Dosen Pengampu :
M.Munif
Disusun oleh
Kelompok 10 :
Segala rasa puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang Maha
ESA, karna berkat rahmat serta hidayatnya kami bisa menyelesaikan makalah
tentang “Ijtihad,Taqlid,Talfuq”
Makalah ini telah di susun semaksimal mungkin dengan bantuan dari
berbagai sumber akurat yang telah dibaca. penulis juga berharap bahwa makalah
ini dapat menambah acuan pengetahuan bagi kalian yang membacanya.
Karena adanya keterbatasan pengetahuan penulis, makalah ini mungkin
jauh dari kata sempurna, karna di dunia ini tiada yang sempurna. Masih banyak
kekurangan yang ada dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik kalian supaya membantu makalah ini menjadi
lebih baik lagi dan diminati.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
2.1 Ijtihad
Ijtihad (اد88 )اجتهadalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau
mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad
ialah berusaha untuk berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh.,
yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha
mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam
Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya,
diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli
agama Islam.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath
hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam
syari`at.Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-
sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum
syari`at”. Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah
qiyas.
Tujuan Ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia
akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat
tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
2.1.1 Jenis-Jenis Ijtihad
1. ijma'
Ijma' artinya sepakat yakni sepakat para ulama dalam menetapkan
suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits
dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah sepakat bersama yang dilakukan
oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan
disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para
ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2. Ijma’ dalam istilah ahli ushul
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah sepakat semua para mujtahid
dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas
hukum syara'.
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya sepakat
para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
Kesepakatan itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
a. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila
keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena
‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati
antara satu dengan yang lain.
b. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam
suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka.
Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid
haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah,
Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak
disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan
kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu
masa.
c. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang
mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk
perkataan, fatwa atau perbuatan.
d. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid.
Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan
kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda
sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan
kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
3. Kehujjahan Ijma’
Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan
menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari
seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis
dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak
setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik
dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun
individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut,
kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti
dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak
boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan
ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum
syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
2.2.1 Syarat-syarat Mujtahid
Mujtahid adalah orang-orang yang melakukan ijtihad, harus
memenuhi syarat berikut ini :
a. Mengetahui dan memahami bahasa Arab
b. Memahami Al-Quran dan Nasikh Mansukh
c. Memahami tentang sunnah
d. Mengetahui hal-hal yang di-Ijma’kan
e. Memahami tentang qiyas
f. Mengetahui maksut-maksut hukum
g. Berhati bersih dan berniat lurus menurut sebagian ulama, hal ini untuk
mempermudah pemecahan dalam masalah
2.3.1 Hukum Melakukan Ijtihad
Bagi orang yang sudah memiliki kemampuan dalam berijtihad
maka berijtihad itu hukumnya wajib dikarenakan jumlahnya hukum Allah
itu terbatas. Sedangkan permasalahan dalam kehidupan ini bermacam-
macam dan berkembang, maka perlu yang namanya ijtihad.
Dalil yang mewajibkan ijtihad yaitu Q.S. An-Nisa’ ayat 59 :
فان تنا زعتم في شئ فردوه الى هللا والرسول ان كنتم تؤمنون با هللا واليوم االخر ذلك خير و
احسن تأويال
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Q.S. Al-Hasyr ayat 2 :
فعتبروا ياألي األبصار
“Maka Ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-
orang yang mempunyai pandangan.”
Hukum ijtihad untuk mujtahid tergantung keadaan tertentu, karena
kedudukannya sebagai seorang faqih pendapatnya diikuti dan di amalkan
orang lain.
a) Wajib ‘Ain
Seseorang akan dihukumi wajib ain dalam melakukan ijtihad
apabila ia adalah satu-satunya seorang faqih yang mampu melakukan
ijtihad pada waktu itu. Dan apabila dia tidak mau melakukan
dikhawatirkan suatu permasalahan itu lepas dari hukum.
b) Wajib Kifayah
Seseorang akan dihukumi wajib kifayah dalam melakukan ijtihad
apabila dilingkungan tersebut dan pada waktu itu ada beberapa orang
yang mampu berijtihad.
c) Sunnah
Seseorang akan dihukumi sunnah dalam berijtihad apabila
permasalahan yang diajukan oleh masyarakat belum terjadi dan
dikhawatirkan akan terjadi di kemudian hari.
d) Haram
Seseorang akan dihukumi haram dalam berijtihad apabila hukum
itu sudah ditetapkan dengan jelas dan sudah berlaku. Dan dia tidak
memiliki ilmu tentang ijtihad.
e) Mubah
Seseorang akan dihukumi mubah apabila sudah ada hukum namun
sandaran hukumnya lemah.
2.4.1 Pembagian Dan Macam-Macam Ijtihad
Para ulama ushul fiqh telah membagi macam-macam ijtihad dari
berbagai segi, berikut pembagiannya :
A. Dilihat dari segi kerja mujtahid terbagi menjadi dua macam yaitu :
1. Ijitihad istinbati, yaitu berusaha untuk berijtihad dengan
mengeluarkan hukum dari dalilnya dengan cara menetapkan
sendiri metodenya.
2. Ijtihad tathbiqi, yaitu berusaha untuk berijtihad menggali dan
menetapkan hukum dengan metode yang sudah ditetapkan oleh
generasi imam sebelumnya.
B. Dilihat dari segi penerapan metode yang telah diterapkan sebelumnya
terbagi menjadi dua macam yaitu:
1. Tahkrij al-manath, yaitu menghubungkan hukum dengan hukum
yang sudah ditetapkan mujtahid sebelumnya.
2. Ijtihad Tarjih, yaitu usaha memilih yang terkuat dengan
membandingkan antara beberapa pendapat ulama terdahulu
kemudian menetapkan hukum.
2.5.1 Kedudukan Hasil Ijtihad
Hukum dari suatu permasalahan yang belum jelas dalilnya, baik
yang ada di Al-Quran dan Sunnah itulah yang akan mejadi kajian dari
ijtihad itu atau yang disebut dengan zhanny.Selain zhanny yang menjadi
bahasa dalam ijtihad adalah sesuatu yang bersifat Qaht’i yaitu sesuatu
yang telah jelas dalilnya seperti kewajiban melaksanakan shalat,zakat,
puasa dan lain sebagainya.
Secara logika hasil ijtihad itu tidak selalu benar, dan ketika
hasilnya salah maka mujtahid itu akan berdosa. Akan tetapi hal ini
dipatahkan pendapatnya Al-Anbary dan Al- Jahiz. Beliau mengatakan
bahwa semua hasil ijtihad itu benar dan tidak ada dosa baginya.
Di dalam ushul fiqih kedudukan ijtihad itu terbagi menjadi dua
golongan, yaitu:
1. Golongan I
Pendapat pertama mengatakan bahwa setiap hasil ijtihad itu benar
karena itu hasil jawban dari Allah dan ketika terjadi suatu perbedaan
itu dikarenakan tingkat keilmuan dari seorang mujtahid.
2. Golongan II
Golongan II mengatakan bahwa hasil ijtihad yang benar itu hanya
ada satu yaitu yang bedekatan dengan ketetapan Allah. dan Allah
hanya menetapkan hukum tertentu terhadap satu masalah. Para jumhur
ulama termasuk Asy-Syafi’i berdalil dengan hadis :
من اجتهد قاأصاب فله أجران ومن أخطأ فله أجر واحد (رواه البخرى و مسلم
“Siapa yang berijtihad dan ternyata benar, maka mendapat dua
pahala, dan (orang yang berijtihad) ternyata salah maka dapat satu
pahala” (H.R. Buchari dan Muslim).
2.6.1 Langkah-Langkah Dalam Ijtihad
Seorang mujtahid bila menemui atau menghadapi suatu
permasalahan yang membutuhkan jawaban hukum, maka perlu
memperhatikan langkah-langkah berikut ini:
Pertama, berpedoman pada Al-Quran terlebih dahulu, mencari
jawabannya di dalam Al-Quran, apabila tidak ditemukan maka perlu
mendalami dan mengamati dari segi umum dan khusus, mutlaq dan
muqayyadnya, dari segi nasakh mansukh. Bila tidak menemukan lagi
harus mencari di balik yang tersurat.
Kedua, berpedoman pada Sunnah nabi Muhammad, setelah
mencari pada Al-Quran.
Ketiga, kemudia mencarinya pada ijma’. Keempat, bila tidak
ditemukan jawabannya pada ijma’ maka perlu mencarinya pada
qiyas. Kelima, apabila sudah mencarinya dengan menghubungkannya
pada Al-Quran, sunnah dan sudah berusaha semaksimal mungkin, maka
perlu menggali dan menetapkannya dengan cara melihat keluar nash Al-
Quran dan sunnah dengan dalil-dalil yang diyakini kebenarannya.
2.2 Taqlid
Secara bahasa taqlid berasal dari kata َقَلََّد (qallada) – ُ( يُقَلِّدyuqollidu)
– ( تَ ْقلِ ْيدًاtaqlîdan). Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru,
menyerahkan, dan mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid
“penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari
mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti
pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta
dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar
atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu.
Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan
(pendapat)yang tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana
sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti
orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal
adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik
kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut
dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan
dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana
mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta
dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak
mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah swt berfirman:
ً وا بَلْ نَتَّبِ ُع َما َأ ْلفَ ْينَا َعلَ ْي ِه آبَاءنَا َأ َولَوْ َكانَ آبَاُؤ هُ ْم الَ يَ ْعقِلُونَ َشيْئا
ْ ُيل لَهُ ُم اتَّبِعُوا َما َأن َز َل هّللا ُ قَال
َ ِوَِإ َذا ق
8َوالَ يَ ْهتَدُون
“Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan
yang menyekutukan Allah swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang
telah Allah swt turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti
segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal
nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga
mendapat hidayah ( dari Allah swt )” (QS. Al-Baqarah[2]: 170).
2.2.1 Hukum Taqlid
Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam
hukum: Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan,
dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan.
1. Taqlid yang diharamkan.
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
a) Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek
moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an
Hadits.
b) Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil
perkataannya.
c) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang
bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
2. Taqlid yang dibolehkan
Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk
ittiba’ kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya
tersembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih
berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia
mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya
taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil
yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam
kepada ulama.
Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi
kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada
salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak
dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa
mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad
apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan
yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu
berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama
kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak
dalil baginya”
3. Taqlid yang diwajibkan
Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai
dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang
dikatakan oleh lbnul Qayyim: Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan
agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan al-
Hadis yang Allah swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu
mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:
ت هَّللا ِ َو ْال ِح ْك َم ِة ۚ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ لَ ِطيفًا خَ بِيرًا
ِ َو ْاذ ُكرْ نَ َما يُ ْتلَ ٰى فِي بُيُوتِ ُك َّن ِم ْن آيَا
“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah
swt dan hikmah (Sunnah Nabimu)”(QS. al-Ahzab[33]:34) lnilah Adz-Dzikr
yang Allah swt perintahkan agar kita selalu ittiba’(mengikuti) kepadanya, dan
Allah swt perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada
ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu
tentang Adz-Dzikr yang Allah swt turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu
ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-
Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.
4. Taqlid yang Berkembang
Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah
taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal
( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat
dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut,
tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang
yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang
terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-
kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu
Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
2.2.2 Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan
orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa
itu.
b. Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun
orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap
perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih
dahulu sebelum diamalkan.
c. Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan
meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa
pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d. Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh
orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para
sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang
sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan
mana yang salah ditinggalkan.
2.2.3 Syarat Taqlid
Seseorang yang akan bertaqlid kepada suatu madzhab, diwajibkan
untuk memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:
a) Diwajibkan memahami secara keseluruhan berbagai ketentuan imamnya
dalam perkara yang diikuti, seperti halnya syarat dan kewajibannya.
Contoh: Jika akan mengikuti madzhab Hanafi dalam perkara saling
bersentuhannya kulit dengan lawan jenis yang bukan mahramnya tidak
menghilangkan suatu wudhu', maka dia juga harus mengikuti berbagai
ketentuan yang diwajibkan oleh Imam Hanafi dalam perkara wudhu',
seperti diusapnya kepala sampai ubun-ubun dan lain sebagainya.
b) Tidak bertaqlid seusai dilakukannya perkara yang akan ditaqlidkan
tersebut. Contoh: Umar merupakan seorang muslim yang menganut
madzhab Syafi'i. Pada suatu siang di bulan Ramadhan, Umar teringat
bahwa pada malam hari sebelumnya ia tidak mengucapkan niat puasa,
padahal dalam madzhab Syafi'i diwajibkan untuk menunaikan niat puasa
pada malam harinya. Kemudian pada siang hari tersebut, Umar
memutuskan untuk berpindah haluan ke madzhab Maliki yang notabene
tidak mewajibkan berniat puasa pada malam harinya. Bertaqlid semacam
ini memiliki hukum khilaf (boleh dilakukan apabila tidak ada suatu
kesengajaan dan belum mengetahui hukum madzhab yang dianutnya).
c) Tidak diperkenankan memilih pendapat yang mudah-mudah saja.
Maksudnya, orang yang akan bertaqlid tidak diperbolehkan memilih
pendapat yang mudah-mudah saja dari berbagai madzhab.
d) Bertaqlid haruslah kepada seorang imam yang telah menyandang predikat
sebagai mujtahid muthlaq, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi'i dan Imam Hanbali. Diperolehkan juga bertaqlid kepada seorang
imam yang menyandang predikat sebagai mujtahid muntasib (mujtahid
yang masih bertautan dengan sebuah madzhab tertentu), seperti Imam
Rafi'i, Nawawi, Ramli dan Ibnu Hajar, tetapi dikecualikan jika pendapat
mereka sangatlah dhaif sekali.
e) Tidak diperkenankan menggabungkan dua pendapat imam dalam satu
persoalan hukum (qadhiyah), yang akan berujung tidak disahkannya oleh
masing-masing imam. Contoh: Dalam berwudhu, Khalid hanya mengusap
sebagian kepalanya saja layaknya hukum yang terdapat dalam Imam
Syafii. Sejalan kemudian kulit si Khalid bersentuhan dengan seseorang
lawan jenis yang bukan mahramnya tanpa syahwat, Khalid merasa
wudhunya tidaklah batal karena dalam hal ini ia mengikuti Imam Maliki.
Setelah itu Khalid tetap melaksanakan ibadah shalat. Taqlid semacam ini
tidaklah dibenarkan, karena dalam satu persoalan hukum yang sama yaitu
shalat, si Khalid telah melanggar hukum persentuhan kulit berdasarkan
madzhab Imam Syafi'i, begitu juga dia juga melanggar hukum wudhu
yang ditetapkan Imam Maliki yang mengharuskan menguap seluruh
bagian rambut. Jadi, menurut pandangan kedua madzhab, shalat yang
ditunaikan oleh Khalid tidaklah sah.
2.3 Talfiq
3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan-kesalahan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan
pembaca dapat menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap hasil
penulisan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
Djalil,Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (satu & dua). Jakarta: Kencana.
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. "Hukum Taqlid, Doa Iftitah dan