Anda di halaman 1dari 39

MEMAHAMI CABANG-CABANG ILMU HADIST

Dosen Pembimbing : MUHAMMAD RIZAL MUARRIF LC.M,Us

Oleh
Kelompok IV :

Khairil Ali 2105110020


Satrio Pangaribowo 2105110016

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH ACEH

1445/2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Tiada Tuhan yang
pantas disembah kecuali Allah, Syukur Alhamdullilah, atas berkat
rahmat Allah Swt. yang telah berkenan memberikan kami kesempatan
dan kenikmatan untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
dan tanpa kekurangan apapun.

Tiada ada kesempurnaan di dunia ini, kecuali kesempurnaan


milik Allah Swt. semata. Kami sebagai manusia hanya bisa membuka
diri untuk senantiasa dikritik dan diberi saran yang dapat membangun
untuk memperbaiki dan menjadikanya lebih baik lagi. Semoga dengan
adanya makalah ini dapat memberikan informasi lebih baik kepada
mahasiswa, masyarakat, maupun pemerintah, untuk senantiasa
bersinergi guna bekerjasama membangun bangsa dan negara.

Penyusun,
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................2

DAFTAR ISI...........................................................................................................3

BAB I.......................................................................................................................4

PENDAHULUAN...................................................................................................4

Latar Belakang...................................................................................................4

Rumusan Masalah..............................................................................................5

Tujuan.................................................................................................................5

BAB II.....................................................................................................................6

PEMBAHASAN.....................................................................................................6

2.1. Pengertian Ilmu Rijalil Hadist.....................................................................6

2.2. Jahr wa Ta’dil..............................................................................................8

2.2. Ilmu Tarikh Al-Ruwat..............................................................................11

2.3. Naskh Wal Mansukh.................................................................................12

2.4. Ilmu Ghoribil Hadist.................................................................................20

2.5. Ilmu I’lalil Hadist......................................................................................23

2.6. Ilmu Asbabul Wurud.................................................................................24

2.7. Ilmu At-Tashif Wa at-Tahrif.....................................................................28

2.8. Ilmu Mukhtalifil Hadist.............................................................................30

BAB III..................................................................................................................35

PENUTUP.............................................................................................................35

KESIMPULAN................................................................................................35
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai hamba Allah SWT yang beriman, sudah selayaknya kita mengerti
dan melaksanakan apa yang Allah kehendaki, sekaligus menjauhi apa yang
dilarangnya. Untuk mengetahui dan melaksanakan kehendak Allah kita harus
mengetahui hukum islam yang telah ada. Namun, hukum islam menghadapi
tantangan lebih serius, terutama pada abad kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Untuk menjawab berbagai permasalahan baru yang berhubungan
dengan hukum islam, para ahli yang sudah tidak bisa lagi sepenuhnya
mengendalikan ilmu tentang fiqh, hasil ijtihad di masa lampau. Alasannya
karena ternyata warisan fiqih yang terdapat dalam kitab-kitab klasik, bukan saja
terbatas kemampuannya dalam menjangkau masalah-masalah baru yang belum
ada sebelumnya. Oleh karena itu, umat islam perlu mengadakan penyegaran
kembali terhadap warisan fiqih. Sehingga diciptakanlah ilmu ilmu yang
digunakan untuk memecahkan masalah-masalah baru tersebut.
Dan untuk mengkaji itu semua ulama harus memastikan pasti atau
otentiknya suatu hadist yang akan menjadi landasan hukum umat islam, maka
diciptakanlah berbagai ilmu yang digunakan untuk memastikan keontetikan atau
ke aslian suatu hadist, mulaii dengan dengan menelaah perawi atau yang
meriwayatkan hadist tersebut hingga kesalihan tiap-tiap perawi tersebut. Dan
dari itulah terlahir ilmu-ilmu hadist seperti ilmu rijalil hadist, ilmu jahr wa ta’dil,
ilmu nasikh wal mansukh, ilmu ghoib al-hadist, ilmu i’lal hadist, ilmu tarikh al-
ruwah, ilmu asbabul wurud, ilmu tashrih wa ta’rif, ilmu mukhtalif hadist.
Rumusan Masalah

Adapun hal-hal yang akan dibahas pada makalah ini adalah:


1. Pengertian ilmu rijalil hadist
2. ilmu jahr wa ta’dil
3. ilmu tarikh al-ruwah
4. ilmu nasikh wal mansukh
5. ilmu ghorib al-hadist
6. ilmu i’lal hadist
7. ilmu asbabul wurud
8. ilmu tashrih wa ta’rif
9. ilmu mukhtalif hadist

Tujuan

1. Dapat memahami tiap-tiap ilmu hadist dengan baik


2. Dapat mengetahui keabsahan suatu hadist
3. Dapat mengetahui tingkat suatu hadist
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Ilmu Rijalil Hadist.

Ilmu Rijalil Hadist Sebagai salah satu cabang Ulum al-Hadis, Ilmu Rijalil
Hadis merupakan Ilmu yang secara spesifik mengupas keberadaan para rijal hadis
atau para perawi atau transmitter hadis. Ilmu Rijalil Hadis memiliki dua cabang,
yakni Ilmu Tarikh ar-Rijal- didefinisikan Muhammad Ajjaj al-Khatib sebagai
Ilmu yang membahas keadaan para perawi dari segi aktivitas mereka dalam
meriwayatkan hadis dan Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, Ilmu yang membahas keadaan
para perawi dari segi diterima tidaknya periwayatan mereka.

Dengan demikian, Ilmu Rijal al-Hadis dalam mengkaji para perawi pada
dasarnya memiliki dua scope bahasan, yang pertama biografi atau sejarah para
perawi sebagai cakupan Ilmu Tarikh ar-Ruwah dan kedua, sebagai tahapan
kelanjutan bahasan pertama, yakni mengkaji rawi dari segi justifikasi kualitas
rawi.

Kemunculan kajian Rijal al-Hadis yang menjadikan manusia sebagai


subyek-ahli hadis-sekaligus obyek-rawi hadis- sejalan kemunculan periwayatan
hadis itu sendiri, yakni sejak masa Nabi. Hanya, sebagai bangunan Ilmu
tersendiri, baru mewujudkan diri bersamaan dengan kemunculan ilmu-ilmu hadis
yang lain yakni setelah upaya kodifikasi hadis mulai dirintis. Hal ini memiliki
pengertian, bahwa semenjak masa Nabi sudah ada rintisan untuk memfilter berita
dari sisi “siapa penyampai berita-nya”, sebagaimana dituntunkan sendiri oleh al-
Qur’an Q.S al-Hujurat (49);6 yang bermuatan seruan untuk melakukan tabayyun
atau konfirmasi dalam menerima informasi. Terlebih dalam dataran praktis, Nabi
sendiri melakukan penilaian terhadap para sahabat, seperti Khalid saif min
suyufillah, fulan bi’sa akhul asyirah, dsb.[3]

Mengkaji rijal hadis atau para perawi hadis berarti mengkaji semua orang
yang menjadi rawi dalam periwayatan hadis sampai terkodifikasi kitab-kitab
hadis. Ini memiliki pengertian ada ratusan ribu rawi yang harus dilibatkan,
mengingat jimlah sahabat yang menjadi rawi saja jumlahnya belasan ribu orang
belum termasuk tabi’in, tabi’it tabi’in dan seterusnya. Oleh karenanya, bukan
merupakan pekerjaan yang mudah mengkaji para rijal al-hadis dari berbagai
aspeknya. Terlebih lagi dengan mengingat keberadaan subyektivitas pengumpul
data tidak bias dinafikan dalam ilmu yang termasuk human sciences ini.

Subyektifitas kritikus sangat mempengaruhi out-put penilaian mereka


terhadap seorang rawi. Oleh karenanya adalah wajar jika ada ulama’ hadis yang
dikenal ketat atau tasyaddud, ada pula yang longgar atau tasahul dan ada pula
yang moderat atau tawasut. Al-Nasa’I (w. 303 H/905 M) dan Ibn al-Madani (w.
234 H/849 M) dan Jalal al-Suyuthi (w. 911 H/1505 M), dikenal sebagai mutasahil
dalam menilai rawi hadis yang siqah, sedang Ibn al-Jauzi mutasahil dalam menilai
rawi hadis yang siqah, sedang Ib al-Jauzi mutasahil dalam menyatakan adanya
jarh dalam rawi. Sedangkan al-Zahabi (w. 748 H/ 1348 M), dikenal dalam menilai
periwayat hadis.

Adapun untuk mengkaji para rawi yamg terlibat dalam periwayatan hadis
yang memiliki masa rentang yang panjang dengan kita, diperlukan kitab-kitab
terkait yang telah dihasilkan para ulama’ sebelumnya. Diantara kitab Rijal Hadis
yang sampai pada kita, ada kitab-kitab yang secara khusus hanya memuat rawi-
rawi dalam kitab hadis tertentu, seperti Rijalu Shahih Muslim karya Abu Bakar
Ahmad bin Ali Al-Asfahani (w. 428 H), al—Jam’u baina Rijal al-Shahihain buah
tangan Ibn al-Qirani (w. 507 H), al-Ta’rif bi Rijal al-Muwatta’ karya al-Tamimi
(w. 416 H). Ada pula kitab-kitab yang khusus memuat rawi kutub al-sittah, seperti
Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzi, Tahzdib al-Tahzdib karya Ibnu Hajar al-
Asqalani, Khulasah Tazhib al-Kamal karya al-Khazraji. Ada pula kitab-kitab yang
khusus memuat para rawi yang siqah seperti: Kitab al-Siqqat karya Muhammad
bin Ahmad bin Hibban al-Busti, Kitab al-Siqqat karya al-Ijli. Diantara kitab-kitab
yang secara spesifik memuat para perawi yang lemah atau masih diperselisihkan
dan diperbincangkan kualitasnya seperti Kitab al-Du’afa karya al-Uqaili, al-Kamil
fi Du’afa al-Rijal karya al-Jurjani dan Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal karya al-
Zahabi
2.2. Jahr wa Ta’dil

Pengertian Al-Jarh Wat-Ta’dil Al-Jarh secara bahasa merupakan isim


mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat
menggugurkan ke’adalahan seseorang

- Al-Jarh menurut istilah yaitu terlihatnya sifat pada seorang perawi


yang dapat menjatuhkan ke„adalahannya, dan merusak hafalan dan
ingatannya, sehingga menyebabkan gugur riwayatnya, atau melemahkannya
hingga kemudian ditolak.

- At-Tajrih yaitu memberikan sifat kepada seorang perawi dengan


sifat yang menyebabkan pendla‟ifan riwayatnya, atau tidak diterima riwayatnya.

- Al-„Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari
durhaka. Dan seorang yang „adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-
Ta‟dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.

- Al-„Adlu menurut istilah adalah orang yang tidak nampak padanya


apa yang merusak agamanya dan perangainya, maka oleh sebab itu diterima
beritanya dan kesaksiannya apabila memenuhi syarat-syarat menyampaikan
hadits (yaitu : Islam, baligh, berakal, dan kekuatan hafalan).

- At-Ta‟dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya,


sehingga nampak ke„adalahannya, dan diterima beritanya.

Lebih jelasnya,ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya


'aib atau memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan
"IlmuJarhwaal-Ta;dil"

Dr. Ajjaj Khatib mendefinisikannya sebagai berikut:

.‫هو العلم الذي يبحث يف أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها‬

"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima
atau ditolak periwayatannya"

Dari definisi di atas dapat dismpulkan bahwa ilmu Al-Jarh wat-Ta‟dil


adalah ilmu yang menerangkan tentang cacat-cacat yang dihadapkan kepada para
perawi dantentang penta‟dilannya (memandang lurus perangai para perawi)
dengan memakai katakata yang khusus dan untuk menerima atau menolak riwayat
mereka.

Para ulama menganjurkan untuk melakukan jarh dan ta‟dil, dan


tidakmenganggap hal itu sebagai perbuatan ghibah yang terlarang; diantaranya
berdasarkan dalil-dalil berikut :

- Sabda Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam kepada seorang laki-laki :


“(Dan) ituseburuk-buruk saudara di tengah-tengah keluarganya”. (HR. Bukhari).

- Sabda Rasulullah shallallaahu „alaihi wasallam kepada Fathimah binti


Qais yang menanyakan tentang Mu‟awiyyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm yang
tengah melamarnya : “Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkat
dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Mu‟awiyyah seorang yang miskin
tidak mempunyai harta” (HR. Muslim).

Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan
kemaslahatan. Adapun At-Ta‟dil, salah satunya berdasarkan hadits : Rasulullah
shallallaahu „alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid
bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan
Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu „anhu).

Oleh karena itu, para ulama membolehkan Al-Jarh wat-Ta‟dil untuk


menjaga syari‟at/agama ini, bukan untuk mencela manusia. Dan sebagaimana
dibolehkan Jarh dalam persaksian, maka pada perawi pun juga diperbolehkan;
bahkan memperteguh dan mencari kebenaran dalam masalah agama lebih utama
daripada masalah hak dan harta.

Ilmu jarh wa al-ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi


dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-
kaidah ilmu jarh wa al-ta'dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui
syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan
kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini.
Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih
dahulu mengetahui kaidah-kadah jarh dan ta'dil, maksud dan derajat (tingkatan)
istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan ta'dil yang tertinggi
sampai pada tingkatan jarh yang paling rendah.
Jelasnya ilmu jarh wa ta'dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah
periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali.
Apabila seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka
periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima
selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.

Adapun informasi jarh dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui
dua jalan, yaitu:

a. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka


dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah
terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi
diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal
dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.

b. Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila
seorang rawi yang adil menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal
keadiannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar
adil dan periwayatannya bisa di terima.

Begitu juga dengan rawi yang di tarjih. Bila seorang rawi yang
mentarjihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima. Sementara orang
yang melakukan ta'dil dan tarjih harus memenuhi syarat sebagai berikut: berilmu
pengetahuan, taqwa, wara', jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan
mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta'dil ini

Menurut Ibn Hajar al-Asqolani, sebagaimana dikutip Hasbi, bahwa sebab-


sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi semuanya
berkisar disekitar lima macam saja: bid‟ah, mukhlafah, ghalath, jahalah al-hal,
da‟wa al-inqitha’

1. Bid‟ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara. Orang


yang disifati dengan bid‟ah adakalanya tergolong orang yang dikafirkan
dan adakalanya orang yang difasikan. Mereka yang dianggap kafir adalah
golongan Rafidhah dan mereka yang dianggap fasik adalah golongan yang
mempunyai keyakinan („itikad) yang berlawanan dengan dasar syari’at.
2. Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat.
Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
3. Yang dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam
meriwayatkan.
4. Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang belum
dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
5. Sedangkan Da‟wa al-“inqitha‟ ialah diduga keras sanadnya terputus,
misalnya menda‟wa perawi, mentadliskan atau mengirsalkan suatu hadits.

2.2. Ilmu Tarikh Al-Ruwat

Secara terminologis, Ilmu Tarikh al-Ruwat didifinisikan sebagai :

Ilmu yang menerangkan rawi-rawi hadis, dari aspek yang berkaitan


dengan periwayatan mereka terhadap hadis tersebut.

Ilmu Tarikh al-Ruwat atau ilmu Tarikh al-Rijal ini menjelaskan hal ihwal
para rawi dalam hal periwayatan hadisnya yang meliputi informasi tentang kurun
hidupnya (lahir dan wafatnya), daerah kelahirannya, guru-gurunya, murid-
muridnya, negeri-negeri tempat kediaman gurunya, perlawatannya, tarikh
kedatangannya ke Negara-negara yang dikunjungi, pendengaran hadisnya dari
guru sebelum dan sesudah guru mengalami ikhtilat, dalam kasus di antara gurunya
ada yang mukhtalit, madzhab yang dipeganginya dan lain-lain yang ada
hubungannya dengan urusan hadis. Dengan demikian pada dasarnya, ilmu ini
memfokuskan diri mengkaji sejarah perjalann hidup rawi yang terkait dalam
perlawatan dan periwayatan hadis.

Dengan ilmu ini akan dapat diketahui informasi yang terkait dengan semua
rawi yang menerima dan menyampaikan hadis atau yang melakukan transmisi
hadis Nabi SAW sehingga para rawi yang mentransfer hadis dan terlibat dalam
periwayatan adalah semua rawi baik dari kalangan sahabat, para tabi’in, para tabi’
al-tabi’in sampai mukharrij hadis. Mereka inilah yang menjadi focus kajian Ilmu
Tarikh Al-Rijal.

Sejarah pertumbuhan Ilmu Tarikh ar-Ruwat sendiri seiring dan sejalan


dengan sejarah pertumbuhan periwayatan dalam Islam, karena bagaimanpun juga
untuk memilah dan memilih hadis-hadis shahih melewati penelitian terhadap para
perawi dalam sanadnya, yang pada akhirnya memungkinkan untuk membedakan
antara hadis yang maqbul dan yang mardud.

Para pakar dalam ilmu hadis member atensi yang cukup besar, karena
mereka memerlukan untuk mengetahui kredibilitas para rawi dalam sanadnya.
Mereka mengkhususkan diri dan meluangkan waktu untuk berlanglangbuana
dalam kaitannya dengan input sekitar rawi, umur, kediaman, pendengaran
hadisnya dari para guru, perlawatannya rawi ke berbagai tempat, kecenderungan
madzhab rawi dan pada puncaknya mengarah kepada kredibilitas para rawi.
Karena informasi tentang sah tidaknya pendengaran para rawi dalam periwayatan
hadis dari aspek pribadi dan intelektualnya sangat mereka perlukan.

2.3. Naskh Wal Mansukh

Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah


yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya naasikh
(yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.

Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau


lafazhnya yang dihapuskan.

Penunjukkan Adanya Naskh Dalam Syariat

Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-
Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan
oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.

Dalil Naql

Firman Allah Azza wa Jalla.

‫َم ا َننَس ْخ ِم ْن َء اَيٍة‬

Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)… [Al Baqarah/2:106]

Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an,
sebagaimana penafsiran Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari
Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad
bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu
Jarir, dan Ibnu Katsir.[9]
Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan
“mu’jizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A.Hassan
rahimahullah, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara
bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di
atas. Wallohu a’lam.

Firman Allah Azza wa Jalla.

‫َو ِإَذ ا َبَّد ْلَنآ َء اَيًة َّم َك اَن َء اَيٍة‬

Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An
Nahl/16:101]

Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an
yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan
pengganti adalah naasikh, ayat yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini
sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat
mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Alloh. Lebih luas dapat dilihat
dalam kitab-kitab ushul fiqih.

Dalil Akal.

Syeikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Naskh


boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya
terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum
(keputusan) miliknya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Maalik
(Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hambanya apa yang
dituntut oleh hikmahNya dan rahmatNya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik
memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?
Kemudian bahwa kandungan hikmah Allah dan rahmatNya terhadap hamba-
hambaNya adalah Dia mensyari’atkan untuk mereka apa-apa yang Allah
mengetahui bahwa padanya terdapat mashlahat-mashlahat agama dan dunia
mereka. Sedangkan mashlahat-mashlahat berbeda-beda sesuai dengan keadaan
dan zaman. Terkadang suatu hukum lebih mashlahat bagi para hamba pada satu
waktu atau satu keadaan. Dan terkadang hukum lainnya pada waktu dan keadaan
yang lain lebih mashlahat. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Dalil Ijma’.

Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Al-Baji rahimahullah berkata: “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/


mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara”.[11]

Al-Kamal Ibnul Humam rahimahullah berkata: “Pengikut syari’at-syari’at


telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara
syari’at)”[12]

Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata:


“Ketahuilah bahwa tiga bentuk ini (yaitu naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an;
naskh Sunnah Mutawatir dengan Sunnah Mutawatir; dan naskh Sunnah Ahad
dengan Ahad) tidak ada perselisihan padanya di antara ulama yang dipercaya,
sebagaimana banyak ulama telah menukilkan adanya ijma’ padanya. Maka
penyelisihan orang yang menyelisihi dalam hal ini tidak dihitung dan tidak ada
dalil untuknya”.

Dr. Ali berkata: “Mereka (para ulama) mengatakan: Sesungguhnya para


sahabat Radhiyallahu ‘anhum dan seluruh Salaf telah ijma’ (sepakat) bahwa
syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghapus seluruh syari’at
yang telah lalu. Sebagaimana mereka juga telah ijma’ bahwa naskh telah terjadi
pada banyak hukum-hukum syari’at Islam. Dan terjadinya hal itu cukup sebagai
dalil untuk menetapkan bolehnya/mungkinnya (naskh menurut akal-red)”[13].

Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat
atas kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya
menurut syara’. Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin
Bahr Al-Ashfahani seorang Mu’tazilah yang mati tahun 322 H”[14]

Macam-Macam Naskh

Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada
tiga bagian:

1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.


Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i dihapuskan,
tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.

Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan
mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang
diringankan dan dimudahkan.

Contohnya firman Allah Azza wa Jalla.

‫َيآَأُّيَها الَّنِبُّي َح ِّر ِض اْلُم ْؤ ِمِنيَن َع َلى اْلِقَتاِل ِإن َيُك ن ِّم نُك ْم ِع ْش ُروَن َص اِبُروَن َيْغ ِلُب وا ِم اَئَتْيِن َو ِإن َّيُك ن ِّم ْنُك ْم ِم اَئ ٌة‬
‫َيْغ ِلُبوا َأْلًفا ِّم َن اَّلِذ يَن َكَفُروا ِبَأَّنُهْم َقْو ٌم َال َيْفَقُهوَن‬

Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika
ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka
mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-
orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal/8 :65]

Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang


menghadapi 200 orang-orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang
menghadapi 1000 orang-orang kafir.

Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.

‫اْلَئاَن َخ َّفَف ُهللا َعنُك ْم َو َع ِلَم َأَّن ِفيُك ْم َض ْع ًفا َفِإن َيُك ن ِّم نُك م ِّم اَئٌة َص اِبَر ٌة َيْغ ِلُبوا ِم اَئَتْيِن َو ِإن َيُك ْن ِّم ْنُك ْم َأْل ٌف َيْغ ِلُب وا‬
‫َأْلَفْيِن ِبِإْذ ِن ِهللا َو ُهللا َم َع الَّصاِبِريَن‬

Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui


padamu bahwa ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang
sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika diantaramu
ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang.
Dan Allah beserta orang-orang yang sabar. [Al Anfal/8 :66]

2. Naskh Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.

Al-Aamidi rahimahullah menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas


terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda
dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Mu’tazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah: agar kadar ketaatan umat kepada Allah
menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang
zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari
sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim
Alaihissallam bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya,
Nabi Isma’il, dengan sumber mimpi, sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah
jalan wahyu kepada para nabi. Wallahu a’lam[18].

Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah
naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap
amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan
mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi
yang berusaha menutupi nash rajm di dalam Taurat”[19].

Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm[20] Umar bin Al-Khathab
berkata:

‫َلَقْد َخ ِش يُت َأْن َيُطوَل ِبالَّناِس َز َم اٌن َح َّتى َيُقوَل َقاِئٌل اَل َنِج ُد الَّرْج َم ِفي ِكَتاِب ِهَّللا َفَيِض ُّلوا ِبَتْر ِك َفِريَضٍة َأْنَز َلَها ُهَّللا‬
‫َأاَل َو ِإَّن الَّرْج َم َح ٌّق َع َلى َم ْن َزَنى َو َق ْد َأْح َص َن ِإَذ ا َق اَم ِت اْلَبِّيَن ُة َأْو َك اَن اْلَحَب ُل َأِو ااِل ْع ِت َر اُف َق اَل ُس ْفَياُن َك َذ ا‬
‫َح ِفْظُت َأاَل َو َقْد َر َج َم َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو َر َجْم َنا َبْع َد ُه‬

Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia


sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab
Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu
kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajm adalah
haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada
kehamilan, atau ada pengakuan”. Sufyan berkata: “Demikianalh yang aku ingat”.
“Ingatlah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan rajm, dan kita
telah melakukan rajm setelah beliau”. [HR. Bukhari, no: 6829; Muslim, no: 1691;
dan lainnya]

Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:

‫الَّش ْيُخ َو الَّش ْيَخ ُة ِإَذ ا َزَنَيا َفاْر ُج ُم وُهَم ا اْلَبَّتَة َنَك اًال ِم َن ِهللا َو ُهللا َع ِزْيٌز َحِكْيٌم‬
Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang
tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya
sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan
Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.

Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) secara


ringkas ada empat bagian:

1. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an.

Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang
beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya
tidak dianggap.

Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal,
sebagaimana telah kami sampaikan di atas. Contoh lain: firman Allah Azza wa
Jalla.

‫َياَأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا ِإَذ ا َناَج ْيُتُم الَّرُسوَل َفَقِّد ُم وا َبْيَن َيَد ْي َنْج َو اُك ْم َص َد َقًة َذ ِلَك َخْيُُر َّلُك ْم َو َأْطَهُر َف ِإن َّلْم َتِج ُدوا َف ِإَّن‬
‫َهللا َغ ُفوُُر َّر ِح يٌم‬

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan


khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang
miskin) sebelum pembicaraan itu.Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu dan
lebih bersih; jika kamu tiada memperoleh (yang akan disedekahkan) maka
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al
Mujadilah/58 :12]

Ayat ini menunjukkan kewajiban shadaqah bagi yang mampu sebelum


berbisik-bisik dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian ayat ini
dimansukh ayat berikutnya yang menghapuskan kewajiban tersebut. Lihat hal ini
dalam Tafsir Ibnu Katsir. Allah Azza wa Jalla firmanNya:

‫َء َأْش َفْقُتْم َأن ُتَقِّد ُم وا َبْيَن َي َد ْي َنْج َو اُك ْم َص َد َقاٍت َف ِإْذ َلْم َتْفَع ُل وا َو َت اَب ُهللا َع َلْيُك ْم َف َأِقيُم وا الَّص َالَة َو َء اُت وا الَّز َك اَة‬
‫َو َأِط يُعوا َهللا َو َر ُسوَلُه َو ُهللا َخ ِبيٌر ِبَم ا َتْع َم ُلوَن‬

Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) karena kamu memberikan


sedekah sebelum pembicaraan dengan Rasul Maka jika kamu tiada
memperbuatnya dan Allah telah memberi taubat kepadamu maka dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. [Al Mujadilah/58:13]

2. Al-Qur’an Dimansukh Dengan As-Sunnah.

Pada jenis ini ada dua bagian:

a). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Mutawatir.

Pada bagian ini ulama berselisih. Diriwayatkan dari Imam Ahmad


rahimahullah bahwa beliau menyatakan: “Al-Qur’an tidak dinaskh (dihapus)
kecuali oleh Al-Qur’an yang datang setelahnya…”. Namun Syaikh Muhammad
Al-Amin Asy-Syinqithi rahimahullah berkata: “(Berdasarkan) penelitian, boleh
dan terjadi naskh Al-Qur’an dengan Sunnah Mutawatir, contohnya: dihapusnya
ayat 5 kali penyusuan dengan Sunnah Mutawatir, dihapusnya surat Al-Khulu’ dan
Al-Hafd dengan Sunnah Mutawatir. Dan banyak contoh lainnya”.[24]

b). Al-Qur’an dimansukh dengan Sunnah (hadits) Ahad.

Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan
terjadi. Contohnya:

Firman Allah Azza wa Jalla.

‫ُقل آل َأِج ُد ِفي َم آ ُأوِح َي ِإَلَّي ُمَح َّر ًم ا َع َلى َطاِع ٍم َيْطَعُم ُه ِإَّال َأن َّيُك وَن َم ْيَتًة َأْو َد ًم ا َم ْس ُفوًحا َأْو َلْح َم ِخ نِزيٍر َفِإَّن ُه‬
‫ِر ْج ٌس َأْو ِفْس ًقا ُأِهَّل ِلَغْيِر ِهللا ِبِه‬

Katakanlah:”Aku tidak mendapati dalam wahyu yang telah diwahyukan


kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya,
kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi –
karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang disembelih atas nama selain
Allah. [Al An’am/6 :145]

Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini
diturunkan- hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging keledai
jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan
hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan
daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang
merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan kesepakatan
ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah
itu di Khoibar.

‫َع ْن َأَنِس ْبِن َم اِلٍك َرِض ي ُهَّللا َع ْنُه َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َج اَءُه َج اٍء َفَقاَل ُأِك َلِت اْلُح ُم ُر ُثَّم َج اَءُه َج اٍء‬
‫َفَقاَل ُأِك َلِت اْلُح ُم ُر ُثَّم َج اَءُه َج اٍء َفَقاَل ُأْفِنَيِت اْلُح ُم ُر َف َأَم َر ُم َناِد ًي ا َفَن اَدى ِفي الَّن اِس ِإَّن َهَّللا َو َر ُس وَلُه َيْنَهَي اِنُك ْم َع ْن‬
‫ُلُحوِم اْلُح ُم ِر اَأْلْهِلَّيِة َفِإَّنَها ِر ْج ٌس َفُأْك ِفَئِت اْلُقُد وُر َوِإَّنَها َلَتُفوُر ِبالَّلْح ِم‬

Dari Anas bin Malik, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


didatangi oleh seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah
dimakan”. Kemudian datang lagi kepada beliau seseorang yang datang, lalu
mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”. Kemudian datang lagi kepada
beliau seseorang yang datang, lalu mengatakan: “Keledai-keledai telah dimakan”.
Kemudian beliau memerintahkan seorang penyeru, lalu dia menyeru di kalangan
orang banyak: “Sesungguhnya Alloh dan RasulNya melarang kamu dari daging
keledai jinak, sesungguhnya ia kotor/najis”. Maka periuk-periuk dibalikkan,
sedangkan periuk-periuk itu mendidih (berisi) daging (keledai jinak).[25]

Antara ayat di atas dengan hadits yang mengharamkan daging keledai


jinak tidak bertentangan, karena waktu keduanya berbeda. Di saat ayat di atas
turun, daging keledai jinak halal, karena yang diharamkan hanyalah empat jenis
makanan. Kemudian setelah itu datang pengharaman daging keledai jinak.
[Mudzakiroh, hal: 153-155]

3. As-Sunnah Dimansukh Dengan Al-Qur’an.

Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini
berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.

‫َقْد َنَر ى َتَقُّلَب َو ْج ِهَك ِفي الَّس َم آِء َفَلُنَو ِّلَيَّنَك ِقْبَلًة َتْر َض اَها َفَو ِّل َو ْج َهَك َش ْطَر اْلَم ْس ِج ِد اْلَحَر اِم َو َح ْيُث َم ا ُك نُتْم َفَو ُّل وا‬
‫ُوُجوَهُك ْم َش ْطَرُه‬

Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka


sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah
mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah
mukamu ke arahnya. [Al Baqarah/2 :144]

4. As-Sunnah Dimansukh Dengan As-Sunnah.

Contoh: Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.


‫َنَهْيُتُك ْم َع ْن ِزَياَرِة اْلُقُبوِر َفُز وُروَها‬

Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang


hendaklah kamu berziarah (kubur). [HR. Muslim, no: 977]

Dengan penjelasan di atas jelaslah bahwa di dalam Al-Qur’an ada nasikh


(ayat yang menghapus hukum yang sudah ada sebelumnya) dan mansukh (ayat
yang dihapus) hukumnya atau lafazhnya.

2.4. Ilmu Ghoribil Hadist

Ilmu gharibil hadits, ialah :

‫ِع ْلٌم ُيْع َر ُف ِبِه َم ْعَنى َم اَو َقَع فى متون ْاَالَح اِد ْيِث ِم َن ْاَألْلَفاِظ اْلَعَر ِبَّيِة‬

‫ َع ْن َأْذ َهاِن اَّلِذ ْيَن َبْع َد َع ْهِدِهْم ِباْلَعَر ِبَّيِة اْلَخ اِلَصِة‬.

“Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits
yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”.

Sesudah berlalu masa sahabat, yakni abad pertama, dan para tabi’in pada
tahun 150 H mulailah bahasa Arab yang tinggi, tidak diketahui lagi oleh umum.
Oleh karena itu, berusahalah para ahli mengumpulkan kata-kata yang dipandang
tak dapat dipahamkan oleh umum dan kata-kata yang kurang terpakai dalam
pergaulan sehari-hari dalam suatu kitab dan mensyarahkannya.

Menurut sejarah, yang mula-mula berusaha dalam bab ini ialah Abu
Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (210 H), kemudian usaha itu diluaskan lagi
oleh Abul Hasan al-Maziny (204 H). Usaha beliau-beliau ini berlaku di
penghujung abad kedua hijrah.

Di awal abad ketiga hijrah berusahalah Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Sallam
(244 H) menyusun kitabnya yang terkenal dalam ilmu gharibil hadits, yang
diusahakan dalam tempo 40 tahun. Kitabnya mendapat sambutan dari masyarakat,
sehingga datang massanya Ibnu Qutaibah ad-Dainury (276 H). Beliau menyusun
kitabnya yang terkenal pula.

Maka dengan terdapat dua kitab itu, terkumpullah sebagian besar dari
kata-kata yang gharib. Sesudah itu, berusaha pula beberapa ahli, sehingga sampai
kepada masa al-Khaththaby (378 H). Dan setelah kitabnya selesai, terdapat tiga
induk kitab bagi segala kitab gharibil hadits.

Sesudah itu berusaha pula az-Zamakhsyari menyusun kitabnya yang


dinamai al-Fa-iq. Kitab ini tinggi nilainya, disusun secara abjad. Sesudah itu
bangun pula Abu Bakar al-Asybahany (581 H), menyusun kitabnya dengan
mengikuti sistem al-Harawy.

Sesudah itu datanglah Ibnul Atsier (606 H), lalu menyusun kitabnya an-
Nihayah. Kitab inilah sebesar-besar kitab gharibil hadits yang terdapat dalam
masyarakat Islam. Kitab ini diikhtisarkan oleh as-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya
yang dinamai ad-Durrun Natsier.

Kiranya, kitab an-Nihayah ini mencukupi bagi seseorang di dalam


mempelajari arti kata-kata yang sukar dan ganjil yang terdapat dalam matan-
matan hadits.

Gharibul-Hadits yang dimaksudkan dalam ilmu hadits ini adalah bertujuan


menjelaskan satu hadits yang dalam matannya terdapat lafadh yang pelik dan
susah dipahami, karena jarang dipakai. Sehingga keberadaan ilmu ini akan
membantu dalam memahami hadits tersebut.

Obyek ilmu Gharib al-Hadits adalah kata-kata yang sulit dan sukar
dipahami maksud dan tujuannya. Diantara fungsi dibentuknya ilmu ini adalah
untuk meminimalisir seseorang yang menafsirkan hadits Nabi hanya berdasarkan
dengan dugaan saja dan mentaklidi pendapat seseorang yang tidak kompeten
dalam bidang ini.

Imam Ahmad pernah ditanya tentang suatu lafadz gharib yang terdapat
dalam suatu hadits namun karena beliau merasa tidak mampu, beliau menjawab:
”Tanyalah kepada seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidang gharib al-
hadits, karena aku tidak suka memperbincangkan hadits Rasul hanya berdasarkan
dugaan semata.”

3. Cara-cara menginterpretasikan keghariban hadits:

1). Dengan menggunakan sanad yang berbeda dengan sanad yang bermatan gharib
tersebut.
2). Melalui penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan hadits atau dari sahabat
lain yang tidak meriwayatkannya.

3). Penjelasan dari perawi selain sahabat.

Contoh hadits yang diinterpretasikan dengan menggunakan sanad lain

1289 – ‫حدثنا عبدان أخبرنا عبد هللا عن يونس عن الزهري قال أخبرني سالم بن عبد هللا أن ابن عمر‬
‫ أن عمر انطلق مع النبي صلى هللا عليه و سلم في رهط قبل ابن صياد حتى وجدوه‬: ‫رضي هللا عنهما أخبره‬
‫يلعب مع الصبيان عند أطم بني مغالة وقد قارب ابن الصياد الحلم فلم يشعر حتى ضرب النبي صلى هللا عليه‬
. ‫ فنظر إليه ابن صياد فقال أشهد أنك رسول األميين‬. ) ‫و سلم بيده ثم قال البن الصياد ( تشهد أني رسول هللا‬
‫ فقال‬. ) ‫فقال ابن صياد للنبي صلى هللا عليه و سلم أتشهد أني رسول هللا ؟ فرفضه وقال ( آمنت باهلل وبرسله‬
) ‫ فقال النبي صلى هللا عليه و سلم ( خلط عليك األمر‬. ‫ قال ابن صياد يأتيني صادق وكاذب‬. ) ‫له ( ماذا ترى‬
‫ فقال ( اخسأ فلن‬. ‫ فقال ابن صياد هو الدخ‬. ) ‫ ثم قال له النبي صلى هللا عليه و سلم ( إني قد خبأت لك خبيئا‬.
‫ فقال النبي صلى هللا عليه و سلم‬. ‫ فقال عمر رضي هللا عنه دعني يا رسول هللا أضرب عنقه‬. ) ‫تعدو قدرك‬
]1[ ) ‫( إن يكنه فلن تسلط عليه وإن لم يكنه فال خير لك في قتله‬

Artinya:”Nabi Muhammad SAW bersabda: Saya menyimpan sesuatu


untukmu, apa itu? Sahut Ibnu Shoyyad:”asap”. Salah ! jawab Nabi. Kamu tidak
akan lepas secepat perkiraanmu.”

kata ” ‫ ” الدخ‬dalam hadits tersebut adalah kata gharib. Menurut al-Jauhari


kata ” ‫ ” الدخ‬berarti asap (secara etimologi), namun menurut pendapat lain berarti
tumbuh-tumbuhan, bahkan ada yang mengatakan juga berarti jima’.

Untuk mendapatkan interpretasi yang tepat, tentu dengan menggunakan


sanad lain selain melalui jalur di atas. Disebutkan dalam pentakhrijan Abu Dawud
an at-Turmudzi yang mendapat dari az-Zuhri, Salim dan Ibnu Umar menjelaskan
keghariban kata tersebut. Ibnu Umar menyatakan yang artinya:” Suatu ketika Nabi
menyembunyikan untuk Ibnu Shoyyad: Tunggulah sampai langit mendatangkan
asapnya yang nyata”. Lalu Ibnu Shoyyad mendapatkan suatu alat yang biasa
dipakai tukang tenung untuk mencapai sesuatu dalam perantaraan setan-setan dan
tanpa berpikir panjang lagi ia menjawab ”asap”.[2]Dengan melalui hadits Abu
Dawud dan Tirmidzi tersebut maka kata ” ‫ ” الدخ‬dapat diketahui artinya yaitu asap.
2.5. Ilmu I’lalil Hadist

Ilmu ‘ilal al-hadīth adalah suatu ilmu pengetahuan yang membahas


tentang kecacatan-kecacatan atau penyakit-penyakit yang tersembunyi yang
terdapat pada hadith.

Beberapa pengertian ilmu ‘ilal hadith yang dipaparkan oleh ulama’ antara
lain adalah :

‫العلم الذي يبحث عن االسباب الخفية من جه„„ة ق„„دحها فى الح„„ديث كوصل منقطع ورفع موق„„وف وادخال‬
‫الحديث فى حديث اوالحاق سند اوغيرذالك‬.

Artinya; “Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi dari segi dia dapat
mencacatkan hadith seperti mewashalkan yang munqathi’. Merafa’kan yang
mauquf, memasukkan hadith ke dalam hadith, atau membuat suatu sanad ke
dalam suatu matan atau lain-lain”.

Jadi ilmu ‘ilal al-hadīth adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab
yang samar dari segi penyebab hadith menjadi cacat, seperti menyambung hadith
yang sebenarnya putus, menjadikan hadith marfū’ padahal mauqūf atau
memasukkan matan hadith kepada hadith yang lain.

Beberapa hal yang mendasari urgennya penelitian terhadap hadith Nabi, di


antaranya adalah, pertama; terkait dengan posisi hadith sebagai sumber hukum
Islam kedua. Kedua; terkait dengan historisitas hadith, dengan alasan bahwa tidak
semua hadith telah tertulis di masa Nabi Saw.

Para ulama telah menetapkan kriteria ke-ṣahih-an hadith ada lima, yaitu
sanadnya bersambung, perawinya ‘adil, ḍābit, tidak ada ‘illah dan tidak syadh.
Tiga syarat pertama berkaitan dengan sanad dan dua syarat terakhir berkaitan
dengan sanad dan matan sekaligus.

Untuk pengkajian terhadap syarat ke-ṣahihan hadith lahirlah cabang ilmu


hadith yang disebut dengan ilmu ‘ilal al-hadīth. Ilmu ‘Ilal hadith sangat penting
untuk menentukan ṣahih tidaknya sebuah hadith. Hadith yang secara lahir tampak
ṣahih, tetapi setelah diteliti secara mendalam ternyata ada cacat di dalamnya,
maka inilah yang menjadi fokus pembahasan ilmu ‘Ilal. Selanjutnya, untuk
mengetahui ‘illah dalam hadith diperlukan pengetahuan, pemahaman dan ingatan
yang kuat. Sebab ‘illah itu sendiri samar, lagi tersembunyi bahkan bagi orang
yang menekuni bidang ilmu hadith. Menemukan ‘illah termasuk bagian ilmu
hadith yang paling samar dan paling rumit, yang bisa melaksanakannya hanyalah
orang yang diberi pemahaman yang tajam, pengetahuan yang sempurna terhadap
urutan-urutan perawi dan kemampuan yang kuat terhadap sanad dan matan. Oleh
karena itu, ilmu ‘ilal al-hadīth merupakan pembahasan yang terpenting dalam
studi hadith.

Ilmu ‘‘ilal al-hadīth diaplikasikan dengan mengumpulkan seluruh sanad


yang berkaitan dengan hadith yang diteliti, meneliti perbedaan-perbedaan
periwayat, membandingkan para periwayat dari segi kekuatan dan ketepatan
hafalan mereka, lalu menyingkap kesalahan yang terdapat padanya, dan
memberikan penilaian terhadap riwayat yang cacat tersebut. Lebih lanjut menurut
‘Ali bin al-Madini dan al-Khatib al-Bagdadi, untuk mengetahui ‘‘ilal al-hadīth
terlebih dahulu semua sanad yang berkaitan dengan hadith yang diteliti
dihimpunkan. Hal ini dilakukan bila hadith yang bersangkutan memiliki tawābi’
dan shawāhid. Sesudah itu, seluruh rangkaian dan kualitas periwayat dalam sanad
itu diteliti berdasarkan pendapat para kritikus periwayat dan ‘ilal al-hadith.
Dengan jalan demikian baru dapat ditentukan apakah hadith tersebut ber- ‘illah
atau tidak ber-‘illah.

2.6. Ilmu Asbabul Wurud

Dalam mengambil pemahaman yang terdapat dalam hadis, tidak cukup


dengan cara mengartikannya saja, apalagi hadis yang ada konteks asbabul wurud
dalam penyampainnya. Hadis yang mempunyai asbabul wurud harus mencari
konteks latar belakang dari penyampaian hadis tersebut, bagaimana situasi dan
kondisi yang terjadi pada hadis yang disampaikan.

Tanpa melihat latar belakang dari penyampaian hadis, maka akan sulit
dalam memahami sebuah hadis, bahkan dapat menunjang terjadinya kekliruan
tatkala ingin memahami hadis. Maka asbab al-wurud adalah ilmu yang penting
dalam meraih pemahaman dalam satu hadis yang mempunyai sebab dalam
penyampainya, sama hal nya dengan asbabun nuzul, memahami sebuah ayat tanpa
mengetahui sebab penurunannya, maka akan berpotensi kekeliruan .
Asbabul wurud berasal dari kalimat bahasa arab yaitu ‫ سبب‬yang bermakna
sebab atau kronologi terjadinya suatu kejadian dan ‫ ورود‬bermakna datang, seperti
yang di sebutkan dalam kamus al munawwir. Maka dapat di artikan bahwa
asbabul secara bahasa adalah kronologi terjadinya sesuatu.

Secara terminologi, dalam persfektif ilmu hadits, ababul wurud adalah


salah satu illmu yang menjelaskan tentang sebab datangnya sebuah hadits dan
menjelaskan keadaan sosial yang terjadi pada saat hadits itu di sampaikan. Ada
juga pendapat bahwa “asbabul wurud adalah sesuatu yang terjadi pada saat hadis
itu muncul” ( Nur Ad-Din 1997). Imam Al-Suyuthi mengatakan “asbabul wurud
adalah alat untuk menentukan hadis yang bersifat umum atau khusus, mutlaq atau
muqayyad” (Abdul Mustaqim 2001) .

Secara sederhana asbab al-wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab


datangnya sesuatu. Karena istilah tersebut biasa dipakai dalam diskursus ilmu
hadis, maka asbab wurud dapat diartikan sebagai sebab-sebab atau latar belakang
(background) munculnya suatu hadis.

Menurut al-Suyuti, asbab al-wurud dapat dikatagorikan menjadi tiga


macam, yaitu: 1) sebab yang berupa ayat Alquran, 2) sebab yang berupa Hadis itu
sendiri 3) sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar
dikalangan sahabat. Berikut ini akan dijelaskan satu-persatu mengenai ketiga
macam tersebut, yaitu:

1. Sebab yang berupa ayat Alquran. Maksudnya, ayat Alquran itu menjadi
penyebab Nabi saw. mengeluarkan sabdanya.
2. Sebab yang berupa hadis. Maksudnya, pada waktu itu terdapat suatu hadis
namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian
muncul hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap hadis tersebut.
3. Sebab yang berupa keterkaitan, yang berkaitan dengan para pendengar di
kalangan sahabat.

Pemahaman hadis yang mengabaikan peranan asbab wurud al-hadits akan


cenderung bersifat kaku, literalis-skriptualis, bahkan kadang kurang akomodatif
terhadap perkembangan zaman.

Dengan demikian, asbab wurud al-hadits memiliki urgensi, antara lain


adalah untuk:
a. Mempermudah memahami hadis-hadis, khususnya yang tampak
bertentangan satu sama lain, Hal tersebut dapat terjadi karena pengetahuan
terhadap sebab-sebab terjadinya sesuatu merupakan sarana untuk
mengetahui musabbab, sebagai contoh: 17 (Mandi pada hari jum’at wajib
bagi setiap orang balig). Hadis tersebut mempunyai sebab khusus, pada
waktu itu ekonomi sahabat Nabi pada umumnya masih dalam keadaan
sulit, sehingga pada suatu jum’at, cuaca panas dan masjid masih sempit
tiba-tiba aroma keringat dari orang yang memakai baju wol kasar dan
tidak mandi itu menerpa hidung Nabi yang sedang khutbah. Nabi lalu
bersabda sebagaimana bunyi hadis di atas. Dengan demikian, hukum
mandi ketika akan melaksanakan shalat jum’at disesuaikan dengan
kondisi.
b. Membatasi pengertian hadis yang masih mutlaq. Sebagai contoh adalah
hadits: (Kalian lebih tahu tentang urusan duniawimu) Hadis ini secara
sekilas dipahami bahwa Nabi menyerahkan semua urusan duniawi kepada
para sahabat dan mendudukkan mereka sebagai orang yang lebih
mengetahui akan urusan duniawinya. Setelah dilihat asbab wurud-nya
yang menjelaskan bahwa hal itu berkaitan dengan proses pencangkokan
pohon kurma, maka bukan berarti Nabi sama sekali tidak memahami
sesuatu yang bersifat duniawi.
c. Mentafsil (merinci) hadis yang masih bersifat global.
d. Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalam suatu hadis.
Sebagai contoh adalah hadits berikut ini; (Orang yang membekam
dan dibekam berbuka/batal puasanya) Dan hadits yang berbunyi: (Orang
yang muntah tidak berbuka/batal puasanya, begitu juga orang yang mimpi
basah dan orang yang ihtijam/bekam). Kedua hadis tersebut terlihat
ta’arud (saling bertentangan). Menurut Imam al-Syafi’i dan Imam Ibnu
Hazm, hadits yang pertama sudah di-nasakh dengan hadis yang kedua
e. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hokum
f. Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit dapahami)
g. Menentukan adanya takhsis hadis yang bersifat umum.

Sebagai ilustrasi lengkap, akan diberikan beberapa contoh


mengenai fungsi asbab wurud al-hadis, yaitu untuk menentukan adanya
takhsis terhadap suatu hadis yang ‘amm, misalnya hadis yang berbunyi:
Shalat orang yang sambil duduk pahalanya separuh dari orang yang shalat
sambil berdiri.” Pengertian shalat dalam hadis tersebut masih bersifat
umum. Artinya dapat berarti shalat fardhu dan sunnat. Jika ditelusuri
melalui asbab al-wurud-nya, maka akan dapat dipahami bahwa yang
dimaksud shalat dalam hadis tersebut adalah shalat sunnat, bukan shalat
fardhu. Hal inilah yang dimaksud dengan takhsis, yaitu menentukan
kekhususan suatu hadis yang bersifat umum, dengan memperhatikan
konteks asbab al-wurud-nya.

untuk mengetahui asbab wurud alhadits dapat diketahui dengan beberapa


cara, antara lain:

1. Melalui riwayat hadis Nabi, baik diungkapkan secara tegas dalam


hadis itu sendiri atau dalam hadis yang lain maupun dalam bentuk
isyarat atau indikasi saja.
2. Melalui informasi (aqwal) Shahabah, riwayat-riwayat yang
disandarkan pada shahabah, mengingat mereka hidup, berinteraksi dan
melihat sebagian besar peristiwa-peristiwa yang terjadi bersama Nabi
saw.
3. Melalui ijtihad: Proses ijtihad pada umumnya dilakukan dengan
melakukan takhrij hadis, untuk mencari segala informasi terkait
dengan tema yang dikaji.

Di samping itu, beberapa pendekatan alternatif yang dapat digunakan


sebagai alat bantu sebagaimana berikut:

1. Melakukan pemahaman hadis dengan pendekatan historis, yaitu upaya


memahami hadis dengan mempertimbangkan kondisi historis-empiris pada
saat hadis disampaikan Nabi saw.
2. Pendekatan sosiologis, yaitu upaya memahami hadis dengan menyoroti
dari sudut posisi manusia yang membawanya kepada perilaku itu.
3. Pendekatan antropologis, yaitu upaya memahami hadis dengan
memperhatikan pola-pola yang terbentuk pada tatanan nilai yang dianut
dalam kehidupan masyarakat.

2.7. Ilmu At-Tashif Wa at-Tahrif

pada awal mula perkembangan Islam, al-Qur’an menjadi prioritas utama


dalam pengembangan dan pelestarian, sedangkan hadits menjadi prioritas nomer
dua. Tidak cukup disitu, huruf Arab yang dipakai untuk menulis hadits pada
mulanya tidak memiliki syakl dan I’jam.
Dengan pertimbangan diatas maka hadirlah ilmu at-tashif wa at-
tahrif dalam meneliti dan menelaah ulang hadits-hadits Nabi. Sebab at-tashif wa
at-tahrif adalah cabang ilmu hadits yang sangat penting untuk menganalisis dan
mengungkap kesalahan-kesalahan di dalam proses periwayatan sebuah hadits,
baik dalam sanad maupun matannya. Mekanisme kerjanya hampir seperti
pekerjaan seorang editor atau proof-reader di dalam sebuah penerbitan buku.
Harapan setelah menganalisis dengan ilmu at-at-tashif wa at-tahrif adalah
diperolehnya naskah hadits yang benar-benar sesuai dengan perkataan, perbuatan,
ketetapan dan sifat Nabi atau paling tidak mendekati.

Ilmu al-tashif wa al-tahrif merupakan ilmu yang berusaha menerangkan


perihal hadis-hadis yang terubah atau diubah titik atau syakalnya (mushahhaf) dan
bentuknya (muharraf).

Arti at-tashif secara etimologi berarti kesalahan sedangkan secara


terminologi at-tashif berarti mengubah atau berubahnya suatu kalimat sehingga
makna yang dikehendaki semula menjadi berbeda. At-tashif dapat dibagi dalam
empat tinjaun yaitu:

1. Ditinjau dari tempatnya, tashif dapat dibagi menjadi dua bagian.

Tashif dalam sanad

Tashif dalam matan

2. Ditinjau dari pancaindra yang menimbulkannya, tashif dapat dibagi


menjadi dua macam.

Tashif karena mata (salah lihat), seperti ini paling banyak.Modusnya


biasanya antara lain karena bentuk tulisan (khathth) yang serupa, atau
karena kondisi teks yang sudah sangat buruk, atau karena tidak ada tanda
baca (adam an-nuthq).

Tashif karena salah dengar, seperti dalam hadis yang diriwayatkan dari
Ashim al-Ahwal. Sebagian periwayatannya men-tashif-nya menjadi
Washil al-Ahdab. Perkara ini menurut al-Daraquthni
termasuk tashif karena salah dengar, bukan karena salah lihat Mengingat
dalam tulisan kedua nama itu sangat berbeda tetapi dlam pengucapan
berdekatan. Jenis at-tashif yang muncul karena buruknya pendengaran
atau karena jauhnya jaak sang pendengar dari pusat informasi atau
semacamnya, sehingga beberapa kalimat terdengar sama karena terbentuk
dari wazan sharf yang satu.

3. Ditinjau dari lafal atau makn akalimat, tashif dibagi menjadi dua:

Tashif dalam Tulisan, yakni jelas-jelas terjadi perubahan dalam tulisannya.


Seperti contoh-contoh di atas.

Tashif yang berkaitan dengan makna, yakni dari segi tulisan atau bacaan
tidak ada perubahan tetapi diucapkan bukan untuk maksud yang
seharusnya.

4. Al-Hafizh Ibn Hajar membagi hadis yang mengalami tashif dengan


tinjauan ke-empat menjadi dua macam:

Hadis mushahhaf, yaitu hadis yang padanya terjadi perubahan titik atau
tanda bacaan lainnya.

Hadis muharraf, yaitu hadis yang padanya terjadi perubahan syakal,


sedangkan hurufnya masih tetap.

Sedangkan tahrif adalah ism mashdar (kata benda) dari kata


kerja harrafa-yuharrfu-tahrifan, yang artinya memalingkan, mengubah, atau
mengganti. Sedangkan secara istilah at-tahrif berarti sesuatu yang menjadi
berbeda makna karena berubahnya syakl di dalam suatu kalimat dengan bentuk
tulisannya yang tetap. Hadits yang didalamnya terdapat tahrif disebut
hadits mufarraf. Dalam pendapat yang lain, disebutkan bahwa tahrif lebih umum
cakupannya daripada at-tashif, karena tahrif adalah apa saja yang berubah dari
bentuk awalnya baik itu karena adanya tambahan di dalam satu kalimat,
pengungaran, atau penggantian sebagian kalimat.

Ilmu at-tashif wa at-tahrif adalah suatu kajian yang tinggi karena


menuntut ketelitian, pemahaman, dan kewaspadaan. Para hafiz yang cerdik saja
yang menekuninya. Begitu juga para muhaditsin telah memberi perhatian cukup
besar terhadapnya dengan menetapkan pedoman-pedoman yang berkaitan
dengannya dan membaginya menjadi beberapa bagian. Hal ini mereka maksudkan
agar para pencari hadits mengenalnya dan bersikap tanggap.
2.8. Ilmu Mukhtalifil Hadist

Dalam kaidah bahasa Arab, kata mukhtalif al-hadits adalah susunan dua
kata yakni mukhtalif dan al-hadits. Menurut bahasa, mukhtalif merupakan isim
fa’il dari kata ikhtilafa artinya lawan dari kata sepakat (ittifaq). Makna dari hadis
mukhtalif adalah hadis-hadis yang sampai kepada kita, namun satu sama lain
saling bertentangan maknanya. Dengan kata lain, maknanya saling kontradiktif.
Menurut istilah, mukhtalif merupakan hadis maqbul yang bertentangan dengan
hadis lain yang semisal, namun memiliki peluang untuk di-jama’
(dikompromikam) diantara keduanya. Yaitu bisa berupa hadis shahih atau hadis
hasan, lalu ada hadis lain yang derajat dan kekuatannya sama, akan tetapi secara
zhahir maknanya bertentangan.

Ilmu mukhtalif al-hadits dapat didefinisikan sebagai berikut:

‫ في االح„„اديث‬.‫العلم الذي يبحث في االحاديث التي يشكل فهمها او تصو رها فيدفع اشكالها ويوضح حقيقته„„ا‬
“ ‫التي ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها او يوفق بينها كما‬

Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan,


lalu menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, disamping
membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan
kesulitan itu dan menjelaskan hakekatnya”.

Para imam dan tokoh kritikus hadis secara umum membagi hadis yang
mengandung problem di atas menjadi dua langkah penyelesaian. Langkah
pertama, jika kedua hadis yang bertentangan memungkinkan untuk
dikompromikan, maka langkah kompromi segera ditetapkan dan dijalankan
terhadap keduanya. Langkah kedua, jika kedua hadis yang bertentangan tidak
memungkinkan untuk dikompromikan dengan berbagai alasan. Hadis ini terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu Pertama, jika diketahui salah satu diantara kedua hadis
itu merupakan nasikh, maka nasikh lebih didahulukan dan diamalkan. Sedangkan
hadis yang mansukh kita tinggalkan. Kedua, jika kita tidak mengetahui mana yang
nasikh dan mana yang mansukh, maka kita harus mentarjih salah satu diantara
kedua hadis tersebut, kemudian kita mengamalkan hadis yang rajih (terkuat).
Ketiga, jika terhadap kedua hadis itu tidak bisa dilakukan proses tarjih dan hal ini
merupakan kebuntuan, maka kita tawaqqufkan (bekukan) mengamalkan kedua
hadis tersebut, hingga tampak bagi kita mana hadis yang lebih rajih.

diantara pentingnya memahami ilmu ini adalah:


1. Menolak syubhat terhadap hadis Nabi SAW. dan menetapkan terjaganya
Nabi SAW. serta terpeliharanya syari’at Islam, karena syari’at Islam selalu
bermanfaat untuk setiap waktu dan tempat.
2. Menjelaskan tidak adanya pertentangan pada dalil yang shahih, tetapi yang
demikian itu menunjjukkan kesempurnaan.
3. Menyingkap sebagian kesalahan periwayatan serta menjelaskan adanya
syadz pada riwayat tersebut.
4. Menetapkan bahwa kritik terhadap nash (matan hadis) muncul lebih awal
sebelum kritik sanad.

Syarat-Syarat Hadis Mukhtalif

Ulama hadis mengemukakan, tidak selamanya hadis yang bertentangan


dianggap suatu yang mukhtalif.

Oleh karena itu, untuk memberikan batasan terhadap hadis yang termasuk
dalam kategori mukhtalif maka ulama hadis memberikan beberapa syarat:

1. Terjadinya pertentangan antara dua buah hadis yang sama derajat ataupun
kualitasnya.
2. Dua buah hadis tersebut merupakan dua buah bentuk hukum yang
berbeda, yakni satu hadis menetapkan hukum halal dan hadis yang lain
menetapkan hukum haram.
3. Kedua hadis bertentangan secara lahiriyah dan dapat dikompromikan

sebab-sebab yang melatarbelakangi hadis-hadis mukhtalif ialah sebagai berikut:

1. Faktor Internal. Yaitu berkaitan dengan internal dari redaksi hadis


tersebut. Biasanya terdapat ‘illat (cacat) di dalam hadis tersebut yang
nantinya kedudukan hadis tersebut menjadi dha’if. Dan secara otomatis
hadis tersebut ditolak ketika hadis tersebut berlawanan dengan hadis
shahih.
2. Faktor Eksternal. Yaitu faktor yang disebabkan oleh konteks penyampaian
dari Nabi, yang mana menjadi ruang lingkup dalam hal ini adalah waktu,
dan tempat di mana Nabi saw. menyampaikan hadisnya.
3. Faktor Metodologi. Yakni berkaitan dengan cara bagaimana cara dan
proses seseorang memahami hadis tersebut. Ada sebagian dari hadis yang
dipahami secara tekstual dan belum secara kontekstual, yaitu dengan kadar
keilmuan dan kecenderungan yang dimiliki oleh seorang yang memahami
hadis, sehingga memunculkan hadis-hadis yang mukhtalif.
4. Faktor Ideologi. Yakni berkaitan dengan ideologi atau manhaj suatu
madzhab dalam memahami suatu hadis, sehingga memungkinkan
terjadinya perbedaan dengan berbagai aliran yang sedang berkembang.

Metode Penyelesaian Hadis Mukhtalif

Dalam menghadapi dua buah hadis yang menurut lahirnya berlawanan


atau bertentangan, Abdul Wahab Khallaf mengatakan bahwa langkah-langkah
yang mesti dilakukan berdasarkan prioritasnya adalah sebagai berikut: pertama,
menjama’kan (mentaufiqkan), kedua, mentarjih-kan salah satunya, ketiga,
meneliti asbab al-wurud kedua hadis tersebut, keempat, membekukan (tawaqquf).

Imam al-Ghazali mengatakan, bahwa usaha-usaha untuk menghadapi dua


hadis yang saling berlawanan dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, menjama’kan, bila memungkinkan, kedua, mencari sejarah datangnya
hadis (asbab al- wurud), ketiga, meninggalkan beristidlal dengan mencari hukum
dari hadis yang lain, keempat, memilih diantara keduanya.

Meskipun berbeda dalam urutan penyelesaian dan skala prioritasnya, akan


tetapi mereka sepakat menetapkan langkahlangkah penyelesaian “ta’arudh al-
hadits/ mukhtalif al-hadits”, yaitu: al-jam’u wa al-taufiq, al-tarjih, nasakh dan
tawaqquf/ tasaquth.

Al-Jam’u wa al-Taufiq

Al-Jam’u wa al-Taufiq artinya mengumpulkan dua buah hadis yang saling


bertentangan. Hal ini dapat dilakukan terhadap hadis-hadis yang mukhtalif, yaitu
hadis-hadis yang secara lahiriyah terlihat saling bertentangan. Makna thariqah al-
jam’u wa al-taufiq adalah dengan jalan mengumpulkan dua hadis yang
bertentangan, apabila memungkinkan untuk menggabungkan dan
mengkompromikan antara keduanya (hadis yang terkesan bertentangan), maka
keduanya dikompromikan dan wajib diamalkan.

Al-Tarjih
Al-Tarjih adalah bentuk masdar dari ‫ ترجيحا يرجح رجح‬artinya memberatkan,
menguatkan, menjadikan sesuatu lebih kuat atau mempunyai kelebihan daripada
yang lain. Hasbi Ash- Shiddieqy mengatakan, tarjih adalah menjadikan rajih salah
satu dari dua hadis yang berlawanan yang tidak bisa dikompromikan karena ada
sesuatu sebab dari sebab-sebab tarjih.

Nasakh

Secara bahasa nasakh berarti memindahkan, membatalkan dan


menghilangkan. Nasikh berarti yang memindahkan, yang membatalkan dan yang
menghilangkan. Mansukh berarti yang dipindahkan, yang dibatalkan dan yang
dihilangkan. Menurut istilah, nasakh adalah suatu metode untuk menyelesaikan
hadis- hadis yang tampak saling bertentangan, dengan cara membatalkan atau
menghilangkan hukum salah satu darinya. Ulama ushul mengatakan bahwa
nasakh adalah menghilangkan atau mengahapus suatu hukum syara’ dengan
hukum syara’ yang datang kemudian.

Tawaqquf

Secara etimologi, tawaqquf adalah berhenti ditempat itu atau berdiri.


Secara terminologi, tawaqquf berarti membekukan atau meninggalkan kedua buah
hadis yang saling bertentangan tersebut untuk beristidlal. Metode ini dapat
dilakukan apabila tida metode sebelumnya tidak dapat dilaksanakan atau menemui
jalan buntu. Ketiga metode yang dimaksud yaitu: pertama, menjama’kan
(mentaufiqkan), kedua, mentarjihkan salah satunya, ketiga, meneliti asbab al-
wurud kedua hadis tersebut (nasakh).

Agar tidak terjadi kekosongan hukum atau dasar hukum sebagai rujukan
untuk bertindak, maka langkah-langkah yang dapat digunakan, yaitu: 1. Mencari
hadis lain atau dalil hukum lain, meskipun kualitas, kuantitas, dan tingkatannya
lebih rendah dari hadis yang berta’arrudh 2. Kembali ke hukum asal. Artinya, jika
hal itu berkaitan dengan masalah ibadah, maka pelaksanaannya harus didasarkan
pada nash atau dalil hukum. Selama dasar hukumnya belum ditemukan, maka
sesuatu yang dipandang ibadah tidak dapat dilaksanakan.
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
 Ilmu Rijalil Hadist Sebagai salah satu cabang Ulum al-Hadis, Ilmu Rijalil
Hadis merupakan Ilmu yang secara spesifik mengupas keberadaan para
rijal hadis atau para perawi atau transmitter hadis. Ilmu Rijalil Hadis
memiliki dua cabang, yakni Ilmu Tarikh ar-Rijal- didefinisikan
Muhammad Ajjaj al-Khatib sebagai Ilmu yang membahas keadaan para
perawi dari segi aktivitas mereka dalam meriwayatkan hadis dan Ilmu al-
Jarh wa at-Ta’dil, Ilmu yang membahas keadaan para perawi dari segi
diterima tidaknya periwayatan mereka.
 ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya 'aib atau
memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu Jarh
wa al-Ta’dil"
 informasi jarh dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan,
yaitu:

a. Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa


mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib.

b. Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil.

 sebab-sebab yang menjadikan aibnya seoarang perawi itu banyak, tetapi


semuanya berkisar disekitar lima macam saja: bid‟ah, mukhlafah, ghalath,
jahalah al-hal, da‟wa al-inqitha’
1. Bid‟ah yaitu melakukan tindakan tercela diluar ketentuan syara.
Mukhalafah ialah menyalahi periwayatan orang yang lebih tsiqat.
Mukhalafah ini dapat menimbulkan haditsnya syadz atau munkar.
2. Yang dimaksud dengan ghalath ialah banyak kekeliruan dalam
meriwayatkan.
3. Jahalah al-hal ialah tidak dikenal identitasnya, maksud perawi yang
belum dikenal identitasnya ialah haditsnya tidak dapat diterima.
4. Sedangkan Da‟wa al-“inqitha‟ ialah diduga keras sanadnya terputus,
misalnya menda‟wa perawi, mentadliskan atau mengirsalkan suatu
hadits.
 Secara terminologis, Ilmu Tarikh al-Ruwat didifinisikan sebagai :

Ilmu yang menerangkan rawi-rawi hadis, dari aspek yang berkaitan


dengan periwayatan mereka terhadap hadis tersebut.

Ilmu Tarikh al-Ruwat atau ilmu Tarikh al-Rijal ini menjelaskan hal
ihwal para rawi dalam hal periwayatan hadisnya yang meliputi informasi
tentang kurun hidupnya (lahir dan wafatnya), daerah kelahirannya, guru-
gurunya, murid-muridnya, negeri-negeri tempat kediaman gurunya,
perlawatannya, tarikh kedatangannya ke Negara-negara yang dikunjungi,
ilmu ini memfokuskan diri mengkaji sejarah perjalann hidup rawi yang
terkait dalam perlawatan dan periwayatan hadis.

 Nasikh artinya : yang menghapuskan, yaitu dalil Al-Kitab atau As-Sunnah


yang menghapuskan hukum dalil syar’i atau lafazhnya. Pada hakekatnya
naasikh (yang menghapuskan) adalah Allah Azza wa Jalla.
 Mansukh artinya : yang dihapuskan, yaitu hukum dalil syar’i atau lafazhnya
yang dihapuskan.
 Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada tiga
bagian:
1. Nash Yang Mansukh Hukumnya, Namun Lafazhnya Tetap.
Inilah jenis nash mansukh yang paling banyak. Yaitu hukum syar’i
dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafazhnya tetap.
2. Naskh Yang Mansukh Lafazhnya, Namun Hukumnya Tetap.

 Macam-macam naskh dilihat dari nash yang naasikh (menghapus) secara


ringkas ada empat bagian:
1. Al-Qur’an Dimansukh Dengan Al-Qur’an.
2. Al-Qur’an Dimansukh dengan As-sunnah.
3. As-sunnah dimansukh dengan Al-Qur’an.
4. As-Sunnah dimansukh dengan As-Sunnah.
 Ilmu gharibil hadits, ialah :

‫ِع ْلٌم ُيْع َر ُف ِبِه َم ْعَنى َم اَو َقَع فى متون ْاَالَح اِد ْيِث ِم َن ْاَألْلَفاِظ اْلَعَر ِبَّيِة‬

‫ َع ْن َأْذ َهاِن اَّلِذ ْيَن َبْع َد َع ْهِدِهْم ِباْلَعَر ِبَّيِة اْلَخ اِلَصِة‬.

“Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits
yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”

 Gharibul-Hadits yang dimaksudkan dalam ilmu hadits ini adalah bertujuan


menjelaskan satu hadits yang dalam matannya terdapat lafadh yang pelik dan
susah dipahami, karena jarang dipakai. Sehingga keberadaan ilmu ini akan
membantu dalam memahami hadits tersebut.
 Cara-cara menginterpretasikan keghariban hadits:
1). Dengan menggunakan sanad yang berbeda dengan sanad yang bermatan
gharib tersebut.
2). Melalui penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan hadits atau dari
sahabat lain yang tidak meriwayatkannya.
3). Penjelasan dari perawi selain sahabat.
 Ilmu ‘ilal al-hadīth adalah suatu ilmu pengetahuan yang membahas tentang
kecacatan-kecacatan atau penyakit-penyakit yang tersembunyi yang terdapat
pada hadith.
 Para ulama telah menetapkan kriteria ke-ṣahih-an hadith ada lima, yaitu
sanadnya bersambung, perawinya ‘adil, ḍābit, tidak ada ‘illah dan tidak
syadh. Tiga syarat pertama berkaitan dengan sanad dan dua syarat terakhir
berkaitan dengan sanad dan matan sekaligus.
 Ilmu ‘‘ilal al-hadīth diaplikasikan dengan mengumpulkan seluruh sanad yang
berkaitan dengan hadith yang diteliti, meneliti perbedaan-perbedaan
periwayat, membandingkan para periwayat dari segi kekuatan dan ketepatan
hafalan mereka, lalu menyingkap kesalahan yang terdapat padanya, dan
memberikan penilaian terhadap riwayat yang cacat tersebut.

 Asbabul wurud berasal dari kalimat bahasa arab yaitu ‫ سبب‬yang bermakna
sebab atau kronologi terjadinya suatu kejadian dan ‫ ورود‬bermakna datang,
seperti yang di sebutkan dalam kamus al munawwir. Maka dapat di artikan
bahwa asbabul secara bahasa adalah kronologi terjadinya sesuatu.
 Secara terminologi, dalam persfektif ilmu hadits, ababul wurud adalah salah
satu illmu yang menjelaskan tentang sebab datangnya sebuah hadits dan
menjelaskan keadaan sosial yang terjadi pada saat hadits itu di sampaikan.
 Menurut al-Suyuti, asbab al-wurud dapat dikatagorikan menjadi tiga macam,
yaitu: 1) sebab yang berupa ayat Alquran, 2) sebab yang berupa Hadis itu
sendiri 3) sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar
dikalangan sahabat.
 Ilmu al-tashif wa al-tahrif merupakan ilmu yang berusaha menerangkan
perihal hadis-hadis yang terubah atau diubah titik atau syakalnya (mushahhaf)
dan bentuknya (muharraf).

 Arti at-tashif secara etimologi berarti kesalahan sedangkan secara


terminologi at-tashif berarti mengubah atau berubahnya suatu kalimat
sehingga makna yang dikehendaki semula menjadi berbeda.
 tahrif adalah ism mashdar (kata benda) dari kata kerja harrafa-yuharrfu-
tahrifan, yang artinya memalingkan, mengubah, atau mengganti. Sedangkan
secara istilah at-tahrif berarti sesuatu yang menjadi berbeda makna karena
berubahnya syakl di dalam suatu kalimat dengan bentuk tulisannya yang
tetap.

 Ilmu mukhtalif al-hadits dapat didefinisikan sebagai berikut:

‫ في االح„„اديث‬.‫العلم الذي يبحث في االحاديث التي يشكل فهمها او تصو رها فيدفع اشكالها ويوضح حقيقته„„ا‬
“ ‫التي ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها او يوفق بينها كما‬

Ilmu yang membahas hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan, lalu


menghilangkan pertentangan itu atau mengkompromikannya, disamping
membahas hadis yang sulit dipahami atau dimengerti, lalu menghilangkan
kesulitan itu dan menjelaskan hakekatnya”.

DAFTAR PUSTAKA

Gufron, Muhammad, Ilmu Rijalil Hadist, ,2016. Ilmu Rijalul Hadist.


https://fuadah.uinsalatiga.ac.id/blog/2016/05/25/ilmu-rijalul-hadis-oleh-m-
gufron- (diakses pada Ahad, 31 Maret 2024 Pukul 11.35)
alfansury, Rahmat, 2021, Memahami Hadis Dengan Tinjauan Ilmu Asbab Al-
Wurud, https://ushuluddin.uin-suka.ac.id/id/kolom/detail/291/memahami-
hadis-dengan-tinjauan-ilmu-asbab-al-wurud (Diakses pada Ahad, 31 Maret
2024 Pukul 12.30)

Al-Atsari, Abu Muslim, Nasikh dan Mansukh, https://almanhaj.or.id/3087-


nasikh-dan-mansukh.html (Diakses pada Ahad 31 Maret 2024 pukul
12.46)

Anda mungkin juga menyukai