Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH TERBENTUKNYA QAWAID FIQHIYAH

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Qawaid Fiqhiyah

Dosen Pengampu : Dr. Nurul Huda Prasetiya, MA

Disusun Oleh :

Kelompok 1

(Semester V HKI B)

M. Fathurrahman (0201201111)

Mhd. Fajri Hidayah (0201201085)

PRODI AL-AHWAL SYAKHSIYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A 2022/2023
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah Ta’ala, zat yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Maha
Mengetahui Segala Sesuatu, baik yang dzahir maupun yang batin. Tiada sesuatu pun yang
terluput dari pengetahuan-Nya.

Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada pemimpin agung yang layak menjadi
teladan kita, yaitu Baginda Rasulullah Muhammad ‫ﷺ‬. Rahmat dan ampunan Allah Ta’ala
semoga juga tercurah kepada keluarga beliau, para sahabat, dan para pengikutnya yang setia
berpegangan dengan sunnah-sunnahnya hingga hari kiamat. Aamiiin…

Pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Qawaid Fiqhiyah
yang diberikan oleh Bapak Dosen pengampu, untuk itu kami sangat berharap masukan dan
kritikan atas makalah kami ini. Sekian dan terima kasih.

Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.

Medan, 18 September 2022

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................................i

Daftar Isi .............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1

A. Latar Belakang .......................................................................................................1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................................1
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................2

A. Periode Tumbuh dan Pembentukan Qawaid Fiqiyah Pada Masa


Pembentukan Hukum..............................................................................................2
B. Periode Perkembangan Dan Penulisan..................................................................5
C. Periode Pemantapan Dan Sistematisasi.................................................................8

BAB III PENUTUP ................................................................................................10

A. Kesimpulan ............................................................................................................10
B. Saran ......................................................................................................................11

Daftar Pustaka ..................................................................................................................12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Qawa`id fiqhiyyah merupakan kaidah-kaidah yang bersifat umum, meliputi
sejumlah masalah fiqh, dan melaluinya dapat diketahui sejumlah masalah yang berada
dalam cakupannya.1
Qawa’id fiqhiyyah tidaklah dibentuk sekaligus dalam bentuk dan sistematika
yang kita jumpai sekarang. Pembentukan qawaid itu berproses sejalan dengan proses
legislasi dalam Islam. Sejarah pembentukan dan perkembangan qawaid fiqhiyah sejak
masa pembentukan hukum (tasyri’) sampai masa kini dapat dibagi kepada tiga
periode sejarah: yaitu masa tumbuh dan pembentukan qawaid, masa perkembangan
dan penulisan, dan masa pemantapan dan sistematisasi. Tulisan ini akan membahas
secara ringkas sejarah pembentukan dan perkembangan qawaid fiqiyah periode demi
periode.2

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah qawa’id fiqhiyyah periode rasulullah, shahabat, tabi’in, serta
tabi’ut tabi’in ?
2. Bagaimana sejarah qawa’id fiqhiyyah periode Perkembangan dan Pembukuan ?
3. Bagaimana sejarah qawa’id fiqhiyyah periode kemajuan ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengerti sejarah qawa’id fiqhiyyah periode rasulullah, shahabat, tabi’in, serta
tabi’ut tabi’in.
2. Mengetahui sejarah qawa’id fiqhiyyah periode Perkembangan dan Pembukuan.
3. Mengetahui sejarah qawa’id fiqhiyyah periode kemajuan.

1
Dr. H. Toha Andiko, M.Ag. Ilmu Qawai’d Fiqhiyyah. (Yogyakarta: Penerbit Teras. 2011), hal. 6.
2
Syafrudin Halimy Kamaludin.”Sejarah Perumusan Dan Perkembangan Qawaid Fiqiyah”.Journal of Al
Muqaranah. Vol, 5 No, 1. (2014), hal. 1.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Periode Tumbuh dan Pembentukan Qawaid Fiqiyah Pada Masa Pembentukan


Hukum ('Asru Risalah)
Periode ini meliputi 'asru risalah atau 'asru tasyri' (masa pembentukan hukum)
yaitu zaman Nabi, zaman Alquran diturunkan dan hadis-hadis disampaikan, zaman
sahabat atau yang dikenal dengan zaman khulafaau al-rasyidin, zaman tabi'in dan tabi'
tabi'in. Dengan kata lain periode ini sejak bi'tsah Nabi sampai zaman keemasan fiqh
di awal abad ke-4 H.
Pada zaman tasyri’ lahirlah berbagai kaidah hukum baik dari Alquran maupun
melalui Sunnah. Seperti yang diketahui bahwa beberapa qaidah fiqh langsung diambil
dari Alquran ataupun Sunnah. Artinya ungkapan Alquran yang memiliki sifati i'jaz
dan sunnah dari Nabi yang dianugerahi kemampuan yang luar biasa dalam merangkai
kata (jawami' al-kalim), selain sebagai sumber hukum sekakigus memenuhi kriteria
qawaid fiqh, yaitu mengandung hukum yang bersifat umum yang dapat menerangkan
hukum masalah furu' yang banyak. Qawaid yang diambil langsung dari nash. Ini juga
disebut dengan al-taq'id bi al-nash.3
1. Periode Rasulullah
Prinsip-prinsip umum dalam membuat undang-undang dan hukum pada periode
ini dapat dikategorikan ke dalam empat bagian:
 Penetapan hukum secara berangsur-angsur dalam kurun waktu 22 tahun
beberapa bulan. Contoh: Hukum minum minuman keras atau arak diturunkan
dalam tiga tingkatan.
 Rasulullah menetapkan hukum sekedar keperluan saja. Contoh: Nabi tidak
mendirikan sholat terawih secara berjamaah, karena beliau khawatir hal
tersebut akan difardhukan kepada umatnya.
 Penetapan hukum yang sifatnya memudahkan dan meringankan beban.
Contoh: Adanya rukhsah buka puasa bagi orang yang sakit dan musyafir.
 Mensyariatkan hukum yang sejalan dengan kemaslahatan manusia. Contoh:
Pada awalnya Rasulullah melarang ziarah kubur namun setelah itu beliau
memperbolehkannya dengan tujuan mengingatkan kematian.

3
Ibid, hal. 1-2

2
Di samping hal tersebut diatas, juga ada sebagian hadits nabi yang dapat
dikategorikan sebagai kaidah fiqh. Antara lain:
‫ض َما ِن‬ ُ ‫اَ ْل َخ َر‬
َّ ‫اج باِل‬
“Orang yang menikmati hasil sesuatu bertanggungjawab atas resikonya.”
ِ ‫ض َرر واَل‬
‫ض َرار‬ َ ‫اَل‬
“Tidak boleh memudaratkan dan dimudaratkan.”
‫اَ ْلبَيِّنَةُ َعلَى ال َمدَّعي واليَ ِميْنُ عَلى َمنْ َأ ْن َك َر‬
“Bagi yang penuduh (pendakwa) wajib membawa bukti, sedangkan yang
mengingkari (terdakwa) cukup bersumpah”

2. Periode Sahabat
Setelah Rasulullah SAW wafat, sahabat sudah tidak memiliki tempat lagi
untuk bertanya, baik kepada Allah SWT maupun Rasulullah SAW. Al-Qur’an dan
al-Hadits, sementara itu, tidak lagi mampu memberi penyelesaian terhadap
sejumlah problematika baru yang terus muncul dan berkembang. Demi
menyelesaikan problematika yang terus bergulir melalui petunjuk ayat-ayat al-
Qur’an dan al-Hadits serta prinsip-prinsip hukum yang termaktub di dalamnya,
maka prinsip-prinsip dasar metode ijtihad menjadi satu keniscayaan. Keperluan
terhadap ijtihad lahir dari watak dan kedudukan nash (al-Qur’an dan al-Hadits)
yang dihadapkan dengan realitas sosial yang semakin komplek dan dinamik.
Tanpa ijtihad, sulit rasanya membuktikan keyakinan bahwa Islam sesuai dengan
perkembangan zaman dan tempat. Penggunaan ijtihad di kalangan sahabat
ternyata sering menimbulkan i’tiradh (pertentangan) dan ikhtilaf (perbedaan).
Metode ijtihad di kalangan sahabat sendiri masih sederhana, tidak memiliki
rumusan yang sistematik dan ilmiah. Penetapan hukum baru yang tidak terdapat
dalam al-Qur’an dan al-Hadits terus berkembang hingga zaman tabi’in. Hal ini
menunjukkan bahwa ijtihad pada masa sahabat terhenti hanya sebagai wacana.4

3. Periode Tabai’in dan Tabi’ut Tabi’in


Pada zaman Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, itulah awal dari adanya penulisan
dan pembukuan ushul fiqh mulai abad ke-2 hingga abad ke-4 Hijriyah. Pada masa
itu juga fiqh mulai berkembang pesat. Setelah Rasulullah meninggal muncul

4
Dr. H. Mif Rohim, MA., Buku Ajar Qawaid Fiqhiyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan Hukum), (Jawa
Timur: LPPM UNHASY TEBUIRENG JOMBANG, 2019), hal. 21-22.

3
gerakan pemikiran di kalangan para sahabat yang dipengaruhi oleh gerakan dan
benturan politik. Dari situ munculah dua kekuatan pemikiran besar yang
menginsipirasi dan memengaruhi perkembangan metodologi hukum Islam dan
perkembangan Islam di dunia. Pertama Golongan yang memandang Islam dengan
pendekatan tekstual, sebagai tokohnya adalah Imam Ibnu Abbas, Talhah, Aisyah,
Abdullah Ibn Umar dan sejumlah sahabat yang lain. Sedangkan pada periode
tabi’in muncul tokoh Ahlu al-hadis di antarnya Imam Sa’id Ibnu al-Musayyab dan
seorang mujtahid Ahlu al-hadis, Imam Malik yang terkenal dengan kitab al-
Muwatta’-nya. Golongan kedua memandang Islam dengan pendekatan
kontekstual, sebagai tokohnya Imam Ibnu Mas’ud didukung Umar bin Khattab,
Ali Bin Abi Talib dan sejumlah sahabat lainnya. Periode tabi’in melahirkan
sejumlah tokoh Ahlu al-ra’yi di antaranya adalah Imam Ibrahim al-Nakha’i dan
seorang mujtahid Ahlu al-ra’yi, yakni Imam Abu Hanifah yang terkenal dengan
metode istihsan-nya.
Pada perkembangan berikutnya datanglah Muhammad bin Idris al-Syafi’i di
Irak, founding father ushul fiqh yang memaparkan pemikirannya secara teoritik,
sistimatik dan akademik dengan pola berfikir moderat yang tidak hijazi dan tidak
pula Iraki yang berharap mampu mengkompromikan dua pemikiran yang berbeda
di atas. Namun, kehadiran Imam Syafi’i ternyata tidak malah menurunkan konflik
tetapi justru menjadikan konflik semakin tajam, terutama ketika Imam Syafi’i
melontarkan statemen kontra terhadap metode istihsan Imam Abu Hanifah dengan
cara “mengharamkan dan membatalkan”. Dalam perseteruan itu Imam Syafi’i
mengatakan, man istahsana faqad syarra’a’, “Barang siapa mengamalkan istihsan,
maka sesungguhnya dia berkuasa membuat syari’at”. Namun kedudukan Imam
Syafi’i sebagai founding father ushul fiqh, ternyata tidak mampu berhadapan
dengan kekuatan yang lebih luar biasa, yaitu metode Istihsan Imam Abu Hanifah
yang mengakar kuat di Irak. Dalam drama perseteruan itu, Imam Syafi’i akhirnya
tersingkir dan hijrah ke Mesir. Namun begitu, implikasi satatemen Imam Syafi’i di
atas memiliki signifikansi tersendiri terhadap perkembangan metodologi hukum
Islam.
Pada prinsipnya konflik pemikiran Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i
merupakan kepanjangan perbedaan aliran pemikiran Ahl al-ra’y dan institusi Ahl
al-hadits. Dalam memahami nash-nash syarak, aliran Ahl al-hadits melakukan
pendekatan secara tekstual. Sedangkan aliran Ahl al-ra’y melakukan pendekatan

4
secara kontekstual. Imam Abu Hanifah menggunakan manhaj al-istihsan di mana
akal memiliki peran yang mutlaq dalam melakukan istinbat al-ahkam dan istidlal
al-ahkam. Imam Syafi’i, sebaliknya, menggunakan manhaj qiyas untuk melakukan
istinbat al-ahkam dan istidlal al-ahkam, yang memosiskan akal sebagai media
untuk menganalogikan hukum yang tidak terdapat dalam teks nash dengan hukum
lain yang terdapat dalam teks nash.
Meskipun pada masa itu terdapat berbagai Imam mazhab, tetapi Imam Abu
Hanifah dan Imam Syafi‘i lebih mewakili, karena kedua imam ini merupakan
kepanjangan dari pemikiran antara Ahl al-ra’y dan Ahl al-hadits yang kerap
memunculkan pergolakan pemikiran yang sangat dinamik. Imam Abu Hanifah
sebagai wakil ulama Ahli al-ra’y, sedangkan Imam Syafi‘i sebagai ulama Ahl al-
hadits. Walaupun pada mulanya Imam Maliki sebagai tokoh yang mewakili ulama
Ahl al-hadits pada masa perkembangan ijtihad, namun setelah wafatnya, Imam
Syafi‘i lah yang tampil mewakili ulama Ahl al-hadits dan sekaligus sebagai tokoh
ulama Hijaz pada masa itu. Di samping itu kedua imam tersebut melahirkan
metodologi hukum Islam yang berbeda serta memiliki pengaruh yang signifikan
dalam perkembangan hukum Islam di pelbagai belahan dunia Islam. Terbentuknya
disiplin ilmu ushul fiqh dengan empat masadir al-ahkam (al-Qur’an, al-Sunnah al-
ijma’ dan qiyas ) merupakan puncak prestasi yang luar biasa, dan sekaligus
menjadi titik tolak ushul fiqh dan fiqh pada periode berikutnya. Di samping itu,
lahir pula berbagai manhaj istinbat yang menjadi titik tolak perkembangan ilmu
fiqh pada periode berikutnya, yang dikenali dengan periode taqlid. Dari dua
kelompok diatas, maka lahirlah ushul fiqh dan istilah-istilah fiqh. Kitab ushul fiqh
yang mula-mula ditulis dan dibukukan ialah kitab al-Risalah karangan Imam
Syafi’i. Selanjutnya, pada masa itu kegiatan ijtihad hanya bertumpu pada ahli fiqh
saja.5

B. Periode Perkembangan dan Penulisan


Qawa`id fiqhiyyah menjadi satu disiplin ilmu tersendiri pada abad IV H, dan
dimatangkan pada abad-abad sesudahnya. Ketika ruh taqlid menyelimuti abad ini (IV
H dan sesudahnya), ijtihad mengalami masa stagnasi dan para ulama menjadi kurang
kreatif. Hal ini ditambah dengan adanya kekayaan fiqh yang melimpah, dengan
dibukukannya hukum-hukum fiqh dan dalil-dalilnya, juga banyaknya madzhab,
5
Ibid, hal.22-27

5
membuat mereka cenderung hanya melakukan tarjih (menyeleksi pendapat-pendapat
ulama terdahulu yang paling kuat argumennya). Kondisi ini mendorong para ulama
saat itu untuk membahas hukum suatu peristiwa baru hanya dengan berpegang kepada
fiqh madzhab saja. Ibnu Khaldun (w.808 H/1406 M) juga telah mengisyaratkan hal
ini. Menurutnya, ketika madzhab (aliran) setiap imam menjadi disiplin ilmu khusus
bagi pengikutnya, dan mereka (para pengikut) tidak mempunyai kesempatan atau
tidak mampu untuk berijtihad dan melakukan qiyas, maka mereka memandang perlu
melihat masalah-masalah yang serupa dan memilah-milahnya. Ini mereka lakukan
ketika mengalami kesulitan dalam mengembalikan hukum furu` kepada ushul imam
madzhabnya.
Pemecahan masalah dengan menggunakan ushul para imam mujtahid
membuat ruang lingkup dan masalah-masalah fiqh menjadi berkembang. Para fuqaha
mulai membuat metode-metode baru dalam fiqh. Mereka menamakan metode-metode
tersebut kadang-kadang dengan istilah qa`idah, dhabit, furuq, alghaz, mutharahat,
ma`rifat al-afrad, dan hiyal. Dengan panjang lebar, para fuqaha mengkaji masalah
furuq, qaidah, dan dhabit.
Seiring dengan semakin banyaknya persoalan, para ulama mempunyai inisiatif
untuk membuat qa`idah dan dhabit yang dapat memelihara hukum furu` dan fatwa
para ulama tersebut dari kesemrawutan. Hal inilah yang dilakukan oleh Abu Hasan al-
Karkhi (w.340 H) dalam risalahnya (Ushul al-Karkhi), dan Abu Zaid al-Dabbusi
(w.430 H) dalam kitabnya Ta’sis al-Nazhar dengan memakai istilah ushul. Apabila
ushul tersebut mencakup berbagai masalah fiqh, maka disebut qa`idah, sedangkan
kalau hanya mencakup satu masalah fiqh, disebut dhabit.
Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa fuqaha Hanafiah menjadi kelompok
pertama yang mengkaji qawa`id fiqhiyyah. Ini karena luasnya furu` yang mereka
kembangkan. Di samping itu, dalam membentuk ushul madzhab, fuqaha Hanafiah
mendasarkan pemikirannya kepada hukum furu` para imam madzhabnya. Misalnya,
Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani (w. 189 H) dalam kitabnya Al-Ushul
menyebutkan satu permasalahan, lalu darinya ia membuat banyak hukum furu` yang
sulit dihafal dan diidentifikasi. Kondisi ini mendorong fuqaha Hanafiah untuk
membuat qa`idah dan dhabit.
Pengumpulan qawa`id fiqhiyyah dalam madzhab Hanafi dilakukan pertama
kali oleh Abu Thahir al-Dabbas al-Hanafi, seorang ulama yang hidup pada abad III
dan IV H. Demikian pendapat al-`Alai (w. 761 H), al-Suyuthi (w. 911 H), dan Ibnu

6
Nujaim (w. 970 H)10 dalam masing-masing kitab qa`idahnya. Abu Thahir al-Dabbas,
fuqaha abad IV H, telah mengumpulkan qa`idah yang paling penting dalam madzhab
Hanafi ke dalam tujuh belas qa`idah kulliyyah. Pengakuan ini dilontarkan sendiri oleh
imam al-Suyuthi (pengikut mazhab Syafi`i) yang menginformasikan kisah seorang
ahli fiqh tunanetra yang bernama Abu Thahir al-Dabbas (pengikut mazhab Hanafi)
yang memiliki kebiasaan mengulang-ulang hafalannya terhadap ketentuan fiqh
mazhabnya dalam bentuk 17 qa`idah kulliyah. Hal ini dilakukannya setiap malam
secara rahasia dengan terlebih dahulu mengunci diri dalam sebuah kamar Masjid
setelah orang-orang yang shalat di Masjid pulang ke rumah. Suatu hari seorang ahli
fiqh bernama Abu Sa’id al-Harawi (w. 488 H) yang bermazhab Syafi`i diam-diam
bersembunyi di Masjid tersebut dan berhasil ”menguping” qa`idah-qa`idah yang
dihafal al Dabbas. Dan dari sinilah kemudian mazhab Syafi`i banyak mendapat
inspirasi untuk membuat qa`idah-qa`idah baru sebagai ”tandingan” dan mengambil
beberapa qa`idah dasar darinya. Qa`idah-qa`idah dasar itu adalah 5 qa`idah pokok
yang populer yaitu:
‫ الضرر يزال‬, ‫ العادة محكمة‬,‫ المشقه تجلب التيسير‬,‫ اليقين ال يزال بالشك‬,‫األمور بمقاصدها‬

Qawa`id fiqhiyyah yang dikumpulkan oleh Abu Thahir al-Dabbas (wafat


sekitar abad IV H) tidak mudah untuk diidentifikasi, kecuali beberapa qa`idah dasar
yang populer tersebut. Al-Karkhi (w.340 H), teman Abu Thahir al-Dabbas, diduga
telah mengumpulkan qa`idah-qa`idah tersebut dalam kitabnya Ushul al-Karkhi.
Dalam kitab tersebut, al-Karkhi (w.340 H) mengumpulkan tiga puluh tujuh qa`idah.
Kitab ini dianggap sebagai karya pertama yang mengkaji ilmu qawa`id fiqhiyyah. Di
samping kitab yang sangat populer tersebut, Muhammad bin Haris al-Khasyani al-
Maliki (w.36l H) juga telah menyusun kitab Ushul al-Futya yang menghimpun
sejumlah besar qa`idah kulliyah dan kulliyyat fiqhiyyah.
Pada abad IV H, Abu Zaid al-Dabbusi (w.430 H) telah melakukan kajian
ilmiah tentang qawa`id fiqhiyyah, dan menggabungkannya dengan qa`idah al-Karkhi
(w.340 H). Kajian al-Dabbusi ini dapat dilihat dalam karya besarnya Ta’sis al-Nazhar.
Dengan demikian, abad IV H dapat dikatakan sebagai abad atau fase perkembangan
dan pengkodifikasian qa`idah fiqhiyyah. Karena 14 abad IV H merupakan awal
penyusunan kitab-kitab qa`idah, maka abad ini dapat dianggap sebagai awal kelahiran
pengkodifikasian ilmu qa`idah.

7
Pada abad V H, tidak ditemukan kitab yang secara khusus mengkaji masalah
qawa`id fiqhiyyah selain kitab Ta’sis al-Nazhar karya al-Dabbusi. Begitu juga pada
abad VI H, tidak ditemukan kitab yang secara khusus mengkaji masalah qawa`id
fiqhiyyah selain kitab Idhah al-Qawa`id karya Alauddin Muhammad bin Ahmad al-
Samarqandi (w.540 H). Hal ini tidak berarti bahwa dalam dua abad ini kreatifitas para
ulama terputus dalam mengkaji ilmu qawa`id fiqhiyyah, tetapi kemungkinan
perjalanan sejarah tidak dapat melacaknya, seperti halnya juga menimpa sejumlah
besar ilmu-ilmu lainnya.
Pada abad VII H, ilmu qawa`id fiqhiyyah berkembang pesat meskipun belum
mencapai puncaknya. Hal ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh ulama
dalam ilmu ini, seperti Muhammad bin Ibrahim al-Jajarmi al-Sahlaki (w.613 H) yang
menyusun kitab al-Qawa`id fi Furu` al-Syafi`iyyah, `Izzuddin bin 'Abdissalam (w.660
H) yang menyusun kitab Qawa`id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, dan Muhammad
bin Abdillah bin Rasyid al-Bakri al Qafshiy al-Maliki (w.675 H) yang menyusun
kitab al-Muzhab fi Dhabt Qawa`id al-Madzhab.6

C. Periode Pemantapan Dan Sistematisasi


Masa keemasan pembukuan kaidah-kaidah fiqh terjadi pada abad 8 H. Pada
abad ini, banyak muncul kitab-kitab kaidah terutama di kalangan ulama Syafi’iyah.
Selanjutnya pada abad ke 9 H kaidah-kaidah fiqh tersebut disempurnakan secara
sistematis. Hal tersebut terlihat jelas dari kitab Al-Asbah wa An-Nazha’ir karya Ibnu
Mulaqqin (723-804 H/ 1323-1402 M), atau kitab Al-Qawaid karya Abu Bakr Al-
Hishal (752-829 H/ 1351-1425 M). Pada abad ke 10 H merupakan puncak keemasan
pembukuan kaidah fiqh yang ditandai dengan adanya kitab Al-Asbah wa An-Nazha’ir
karya Jalaluddin al-Suyuthi yang dalam sejarah dikatakan kitab kaidah fiqh terbaik.7
Di antara karya-karya besar yang muncul dalam abad ini adalah sebagai berikut:
1. Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya Ibnu al-Wakil al-Syafi`i (w.716 H)
2. Kitab al-Qawa`id karya. al-Maqqari al-Maliki (w.758 H)
3. Al-Majmu` al-Muzhab fi Dhabt Qawa`id al-Madzhab karya al-`Alai al-Syafi`i
(w.76l H)
4. Al-Asybah wa al-Nazha’ir karya al-Subki al-Syafi`i (w.771 H)
5. Al-Asybah wa an-Nazha’ir karya al-Isnawi (w.772 H)

6
Dr. H. Toha Andiko, M.Ag., Op.cit., hal. 10-14.
7
Dr. H. Mif Rohim, MA., Buku Ajar Qawaid Fiqhiyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan Hukum), hal. 30.

8
6. Al-Mantsur fi al-Qawa`id karya al-Zarkasi al-Syafi`i (w.794 H)
7. Qawa`id fi al-Fiqh karya Ibnu Rajab al-Hambali (w.795 H) dan
8. Al-Qawa`id fi al-Furu` karya al-Ghazzi (w.799 H).
Pada abad IX H, perkembangan ilmu qawa`id fiqhiyyah terbatas hanya pada
penyempurnaan hasil karya para ulama sebelumnya, khususnya di kalangan ulama
Syafi`iyah. Hal ini dapat dilihat misalnya pada kitab Ibnu al-Mulaqqin (w. 804 H) dan
Taqiyuddin al-Hishni (w. 829 H).8
Pengkodifikasian qawa’id fiqhiyyah mencapai puncaknya pada masa Sultan al-
Ghazi Abdul Aziz Khan al-Utsmani (1861-1876 M) pada akhir abad XIII H (1292 H).
Berkat kegigihan ulama fiqh pada masa tersebut, sehingga didirikanlah Majallah al-
Ahkam al-‘Adliyyah (Kompilasi Hukum Islam di masa Turki Ustmani). Kompilasi ini
merupakan ensiklopedi fiqh Islam dalam bidang mu’amalah dan hukum acara
peradilan yang tgerdiri atas 1851 pasal. Kitab tersebut disusun dengan bahasa
perundang-undangan. Dalam majalah tersebut, tidak semua pasal berupa kaidah fiqh,
tetapi terdapat pula kaidah ushul. Selanjutnya pada akhir kerajaan Ustmaniyyah
muncul ulama fiqh yang memberikan ulasan atau uraian mengenai majalah tersebut.
Oleh karena itu, diantara kitab Qawa’id Fiqhiyyah yang terkenal pada masa
kemajuan ini ialah Majallah al-Ahkam al- ‘Adliyyah Ustmaniyyah yang kemudian
ditetapkan pada 26 Sya’ban 1292 H bertepatan dengan 28 September 1875 M.
Mayoritas ketetapan dan pembahasan fiqh serta kaidah dalam majalah tersebut
berdasarkan mazhab Hanafi. Setelah itu diundangkan di kerajaan Ustmaniyyah secara
luas serta dilaksanakan di wilayah Syam yang berpusat di Turki selama kurang lebih
50 tahun.9

8
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, (Jakarta: Gema Media Pratama, 2008), Cet. I, hal. 62.
9
Dr. H. Mif Rohim, MA., Op.cit., hal. 31

9
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejarah Qawa’id Fiqhiyyah
Periode Rasulullah
Pada zaman Rasulullah SAW, segala sumber syariat hanya berdasarkan al-
qur’an, sunnah, dan ijtihad Rasulullah. Segala fatwa yang diputuskan oleh nabi
berdasarkan wahyu dan ijtihadnya. Apabila ijtihad nabi kurang tepat, maka akan turun
wahyu untuk membenarkannya.
Prinsip-prinsip umum dalam membuat undang-undang dan hukum pada periode
ini dapat dikategorikan ke dalam empat bagian:
1. Penetapan hukum secara berangsur-angsur dalam kurun waktu 22 tahun beberapa
bulan.
2. Rasulullah menetapkan hukum sekedar keperluan saja.
3. Penetapan hukum yang sifatnya memudahkan dan meringankan beban.
4. Mensyariatkan hukum yang sejalan dengan kemaslahatan manusia.
Periode Sahabat
Pada periode ini kalangan sahabat dalam merumuskan kaidah fiqh masih
sederhana, tidak memiliki rumusan yang sistematik dan ilmiah. Penetapan hukum
baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits terus berkembang hingga
zaman tabi’in. Hal ini menunjukkan bahwa ijtihad pada masa sahabat terhenti hanya
sebagai wacana.
Periode Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in
Pada zaman Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, itulah awal dari adanya penulisan
dan pembukuan ushul fiqh mulai abad ke-2 hingga abad ke-4 Hijriyah. Pada masa itu
juga fiqh mulai berkembang pesat. Setelah Rasulullah meninggal muncul gerakan
pemikiran di kalangan para sahabat yang dipengaruhi oleh gerakan dan benturan
politik. Dari situ munculah dua kekuatan pemikiran besar yang menginsipirasi dan
memengaruhi perkembangan metodologi hukum Islam dan perkembangan Islam di
dunia.
Periode Perkembangan dan Pembukuan
Masa ini dimulai pada abad ke 4-13 H/ 10-19 M ditandai dengan lahirnya
kompilasi hukum Islam pada masa Turki Utsmani. Meskipun pada masa ini ijtihad

10
sudah tidak gencar digalakkan atau bahkan bisa dikatakan tertutup, namun aktifitas
penulisan ushul fiqh dan kaidah fiqh mengalami peningkatan. Oleh sebab itulah pada
masa ini dapat dikatakan masa keemasan penulisan ushul fiqh dan kaidah fiqh. Para
fuqoha pada masa ini mulai menyusun fiqh dalam formula baru yang memiliki
rumusan sistematik dan ilmiah. Masa keemasan pembukuan kaidah-kaidah fiqh
tersebut terjadi pada abad 8 H. Pada masa-masa ini umumnya ulama menulis kaidah
fiqh dengan cara mengutip dan menghimpun kaidah-kaidah yang terdapat pada kitab-
kitab fiqh masing-masing mazhab. Selain itu, mereka pun melakukannya dengan cara
mencantumkan kaidah-kaidah fiqh dalam kitab fiqh, yaitu ketika mereka mencari illat
dan men-tarjih suatu pendapat.
Periode Kemajuan
Periode yang dimaksud di sini merupakan periode pengkhususan dan
mengqanunkan fiqh. Periode ini dimulai pada kurun 13 H atau pertengahan kedua
abad ke 13 H. Diantara catatan sejarah yang jelas berkaitan dengan perkembangan
tersebut ialah apa yang dilakukan oleh ulama fiqh pada masa pemerintahan sultan al-
Ghaziy Abdul Aziz Khan al-Ustmani. Berkat kegigihan ulama fiqh pada masa
tersebut, sehingga didirikanlah Majallah al-Ahkam al- ‘Adliyyah (Kompilasi Hukum
Islam di masa Turki Ustmani). Kitab itu merupakan kitab Qawa’id Fiqhiyyah yang
terkenal pada masa kemajuan.

B. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun, kami menyadari masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, kami mohon kritik dan saran semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi kita semua. Aamiin ya Robbal ‘Aalamiin. Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh..

11
DAFTAR PUSTAKA

Andiko, H. Toha, (2011), Ilmu Qawai’d Fiqhiyyah, Yogyakarta: Penerbit Teras.

Halimy Kamaludin, Syafrudin, (2014), Sejarah Perumusan Dan Perkembangan Qawaid


Fiqiyah, Journal of Al Muqaranah. Vol, 5 No, 1.

Rohim, H. Mif, (2019), Buku Ajar Qawaid Fiqhiyah (Inspirasi dan Dasar Penetapan
Hukum), Jawa Timur: LPPM UNHASY TEBUIRENG JOMBANG

Dedi Rohayana, Ade, (2008), Ilmu Qawaid Fiqhiyyah, Jakarta: Gema Media Pratama

12

Anda mungkin juga menyukai