Sedangkan rumusan
menurut
mayoritas kelompok Ushuliyyin,
ijtihad adalah pengerahan segenap
kesanggupan dari seorang ahli fiqih
atau mujtahid untuk memperoleh
pengertian tingkat dhanni terhadap
sesuatu hukum syara' (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam
(faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'I,
yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah
laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum
i'tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah
dhanni.
Dasar Hukum Ijtihad
Di dalam Al-Qur’an, perintah ijtihad terdapat dalam
surat an-Nisa ayat 83, asy-Syu’ara ayat 38, surat
al-Hasyar ayat 2, dan surat al-Baqarah ayat 59.
Sementara itu, dasar ijtihad terdapat pula pada
sebuah hadist Nabi SAW yang artinya: “Apabila
seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya
dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka
baginya satu pahala (HR. Bukhari dan Muslim).”
Disamping itu, pada zaman Nabi SAW, nabi pernah
mengutus salah seorang sahabat yang bernama Muadz bin
Jabal sebagai Gubernur Yaman. Sebelum Muadz berangkat,
Nabi terlebih dahulu menguji tentang metode Muadz di
dalam menyelesaikan masalah hukum. Apa jawaban yang
terlontar dari Muadz, dia akan menyelesaikan masalah
dengan al-Quran, kemudian dengan as-Sunnah, dan kalau
di dalam kedua sumber hukum utama itu tidak didapatkan
penjelasan, maka dia akan melakukan ijtihad dengan
pertimbangan pikirannya sendiri. Dengan jawaban-jawaban
Muadz yang mendasar ini, maka Nabi kagum dan salut
kepadanya seraya menepuk-nepuk dadanya.
Peristiwa Nabi dan Muadz bin Jabal di atas,
menunjukkan kesadaran Nabi terhadap polarisasi
zaman dengan segala kemungkinan yang ada, dan
adanya kesepakatan Nabi tentang status kekuatan
ijtihad sebagai sumber norma dalam Islam.