Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

IJTIHAD DAN PROBLEMATIKA

UNTUK MEMENUHI TUGAS

Mata Kuliah : Fiqh-Ushul fiqh

Dosen pengampu : Hafidz Taqiyuddin, M.A.Hk.

Disusun Oleh kelompok 3

TB Muhammad Iqbal (191320011)

Hasanatul Latipah (191320010)

Muhamad Wuddy Agnia Ihsan (191320029)

Nurul Padilah (191320021)

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SULTAN MAULANA HASANUDDIN

BANTEN

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, atas pertolongan, Hidayah, dan inayahnya saya dapat
menyelesaikan tugas makalah individu ini, karena berkat Rahmat dan karunia-
Nya,makalah ini dapat diselesaikan. Terimakasih kepada anggota kelompok III yang
telah berusaha dan bekerja keras dalam menyelesaikan makalah ini. Makalah ini
selain diperuntukkan dalam pemenuhan tugas Fiqh-Ushul Fiqh, juga berguna dalam
memberikan pemahaman dan pengetahuan tentang Itihad dan Problematikanya

Penulis sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami
sangat mengharapkan kritik dan saran dan membangun. Demikian yang dapat saya
sampaikan semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terimakasih wassalamu'alaikum
WR.WB

Serang, September 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Rumusan Masalah 1

BAB II PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ijtihad ? 2

2.2. Dasar Hukum Ijtihad ? 4

2.3. Obyek Ijtihad dan Hukum Melakukan Ijtihad ? 4

2.4.Syarat-syaratIjtihad ? 10

2.5. Macam-macam dan Tingkatan Mujtahid 6

2.6. Contoh Mujtahid ? 13

BAB III PENUTUP

Kesimpulan 23

DAFTAR PUSTAKA 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang sudah pada
zaman Rasulullah. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh
para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga sekarang
ini.Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa taqlid,
ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula, ijtihad
mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad adalah suatu
keharusan untuk menanggapi kehidupan yang semakin kompleks
problematikanya.1

Sekarang banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzhab dalam hukum


Islam yang itu disebabkan dari ijtihad. Misalnya bisa dipetakan Islam
kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain
sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu
masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik.
Justru dengan ijtihad, Islam menjadi “ tidak bisu” dalam menghadapi
problematika kehidupan yang semakin kompleks.

1.1. RUMUSAN MASALAH

1. Apa makna ijtihad ?

2. Apa Dasar hukum Ijtihad

3. Apa saja objek Ijtihad dan apa hukum melakukan Ijtihad ?

4. Apa saja Syarat-syarat dalam melakukan ijtihad ?

5. Bagaimana tingkatan seorang mujtahid ?

6. Apa saja macam-macam ijtihad ?

7. Siapa orang yang bisa di sebut mujtahid ?

1
Amir Syarifudin, Ushul Fiqh, (Jakarta : Kharisma Putra Purnama, 2008) hlm. 266

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ijtihad

Kata ijtihad (Ar: Ijtihad) berakar kata dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah
(daya, kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-
masyaqqah (kesulitan, kesukaran). Dari itu ijtihad menurut pengertian
kebahasaannya bermakna"badzl al-wus' wa al-majhud" (pengerahan daya
dan kemampuan), atau "pengerahan segala daya dan kemampuan dalam
suatu aktivitas dari aktivitas-aktivis yang berat dan sukar.2

Menurut ulama ushul yang dimaksud dengan ijtihad, sebagaimana di


kemukakan oleh Abdullah bin Abd Al-Muhsin At-Turki ialah

‫ﺍﺳﺘﻘﺮﺍﺭ ﺍﻟﻤﺠﺘﻬﺪ ﺍﻟﻮﺍﺳﻊ ﻓﻰ ﻃﻠﺐ ﺍﻻﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﺸﺮﻳﻌﺔ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﻳﺤﺴﻦ ﻣﻦ ﻧﻔﺴﻪ ﺍﻟﻌﺠﺰ ﻋﻦ ﺍﻟﻤﺰﻳﺪ‬

“Mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang


bersifat dzanni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari
tambahan kemampuannya”.3

Dari pengertian kebahasaan terlihat ada dua unsur pokok dalam ijtihad daya
atau kemampuan, obyek yang sulit dan berat. Daya atau kemampuan di sini
dapat diaplikasikan secara umum, yang meliputi daya fisik-material, mental-
spiritual, dan intelektual. Ijtihad sebagai terminologi keilmuan dalam Islam
juga tidak terlepas dari dua unsur tersebut. Akan tetapi, karena kegiatan
keilmuan lebih banyak bertumpu pada kegiatan intelektual, maka pengertian
Ijtihad lebih banyak mengacu kepada pengerahan kemampuan intelektual
dalam memecahkan berbagai bentuk kesulitan yang dihadapi, baik oleh
individu maupun ummat Secara menyeluruh.

Bertolak dari pandangan demikian, al-Syaukani melihat bawah ijtihad Secara


umum memang memiliki makna yang begitu luas, mencakup segenap
pencurahan daya intelektual dan bahkan spiritual dalam menghadapi suatu
kegiatan atau permasalahan yang sukar. Al-Syaukani, ketika membicarakan
2
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, (Jakarta : PT Logos Wacana, 1999), hlm. 73.
3
Fauzul Iman, “Ijtihad dan Mujtahid,” Al-Qalam 21, no. 100 (Januari-April 2004): 2,
http://www.jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqolam/article/view/1645

2
ijtihad dalam pengertian umum ini, mengakui eksistensi ijtihad tersebut
sebagai ijtihad fi tashil al-hukm al-'ilmi (dalam mencapai ketentuan ilmu
pengetahuan)

Berbeda dengan pengertian umum di atas, ijtihad dalam terminologi usul


fikih Secara khusus dan spesifik mengacu kepada upaya maksimal dalam
mendapatkan ketentuan hukum syarak. Dalam hal ini, Al-Syaukani
memberikan definisi Ijtihad dengan rumusan: "mengerahkan segenap
kemampuan dalam mendapatkan hukum syarak yang praktis dengan
menggunakan metode istinbath.

Definisi ijtihad yang dikemukakan al-Syaukani ini kelihatan dekat definisi-


definisi yang di kemukakan oleh para ulama usul fiqih pada umumnya, yang
ada pokoknya melihat bahwa ijtihad adalah upaya optimal ahli fikih dalam
menemukan hukum syarak yang bersifat zhanni. Di antara definisi yang
dikemukakan oleh ulama usul fikih itu ialah yang di kemukakan oleh Al-
Ghazali,dari kalangan ulama Syafi'iyah, yang mengartikan ijtihad dengan:"
pengerahan kemampuan secara maksimal untuk mendapatkan pengetahuan
tentang hukum-hukum syari'at.4

Sebenarnya pandangan al-Syaukani yang demikian tidak keluar dari dua


aliran yang telah berkembang dalam usul fikih. Pertama, aliran mukhathi'ah
yang cenderung melihat bahwa Allah telah menetapkan suatu ketentuan
hukum yang rinci atas segala sesuatu, baik yang sudah termaktub dalam nas
-bas al-Qur'an dan hadits maupun yang berada di luarnya.

Dari pengertian tentang ijtihad sebagaimana di sebutkan diatas, maka ijtihad


mengandung dua factor :

Pertama, ijtihad yang khusus untuk menetapkan suatu hukum dan


penjelasannya. Pengertian ini adalah pengertian ijtihad yang sempurna, dan
dikhususkan bagi ulama yang bermaksud untuk mengetahui ketentuan
hukum-hukum furu’ amaliah dengan menggunakan dalil-dalil secara
terperinci. Dengan demikian menurut jumhur ulama atau sebagian besar
ulama. Sementara ulama hambali mengatakan bahwa setiap masa tidak

4
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, (Jakarta : PT Logos Wacana, 1999), hlm. 76

3
boleh kosong dari ijtihad dalam bentuk ini.

Kedua, ijtihad khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukum. Seluruh


ulama sepakat bahwa sepanjang masa tidak akan terjadi kekosongan dari
mujtahid dari kategori ini. Mereka inilah yang akan mencari dan menerapkan
‘ilat terhadap berbagai kasus juz’iah, dengan menerapkan prinsip-prinsip
yang telah di tetapkan oleh ulama-ulama terdahulu.5

Kemudian selain pendapat as syaukani di atas imam haromain juga


membahas tentang pengertian ijtihad yakni :

‫ﻭﺍﻣﺎ ﺍﻻﺟﺘﺤﺎﺩ ﻓﻬﻮ ﺑﺬﻝ ﺍﻟﻮﺳﻊ ﻓﻲ ﺑﻠﻮﻍ ﺍﻟﻐﺮﺽ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﻣﻦ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻟﻴﺤﺼﻞ ﻟﻪ‬

“ ijtihad adalah mencurahkan setiap perhatian di dalam mencapai tujuan


yang di maksudkan yakni ilmu, agar ilmu itu tercapai untuknya.”6

2.2. Dasar Hukum Ijtihad

Dasar hukum ijtihad dalam menggali hukum islam atau ijtihad sebagai
metode istinbat hukum ada beberapa dalil dari Al-Qur’an dan juga Hadist
diantaranya :

1. Firman Allah SWT

Surat an-nisa ayat 105

“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa


kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
allah wahyukan kepadamu”7

Surat al-ankabut ayat 69

5
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad As-Syaukani, (Jakarta : PT Logos Wacana, 1999) , hlm.77.
6
Imam Haromain, Waraqat, (Surabaya, Imarotullah), hlm 26.
7
Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponogoro, 2010), hlm. 95

4
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) kami, benar benar
akan kami tunjukan kepada meraka jalan-jalan kami dan sesungguhnya
benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”8

2.3. Objek Pembahasan Ijtihad dan Hukum melakukan Ijtihad

Menurut al- Ghazali, objek Ijtihad adalah setiap hukum Syara' yang tidak
memiliki dalil yang qath'i. Dari pendapatnya itu diketahui ada permasalahan
yang tidak bisa dijadikan objek Ijtihad. Dengan demikian, syari'at Islam dalam
kaitannya dengan Ijtihad terbagi dalam dua bagian:

1. Syari'at yang tidak boleh di jadikan Ijtihad, yaitu hukum-hukum yang


telah dimaklumi sehingga landasan pokok Islam, yang berdasarkan pada
Dalil-dalil yang qath'i, seperti kewajiban melaksanakan shalat, zakat,, puasa,
ibadah haji atau haramnya melakukan zina, mencuri dsb lain-lain. Semua itu
telah ditetapkan hukumnya di dalam Al- Qur'an dan as-sunnah.

2. Syari'at yang bisa dijadikan lapangan Ijtihad, yaitu hukum yang di


dasarkan lada Dalil-dalil yang bersifat zhanni, baik maksudnya, petunjuknya,
ataupun eksistensinya (subur), serta hukum-hukum yang belum ada nashnya
dan ijma' para ulama.

Apabila ada Nash yang berkeadaannya masih zhanni, hadis Ahad misalnya,
maka yang menjadi lapangan Ijtihad diantaranya adalah meneliti bagaimana
sanadnya, derajatnya para perwainya dan lain-lain.

Dan Nash yang petunjuknya masih zhanni, maka yang menjadi lapangan
Ijtihad antara lain bagaimana maksud dan Nash tersebut, misalnya dengan
memakai kaidah 'am, khas, mutlaq, muqayyad dan lain-lain.

Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada Nash-Nya, maka maka


yang menjadi lapangan Ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-
kaidah yang bersumber dari akal seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah

8
Kementrian Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponogoro, 2010), hlm. 404

5
dan lain-lain. Namun permasalahan ini banyak di perdebatkan di kalangan
para ulama.

Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat nash yang jelas
dan pasti.

Ijtihad menurut istila ulama ushul adalah mengerahkan segala daya untuk
menghasilkan hukum syara’ dari dalilnya yang rinci di antara dalil syara’.9

Jika kejadian yang hendak diketahui hukum syaraknya itu telah ditunjukkan
oleh dalil yang sharih (jelas) dan petunjuk serta maknanya adalah pasti,
maka tidak ada peluang untuk ijtihad. Yang wajib adalah melaksanakan
pemahaman yang ditunjukkan nash. Karena selama dalil itu pasti datangnya,
maka obyek pembahasan dan sasaran pengerahan daya. Selama dalil itu
pasti maknanya, maka petunjuk atas makna dan pengambilan hkum darinya
bukan sasaran pembahasan dan ijtihad.

Setelah sunnah perbuatan Nabi menjelaskan maksud dari shalat atau zakat,
maka tidak ada peluang berijtihad dalam menjelaskan pengertian keduanya,
Selama nash itu sharih dan ditafsiri dengan bentuknya atau diikuti dengan
penjelasan dan keterangan syar’i maka tidak ada peluang berijtihad pada
masalah tersebut. Contoh ayat-ayat Al-Qur’an yang di tafsiri dengan hadis
mutawatir yaitu seperti hadis tentang harta yang wajib dikeluarkan zakatnya,
ukuran nishab masing-masing harta itu serta ukuran yang wajib dikeluarkan
zakatnya.

Apabila kejadian yang hendak diketahui hukumnya terdapat nash yang


makna dan datangnya dugaan atau dugaan salah satu nya saja,maka
keduanya mempunyai peluang ijtihad. Karena mujtahid itu meneliti dalil yang
dugaan datangnya dari segi sanad( Jalan)nya, cara sampainya kepada kita
dari Rasulullah dan tingkat keadilan, kekuatan ingatan kepercayaan serta
kejujuran para rawi nya. Dalam hal ini kemampuan para mujtahid berbeda
dalam dalil nya. Ada yang percaya pada riwayatnya dan mengambilnya
sebagai dalil da nada yang tidak percaya dan tidak mengambilnya sebagai
dalil. Ini adalah salah satu di antara pembahasan yang menjadi sebab

9
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta, Pustaka Amani, 2003), cet 1, hlm 317.

6
perbedaan pendapat di kalangan para mujtahid tentang hukum sebangsa
perbuatan.

Dalam pasal 29 peraturan Mahkamah Sipil dikatakan: “Jika dalam undang-


undang itu tidak terdapat nash yan sharih, maka hukum diputuskan
berdasarkan keadilan” Selama dalam undang-undang itu terdapat nash yang
sharih maka ialah yang diputuskan sebagai hukum10.

2.4. Pengertian dan Pembagian Mujtahid

Mujtahid adalah seseorang dengan pengetahuannya berkemampuan untuk


memahami lash Al-Qur’an dan Sunah dan mengeluarkan hukum dari
padanya,atau dengan istilah sederhana adalah pelaku
ijtihad.Kemudian,ulama ushul fiqih pembagi ahli fiqih kepada tujuh
tingkatan.Dibawah ini diuraikan masing – masing tingkatan itu secara
berurutan serta kedudukannya dalam fatwa. Ulama ahli Ushul Fiqh kepada
tujuh tingkatan. Empat tingkatan pertama tergolong mujtahid. Sedangkan
tiga tingkatan berikutnya masuk dalam kategori muqallid, belum belum
mencapai derajat mujtahid.11

Kemuadian mujtahid adalah bentuk kata fa’il (pelaku) yang berarti orang
yang bersungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kemampuannya
yang rasional, menggali (mempelajari) ajaran islam yang tertuang dalam Al-
Qur’an dan Hadist, dengan analisanya yang tepat, memberikan pertimbangan
tentang hukum-hukum islam.12

1. Mujtahid Mustaqil

Tingkatan pertama adalah tingkatan mujtahid mustaqil


(independent,mandiri).Untuk mencapai tingkatan ini,harus dipenuhi seluruh
persyaratan ijtihad yang telah disebutkan dimuka.Ulama pada tingkatan
inilah yang mempunyai otoritas mengkaji ketetapan hukum langsung dari Al-
Qur’an dan Sunah,melakukan qias,mengeluarkan fatwa atas pertimbangan
masalahati,menerapkan dalil istihsan dan berpendapat dengan dasar sadduz

10
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta, Pustaka Amani, 2003), cet, hlm 319.
11
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm 610.
12
Fauzul Iman, “Ijtihad dan Mujtahid,” Al-Qalam 21, no. 100 (Januari-April 2004): 3,
http://www.jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqolam/article/view/1645

7
dzara’i.Dengan kata lain,mereka berwenang menggunakan seluruh metode
istidlal yang mereka ambil sebagai pedoman,tidak mengekor kepada
mujtahid lain.Mereka merumuskan metodologi istihad nya sendiri dan
menerapkannya pada masalah-masalah furu’ (cabang) pendapatnya
kemudian disebar luaskan ketengah masyarakat. Termasuk dalam kategori
mujtahid ini, adalah seluruh fuqoha sahabat, fuqoha tabi’in semisal sa’id bin
musayyad dan Ibrahim al-nakha’I, dan foqoha mujtahid seperti ja’far as-
shodiq dan ayahnya, Muhammad al baqil, abu hanifah, maliki, syafi’I, ahmad
bin hambal, al-auza’I, al-laif bin sa’ad, sufyan ats-sauri, abu tsaur, dan masih
banyak lagi. Meski madzhab mereka tidak terhimpun dalam sebuah
karangan kitab, namun di calah celah kitab-kitab yang menguraikan
perbedaan pendapat fuqoha sering ditemukan pendapat-pendapat mereka di
nuqil dengan riwayat yang tidak di ragukan kebenarannya.

Masih di perselisihkan apakah Abu Yusuf, Muhammad zulfar, serta murid-


murid abu hanifah yang lain tergolong ke dalam kelompok tingkatan
mujtahid Mustaqil di atas. Ibnu abidin sependapat dengan ulama yang
menggolongkan mereka kedalam tingkatan kedua, yaitu golongan mujtahid
yang terikat dengan mujtahid lain dalam masalah ushul, tidak terikat dalam
masalah furu’. Tegasnya mereka tergolong kedalam mujtahid madzhab. 13

2. Mujtahid Muntasib

Tingkatan kedua adalah mujtahid muntasib. Mereka adalah mujtahid-


mujtahid yang mengambil atau memilih pendapat-pendapat imamnya dalam
ushul dan berbeda pendapat imamnya dalam cabang (far’u), meskipun
secara umum ijtihadnya menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang hamper
sama dengan hasil ijtihad yang di hasilkan oleh imamnya. Karena diantara
keduanya ada hubungan persahabatan yang cukup kental. Ibnu abidin
berpendapat: “Termasuk dalam level ini adalah murid-murid abu hanifah.”
Pendapat ibnu abidin ini masih perlu di pertimbangkan kembali karena abu
yusuf lebih banyak menggunakan hadist dan sedikit menggunakan qiyas,
sehingga tidak bisa di golongkan sebagai penyama abu hanifah. Oleh karena
itu, kami cenderung untuk menggolongkan abu yusuf dan muridnya,

13
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 613

8
Muhammad bin hasan, serta jufar sebagai mujtahid mustaqil (independen).
Termasuk dalam kategori ini dalam madzhab syafi’I adalah al muzany,
sementara dalam madzhab malik adalah abdurrohman ibnu kasim, ibnu
wahab, ibnu abdul hakam, dan lain sebagainya.

Imam nawawi dalam muqoddimah syarh al majmu’ mengatakan: ustadz abu


ishaq al asfaraini (wafat 476H) menganggap sifat independensi tersebut
hanya dimiliki ashabuna (golongan syafi’iiah). Lalu, ia menceritakan tentang
murid-murid malik, ahmad dan sebagian besar murid abu hanifah, bahwa
mereka mengacu kepada madzhab imam-imam mereka dengan jalan taqlid.
Padahal menurut qoul shahih, yang juga merupakan pendapat muhaqqiqun,
adalah pendapat ashabuna (ashab as syafi’iiah), yaitu mereka mengacu
pada imam syafi’I tidak dengan jalan taqlid. Tapi, mereka tatkala mendapat
tharik-tharikah (metode) yang di pakai syafi’I dalam berijtihad, dan qias
merupakan salah satu metodenya yang paling canggih, sementara mereka
harus berijtihad, maka mereka menggunakan thariqat (metode) syafi’I
tersebut guna menggali dan mengetahui ketetapan-ketetapan hukum. Abu
ali as sinji (ahli fiqh syafi’iiah, wafat 403 H) juga menyampaikan hal senada.
Ia mengemukakan, saya hanya mengikuti syafi’I bukan yang lainnya. Sebab
saya menemukan pendapatnya lebih unggul dan moderat, bukannya saya
bertaqlid kepadanya. Apa yang di sampaikan as sinji ini, me nurut saya
(nawawi), sesuai dengan yang di anjurkan oleh as syafi’I. sesuai pula dengan
yang dianjurkan oleh al muzani dalam kata pengantar kitab mukhtasarnya.”14

3. Mujtahid madhzab

Tingkatan ketiga adalah mujtahid madhzab mereka mengikuti imamnya


baik dalam ushul maupun furu’. Yang telah jadi. Peranan mereka
terbatas melakukan istinbat hukum terdapat masalah yang melum di
riwayatkan oleh imammnya. Menurut madhzab maliki, tidak pernah
kosong suatu masa dari mujtahid madhzab. Tugas mereka dalam
ijtihad adalah menerapkan ilat-ilat fiqh yang telah di gali oleh para
pendahulunya terdapat masalah-masalah yang belum di jumpai di
masa lampau. Mujtahid dalam tingkatan ini tidak berhak melakukan

14
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 615

9
ijtihad terhadap masalah-masalah yang telah ada ketetapannya di
dalam madhzabnya, kecuali dalam lingkup terbatas. Yaitu, dalam hal
istinbat ulama terdahulu (sabiquri) di dasarkan pada pertmbangan yang
sudah tidak relefan lagi dengan tradisi dan kondisi masyarakat dari
ulama mutaakhirin. Sekiranya ulama sabiqun itu menyaksikan
kanyataan yang di saksiakn ulama sekarang, niscaya akan mencabut
pendapatnya itu.

Fungsi dan peranan mujtahid madhzab pada hakikatnya meliputi dua


hal:

a. Secara murni mengambil kaidah-kaidah yang telah di pakai para


imam pendahulunya, serta semua kaidah fiqhiyah yang bersifat umum
yang terumuskan dari ilat-ilat qiyas yang telah di gali oleh imam besar
tersebut.

b. Menggali hukun yang belum ada ketetapannya berdasarkan


kaidah tersebut.

Tingkatan inilah yang melahirkan al fiqh al madhzabi (aliran fiqh) dan


meletakan asas-asas bagi perkembangan madzhab-madzhab, serta
mengeluarkan ketentuan hukum baru berdasarkan prinsip-prinsip dari
madzhab-madzhab tersebut. Mujtahid pada tingkatan ini pula yang
meletakan asas-asas tarjih dan muqayasah (perbandingan) diantara
pendapat ulama guna menilai shahih atau dha’ifnya suatu pendapat.
Dari tingkatan ini pula dapat di bedakan karakter fiqh yang ada pada
masing-masing madzhab.15

4. Mujtahid murajjih

Tingkatan ke empat adalah mujtahid murajjih. Mereka tidak melakukan


istinbat terhadap hukum-hukum furu’ yang belum sempat di tetapkan
oleh ulama terdahulu dan belum di ketahui hukumnya. Yang mereka
lakukan hanyalah mentarjih (mengunggulkan) diantara pendapat-
pendapat yang di riwayatkan dari imam dengan alat tarjih yang telah di

15
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 617

10
rumuskan oleh mujtahid-mujtahid pada tingkatan diatasnya. Mereka
mentarjih sebagian pendapat atas pendapat lain karena di pandang
kuat dalilnya atau akrena sesuai dengan konteks kehidupan
masyarakat pada masa itu atau karena alasan-alasan lain, sepanjang
tidak termasuk kedalam kategori melakukan kegiatan istinbat baru
yang independen ataupun mengikuti metode istinbat imamnya.

Perbedaan antara tingkatan ini dan tingkatan di atasnya, sesungguhnya


tidak begitu jelas. Sebagian ahli ushul bahkan menggabungkan dua
tingkatan itu menjadi satu tingkatan. Hal ini tidak terlalu jauh
menyimpang. Sebab kegiatan mentarjih pendapat-pendapat ulama
sesuai dengan ushulnya tidak jauh berbeda dari kegiatan istinbat
terhadap hukum-hukum furu’ yang belum pernah dikaji oleh imam-
imam madzhab. Dan, imam nawawi di dalam kitab majmu’ juga
menguraikannya dalam satu tingkatan. 16

5. Mujtahid Muwazin

Tingkatan kelima yang di sebutkan oleh ibnu abiding adalah tingkatan


mujtahid muwazin, yang membandingkan antara beberapa pen dapat
dan riwayat. Yang mereka lakukan, misalnya, menetapkan bahwa qiyas
yang di pakai yang di pakai dalam pendapat ini lebih mengena di
banding penggunaan qiyas pada pendapat lain. Atau, pendapat ini lebih
shahih riwayatnya atau lebih kuat dalilnya. Jadi, perbedaan antara
tingkatan ini dan yang tingakatan yang sudah lewat tidak terlalu jelas. 17

6. Muhaffizh

Tingkatan ini termasuk dalam tingkatan muqallid, hanya saja mereka


mengetahui hasil hujjah dari ulama ahli tarjih. Maksudnya, mereka
bukan melakukan tarjih tetapi mengetahui pendapat yang di unggulkan
beserta urutan tingkatan tarjih sesuai dengan pendapat ulama murajjih,
golongan mujtahid ini dapat memberikan penilaian di antara mereka.18

16
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 618
17
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 619
18
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 620

11
2.5. Syarat-syarat ijtihad

Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan sebagai pekerjaan


mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan
persyaratan tersendiri.

Untuk itu, dalam Kajian usul fikih, para ulama telah menetapkan syarat-
syarat tertentu bagi seseorang yang akan melakukan ijtihad. Menurut al
- Syaukani, untuk dapat melakukan ijtihad hukum diperlukan lima syarat.

1. Mengetahui al-Kitab (Al-Qur'an) dan Sunnah. Persyaratan


pertama ini disepakati oleh segenap ulama usul fikih. Ibn al-Hummam,
salah seorang ulama usul fikih Hanafiyah, menyebutkan bahwa
mengetahui al- Qur'an dan Sunnah merupakan syarat mutlak yang
harus dimiliki oleh Mujtahid

2. Mengetahui Ikmal, sehingga tidak mengeluarkan fatwa yang


bertentangan Ikmal. Akan tetapi, seandainya dia tidak memandang
ijmak sebagai dasar hukum, maka mengetahui ijmak ini tidak menjadi
syarat baginya untuk dapat melakukan ijtihad

3. Mengetahui bahasa Arab, yang memungkinkannya menggali


hijun dari al- Qur'an dan Sunnah secara baik dan benar. Dalam hal ini
menurut al- Syaukani seorang mujahid harus menguasai seluk- beluk
bahasa Arab secara sempurna, sehingga ia mampu mengetahui makna
- makna yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur'an dan Sunnah Nabi
Saw. Para ulama usul fikih sepakat bahwa syarat untuk menjadi
Mujtahid hendaklah menguasai bahasa Arab secara baik dan benar.

4. mengetahui ilmu usul fikih. Menurut al-Syaukani, ilmu usul fikih


penting diketahui oleh seseorang Mujtahid karena melalui ilmu inikah
diketahui tentang dasar- dasar dan cara- cara berijtihad. Seseorang
akan dapat memperoleh jawaban suatu masalah secara benar apabila
ia mampu menggalinya dari al- Qur'an dan Sunnah dengan
menggunakan metode dan cara yang benar pula. Dasar dan cara itu

12
dijelaskan secara luas di dalam ilmu usul fikih.19

Kemudian selain pendapat as-syaukani di atas Abdul Wahhab Khallaf


juga membahas tentang syarat-syarat ijtihad yakni :

1. Hendaklah ia (calon mujtahid) mempunyai pengetahuan bahasa


Arab, dari segi sintaksis dan morfologinya, memiliki rasa bahasa dalam
memahami gaya bahasa yang diperoleh dari usaha memahami ilmu
bahasa Arab dan cabang-cabangnya, memiliki pandangan luas
mengenai sastra dan yang mempengaruhi kefasihannya dalam bentuk
syair,prosa dan lainnya. Karena langkah pertama bagi seorang mujtahid
adalah memahami nash Al-Qur’an dam hadis sebagaimana bangsa
Arab memahaminya, yang mana nash itu diturunkan dengan bahasa
mereka. Kemudian menerapkan kaidah umum dari segi bahasa it untuk
mengambil maksud dari ungkapan dan kosa kata.

2. Hendaknya ia mempunyai pengetahuan tentang Al-Qur’an.


Artinya, harus benar-benar mengetahui hukum syara’ yang dibawa oleh
al Qur’an dan oleh ayat yang menetapkan hukum-hukum itu. Dan
mengetahui cara berkembangnya hukum dari ayat-ayat itu, seperti jika
terdapat suatu kejadian, maka mudah baginya mengahdirkan semua
hukum pada tema kejadian itu dari ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an.

3. Ia juga harus memiliki pengetahuan tentang hadis. Artiya harus


benar-benar mengetahui hukum syara’yang dibawa oleh hadis,
misalnya mampu menghadirkan hukum dari dalil hadis dalam semua
persoalan tentang perbuatssn mukallaf dan mengetahui tingkatan
sanad hadis,seperti riwayat yang shahih atau lemah. Para ulama telah
berperan cukup besar dalam masalah hadis Nabi ini, Mereka telah
mencurahkan perhatiannya untuk sanad dan rawi setiap hadis, sehinga
orang-orang setelah mereka cukup melengkapi penelitian terhadap
sanad-sanadnya saja, sehingga setiap hadis itu dikenal dengan
sebutan,hadis mutawatir,masyhur,shahih,hasan atau dha’if (lemah)

4. Hendaknya ia mengerti kisi-kisi kias. Artinya,ia mengetahui illat

19
Nasrun, Rusli, Konsep Ijtihad As-Syaukani, (Jakarta, PT Logos Wacana, 1999), Hlm 85.

13
(Alasan) dan hikmah hukum syara’ yang digunakan sebagai dasar
penetapan hukum. Hendaknya mengetahui semua cara yang ditempuh
syar’i untuk mengetahui alasan dan hikmah hukum, memahami ihwal
perbuatan dan muamalah manusia, sehingga ia mengetahui realisasi
illat hukum dari kejadian yang tidak memiliki nash. Hendaknya ia juga
mengetahui kemaslahatan dan tradisi manusia, mengetahui apa yang
dapat memotivasi mereka berbuat baik atau jahat. Sehingga ketika ia
tidak dapat menemukan cara untuk mengetahui hukum atas kejadian
itu denga kias, maka ia menempuh cara lain di antara cara-cara yang
digunakan oleh syari’at Islam untuk dapat mengeluarkan hukum
terhadap kejadian yang tidak memiliki nash.

Dalam hal ini perlu diperhatikan tiga hal:

1. Ijtihad itu tidak dapat dikelompokkan;Yakni dikatakan bahwa


seseorang itu mujtahid dibidang hukum talak, tetapi bukan mujtahid di
bidang hukum jual beli, atau kujtahid dalam bidang hukuman, tetapi
nukan mujtahid di bidang ibadah.

2. Seorang mendapat pahala. Bila ijtihadnya benar mendapat dua


pahala: satu pahala atas ijtihadnya dan satu pahala atas kebenaran
ijtihadnya. Jika salah, dia mendapat satu pahala atas ijtihadnya.

3. Ijtihad itu tidak dapat dirusak dengan ijtihad yang lain. Jika
seorang mujtahid berijtihad terhadap hukum suatu kejadian dan
menetapkan hukum sesuai dengan hasil ijtihadnya, kemudian dalam
kejadian itu tergamabar dalam dirinya dan ditetapkan hukum yang lsin,
maka ia tidak boleh merusak hukum yang pertama.20

2.6. Contoh Mujtahid

1. Imam Syafi’i

Imam Syafi’i yang dikenal sebagai pendiri madzhab Syafi’i memiliki


nama lengkap Muhammad bin Idris As Syafi’i Al Quraisy. Beliau
dilahirkan di daerah Ghazzah, Palestina pada tahun 150 H di bulan

20
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta, Pustaka Amani, 2003), hlm,321.

14
Rajab.

Idris, Ayah Syafi'i tinggal di tanah Hijaz, ia merupakan keturunan dari al-
muththolib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththolib, Dari nasab
tersebut, Al-mutthalib bin Abdi Manaf kakek Muhammad bin Idris As-
Syafi'ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi
Muhammad SAW.

Kemudian juga saudara kandung Abdul Mutthlaib bin Hasyim, kakek


Nabi Muhammad SAW, bernama Syifa, dinikahi oleh Ubaid bin aabdi
Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa'ib, ayahnya Syafi'i.

Kepada Syafi'i bin As-Sa'ib ra inilah bayi yaim tersebut dinisbatkan


nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-
Syafi'i Al-Muttalib. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat
dengan Nabi Muhammad SAW.

Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani
Hasyim nin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim,
adalah saudara kandung dengan Mutthalalib, maka Rasulullah
bersabda:"hanyalah kami ( yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni
Bani Muththalib) berasal dari satu nasab. Sambil dia menyilang-
nyilangkan jari jemari kedua tangan dia."(HR. Abu Nu'aim Al-
Asfahani).21

Diriwayatkan bahwa ketika beberapa hari setelah ibunda Imam Syafi’i


melahirkan terdengar kabar dari Baghdad tentang meninggalnya Imam
Abu Hanifah. Tatkala diteliti dengan seksama ternyata hari
meninggalnya Imam Abu Hanifah bertepatan dengan saat lahirnya
Imam Syafi’i. Para ulama waktu itu mengisyaratkan bahwa Muhammad
yang baru lahir kelak akan mengikuti derajat keilmuan Imam Abu
Hanifah.

Saat usia 13 tahun, Imam Syafi'i dikirim ibunya untuk pergi ke Madinah
untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun

21
Ahmad Al-Baihaqi, Biografi Imam Syafi’I, (Jakarta, Shahi, 2016), cet 1, hlm 10.

15
kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam
Hanafi di sana.

Imam Asy- Syafi'i belajar dari ulama-ulama yang cukup banyak dan
kami akan menyebutkan beberapa dari mereka yang masyhur dan juga
termasuk dari kalangan ahli fikih, fatwa dan ilmu.

Saya melihat dalam kitab ayah saya Al-Imam Dhiyauddin Umar bin Al-
Husain Ar-Razi bahwa guru-guru imam Asy-Syafi'i yang masyhur
tersebut ada sembilan belas,lima guru dari makkah,enam guru dari
madinah, empat guru dari Yaman, dan empat guru dari Irak.

Adapun mereka yang dari kota Makkah,yaitu; Sufyan bin


Uyainah,Muslim bin Khalid Az-Zanji, sa'id bin Salim Al-Qaddah, Daud bin
Abdurrahman Al-'Athtar, dan Abdul Majid bin Abdul Aziz bin Daud.

Adapun mereka yang dari kota Madinah, yaitu; Malik bin Anas,Ibrahim
bin Sa'ad Al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad bin Ismail bin Ani
Fudaik, dan Abdullah bin Nafi' Ash-Shayigh.

Dan, adapun guru-guru beliau dari Irak, yaitu; Waki' bin Al-Jarrah, Abu
Usamah Hamad bin Usamah, Ismail bin Alyah, dan Abdul Wahhab bin
Abdil Majid. Kita telah menjelaskan bahwa imam Asy-Syafi'i belajar dari
Ulama yang cukup banyak, Namun sanad yang paling baik adalah jalur
Malik bin Anas dari nafi' dari Ibnu Umar22.

2. Imam Hanafi

Abu Hanifah merupakan salah satu dari mazhab empat serangkai


dalam mazhab fiqh, Imam Abu Hanifah memang lebih dikenal sebagai
faqih (ahli hukum) dari pada muhaddits (ahli hadits). Keahliannya
dalam bidang fiqh telah diakui oleh banyak pakar, bahkan para imam
sendiri seperti Imam Malik dan Imam Syafi’i. Namun, bukan berarti ia
kurang ahli dibidang hadits karena maha gurunya seperti Atha’, Nifi’,
Ibnu Hurmuz, Hammad bin Abi Sulaiman, Amr bin Dinar dan yang

22
Imam Fakhruddin Ar-Razi, Manaqib Imam Syafi’i, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2017),
hlm 26.

16
lainnya telah pula mengajarkan hadits kepadanya selain fiqh.

Mazhab ini dinamai sesuai dengan nama ulama pendirinya, yaitu Abu
Hanifah, yang nama aslinya adalah Nu’man bin Tsabit Ibnu Zufy al-
Taimy, yang masih ada hubungan keluarga dengan ‘Ali bin Abi Thalib,
bahkan Ali pernah berdoa untuk Tsabit supaya Allah memberkahi
keturunannya, sehingga tidak heran jika dikemudian hari dari
keturunannya muncul Ulama’ besar seperti Abu Hanifah. Beliau lahir di
Kufah tahun 80 H/ 699M dan wafat di Baghdad tahun 150 H / 767 M.
Beliau ini berasal dari keturunan Persia, yang menjalani hidup didua
masa kekhalifahan yang sosial politiknya berbeda, yaitu masa akhir
kekhalifahan Bani Umayyah dan awal masa kekhalifahan abbasiyyah.

3. Imam Maliki

Abu abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amirbin Amr bin al-Haris
bin Ghaiman bin Jutsail binAmr bin al-Haris Dzi Ashbah. Imama malik
dilahirkan di Madinah al Munawwaroh. Beliau lahir pada tahun 90 H dan
wafat pada tahun 179 H pada usia 89 tahun23. Adalah salah seorang
Mujtahid yang mendirikan madzab maliki. Beliau juga di kenal sebagai
salah satu ulama yang tingkat ke zuhudannya sudah tidak di ragukan
lagi,begitu pula dengan kecerdasannya, terbukti dengan Kecintaannya
kepada ilmu menjadikan hampir seluruh hidupnya diabdikan dalam
dunia pendidikan, tidak kurang empat Khalifah, mulai dari Al Mansur, Al
Mahdi, Harun Arrasyid dan Al Makmun pernah jadi muridnya, bahkan
ulama besar seperti Imam Syafi’i pun pernah menimba ilmu darinya,
menurut sebuah riwayat disebutkan bahwa murid Imam Malik yang
terkenal mencapai 1.300 orang. Ciri pengajaran Imam malik adalah
disiplin, ketentraman dan rasa hormat murid terhadap gurunya.

Karya Imam malik terbesar adalah bukunya Al Muwatha’ yaitu kitab fiqh
yang berdasarkan himpunan hadis hadis pilihan, menurut beberapa
riwayat mengatakan bahwa buku Al Muwatha’ tersebut tidak akan ada
bila Imam Malik tidak dipaksa oleh Khalifah Al Mansur sebagai sangsi

23
Syekh Muhammad Syatho Ad Dimyathi, Kifayatul Atqia (Surabaya : Darul ilmi) hlm.79

17
atas penolakannya untuk datang ke Baghdad, dan sangsinya yaitu
mengumpulkan hadis hadis dan membukukannya, Awalnya imam Malik
enggan untuk melakukannya, namun setelah dipikir pikir tak ada
salahnya melakukan hal tersebut Akhirnya lahirlah Al Muwatha’ yang
ditulis pada masa khalifah Al Mansur (754-775 M) dan selesai di masa
khalifah Al Mahdi (775-785 M), semula kitab ini memuat 10 ribu hadis
namun setelah diteliti ulang, Imam malik hanya memasukkan 1.720
hadis.

Menjelang wafat, Imam Malik ditanya masalah kemana ia tak pergi lagi
ke Masjid Nabawi selama tujuh tahun, ia menjawab, "Seandainya bukan
karena akhir dari kehidupan saya di dunia, dan awal kehidupan di
akhirat, aku tidak akan memberitahukan hal ini kepada kalian. Yang
menghalangiku untuk melakukan semua itu adalah penyakit sering
buang air kecil, karena sebab ini aku tak sanggup untuk mendatangi
Masjid Rasulullah. Dan, aku tak suka menyebutkan penyakitku, karena
khawatir aku akan selalu mengadu kepada Allah." Imam Malik mulai
jatuh sakit pada hari Minggu sampai 22 hari lalu wafat pada hari
Minggu, tanggal 10 Rabi'ul Awwal 179 Hijriyyah atau 800 Miladiyyah.

4. Imam Ahmad bin Hanbali

Ahmad bin Hanbal (781 – 855 M, 164 – 241 H)24 (Arab ‫) ﺃﺣﻤﺪ ﺑﻦ ﺣﻨﺒﻞ‬
adalah seorang ahli hadits dan teologi Islam. Ia lahir di Marw (saat ini
bernama Mary di Turkmenistan, utara Afganistan dan utara Iran) di kota
Baghdad, Irak. Kunyahnya Abu Abdillah lengkapnya: Ahmad bin
Muhammad bin Hambal bin Hilal bin Asad Al Marwazi Al Baghdadi/
Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dikenal juga sebagai Imam Hambali.
Ilmu yang pertama kali dikuasai adalah Al Qur'an hingga ia hafal pada
usia 15 tahun, ia juga mahir baca-tulis dengan sempurna hingga dikenal
sebagai orang yang terindah tulisannya. Lalu, ia mulai konsentrasi
belajar ilmu hadits di awal umur 15 tahun.

24
Syekh, Muhammad Syatho Ad Dimyathi, Kifayatul Atqia (Surabaya : Darul ilmi) hlm.81

18
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Ijtihad adalah sebuah usaha yang dilakukan dengan sungguh-sungguh


dengan berbagai metode yang diterapkan beserta syarat-syarat yang
telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam untuk
kemudian diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Dasar
komponen dalam ijtihad ada dua diantaranya Al-Quran Dan Hadist.
Adapun Objek pembahasan ijtihad ada dua yaitu Syariat yang tidak
boleh di jadikan ijtihad dan Syariat yang bisa dijadikan lapangan ijtihad.

Mujtahid adalah seseorang dengan pengetahuannya berkemempuan


untuk memahami nash Al-Quran dan Sunnah. Dalam tingkatannya
terdapat enam tingkatan pembagian mujtahid. Adapun syarat-syarat
ijtihad menurut Asyaukani diantaranya yaitu Mengetahui Al-Qur’an dan
Sunnah, Mengetahui ijma’,Mengetahui bahasa arab,Mengetahui ilmu
ushul fiqh dan Memiliki pengetahuan tentang hadist dan adapun
contoh Mujtahid dalam pembahasan ini merujuk kepada empat
madzhab yaitumImam Hanafi,Imam Maliki,Imam Syafi’idan Imam
Hambali.

19
DAFTAR PUSTAKA

Abu Zahrah, Muhammad. Ushul Fiqh. (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.

Al-Baihaqi, Ahmad. Biografi Imam Syafi’i. (Jakarta: Shahih 2016).

Biografiku, “biografi imam malik, “ biografi,. https://www.biografiku.com/biografi-


imam-malik/ ( akses September 24, 2019).

Fakhruddin Ar-Razi, Imam. 2017. Manaqib Imam Syafi’i. (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar,2017)

Haromain, Imam. Waraqat. Surabaya: Imarotullah, tth.

Iman, Fauzul. “Ijtihad dan Mujtahid,” Al-Qalam 21, no. 100 (Januari-April 2004):3.

http://www.jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqolam/article/view/1645

Kementrian Agama. “Al-Qur’an dan Terjemahnya,” Bandung: Diponogoro, 2010.

Khallaf Wahhab, Abdul. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta: Pustaka Amani, 2003.

Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Al-Syaukani. Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu, 1999.

Syatho Ad-Dimyati, Muhammad. Kifayatul Atqia. Surabaya: Darul Ilmi.

20

Anda mungkin juga menyukai