Anda di halaman 1dari 23

IJTIHAD,TAQLID,TALFIQ

Dosen Pengampu :
M.Munif

Disusun oleh
Kelompok 10 :

1. Dela Ayu Fernanda (041810201)


2. Hasan Arif Pambudi (041810211)
3. Laelatur Rizqi Thoiyibah (041810216)
4. Silvia Karvika Putri (041810233)

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS ISLAM LAMONGAN
2021
KATA PENGANTAR

Segala rasa puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT yang Maha
ESA, karna berkat rahmat serta hidayatnya kami bisa menyelesaikan makalah
tentang “Ijtihad,Taqlid,Talfuq”
Makalah ini telah di susun semaksimal mungkin dengan bantuan dari
berbagai sumber akurat yang telah dibaca. penulis juga berharap bahwa makalah
ini dapat menambah acuan pengetahuan bagi kalian yang membacanya.
Karena adanya keterbatasan pengetahuan penulis, makalah ini mungkin
jauh dari kata sempurna, karna di dunia ini tiada yang sempurna. Masih banyak
kekurangan yang ada dalam makalah ini. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik kalian supaya membantu makalah ini menjadi
lebih baik lagi dan diminati.

Lamongan, 24 November 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ilmu ushul fiqh merupakan metode dalam menggali dan menerapkan


hukum, itu sangat berguna untuk membimbing para mujahidin dalam
mengistimbatkan hukum syara’ secara benar dan dapat dipertanggung
jawabkan hasilnya. Melalui ushul fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam
menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatannya bertentangan dalam dalil lainya.
Dalam ushul fiqh juga dibahas tentang “ijtihad, taqlid dan talfiq”
ketiganya memiliki arti yang berbeda dan maksudpun berbeda. Tetai
ketiganya sangat jelas dalam islam didasarkan dalam al-qur’an surah an-nahl
ayat 43 yang artinya “ dan kami telah mengutus sebelum kamu kecuali orang-
orang lelaki yang kami beri wahyu pada mereka, maka bertanyalah pada
orangyang mempunyai pengetahuan yang kamu tidak tahu”.

1.2. Rumusan Masalah


1. Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang ijtihad?
2. Jelakan apa yang kamu ketahui tentang taqlid?
3. Jelaskan apa yang kamu ketahui tentang talfiq?
1.3. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui tentang ijtihad?
2. Untuk mengetahui tentang taqlid?
3. Untuk mengetahui tentang talfiq?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Ijtihad
Ijtihad (‫اد‬88‫ )اجته‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau
mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad
ialah berusaha untuk berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh.,
yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha
mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam
Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya,
diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli
agama Islam.
Menurut Dr. Wahbah az Zuhaili, ijtihad adalah perbuatan istimbath
hukum syari`at dari segi dalil-dalilnya yang terperinci di dalam
syari`at.Imam al Ghazali, mendefinisikan ijtihad dengan ”usaha sungguh-
sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mengetahui hukum-hukum
syari`at”. Sedangkan menurut Imam Syafi`i, arti sempit ijtihad adalah
qiyas.
Tujuan Ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia
akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat
tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
2.1.1 Jenis-Jenis Ijtihad
1. ijma'
Ijma' artinya sepakat yakni sepakat para ulama dalam menetapkan
suatu hukum hukum dalam agama berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits
dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah sepakat bersama yang dilakukan
oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan
disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para
ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
2. Ijma’ dalam istilah ahli ushul
Ijma’ dalam istilah ahli ushul adalah sepakat semua para mujtahid
dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafat Rasul Saw atas
hukum syara'.
Adapun rukun ijma’ dalam definisi di atas adalah adanya sepakat
para mujtahid kaum muslimin dalam suatu masa atas hukum syara’ .
Kesepakatan itu dapat dikelompokan menjadi empat hal:
a. Tidak cukup ijma’ dikeluarkan oleh seorang mujtahid apabila
keberadaanya hanya seorang (mujtahid) saja di suatu masa. Karena
‘kesepakatan’ dilakukan lebih dari satu orang, pendapatnya disepakati
antara satu dengan yang lain.
b. Adanya kesepakatan sesama para mujtahid atas hukum syara’ dalam
suatu masalah, dengan melihat negeri, jenis dan kelompok mereka.
Andai yang disepakati atas hukum syara’ hanya para mujtahid
haramain, para mujtahid Irak saja, Hijaz saja, mujtahid ahlu Sunnah,
Mujtahid ahli Syiah, maka secara syara’ kesepakatan khusus ini tidak
disebut Ijma’. Karena ijma’ tidak terbentuk kecuali dengan
kesepakatan umum dari seluruh mujtahid di dunia Islam dalam suatu
masa.
c. Hendaknya kesepakatan mereka dimulai setiap pendapat salah seorang
mereka dengan pendapat yang jelas apakah dengan dalam bentuk
perkataan, fatwa atau perbuatan.
d. Kesepakatan itu terwujudkan atas hukum kepada semua para mujtahid.
Jika sebagian besar mereka sepakat maka tidak membatalkan
kespekatan yang ‘banyak’ secara ijma’ sekalipun jumlah yang berbeda
sedikit dan jumlah yang sepakat lebih banyak maka tidak menjadikan
kesepakatan yang banyak itu hujjah syar’i yang pasti dan mengikat.
3. Kehujjahan Ijma’
Apabila rukun ijma’ yang empat hal di atas telah terpenuhi dengan
menghitung seluruh permasalahan hukum pasca kematian Nabi Saw dari
seluruh mujtahid kaum muslimin walau dengan perbedaan negeri, jenis
dan kelompok mereka yang diketahui hukumnya. Perihal ini, nampak
setiap mujtahid mengemukakan pendapat hukumnya dengan jelas baik
dengan perkataan maupun perbuatan baik secara kolompok maupun
individu.
Selanjutnya mereka mensepakati masalah hukum tersebut,
kemudian hukum itu disepakati menjadi aturan syar’i yang wajib diikuti
dan tidak mungkin menghindarinya. Lebih lanjut, para mujtahid tidak
boleh menjadikan hukum masalah ini (yang sudah disepakati) garapan
ijtihad, karena hukumnya sudah ditetapkan secara ijma’ dengan hukum
syar’i yang qath’i dan tidak dapat dihapus (dinasakh).
2.2.1 Syarat-syarat Mujtahid
Mujtahid adalah orang-orang yang melakukan ijtihad, harus
memenuhi syarat berikut ini :
a. Mengetahui dan memahami bahasa Arab
b. Memahami Al-Quran dan Nasikh Mansukh
c. Memahami tentang sunnah
d. Mengetahui hal-hal yang di-Ijma’kan
e. Memahami tentang qiyas
f. Mengetahui maksut-maksut hukum
g. Berhati bersih dan berniat lurus menurut sebagian ulama, hal ini untuk
mempermudah pemecahan dalam masalah
2.3.1 Hukum Melakukan Ijtihad
Bagi orang yang sudah memiliki kemampuan dalam berijtihad
maka berijtihad itu hukumnya wajib  dikarenakan jumlahnya hukum Allah
itu terbatas. Sedangkan permasalahan dalam kehidupan ini bermacam-
macam dan berkembang, maka perlu yang namanya ijtihad.
Dalil yang mewajibkan ijtihad yaitu Q.S. An-Nisa’ ayat 59 :
‫فان تنا زعتم في شئ فردوه الى هللا والرسول ان كنتم تؤمنون با هللا واليوم االخر ذلك خير و‬
‫احسن تأويال‬
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika
kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Q.S. Al-Hasyr ayat 2 :
‫فعتبروا ياألي األبصار‬
“Maka Ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-
orang  yang mempunyai pandangan.”
Hukum ijtihad untuk mujtahid tergantung keadaan tertentu, karena
kedudukannya sebagai seorang faqih pendapatnya diikuti dan di amalkan
orang lain.
a) Wajib ‘Ain
Seseorang akan dihukumi wajib ain dalam melakukan ijtihad
apabila ia adalah satu-satunya seorang faqih yang mampu melakukan
ijtihad pada waktu itu. Dan apabila dia tidak mau melakukan
dikhawatirkan suatu permasalahan itu lepas dari hukum.
b) Wajib Kifayah
Seseorang akan dihukumi wajib kifayah dalam melakukan ijtihad
apabila dilingkungan tersebut dan pada waktu itu ada beberapa orang
yang mampu berijtihad.
c) Sunnah
Seseorang akan dihukumi sunnah dalam berijtihad apabila
permasalahan yang diajukan oleh masyarakat belum terjadi dan
dikhawatirkan akan terjadi di kemudian hari.
d) Haram
Seseorang akan dihukumi haram dalam berijtihad apabila hukum
itu sudah ditetapkan dengan jelas dan sudah berlaku. Dan dia tidak
memiliki ilmu tentang ijtihad.
e) Mubah
Seseorang akan dihukumi mubah apabila sudah ada hukum namun
sandaran hukumnya lemah.
2.4.1 Pembagian Dan Macam-Macam Ijtihad
Para ulama ushul fiqh telah membagi macam-macam ijtihad dari
berbagai segi, berikut pembagiannya :
A. Dilihat dari segi kerja mujtahid terbagi menjadi dua macam yaitu :
1. Ijitihad istinbati, yaitu berusaha untuk berijtihad dengan
mengeluarkan hukum dari dalilnya dengan cara menetapkan
sendiri metodenya.
2. Ijtihad tathbiqi, yaitu berusaha untuk berijtihad menggali dan
menetapkan hukum dengan metode yang sudah ditetapkan oleh
generasi imam sebelumnya.
B. Dilihat dari segi penerapan metode yang telah diterapkan sebelumnya
terbagi menjadi dua macam yaitu:
1. Tahkrij al-manath, yaitu menghubungkan hukum dengan hukum
yang sudah ditetapkan mujtahid sebelumnya.
2. Ijtihad Tarjih, yaitu usaha memilih yang terkuat dengan
membandingkan antara beberapa pendapat ulama terdahulu
kemudian menetapkan hukum.
2.5.1 Kedudukan Hasil Ijtihad
Hukum dari suatu permasalahan yang belum jelas dalilnya, baik
yang ada di Al-Quran dan Sunnah itulah yang akan mejadi kajian dari
ijtihad itu atau yang disebut dengan zhanny.Selain zhanny yang menjadi
bahasa dalam ijtihad adalah sesuatu yang bersifat Qaht’i yaitu sesuatu
yang telah jelas dalilnya seperti kewajiban melaksanakan shalat,zakat,
puasa dan lain sebagainya.
Secara logika hasil ijtihad itu tidak selalu benar, dan ketika
hasilnya salah maka mujtahid itu akan berdosa. Akan tetapi hal ini
dipatahkan pendapatnya Al-Anbary dan Al- Jahiz. Beliau mengatakan
bahwa semua hasil ijtihad itu benar dan tidak ada dosa baginya.
Di dalam ushul fiqih kedudukan ijtihad itu terbagi menjadi dua
golongan, yaitu:
1. Golongan I
Pendapat pertama mengatakan bahwa setiap hasil ijtihad itu benar
karena itu hasil jawban dari Allah dan ketika terjadi suatu perbedaan
itu dikarenakan tingkat keilmuan dari seorang mujtahid.
2. Golongan II
Golongan II mengatakan   bahwa hasil ijtihad yang benar itu hanya
ada satu yaitu yang bedekatan dengan ketetapan Allah. dan Allah
hanya menetapkan hukum tertentu terhadap satu masalah. Para jumhur
ulama termasuk Asy-Syafi’i berdalil dengan hadis :
‫من اجتهد قاأصاب فله أجران ومن أخطأ فله أجر واحد (رواه البخرى و مسلم‬
“Siapa yang berijtihad dan ternyata benar, maka mendapat dua
pahala, dan (orang yang berijtihad) ternyata salah maka dapat satu
pahala” (H.R. Buchari dan Muslim).
2.6.1 Langkah-Langkah Dalam Ijtihad
Seorang mujtahid bila menemui atau menghadapi suatu
permasalahan  yang membutuhkan jawaban hukum, maka perlu
memperhatikan langkah-langkah berikut ini:
Pertama, berpedoman pada Al-Quran terlebih dahulu, mencari
jawabannya di dalam Al-Quran, apabila tidak ditemukan maka perlu
mendalami dan mengamati dari segi umum dan khusus, mutlaq dan
muqayyadnya, dari segi nasakh mansukh. Bila tidak menemukan lagi
harus mencari di balik yang tersurat.
Kedua, berpedoman pada Sunnah nabi Muhammad, setelah
mencari pada Al-Quran.
Ketiga, kemudia mencarinya pada ijma’. Keempat, bila tidak
ditemukan jawabannya pada ijma’ maka perlu mencarinya pada
qiyas. Kelima, apabila sudah  mencarinya dengan menghubungkannya
pada Al-Quran, sunnah dan sudah berusaha semaksimal mungkin, maka
perlu menggali dan menetapkannya dengan cara melihat keluar nash Al-
Quran dan sunnah dengan dalil-dalil yang diyakini kebenarannya.
2.2 Taqlid
Secara bahasa taqlid berasal dari kata َ‫قَلََّد‬  (qallada) – ُ‫( يُقَلِّد‬yuqollidu)
– ‫( تَ ْقلِ ْيدًا‬taqlîdan). Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru,
menyerahkan, dan mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid
“penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari
mana asal kata itu”.
Menurut Muhammad Rasyid Ridha, taqlid ialah mengikuti
pandapat orang lain yang dianggap terhormat dalam masyarakat serta
dipercaya tentang suatu hukum agama Islam tanpa memperhatikan benar
atau salahnya, baik atau buruknya, manfaat atau mudlarat hukum itu.
Sedangkan menurut istilah taqlid adalah mengikuti perkataan
(pendapat)yang tidak ada hujjahnya atau tidak mengetahui darimana
sumber atau dasar perkataan(pendapat) itu. ketika seseorang mengikuti
orang lain tanpa dalil yang jelas, baik dalam hal ibadah, maupun dalam hal
adat istiadat. Baik yang diikuti itu masih hidup, atau pun sudah mati. Baik
kepada orang tua maupun nenek moyang, hal seperti itulah yang disebut
dengan taqlid buta. Sifat inilah yang disandang oleh orang-orang kafir dan
dungu, dari dahulu kala hingga pada zaman kita sekarang ini, dimana
mereka menjalankan ibadah mereka sehari-hari berdasarkan taqlid buta
dan mengikuti perbuatan nenek-nenek moyang mereka yang tidak
mempunyai dalil dan argumen sama sekali. Allah swt berfirman:
ً ‫وا بَلْ نَتَّبِ ُع َما َأ ْلفَ ْينَا َعلَ ْي ِه آبَاءنَا َأ َولَوْ َكانَ آبَاُؤ هُ ْم الَ يَ ْعقِلُونَ َشيْئا‬
ْ ُ‫يل لَهُ ُم اتَّبِعُوا َما َأن َز َل هّللا ُ قَال‬
َ ِ‫وَِإ َذا ق‬
8‫َوالَ يَ ْهتَدُون‬
“Dan apabila dikatakan kepada mereka ( orang-orang kafir dan
yang menyekutukan Allah swt ): “ikutilah semua ajaran dan petunjuk yang
telah Allah swt turunkan”. Mereka menjawab: “Kami hanya mengikuti
segala apa yang telah dilakukan oleh nenek-nenek moyang kami”. Padahal
nenek-nenek moyang mereka itu tidak mengerti apa-apa dan tidak juga
mendapat hidayah ( dari Allah swt )” (QS. Al-Baqarah[2]: 170).
2.2.1 Hukum Taqlid
Dalam menghukumi taqlid menurut para ulama terdapat 3 macam
hukum: Pertama, Taqlid yang diharamkan, kedua, Taqlid yang diwajibkan,
dan ketiga, Taqlid yang dibolehkan.
1. Taqlid yang diharamkan.
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
a) Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek
moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an
Hadits.
b) Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil
perkataannya.
c) Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang
bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
2. Taqlid yang dibolehkan
Adalah taqlidnya seorang yang sudah mengerahkan usahanya untuk
ittiba’ kepada apa yang diturunkan Allah swt. Hanya saja sebagian darinya
tersembunyi bagi orang tersebut sehingg dia taqlid kepada orang yang lebih
berilmu darinya, maka yang seperti ini adalah terpuji dan tidak tencela, dia
mendapat pahala dan tidak berdosa. Taqlid ini sifatnya sementara. Misalnya
taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil
yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan. Termasuk taqlidnya orang awam
kepada ulama.
Ulama muta-akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi
kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
a. Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada
salah satu pendapat dari keempat madzhab.
b. Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak
dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa
mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
Syaikhul Islam lbnu Taimiyah berkata, “Adapun orang yang mampu ijtihad
apakah dibolehkan baginya taqlid? ini adalah hal yang diperselisihkan, dan
yang shahih adalah dibolehkan ketika dia dalam keadaan tidak mampu
berijtihad entah karena dalil-dalil (dan pendapat yang berbeda) sama-sama
kuat atau karena sempitnya waktu untuk berijtihad atau karena tidak nampak
dalil baginya”
3. Taqlid yang diwajibkan
Adalah taqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai
dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah saw. Juga apa yang
dikatakan oleh lbnul Qayyim: Sesungguhnya Allah swt telah memerintahkan
agar bertanya kepada Ahlu Dzikr, dan Adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan al-
Hadis yang Allah swt perintahkan agar para istri Nabi-Nya selalu
mengingatnya sebagaimana dalam firman-Nya:
‫ت هَّللا ِ َو ْال ِح ْك َم ِة ۚ ِإ َّن هَّللا َ َكانَ لَ ِطيفًا خَ بِيرًا‬
ِ ‫َو ْاذ ُكرْ نَ َما يُ ْتلَ ٰى فِي بُيُوتِ ُك َّن ِم ْن آيَا‬
“ Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dan ayat-ayat Allah
swt dan hikmah (Sunnah Nabimu)”(QS. al-Ahzab[33]:34) lnilah Adz-Dzikr
yang Allah swt perintahkan agar kita selalu ittiba’(mengikuti) kepadanya, dan
Allah swt perintahkan orang yang tidak memiliki ilmu agar bertanya kepada
ahlinya. Inilah yang wajib atas setiap orang agar bertanya kepada ahli ilmu
tentang Adz-Dzikr yang Allah swt turunkan kepada Rasul-Nya agar ahli ilmu
ini memberitahukan kepadanya. Kalau dia sudah diberitahu tentang Adz-
Dzikr ini maka tidak boleh baginya kecuali ittiba’ kepadanya.
4. Taqlid yang Berkembang
Taqlid yang berkembang sekarang, khususnya di Indonesia ialah
taqlid kepada buku, bukan taqlid kepada imam-imam mujtahid yang terkenal
( Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, As Syafi`i, dan Hambali).
Jamaludin al Qosini (w. 1332 H) : “segala perkataan atau pendapat
dalam suatu madzhab itu tidak dapat dipandang sebagai madzhab tersebut,
tetapi hanya dapat dipandang sebagai pendapat atau perkataan dari orang
yang mengatakan perkataan itu”.
Taqlid kepada yang mengaku bertaqlid kepada imam mujtahid yang
terkenal, sambil menyisipkan pendapatnya sendiri yang ditulis dalam kitab-
kitabnya. Taqlid yang seperti ini tidak dibolehkan oleh Ad Dahlawi, Ibnu
Abdil Bar, Al Jauzi dan sebagainya.
2.2.2 Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid
a. Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan
orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa
itu.
b. Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun
orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan. Setiap
perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih
dahulu sebelum diamalkan.
c. Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan
meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa
pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
d. Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh
orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para
sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang
sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan
mana yang salah ditinggalkan.
2.2.3 Syarat Taqlid
Seseorang yang akan bertaqlid kepada suatu madzhab, diwajibkan
untuk memenuhi beberapa ketentuan sebagai berikut:
a) Diwajibkan memahami secara keseluruhan berbagai ketentuan imamnya
dalam perkara yang diikuti, seperti halnya syarat dan kewajibannya.
Contoh: Jika akan mengikuti madzhab Hanafi dalam perkara saling
bersentuhannya kulit dengan lawan jenis yang bukan mahramnya tidak
menghilangkan suatu wudhu', maka dia juga harus mengikuti berbagai
ketentuan yang diwajibkan oleh Imam Hanafi dalam perkara wudhu',
seperti diusapnya kepala sampai ubun-ubun dan lain sebagainya.
b) Tidak bertaqlid seusai dilakukannya perkara yang akan ditaqlidkan
tersebut. Contoh: Umar merupakan seorang muslim yang menganut
madzhab Syafi'i. Pada suatu siang di bulan Ramadhan, Umar teringat
bahwa pada malam hari sebelumnya ia tidak mengucapkan niat puasa,
padahal dalam madzhab Syafi'i diwajibkan untuk menunaikan niat puasa
pada malam harinya. Kemudian pada siang hari tersebut, Umar
memutuskan untuk berpindah haluan ke madzhab Maliki yang notabene
tidak mewajibkan berniat puasa pada malam harinya. Bertaqlid semacam
ini memiliki hukum khilaf (boleh dilakukan apabila tidak ada suatu
kesengajaan dan belum mengetahui hukum madzhab yang dianutnya).
c) Tidak diperkenankan memilih pendapat yang mudah-mudah saja.
Maksudnya, orang yang akan bertaqlid tidak diperbolehkan memilih
pendapat yang mudah-mudah saja dari berbagai madzhab.
d) Bertaqlid haruslah kepada seorang imam yang telah menyandang predikat
sebagai mujtahid muthlaq, seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi'i dan Imam Hanbali. Diperolehkan juga bertaqlid kepada seorang
imam yang menyandang predikat sebagai mujtahid muntasib (mujtahid
yang masih bertautan dengan sebuah madzhab tertentu), seperti Imam
Rafi'i, Nawawi, Ramli dan Ibnu Hajar, tetapi dikecualikan jika pendapat
mereka sangatlah dhaif sekali.
e) Tidak diperkenankan menggabungkan dua pendapat imam dalam satu
persoalan hukum (qadhiyah), yang akan berujung tidak disahkannya oleh
masing-masing imam. Contoh: Dalam berwudhu, Khalid hanya mengusap
sebagian kepalanya saja layaknya hukum yang terdapat dalam Imam
Syafii. Sejalan kemudian kulit si Khalid bersentuhan dengan seseorang
lawan jenis yang bukan mahramnya tanpa syahwat, Khalid merasa
wudhunya tidaklah batal karena dalam hal ini ia mengikuti Imam Maliki.
Setelah itu Khalid tetap melaksanakan ibadah shalat. Taqlid semacam ini
tidaklah dibenarkan, karena dalam satu persoalan hukum yang sama yaitu
shalat, si Khalid telah melanggar hukum persentuhan kulit berdasarkan
madzhab Imam Syafi'i, begitu juga dia juga melanggar hukum wudhu
yang ditetapkan Imam Maliki yang mengharuskan menguap seluruh
bagian rambut. Jadi, menurut pandangan kedua madzhab, shalat yang
ditunaikan oleh Khalid tidaklah sah.
2.3 Talfiq

Asal kata dari talfiq adalah ‫لفّق‬ yang berarti mempertemukan


menjadi satu. Sedangkan makna talfiq dalam ilmu ushul fiqih yaitu:
ٍ َّ‫اَ ْل َع َم ُل بِ ُح ْك ٍم ُمَؤ ل‬
‫ف بَيْن‬
‫َم ْذهَبَ ْي ِن اَ ْكثَ َر‬
“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua madzhab atau
lebih” Dari penjelasan di atas, maka bisa dikatakan jika talfiq itu memiliki
arti yaitu mencampurkan pendapat dua mujahid atau lebih akan satu
masalah yang sama atapun berbeda.
Talfiq berarti “manyamakan” atau “merapatkan dua tepi yang
berbeda”. Menurut istilah, talfiq ialah mengambil atau mengikuti hukum
dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai
macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi adalah sah asal ada
iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah tanpa wali,
sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam agama, selama tujuan
melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan pendapat yang
paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan
mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya.
Ada talfiq yang tujuannya untuk mencari yang ringan-ringan saja,
yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah dikerjakan sekalipun dasar
hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para ulama. Jadi talfiq
itu hakekatnya pada niat.
2.3.1 Pendapat-Pendapat Tentang Talfiq
Pendapat pertama, orang awam harus mengikuti madzhab tertentu,
tidak boleh memilih suatu pendapat yang ringan karena tidak mempunyai
kemampuan untuk memilih. Karena itu mereka belum boleh melakukan
talfiq.
Pendapat kedua, membolehkan talfiq dengan syarat tidak akan
menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan salah satu madzhab
yang ditalfiqan itu.
Pendapat ketiga, membolehkan talfiq tanpa syarat dengan maksud
mencari yang ringan-ringan sesuai dengan kehendak dirinya.
2.3.2 Ruang Lingkup Talfiq
Talfiq sama seperti taqlid dalam hal ruang lingkupnya, yaitu hanya
pada perkara-perkara ijtihad yang bersifat zhanniyah (perkara yang belum
diketahui secara pasti dalam agama). Adapun hal-hal yang diketahui dari
agama secara pasti (ma’luumun minaddiini bidhdharuurah), dan perkara-
perkara yang telah menjadi ijma’, yang mana mengingkarinya adalah kufr,
maka di situ tidak boleh ada taqlid, apalagi talfiq.
2.3.3 Hukum Talfîq
Ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum talfîq. Satu
kelompok mengharamkan, dan satu kelompok lagi membolehkan.
1. Ulama Hanafiyah mengklaim ijma' kaum muslimin atas keharaman
talfiq. Sedangkan di kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah
ketetapan.
2. Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq adalah
menyalahi ijma'.
3. Ulama Hanafiyah mengklaim ijma' kaum muslimin atas keharaman
talfiq. Sedangkan di kalangan Syafi'iyah, hal itu menjadi sebuah
ketetapan.
4. Ibnu Hajar mengatakan: ”Pendapat yang membolehkan talfiq adalah
menyalahi ijma'.
Adapun lebih jelasnya mengenai perbedaan hukum dari
pada talfiq adalah sebagai berikut:
1. Hukum talfiq yang pertama adalah tidak boleh. Artinya seseorang itu
tidak boleh berpindah madzhab dalam suatu masalah yang sama
ataupun berbeda. Madzhab yang berpendapat demikian adalah
madzhab Syafi’i.
2. Sedangkan madzhab Hanafi memiliki pendapat yang lebih ringan dari
Syafi’i, yaitu memperbolehkan ber-talfiq dalam masalah yang
berbeda. Misal, hal-hal yang membatalkan wudlu mengikuti madzhab
tertentu dan masalah tentang massa iddah wanita yang ditalak
mengkuti madzhab tertentu.
3. Ada juga yang berpendapat jika ber-talfiq itu boleh jika dimaksudkan
untuk menghindari kesulitan ajaran agama yang dianutnya. Atau
dalam hal berjuang untuk kemaslahatan umum juga diperbolehkan
untuk ber-talfiq.
4. Dan hukum ber-talfiq juga bisa menjadi haram apabila seseorang itu
melakukannya atas dasar ingin melecehkan agama.
2.3.4 Dalil Kelompok Yang Mengharamkan Talfiq
Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan ulama ushul
fiqh tentang ijma' atas ketidakbolehan menciptakan pendapat ketiga
apabila para ulama terbagi kepada dua kelompok tentang hukum suatu
perkara. Karena menurut mayoritas ulama, tidak boleh menciptakan
pendapat ketiga yang meruntuhkan (menyalahi) sesuatu yang telah
disepakati. Misalnya 'iddah wanita hamil yang suaminya meninggal dunia,
terdapat dua pendapat, pertama: hingga melahirkan, kedua: yang paling
jauh (lama) dari dua tempo 'iddah(‘iddah melahirkan dan ‘iddah yang
ditiggal oleh suaminya karena kematian). Maka tidak boleh menciptakan
pendapat ketiga, misalnya dengan beberapa bulan saja.
Akan tetapi jika ditinjau lebih dalam, terlihat bahwa alasan ini
tidak bisa dibenarkan sepenuhnya, karena meng-qiyaskan talfiq atas
ihdaatsu qaul tsaalits (menciptakan pendapat ketiga) adalah merupakan
qiyas antara dua hal yang berbeda. Hal itu dapat dilihat dari dua sisi:
1. Terciptanya pendapat ketiga terjadi apabila permasalahannya hanya
satu, sedangkan talfiq terjadi dalam beberapa permasalahan. Misalnya,
kefardhuan menyapu kepala adalah sebuah permasalahan, sementara
permasalahan batalnya wudhu' karena bersentuhan dengan wanita
adalah permasalahan lain. Jadi, talfiq terjadi bukan dalam satu
permasalahan, maka tidak terjadi pendapat ketiga.
2. Berdasarkan pada pendapat yang paling kuat, dalam permasalahan
talfiq tidak terdapat suatu sisi yang disepakati oleh para ulama.
Misalnya, persoalan menyapu kepala merupakan khilaf di kalagan
ulama, apakah wajib seluruhnya ataukah sebagian saja. Demikian pula
batalnya wudhu' dengan menyentuh perempuan merupakan
permasalahan yang menjadi khilaf, apakah ia memang membatalkan
wudhu' ataukah tidak. Maka, dalam perkara talfiq, tidak ada sisi yang
disepakati (ijma').
Dengan demikian, pendapat yang mengharamkan talfiq telah
dilandaskan pada dasar yang salah yaitu qiyas ma'al faariq.
Apabila ulama Hanafiyah mengklaim ijma' atas keharaman talfiq,
akan tetapi realita yang ada sangat bertentangan. Ulama-ulama terpercaya
seperti Al Fahâmah Al Amîr dan Al Fâdhil Al Baijuri telah menukilkan
apa yang menyalahi dakwaan ulama Hanafiyah tersebut. Maka klaim
adanya ijma' adalah bathil.
Berkata Al Syafsyawani tentang penggabungan dua mazhab atau
lebih dalam sebuah masalah: ”Para ahli ushul berbeda pendapat tentang
hal ini. Yang benar berdasarkan sudut pandang adalah kebolehannya
(talfiq).”
Prof. Dr. Wahbah Az Zuhaili berkata: ”Adapun klaim ulama
Hanafiyah bahwa keharaman talfiq merupakan ijma', maka hal itu adakala
dengna i'tibar ahli mazhab (ijma' mazhab Hanafi), atau dengan i'tibar
kebanyakan. Dan adakala juga berdasarkan pendengaran ataupun
persangkaan belaka. Sebab, jika sebuah permasalahan telah menjadi ijma',
pastilah ulama mazhab yang lain telah menetapkannya (mengatakannya)
juga....”
2.3.5 Dalil Kelompok Yang Membolehkan
Para ulama yang membolehkan talfiq, mereka berdalil dengan
beberapa alasan:
1. Alasan Pertama
Tidak adanya nash di dalam al-Quran atau pun as-Sunnah yang
melarang talfiq ini. Setiap orang berhak untuk berijtihad dan tiap orang
berhak untuk bertaqlid kepada ahli ijtihad. Dan tidak ada larangan bila kita
sudah bertaqlid kepada satu pendapat dari ahli ijtihad untuk bertaqlid juga
kepada ijtihad orang lain.
Di kalangan para shahabat nabi saw terdapat para shahabat yang
ilmunya lebih tinggi dari yang lainnya. Banyak shahabat yang lainnya
kemudian menjadikan mereka sebagai rujukan dalam masalah hukum.
Misalnya mereka bertanya kepada Abu Bakar ra, Umar bin Al-Khattab ra,
Utsman ra, Ali ra, Ibnu Abbas ra, Ibnu Mas''ud ra, Ibnu Umar ra dan
lainnya. Seringkali pendapat mereka berbeda-beda untuk menjawab satu
kasus yang sama.
Namun tidak seorang pun dari para shahabat yang berilmu itu yang
menetapkan peraturan bahwa bila seseorang telah bertanya kepada dirinya,
maka untuk selamanya tidak boleh bertanya kepada orang lain.
Dan para iman mazhab yang empat itu pun demikian juga, tak satu
pun dari mereka yang melarang orang yang telah bertaqlid kepadanya
untuk bertaqlid kepada imam selain dirinya.
Maka dari mana datangnya larangan untuk itu, kalau tidak ada di
dalam Quran, sunnah, perkataan para shahabat dan juga pendapat para
imam mazhab sendiri?
2. Alasan Kedua
Pada hari ini, nyaris orang-orang sudah tidak bisa bedakan lagi,
mana pendapat Syafi''i dan mana pendapat Maliki, tidak ada lagi yang tahu
siapa yang berpendapat apa, kecuali mereka yang secara khusus belajar di
fakultas syariah jurusan perbandingan mazhab. Dan betapa sedikitnya
jumlah mereka hari ini dibandingkan dengan jumlah umat Islam secara
keseluruhan. Maka secara pasti dan otomatis, semua orang akan
melakukan talfiq, dengan disadari atau tidak. Kalau hukum talfiq ini
diharamkan, maka semua umat Islam di dunia ini berdosa. Dan ini tentu
tidak logis dan terlalu mengada-ada.
3. Alasan Ketiga
Nabi saw melalui Aisyah disebutkan:
“Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang
paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut
adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut
“.
Adanya dua pilihan maksudnya ada dua pendapat yang masing-
masing dilandasi dalil syar'i yang benar. Namun salah satunya lebih ringan
untuk dikerjakan. Maka nabi saw selalu cenderung untuk mengerjakan
yang lebih ringan.
Itu nabi Muhammad saw sendiri, seorang nabi utusan Allah swt.
Lalu mengapa harus ada orang yang main larang untuk melakukan apa
yang telah nabi lakukan?
Dan ini merupakan salah satu dasar tegaknya syariat Islam yaitu
member kemudahan, tidak menyusahkan dan mengangkat kesempitan, hal
ini sesuai pula dengan sabda Nabi Muhammad saw:
“Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang
yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”.Diantara
para ulama yang mendukung talfiq adalah:
‘Al-Izz Ibnu Abdissalam menyebutkan bahwa dibolehkan bagi
orang awam mengambil rukhsah (keringanan) beberapa madzhab (talfiq),
karena hal tersebut adalah suatu yang disenangi. Dengan alasan bahwa
agama Allah swt itu mudah (dinu al-allahi yusrun) serta firman Allah swt
dalam surat al-Hajj ayat 78:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam satu
agama suatu kesempitan. Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik
talfiq ini bisa dilakukan selama ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan
tersebut ketika dikonfirmasi terhadap semua pendapat imam madzhab
yang diikutinya.
Demikian juga dengan para ulama kontemporer zaman sekarang,
semacam Dr. Wahbah Az-Zuhaili, menurut beliau talfiq tidak masalah
ketika ada hajat dan dlarurat, asal tanpa disertai main-main atau dengan
sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama sekali tidak
mengandung maslahat syar‘iyat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Ijtihad (‫اد‬88‫ )اجته‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh atau
mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi, menurut bahasa, ijtihad
ialah berusaha untuk berupaya atau berusaha yang bersungguh-sungguh.,
yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha
mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam
Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan
pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya,
diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli
agama Islam.
Secara bahasa taqlid berasal dari kata َ‫قَلََّد‬  (qallada) – ُ‫( يُقَلِّد‬yuqollidu)
– ‫( تَ ْقلِ ْيدًا‬taqlîdan). Yang mengandung arti mengalungi, menghiasi, meniru,
menyerahkan, dan mengikuti. Ulama ushul fiqh mendefinisikan taqlid
“penerimaan perkataan seseorang sedangkan engkau tidak mengetahui dari
mana asal kata itu”.
Asal kata dari talfiq adalah ‫لفّق‬ yang berarti mempertemukan
menjadi satu. Sedangkan makna talfiq dalam ilmu ushul fiqih yaitu:
ٍ َّ‫اَ ْل َع َم ُل بِ ُح ْك ٍم ُمَؤ ل‬
‫ف بَيْن‬
‫َم ْذهَبَ ْي ِن اَ ْكثَ َر‬
“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua madzhab atau
lebih” Dari penjelasan di atas, maka bisa dikatakan jika talfiq itu memiliki
arti yaitu mencampurkan pendapat dua mujahid atau lebih akan satu
masalah yang sama atapun berbeda.

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih terdapat
banyak kesalahan-kesalahan.Oleh karena itu, penulis mengharapkan
pembaca dapat menyampaikan kritik dan juga sarannya terhadap hasil
penulisan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA

Harrani. Majmu’ah al- Fatwa.vol 10.

A. Hassan. Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid.

Al-Zuhaili, Wahbah. 2006. Syama’il al-Musthafa. Beirut: Dar al – Fikr.

Djalil,Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (satu & dua). Jakarta: Kencana.

Mudrik Al Farizi, "Ijtihad, taqlid dan talfiq". Vol. 8 No 1, 2014, hlm 6.

Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. "Hukum Taqlid, Doa Iftitah dan

Shalawat Khutbah Jum'at",Januari 2006.

Tim Penulis Buku Taklimiyah Pon.Pes Sidogiri. 2008. Fikih Kita di

Masyarakat. Pasuruan: Pustaka Sidogiri Pon.Pes Sidogiri.

Rifa’i,Mohammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma’arif.

Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih 2. Jakarta : Kencana, 2008.

Syarifuddin, Amir. 2010. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta :Kencana.

Anda mungkin juga menyukai