Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

“ IJTIHAD SEBAGAI SUMBER AGAMA ISLAM “

DOSEN PENGAMPU :
Emzinetri, M.Ag.

DISUSUN OLEH :
1. M. Fuad Al Faris (2323310034)
2. Reski Jumadiansyah (2323310040)
3. Runa Filza Nurahmatina (2323310042)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO BENGKULU
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan kesehatan kepada kita. Sholawat serta salam semoga senantiasa
tercurah kepada Baginda Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat dan
umatnya, Amin. Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan tugas dari dosen
mata kuliah dengan judul “Ijtihad Sebagai Sumber agama Islam“
Makalah ini disusun perdasarkan apa yang penulis dapat dari dosen mata
kuliah dan sumber-sumber dari berbagai buku pemandu, namun demikian penulis
menyadari jika adanya kekurangan-kekurangan di dalam makalah ini dan oleh
karena kekurangan itu untuk dapat terlengkapi melalui bimbingan dan arahan dari
dosen pembimbing.
Cukup sekian yang dapat penulis ungkapkan dalam kata pengantar ini,
semoga dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Bengkulu, Oktober 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 5
C. Tujuan Masalah ............................................................................................................ 5
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ijtihad ......................................................................................................... 6
B. Dasar-dasar Ijtihad ..................................................................................................... 7
C. Wilayah Ijtihad ........................................................................................................... 8
D. Hukum Ijtihad ........................................................................................................... 10
E. Syarat-syarat Ijtihad ................................................................................................... 11
F. Ijtihad sebagai sumber dinamika ................................................................................ 13
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 15
B. Saran ........................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Permasalahan yang ada di sekitar kita sangat mungkin untuk dikritisi, apalagi
hal-hal yang berhubungan dengan hukum syara atau ibadah. Untuk itu, dalam
mencari suatu kunci dalam pemecahan masalah, ulama biasanya menggunakan
alat yang bisa memecahkan masalah tersebut antara lain dengan menggunakan
al-Qur’an, sunnah, ijma dan qiyas. Di samping itu, mereka juga harus melakukan
ijtihad untuk memecahkan sebuah problematika tersebut. Maka dari itu, para
ulama membuat terobosan-terobosan atau langkah-langkah untuk melakukan
ijtihad sebagai solusi penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi umat Islam.1
Secara istilah ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum yang
sudah ada pada zaman Rasulullah Saw. Hingga dalam perkembangannya, ijtihad
dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa selanjutnya hingga
sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa
taklid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu pula
(kebangkitan atau pembaruan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak bisa
dipungkiri, ijtihad adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan
kehidupan yang semakin kompleks. Tidak semua hasil ijtihad merupakan
pembaruan bagi ijtihad yang lama sebab ada kalanya hasil ijtihad yang baru
sama dengan hasil ijtihad yang lama. Bahkan sekalipun berbeda hasil ijtihad baru
tidak bisa mengubah status ijtihad yang lama. Hal itu seiring dengan kaidah
ijtihad yang tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad pula. Berdasarkan pelaksanaan
ijtihad bahwa sumber hukum Islam menuntun umat Islam untuk memahaminya.
Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah al-Qur’an,
hadis, ijma dan qiyas. 2

1
Zuhri, Moh, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: PT. Dina Utama, 1994.
2
Ramadan, Said, Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam, terj. Badri Saleh, Jakarta:
Firdaus, 1991.

4
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
di dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian, dasar-dasar dan wilayah Ijtihad ?
2. Apa saja syarat-syarat dan hukum Ijtihad ?

C. Tujuan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan masalah yang akan dibahas
di dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1 . Untuk mengetahui pengertian, dasar-dasar dan wilayah Ijtihad.
2 . Untuk mengetahui syarat-syarat dan hukum Ijtihad.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Pengertian “ijtihad” menurut bahasa ialah mengerahkan segala kesanggupann
untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Menurut konsepsi ini kata ijtihad tidak
diterapkan pada “pengerjaan sesuatu yang mudah atau ringan”. Kata ijtihad
berasal dari bahasa Arab ialah daei kata “al-jahdu” yang berarti “daya upaya atau
usaha yang keras”. Ijtihad berarti “berusaha keras unutk mencapai atau
memperoleh sesuatu”. Dalam kaitan ini pengertian ijtihad : adalah usaha
maksimal dalam melahirkan hukum-hukum syariat dari dasar-dasarnya melalui
pemikiran dan penelitian yang sungguh-sungguh dan mendalam. Ijtihad menurut
definisi ushul fiqih yaitu pengarahan segenap kesanggupan oleh seorang ahli fiqih
unutk memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syara’ dan hukum syara’
menunjukan bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang fiqih, bidang hukum yang
berkenaan dengan amal, bukan bidang pemikiran ‘amaliy dan bukan nizhariy.3
Tetapi pengertian ijtihad dapat dilihat dari dua segi baik etimologi maupun
terminologi. Dalam hal ini memiliki konteks yang berbeda. Ijtihad secara
etimologi memiliki pengertian: “pengerahan segala kemampuan untuk
mengerjakan sesuatu yang sulit”. Sedangkan secara terminologi adalah “penelitian
dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah (syara)
dan sunnah rasul atau yang lainnya untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar
maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata “al-faqih” dalam definisi tersebut
sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih atas semua
kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa
penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang
dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.
Pengertian lain bahwa ijtihad merupakan upaya untuk menggali suatu hukum

3
Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer (Yogyakarta:
UII Press, 2005), hlm. 3-4.

6
yang sudah ada pada zaman Rasulullah Saw. Hingga dalam perkembangannya,
ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masamasa selanjutnya sampai
sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita kenal dengan masa
taklid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode tertentu (kebangkitan
atau pembaruan), ijtihad mulai dibuka kembali. Karena tidak dipungkiri, ijtihad
adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin
kompleks.4

B. Dasar-dasar Ijtihad
Ijtihad mempunyai landasan yang kuat dalam al-Qur’an dan Hadis. Di antara
ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan dasar ijtihad oleh ahli ushul fiqih adalah
firman Allah swt. dalam surat al-Nisa’ ayat 105, yaitu:
Terjemahnya: ”Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang
telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat. (QS. Al-
Nisa’:105.5
Menurut Imam al-Bazdawi (ahli ushul fiqih mazhab Hanafi), Imam al-Amidi, dan
Imam al-Satiby, ayat ini mengandung pengakuan terhadap eksistensi ijtihad
melalui qiyas (analogi). Kemudian dalam surat al-Nisa’ ayat 59, Allah berfirman:
Terjemahnya: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.
yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. “
(QS. An Nisa’: 59).6

4
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), h. 98.
5
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Semarang: PT.
Karya Toha Putra 1996.
6
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Semarang: PT.
Karya Toha Putra 1996.

7
Menurut Ali Hasballah (ahli ushul fiqih dari Mesir), kalimat “kembali kepada
Allah dan Rasul” dalam ayat tersebut merujuk kepada al-Qur’an dan Hadis dalam
membahas persoalan-persoalan yang kadangkala sulit dipahami. Penerapan kaidah
umum yang diinduksi dari nas secara analogi atau upaya untuk mencapai tujuan-
tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. Adapun dasar ijtihad dalam sunah adalah
sebagaimana sabda Rasulullah:
Artinya:“Sesungguhnya Rasulullah saw. pada saat mengutusnya (Muadz bin
Jabal) ke Yaman, Rasul berkata kepadanya: bagaimana kamu melakukan ketika
kamu hendak memutus perkara? Muadz menjawab: aku memutus dengan apa
yang terdapat dalam Kitab Allah, lalu Rasul bertanya: kalau tidak terdapat dalam
kitab Allah? Muadz menjawab: maka dengan memakai sunnah Rasulullah, lalu
Rasul bertanya: ketika tidak terdapat dalam sunnah Rasulullah? Muadz
menjawab: aku berijtihad sesuai dengan pemikiranku bukan dengan nafsuku.
Lalu Rasulullah menepuk dadaku dan bersabda: segala puji bagi Allah yang telah
menyepakati utusan pada apa yang telah diridhai Allah terhadap Rasul-Nya.”
Hadist yang lain menyebutkan:
Artinya: ”Apabila seorang hakim (akan) menetapkan hukum lalu ia berijtihad,
dan ijtihadnya itu benar, maka ia mendapat dua pahala, dan ijtihadnya itu salah,
maka ia mendapat satu pahala” (HR. Abu Dawud).

C. Wilayah Ijtihad
Wilayah ijtihad atau majalul ijtihad adalah masalah-masalah yang
diperbolehkan penetapan hukumnya dengan cara ijtihad. Sedangkan lapangan
ijtihad adalah pada setiap hukum syara yang tidak memiliki dalil qath’i. Adapun
hukum yang diketahui dari agama secara dharurah dan bida’hah (pasti benar
berdasarkan pertimbangan akal, tidak termasuk lapangan ijtihad).7
Wilayah ijtihad meliputi dua hal, yaitu persoalan-persoalan yang tidak
ditunjuki oleh nash sama sekali dan persoalan-persoalan yang ditunjuki oleh nash
yang zanni. Sedangkan persoalan yang ditunjuki oleh nash yang qath'i, maka tidak

7
Yusuf Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987), h. 390.

8
ada ruang sedikitpun bagi ijtihad. Berikut beberapa hal yang menjadi wilayah
ijtihad menurut jumhur para ulama. Yaitu :
1. Hukum yang bersumber pada nash yang dzanniyyu ats-tsubut wa ad-dilalah,
atau yang dzanni salah satunya.
Jika nash syara’nya dzanniyyu ats-tsubut maka yang menjadi obyek ijtihad
adalah tentang rangkaian sanad dan tingkat keadilan dan ketepatan perawi.
Berdasarkan ini maka para mujtahid berbeda pendapat tentang kualitas sebuah
dalil. Sebagian mereka mengambilnya sebagai dalil karena merasa yakin
dengan kekuatannya. Sebagian yang lain tidak menjadikannya sebagai dalil
karena dirasa tidak terlalu kuat sebagaihujjah.Perbedaan sikap inimembuahkan
perbedaan pendapat para mujtahid dalam kebanyakan hukum fikih praktis.
Sementara jika nash syara’nya dzanniyyu ad-dilalah maka yang menjadi obyek
ijtihad adalah upaya mengetahui makna yang dimaksud nash. Nash syara’
kadang berbentuk umum, mutlak, perintah dan larangan. Bisa saja sebuah nash
tetap dalam keumumannya dan dapat pula ditakhshish sebagian keumumannya
tersebut. Kalimat perintah dapat berarti menunjukkan kewajiban, dapat pula
menunjuk kan sunnah dan mubah.8
2. Ijtihad juga terjadi pada peristiwa yang belum ada hukumnya dalam nash dan
belum ada ketetapan ijma’ tentangnya.
Maka yang menjadi obyek ijtihad adalah pencarian hukumnya dengan
menggunakan dalil akal seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, urf,
istishhab atau dalildalil yang masih diperselisihkan kehujjahannya. Ini
merupakan area yang sangat luas bagi munculnya perbedaan pendapat di
kalangan ulama. Ijtihad dimungkinkan untuk dilakukan pada dua ranah di atas.
Sedangkan dalam hukum- hukum yang sudah qath’i, karena ditetapkan
berdasarkan dalil yang qath’i baik tsubut maupun dilalahnya, tidak
diperbolehkan melakukan ijtihad atasnya. Begitupun terhadap hukumhukum

8
Jalaludin Rahmat, “Ijtihad Sulit tapi Perlu”, dalam Istiqra’ No. 3 (Bandung: IAIN
Sunan Gunung Jati, 1998), h. 33.

9
agama yang telah diketahui secara keniscayaan, seperti kewajiban shalat lima
waktu, puasa, zakat dan seterusnya.9

D. Hukum Ijtihad
Jumhur ulama sepakat bahwa apabila dalam nas tidak dijumpai hukum yang
akan diterapkan pada suatu kasus, maka seorang mujtahid boleh melakukan ijtihad
sesuai dengan metode yang telah disepakati bersama. Mayoritas Ulama fiqih dan
ushul, diperkuat oleh at-Taftazani dan ar-Ruhawi mengatakan, “ijtihad tidak boleh
dalam masalah qat’iyyat dan masalah akidah”. Minoritas Ulama (al.Ibnu
Taimiyah dan Al-Hummam) membolehkan adanya ijtihad dalam akidah.10
Hukum melakukan ijtihad bagi orang yang telah memenuhi syarat dan kriteria
ijtihad:
1. Fardu ‘ain untuk melakukan ijtihad untuk kasus dirinya sendiri dan ia harus
mengamalkan hasil ijtihadnya sendiri.
2. Fardu ‘ain juga untuk menjawab permasalahan yang belum ada hukumnya.
Dan bila tidak dijawab dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam
melaksanakan hukum tersebut, dan habis waktunya dalam mengetahui kejadian
tersebut.
3. Fardu kifayah jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan
akan habis waktunya, atau ada lagi mujtahid yang lain yang telah memenuhi
syarat.
4. Dihukumi sunnah, jika berijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik
ditanya ataupun tidak.
5. Hukumnya haram terhadap ijtihad yang telah ditetapkan secara qath’i karena
bertentangan dengan syara’.11
Apabila seseorang telah mencapai tingkatan mujtahid ia wajib berijtihad sendiri
atas masalah yang di hadapinya. Ia dilarang bertaqlid kepada orang lain bila ia
telah mencapai hukum peristiwa yang dicarinya itu berdasar zhannya. Oleh karena

9
Ramadan, Said, Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam, terj. Badri Saleh, Jakarta:
Firdaus, 1991.
10
Machfudz Shiddieq, Sekitar Ijtihad dan Taqlid, (Surabaya: PBNU, 1959).
11
Hakim, Atang Abd., Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
1999.

10
sempitnya waktu, seorang mujtahid yang belum memperoleh apa yang di
ijtihadkan dianggap sah bertaqlid kepada mujtahid lain yang lebih terpercaya, baik
mujtahid yang telah tiada maupun yang masih ada. Bagi seorang mujtahid wajib
berijtihad untuk orang lain bila tidak ada orang yang sanggup menetapkan hukum
peristiwa yang berada pada orang lain itu dan dikhawatirkan kehabisan waktu
untuk mengamalkannya. Akan tetapi, kalau masih ada mujtahid lain atau tidak ada
kekhawatiran akan habisnya waktu mengamalkan peristiwa yang hendak dicari
hukumnya, maka baginya berijtihad itu adalah wajib kifa’i. Seorang mujtahid
hendaklah mengamalkan hasil ijtihadnya, baik di dalam memutuskan perkara
maupun di dalam memberikan fatwa.12
Adapun bagi mujtahid lain tidak wajib mengikutinya. Karena pendapat
seseorang sepeninggal Rasulallah SAW, bukan merupakan hujjah yang harus
diikuti oleh seluruh kaum muslimin. Hanya saja bagi orang awam yang tidak
mempunyai kesanggupan untuk berijtihad, hendaknya mengikutinya. Sebagai
imbalan jerih payah seorang mujtahid dalam berijtihad, sekalipun ijtihadnya tidak
tepat, ia akan diberi Tuhan satu pahala, akan tetapi, kalau ijtihadnya tepat dan
benar ia akan dapat pahala ganda. Satu pahala sebagai imbalan jerih payahnya dan
satu pahala yang lain sebagai imbalan ketepatan hasil ijtihadnya. Sabda Rasulallah
SAW : “apabila seorang hakim memutuskan masalah dengan jalan ijtihad
kemudian benar,maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila dia memutuskan
dengan jalan ijtihad kemudian keliru, maka dia mendapat satu pahala”.13

E. Syarat-syarat Mujtahid
Para ulama ushul fiqih telah menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi
seorang mujtahid sebelum melakukan ijtihad. Dalam hal ini Sya’ban Muhammad
Ismail mengetengahkan syarat-syarat tersebut sebagai berikut :
1. Mengetahui Bahasa Arab
Mengetahui bahasa arab dengan baik sangat diperlukan bagi seorang mujtahid.
Sebab Al Quran diturunkan dengan bahasa arab, dan Al Sunnah juga
12
Nadiyah Safari al-Umari, al-Ijtihad fi al-Islam: Ushuluh, Ahkamuh, Afqahuh, (beirut:
Muassasah Risalah, 1981), h. 199-200.
13
Ibrahim Husein, Ijtihad Dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1991), h. 25.

11
dipaparkan dalam bahasa arab. Keduanya merupakan sumber utama hukum
islam, sehingga tidak mungkin seseorang bisa mengistinbatkan hukum islam
tanpa memahami bahasa arab dengan baik.
2. Mempunyai pengetahuan yang mendalam tentang Al Quran
Mengetahui Al Quran dengan segala ilmu yang terkait dengannya, ini sangat
diperlukan bagi seorang mujtahid. Sebab Al Quran merupakan sumber utama
hukum syara’, sehingga mustahil bagi seseorang yang ingin menggali hukum-
hukum syara’ tanpa memeiliki pengetahuan yang memadai tentang Al Quran.
3. Memiliki pengetahuan yang memadai tentang Al Sunnah
Pengetahuan tentang Al Sunnah dan hal-hal yang terkait dengannya harus
dimiliki oleh seorang mujtahid. Sebab Al Sunnah merupakan sumber utama
hukum syara’ disamping Al Quran yang sekaligus berfungsi sebagai
penjelasnya. Pengetahuan yan terkait dengan Al Sunnah ini yang terpenting
antara lain mengenai dirayah dan riwayah, asbabul wurud dan al-jarh wa
ta’dil.14
4. Mengetahui letak ijma’ dan khilaf
Penegetahuan tentang hal-hal yang telah disepakati (ijma’) dan hal-hal yang
masih diperselisihkan (khilaf) mutlak diperlukan bagi seorang mujtahid. Hal ini
dimaksudkan agar seorang mujtahid tidak menetapkan hukum yang
bertentangan dengan ijma’ para ulama sebelumnya, baik sahabat, thabi’in,
maupun generasi setelah itu. Oleh karena itu sebelum membahas suatu
permasalahan, seorang mujtahid harus melihat dulu status persoalan yang akan
dibahas, 4 apakah persoalan itu sudah pernah muncul pada zaman terdahulu
atau belum, jika persoalan itu belum pernah muncul sebelumnya, maka dapat
dipastikan bahwa belum ada ijma’ terhadap masalah tersebut.
5. Mengetahui Maqashid al-Syariah
Pengetahuan tentang maqashid al-syariah sangat diperlukan bagi seorang
mujtahid, hal ini disebabkan bahwa semua keputusan hukum harus selaras
dengan tujuan syariat islam yang secara garis besar adalah untuk memberi
rahmat kepada alam semesta, khususnya kemaslahatan manusia.

14
Moh Zuhri, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: PT. Dina Utama, 1994), h. 78.

12
6. Memiliki pemahaman dan penalaran yang benar
Pemahaman dan penalaran yang benar merupakan modal dasar yang harus
dimilki oleh seorang mujtahid agar produk-produk ijtihadnya bisa
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
7. Memiliki pengetahuan tentang Ushul Fiqih
Penguasaan secara mendalam tentang ushul fiqih merupakan kewajiban bagi
setiap mujtahid. Hal ini disebabkan bahwa kajian ushul fiqih antara lain
memuat bahasan mengenai metode ijtihad yang harus dikuasai oleh siapa saja
yang ingin beristinbat hukum.
8. Niat dan I’tikad yang benar
Seorang mujtahid harus berniat yang ikhlas semata-mata mencari ridho Allah.
Hal ini sangat diperlukan, sebab jika mujtahid mempunyai niat yang tidak
ikhlas sekalipun daya pikirnya tinggi, maka peluang untuk membelokan jalan
pikirannya sangat besar, sehingga berakibat pada kesalahan produk
ijtihadnya.15

F. Ijtihad sebagai sumber dinamika


Dewasa ini umat Islam dihadapkan kepada sejumlah peristiwa kekinian yang
menyangkut berbagai aspek kehidupan. Peristiwa-peristiwa itu memerlukan
penyelesaian secara seksama, lebih-lebih untuk kasus yang tidak tegas
penunjukannya oleh nas. Di samping itu, kata Rager Graudi, sebagai dikutip oleh
Jalaludin Rahmat, tantangan umat Islam sekarang ada dua macam, yakni taklid
kepada Barat dan kepada masa lalu. Taklid model pertama terjadi karena
ketidakmampuan melakukan pemilahan antara modernisasi dan cara hidup Barat;
sedangkan taklid model kedua muncul karena ketidakmampuan dalam
membedakan antara agama (wahyu) dengan pemikiran ulama masa lalu.16
Melihat persoalan-persoalan di atas, umat Islam dituntut untuk keluar dari
kemelut itu, yakni dengan cara melakukan ijtihad. Oleh karena itu, ijtihad menjadi

15
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Al-Ushul min ‘Ilmil Ushuli, Alih bahasa Tim
Media Hidayah, Ushul Fiqih, Jogjakarta, Media Hidayah, 2008,
16
Ibrahim Abbas adz-Dzarwi, Teori Ijtihad dalam Hukum Islam (Semarang: Dina Utama,
1983), h. 9.

13
sangat penting meskipun tidak bisa dilakukan oleh setiap orang. Adapun
kepentingannya itu disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
1. Jarak antara kita dengan masa tasyri’ semakin jauh.
Jarak yang jauh ini memungkinkan terlupakannya beberapa nas, khususnya
dalam al-Sunah, yakni masuknya hadith-hadith palsu dan perubahan
pemahaman terhadap nas. Oleh karena itu para mujtahid dituntut secara
sungguh-sungguh menggali ajaran Islam yang sebenarnya melalui kerja ijtihad.
2. Syariat disampaikan dalam al-Qur’an dan al-Sunah secara komprehensif;
memerlukan penelaahan dan pengkajian yang sungguh-sungguh.
Di dalamnya terdapat sejumlah ayat, yang bisa dikatakan masih dalam kategori
memerlukan penjelasan.17
Dilihat dari fungsinya, ijtihad sebagai penyalur kreativitas pribadi atau kelompok
dalam merespons peristiwa yang dihadapi sesuai dengan pengalaman mereka. Di
samping itu, ijtihadpun memberi tafsiran kembali atas perundang-undangan yang
sifatnya insidental sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku pada masanya dengan
tidak melanggar prinsip-prinsip umum, dalail-dalil kulli dan maqahid al-syari’ah
yang merupakan aturan-aturan pengarah dalam hidup. Ijtihad juga berperan
sebagai interpreter terhadap dalil-dalil yang dzanni ad-dalalah. Penjelasan
terhadap dalil-dalil tersebut memerlukan kerja akal fikiran lewat ijtihad. Ijtihad
diperlukan untuk menumbuhkan kembali ruh Islam yang dinamis menerobos
kejumudan kebekuan, memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari ajaran
Islam, mencari pemecahan islami untuk masalah-masalah kehidupan kontemporer.
Ijtihad juga menjadi saksi keunggulan Islam atas agama-agama lainnya.18

17
Atang Abd Hakim, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
1999), h. 100.
18
Wahbah az-Zuhaili, al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Kutub,
1978), h. 480.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ijtihad adalah proses penetapan hukum syariat dengan menggunakan semua
pikiran dan tenaga secara bersungguh-sungguh. Proses ijtihad bertujuan
menciptakan solusi dalam pertanyaan hukum yang belum dijelaskan di dalam Al-
Quran dan hadis. Karenanya, hanya para ulama yang dapapt berijtihad terkait
hukum Islam. Dari sisi etimologi, ijtihad berasal dari bahasa Arab yaitu kata
jahada-yajhadu-jahd yang berarti kemampuan, potensi, kapasitas. Berdasarkan
pengertian tersebut, kita dapat mengartikan bahwa ijtihad adalah pengerahan
segala kemampuan kita dengan bekerja keras untuk mencapai sesuatu.
Dengan melihat perkembangan zaman di era sekarang terutama kaum
Muslimin yang ada di Indonesia atau di dunia ini, sangat sulit untuk mencari
orang yang ahli dalam masalah ijtihad jika mengikuti aturan baku ijtihad zaman
dahulu. Namun jika kita melalui lajur yang benar, yaitu mencari hukum baru atau
menggali permasalahan yang belum terselesaikan, dengan tetap berpedoman pada
kaidah-kaidah yang benar bisa jadi pintu ijtihad masih terbuka lebar. Sebab jika
tidak, hukum Islam akan menjadi bisu dan kaku lantaran tidak mampu
mengimbangi dinamika zaman.

B. Saran
Penulis sadar masih banyak kekerangan dalam pembuatan makalah ini,
kedepannya penulis akan lebih berhati-hati dan fokus untuk menejelaskan
makalah ini secara detail dengan sumber-sumber yang lebih banyak. Penulis juga
mengharapkan kritikan dan saran dalam pembuatan makalah ini.

15
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya Departemen Agama RI, Semarang: PT.


Karya Toha Putra 1996.
Al-Utsaimin, Muhammad bin Shalih, Al-Ushul min ‘Ilmil Ushuli, Alih bahasa
Tim Media Hidayah, Ushul Fiqih, Jogjakarta, Media Hidayah, 2008,
Amir Mu’allim dan Yusdani, Ijtihad dan Legislasi Muslim Kontemporer
(Yogyakarta: UII Press, 2005), hlm. 3-4.
Atang Abd Hakim, Metodologi Studi Islam (Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
1999), h. 100.
Hakim, Atang Abd., Metodologi Studi Islam, Bandung: PT Remaja Rosda Karya,
1999.
Ibrahim Abbas adz-Dzarwi, Teori Ijtihad dalam Hukum Islam (Semarang: Dina
Utama, 1983), h. 9.
Ibrahim Husein, Ijtihad Dalam Sorotan (Bandung: Mizan, 1991), h. 25.
Jalaludin Rahmat, “Ijtihad Sulit tapi Perlu”, dalam Istiqra’ No. 3 (Bandung: IAIN
Sunan Gunung Jati, 1998), h. 33.
Machfudz Shiddieq, Sekitar Ijtihad dan Taqlid, (Surabaya: PBNU, 1959).
Moh Zuhri, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: PT. Dina Utama, 1994), h. 78.
Nadiyah Safari al-Umari, al-Ijtihad fi al-Islam: Ushuluh, Ahkamuh, Afqahuh,
(beirut: Muassasah Risalah, 1981), h. 199-200.
Rahmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqh (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), h. 98.
Ramadan, Said, Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam, terj. Badri Saleh,
Jakarta: Firdaus, 1991.
Wahbah az-Zuhaili, al-Wasith fi Ushul al-Fiqh al-Islami (Beirut: Dar al-Kutub,
1978), h. 480.
Yusuf Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987), h.
390.

16

Anda mungkin juga menyukai