Anda di halaman 1dari 34

Pendidikan Al-Islam I

Oleh : Baidarus, MM.,M.Ag

Ijtihad sebagai Metode Perumusan


Hukum Islam
Coba gambarkan, sejauhmana anda mengenal Ijtihad.

Diskusikan dengan teman di samping anda.

Siapa yang mau berbagi pengetahuan ?


Ijtihad sebagai Metode Perumusan Hukum
Islam
Pengertian Ijtihad.
Menjadi sunnatullah bahwa zaman terus
berkembang, dan manusia sebagai aktor sejarah
baik disadari maupun tidak telah membukukan
perkembangan-perkembangan berupa perubahan
dan dinamika dalam berbagai aspek kehidupan.
Hal yang dulu belum ada
sekarang menjadi ada dan
esok akan berubah menjadi
tidak ada atau ada dalam
bentuk lain.
Dulu ketika al-Quran turun, belum ada
masalah bayi tabung, operasi ganti
kelamin atau organ-organ tubuh lainnya,
kemajuan teknologi yang memungkinkan
manusia hidup di antariksa, dan
kemungkinan-kemungkinan lainnya yang
lebih luas. Perkembangan-perkembangan
baru ini menuntut penyelesaian dari segi
aspek hukum.
Kita telah mengetahui bahwa sumber
hukum tertinggi dalam Islam adalah Al-
Qur’an dan Sunnah. Namun, seiring
berjalannya waktu, permasalahan-
permasalahan yang ditemui umat Islam pun
kian berkembang sebagaimana tersebut di
atas. Ketika permasalahan-permasalahan
tersebut tidak dapat lagi diselesaikan hanya
melalui nash Al-Qur’an dan Hadist secara
eksplisit, maka timbullah istilah ijtihad.
Menurut bahasa, ijtihad berarti
"pengerahan segala kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas
dasar ini maka tidak tepat apabila kata
"ijtihad" dipergunakan untuk melakukan
sesuatu yang mudah/ringan.

Pengertian ijtihad menurut bahasa ini


ada relevansinya dengan pengertian
ijtihad menurut istilah, dimana untuk
melakukannya diperlukan beberapa
persyaratan yang karenanya tidak
mungkin pekerjaan itu (ijtihad)
dilakukan sembarang orang.
Secara istilah, pengertian Ijtihad dapat dikemukakan sebagai
berikut :
Menurut Ensiklopedi Islam, ijtihad adalah mengerahkan
segala tenaga dan pikiran untuk menyelediki dan
mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang
terkandung di dalam Al-Qur’an dengan syarat-syarat
tertentu.

Sedangkan rumusan
menurut
mayoritas kelompok Ushuliyyin,
ijtihad adalah pengerahan segenap
kesanggupan dari seorang ahli fiqih
atau mujtahid untuk memperoleh
pengertian tingkat dhanni terhadap
sesuatu hukum syara' (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam
(faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'I,
yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah
laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum
i'tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah
dhanni.
Dasar Hukum Ijtihad
Di dalam Al-Qur’an, perintah ijtihad terdapat dalam
surat an-Nisa ayat 83, asy-Syu’ara ayat 38, surat
al-Hasyar ayat 2, dan surat al-Baqarah ayat 59.
Sementara itu, dasar ijtihad terdapat pula pada
sebuah hadist Nabi SAW yang artinya: “Apabila
seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya
dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka
baginya satu pahala (HR. Bukhari dan Muslim).”
Disamping itu, pada zaman Nabi SAW, nabi pernah
mengutus salah seorang sahabat yang bernama Muadz bin
Jabal sebagai Gubernur Yaman. Sebelum Muadz berangkat,
Nabi terlebih dahulu menguji tentang metode Muadz di
dalam menyelesaikan masalah hukum. Apa jawaban yang
terlontar dari Muadz, dia akan menyelesaikan masalah
dengan al-Quran, kemudian dengan as-Sunnah, dan kalau
di dalam kedua sumber hukum utama itu tidak didapatkan
penjelasan, maka dia akan melakukan ijtihad dengan
pertimbangan pikirannya sendiri. Dengan jawaban-jawaban
Muadz yang mendasar ini, maka Nabi kagum dan salut
kepadanya seraya menepuk-nepuk dadanya.
Peristiwa Nabi dan Muadz bin Jabal di atas,
menunjukkan kesadaran Nabi terhadap polarisasi
zaman dengan segala kemungkinan yang ada, dan
adanya kesepakatan Nabi tentang status kekuatan
ijtihad sebagai sumber norma dalam Islam.

Dalam konteks seperti di atas ijtihad


merupakan metodologi penggalian hukum
yang muncul akibat logis adanya al-Quran
dan as-Sunnah sebagai sumber utama Islam
yang berlaku sepanjang masa. Hal ini
menunjukkan perlunya dilakukan ijtihad
secara terus menerus sesuai kebutuhan
serta tuntutan zaman.
Medan Ijtihad.
Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan
peranannya adalah:
1. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan
oleh nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.
2. Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh
ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
3. Nash-nash dhanny dan dalil-dalil hukum yang
diperselisihkan.
4. Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas
hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).
Sebaliknya ulama bersepakat bahwa ijtihad tidak
berlaku atau tidak dibenarkan pada:

1. Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an


atau Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun
manshushah).
2. Hukum Islam yang telah diijma'i ulama.
3. Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli
'lma'na (yang kausalitas hukumnya/ 'illat-nya tidak
dapat dicerna dan diketahui mujtahid).
Syarat-syarat Berijtihad.
1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang
ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan
dengan masalah hukum.
2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang
hadits-hadits Rasul yang berhubungan
dengan masalah hukum.
3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah
ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya
bertentangan dengan ijma'.

4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan


dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam.
6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-
mansukh dalam al-Qur'an dan Hadits.

7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-ul-


nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-ul-
wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum
secara tepat.

8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia


dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu
dapat diterima ataukah tidak.
9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat
menghasilkan deduksi yang benar dalam
menyatakan suatu pertimbangan hukum dan
sanggup mempertahankannya.

10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh,


agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah
dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk
menghasilkan hukum suatu permasalahan yang
akan diketahuinya.
Macam-macam Tingkat Ijtihad.
1. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan
dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah
istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi
seorang mujtahid dalam menggali hukum.
Contoh Imam Mazhab.
2. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang
mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan
kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid
muthlaq/Mustaqil).
3. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid
mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang
mujtahid dalam lingkungan madzhab tertentu.
4. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan
cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik
dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari
berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara
pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang
paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan
tuntunan zaman.
Untuk saat ini, dari empat macam
tingkatan Ijtihad itu, mengingat sangat
jarangnya faqih/ulama/ahli hukum yang
betul-betul menguasai hukum Islam
secara menyeluruh, maka tingkatan
ijtihad yang masih benar-benar dapat
dilakukan adalah:

1. Ijtihad di bidang tarjih baik secara perorangan maupun


secara kolektif.
2. Ijtihad untuk kasus-kasus tertentu yang memang belum
pernah dibahas oleh aimmat al-mujtahidin terdahulu. Hal
ini dapat dilakukan secara perorangan maupun secara
kolektif.
Kelompok pertama sudah banyak
dilakukan oleh Muhammadiyah dengan
Majelis Tarjihnya, NU dengan Syuriyah
dan Bahstul Matsailnya, MUI dengan
Komisi Fatwanya. Kelompok kedua,
alhamdulillah, sudah banyak dilakukan
oleh Komisi Fatwa MUI; sayangnya
belum banyak dipublikasikan.
Kedudukan Ijtihad.
Berbeda dengan al-Qur’an dan as-Sunnah,
kedudukan ijtihad terikat dengan ketentuan-
ketentuan sebagai berikut :
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak
dapat melahirkan keputusan yang mutlak
absolut.
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad,
mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak
berlaku bagi orang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan
penambahan ibadah mahdhah.
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan
dengan al-Qur’an dan as-Sunnah.
e. Dalam proses berijtihad hendaknya
dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat,
kemaslahatan.
Prinsip seperti ini dipegang teguh
oleh para imam mujtahid; sehingga
muncullah ucapan mereka yang
sangat populer, "Pendapat kami
benar, tetapi mengandung
kemungkinan salah; dan
pendapat selain kami salah,
tetapi mengandung
kemungkinan benar."
Metode-metode Ijtihad.
a. Qiyas
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap
sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-
Qur’an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan
kepada hukum sesuatu yang sudah
diterangkan hukumnya oleh al-Qur’an / as-
Sunnah, karena ada sebab yang sama.

Contoh : Menurut surat al-Isra’ 23; seseorang


tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua.
Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain
terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar
analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-
sama menyakiti orang tua.
b. Ijma’
Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam
menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Ketika
‘Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada
Rasulullah tentang kemungkinan adanya sesuatu
masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur’an
dan as-Sunnah, maka Rasulullah mengatakan :
”Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian
jadikan persoalan itu sebagai bahan
musyawarah“.
c. Istihsan
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu
persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip
umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang
dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut
sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau
disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh
dengan Qiyas kepada hukum lain atas
pertimbangan kemaslahatan umum.

Apabila kita dihadapkan dengan


keharusan memilih salah satu diantara
dua persoalan yang sama-sama jelek
maka kita harus mengambil yang lebih
ringan kejelekannya.
d. Al-Mashlahah Al-Mursalah
yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan
ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan
kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari’at.
Perbedaan antara istihsan dan mashalihul mursalah
ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan
(kebaikan) itu dengan disertai dalil al-Qur’an / al-Hadits
yang umum, sedang mashalihul mursalah
mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan
dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit
dalam al-Qur’an / al-Hadits.
Dari uraian tentang ijtihad di atas
dapat dipahami bahwa Islam
dapat berhadapan dengan
masyarakat modern,
sebagaimana ia dapat
berhadapan dengan masyarakat
yang bersahaja dan
tradisionalistis. Ketika
berhadapan dengan masyarakat
modern, Islam dituntut untuk
dapat menghadapinya.
Ijtihad telah terbukti menjadi alat yang ampuh untuk
menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi oleh umat
Islam sejak masa awal Islam sampai pada masa keemasannya.
Melalui ijtihad, masalah-masalah yang baru dan tidak terdapat
di dalam Alquran dan hadis dapat dipecahkan oleh para
mujtahid.
Dengan ijtihad, Islam mampu
berkembang dengan pesat menuju
kesempurnaannya. Sebaliknya, ketika
ijtihad sirna dari kalangan umat Islam,
mereka mengalami kemunduran.
Ijtihad merupakan kunci dinamika
ajaran Islam, termasuk bidang
hukumnya
Which of the strategies we’ve
covered would you like to try in
your own classes?
Summarize the most important
points in today’s lecture.

Anda mungkin juga menyukai