Syafi’i teks yang bersifat meniadakan
lebih didahulukan daripada teks yang bersifat menetapkan. Jadi, hadits yang

menyatakan bahwa Rasulullah tidak dalam keadaan ihram diutamakan.


Adapun menurut jumhur, teks yang menetapkan lebih diutamakan dari teks
yang meniadakan, karena teks yang bersifat menetapkan memberi informasi
tambahan.
Sedangkan Imam Ghazali berpendapat bahwa hukum kedua hadits tersebut
digugurkan. Hal itu dimungkinkan keduanya benar dan keduanya salah. Oleh
karena itu, perlu dicari indikasi lainnya.
c. Apabila isi suatu teks menghindarkan terpidana dari hukuman, dan teks yang
lain mewajibkan terpidana mendapat hukuman, maka yang dipilih adalah yang
pertama, menghindarkan terpidana dari hukuman. Sesuai dengan sabda

Rasulullah :
“Tolaklah hukuman dalam (kejahatan) hudud apabila terdapat keraguan.”
(HR.. Baihaqi)
d. Teks yang mengandung hukuman lebih ringan didahulukan dari pada teks yang
di dalamnya mengandung hukuman berat. Syari’at Islam didasarkan pada

keringanan, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah (2):185


    ...
...    

Artinya: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.”

Tarjih Menggunakan Faktor (dalil) Lain di Luar Nash


Menurut Al-Amidi ada lima belas cara pen-tarjih-an dengan
menggunakan faktor lain di luar nash, namun Imam Asy-Syaukani
meringkasnya menjadi sepuluh cara, di antaranya:

a. Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh dalil lain, baik dalil
Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, Qiyas, dan lain-lain.
b. Mendahulukan salah satu dalil yang didukung oleh amalan ahli Madinah,
karena mereka lebih mengetahui persoalan turunnya Al-Qur’an dan
penafsirannya. Selain itu, ada anjuran untuk mengikuti mereka.

17
c. Menguatkan dalil yang menyebutnya illat (motivasi) hukumnya dari
suatu nash serta dalil yang mengandung asbab an-nuzul atau asbab al-
wurud dari pada dalil yang tidak memuat hal tersebut.
d. Mendahulukan dalil yang di dalamnya menuntut sikap waspada daripada
dalil yang tidak menuntut demikian.
e. Mendahulukan dalil yang diikuti dengan perkataan atau pengamalan dari
perawinya daripada dalil yang tidak demikian.

b. Tarjih baina al-qiyas

Wahab Al-Zuhaili mengelompokkan tuhuj belas cara pen-tarjih-an dalam


persoalan qiyas yang dikemukakan oleh Imam Asy-Syaukani ke dalam empat
kelompok.

Dari Segi Hukum Ashl


Pen-tarjih-an qiyas dari segi hukum asal, menurut Imam Asy-Syaukani bisa
menggunakan enam belas cara, di antaranya:

a. Menguatkan qiyas yang hukum asalnya qath’i dari yang zhanni.


b. Menguatkan qiyas yang landasan dalilnya ijma’ dari qiyas yang landasan
dalilnya nash, sebab nash itu bisa di-taksis, di-takwil, dan di-nasakh,
sedangkan ijma’ tidak. Tetapi cara ini dibantah oleh Al-Juwaini yang
didukung oleh ulama Syafi’iyah dan Imam Al-Baidhawi. Ia berpendapat
bahwa ada kemungkinan bahwa qiyas yang didasarkan pada qiyas lebih kuat
dari ijma’, karena ijma’ sendiri harus dilandasi nash. Dengan demikian,
ijma’ bisa dianggap sebagai cabang dari nash yang tidak bisa didahulukan
dari asalnya.
c. Menguatkan qiyas yang didukung dalil yang khusus.
d. Menguatkan qiyas yang sesuai dengan kaidah-kaidah qiyas dari yang tidak
e. Menguatkan qiyas yang telah disepakati para ulama tidak akan di-nasakh
f. Menguatkan qiyas yang hukumn asalnya bersifat khusus

18
Dari Segi Hukum Cabang
a. Menguatkan hukum cabang yang datangnya kemudian dibanding hukum
asalnya
b. Menguatkan hukum cabang yang illat-nya diketahui secara qath’i dari yang
hanya diketahui secara zhanni
c. Menguatkan hukum cabang yang ditetapkan berdasarkan sejumlah logika
nash dari hukum cabang yang hanya didasarkan kepada logika nash secara
tafshil

Dari Segi Illat


Pen-tarjih-an ini dibagi dalam dua kelompok, yaitu dari segi cara penetapan illat
dan dari segi sifat illat itu sendiri

Pen-tarjih-an dari segi cara penetapan illat, antara lain:

a. Menguatkan illat yang disebutkan dalam nash atau disepakati sebagai illat dari
yang tidak demikian.
b. Menguatkan illat yang dilakukan dengan cara as-sibru wa at-taqsim
(pengujian, analisis, dan pemilahan illat) yang dilakukan para mujtahid dari illat
yang hanya menggunakan metode munasabah (keserasian) antara illat dengan
hukum.
c. Menguatkan illat yang di dalamnya terdapat isyarat nash dari illat yang
ditetapkan melalui munasabah (keserasian), karena isyarat nash lebih baik
daripada dugaan seorang mujtahid.

Pen-tarjih-an dari sifat illat, antara lain:

a. Menguatkan illat yang bisa diukur daripada yang relatif


b. Menguatkan illat yang sifatnya bisa dikembangkan pada hukum lain dari pada
yang terbatas pada satu hukum saja.
c. Menguatkan illat yang berkaitan dengan masalah yang penting daripada yang
bersifat hajjiyat (penunjang). Dan dikatakan illat yang berkaitan dengan
kemaslahatan yang bersifat hajjiyat daripada sifat tahsiniyat (pelengkap)
d. Menguatkan illat yang jelas melatarbelakangi suatu hukum, daripada illat yang
bersifat indikator saja terhadap latar belakang hukum.

Pen-tarjih-an Qiyas Melalui Faktor Luar


Pen-tarjih-an dengan cara ini dapat dilakukan antara lain dengan:

a. Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu illat


b. Menguatkan qiyas yang didukung oleh pendapat sahabat (bagi yang mengakui
bahwa pendapat sahabat sebagai salah satu dalil)
c. Menguatkan illat yang bisa berlaku untuk seluruh furu’ daripada yang hanya
berlaku untuk sebagian furu’ saja
d. Menguatkan qiyas yang didukung lebih dari satu dalil

19
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Sebagaimana pengertian dari ittiba’ adalah “mengikuti”, maka kewajiban kita sebagai
umat muslim untuk senantiasa mengikuti segala apa yang telah dicontohkan oleh

Rasulullah , baik perkataan, perbuatan maupun diamnya beliau. Karena segala


perkataan, perbuatan dan diamnya adalah sunnah-Nya.

Allah telah mengkaruniakan akal kepada manusia untuk berfikir. Maka dari itu

Allah jadikan ijtihad sebagai sumber ajaran agama islam sebagai bentuk realisasi akal
yang manusia gunakan untuk berfikir. Akan tetapi, ijtihad memiliki batasan khusus yang
harus dibicarakn di dalamnya. Bahkan untuk menjadi mujtahid (orang yang berijtihad) pun
mempunyai syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi.
Lalu dalam berijtihad ditemukan istilah tarjih, yaitu menguatkan 2 atau lebih dalil
dari Al-Qur’an atau pun hadits yang harus digunakan dan diamalkan dalam kehidupan
sehari-hari.

20
DAFTAR PUSTAKA

Syafe’i, Rahmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia

Shidiq, Sapiudin. 2011. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana

21

Anda mungkin juga menyukai