Oleh
Kelompok IV :
1445/2023
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Tiada Tuhan yang
pantas disembah kecuali Allah, Syukur Alhamdullilah, atas berkat
rahmat Allah Swt. yang telah berkenan memberikan kami kesempatan
dan kenikmatan untuk dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
dan tanpa kekurangan apapun.
Penyusun,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................2
DAFTAR ISI...........................................................................................................3
BAB I.......................................................................................................................4
PENDAHULUAN...................................................................................................4
Latar Belakang...................................................................................................4
Rumusan Masalah..............................................................................................5
Tujuan.................................................................................................................5
BAB II.....................................................................................................................6
PEMBAHASAN.....................................................................................................6
BAB III..................................................................................................................35
PENUTUP.............................................................................................................35
KESIMPULAN................................................................................................35
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sebagai hamba Allah SWT yang beriman, sudah selayaknya kita mengerti
dan melaksanakan apa yang Allah kehendaki, sekaligus menjauhi apa yang
dilarangnya. Untuk mengetahui dan melaksanakan kehendak Allah kita harus
mengetahui hukum islam yang telah ada. Namun, hukum islam menghadapi
tantangan lebih serius, terutama pada abad kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Untuk menjawab berbagai permasalahan baru yang berhubungan
dengan hukum islam, para ahli yang sudah tidak bisa lagi sepenuhnya
mengendalikan ilmu tentang fiqh, hasil ijtihad di masa lampau. Alasannya
karena ternyata warisan fiqih yang terdapat dalam kitab-kitab klasik, bukan saja
terbatas kemampuannya dalam menjangkau masalah-masalah baru yang belum
ada sebelumnya. Oleh karena itu, umat islam perlu mengadakan penyegaran
kembali terhadap warisan fiqih. Sehingga diciptakanlah ilmu ilmu yang
digunakan untuk memecahkan masalah-masalah baru tersebut.
Dan untuk mengkaji itu semua ulama harus memastikan pasti atau
otentiknya suatu hadist yang akan menjadi landasan hukum umat islam, maka
diciptakanlah berbagai ilmu yang digunakan untuk memastikan keontetikan atau
ke aslian suatu hadist, mulaii dengan dengan menelaah perawi atau yang
meriwayatkan hadist tersebut hingga kesalihan tiap-tiap perawi tersebut. Dan
dari itulah terlahir ilmu-ilmu hadist seperti ilmu rijalil hadist, ilmu jahr wa ta’dil,
ilmu nasikh wal mansukh, ilmu ghoib al-hadist, ilmu i’lal hadist, ilmu tarikh al-
ruwah, ilmu asbabul wurud, ilmu tashrih wa ta’rif, ilmu mukhtalif hadist.
Rumusan Masalah
Tujuan
PEMBAHASAN
Ilmu Rijalil Hadist Sebagai salah satu cabang Ulum al-Hadis, Ilmu Rijalil
Hadis merupakan Ilmu yang secara spesifik mengupas keberadaan para rijal hadis
atau para perawi atau transmitter hadis. Ilmu Rijalil Hadis memiliki dua cabang,
yakni Ilmu Tarikh ar-Rijal- didefinisikan Muhammad Ajjaj al-Khatib sebagai
Ilmu yang membahas keadaan para perawi dari segi aktivitas mereka dalam
meriwayatkan hadis dan Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil, Ilmu yang membahas keadaan
para perawi dari segi diterima tidaknya periwayatan mereka.
Dengan demikian, Ilmu Rijal al-Hadis dalam mengkaji para perawi pada
dasarnya memiliki dua scope bahasan, yang pertama biografi atau sejarah para
perawi sebagai cakupan Ilmu Tarikh ar-Ruwah dan kedua, sebagai tahapan
kelanjutan bahasan pertama, yakni mengkaji rawi dari segi justifikasi kualitas
rawi.
Mengkaji rijal hadis atau para perawi hadis berarti mengkaji semua orang
yang menjadi rawi dalam periwayatan hadis sampai terkodifikasi kitab-kitab
hadis. Ini memiliki pengertian ada ratusan ribu rawi yang harus dilibatkan,
mengingat jimlah sahabat yang menjadi rawi saja jumlahnya belasan ribu orang
belum termasuk tabi’in, tabi’it tabi’in dan seterusnya. Oleh karenanya, bukan
merupakan pekerjaan yang mudah mengkaji para rijal al-hadis dari berbagai
aspeknya. Terlebih lagi dengan mengingat keberadaan subyektivitas pengumpul
data tidak bias dinafikan dalam ilmu yang termasuk human sciences ini.
Adapun untuk mengkaji para rawi yamg terlibat dalam periwayatan hadis
yang memiliki masa rentang yang panjang dengan kita, diperlukan kitab-kitab
terkait yang telah dihasilkan para ulama’ sebelumnya. Diantara kitab Rijal Hadis
yang sampai pada kita, ada kitab-kitab yang secara khusus hanya memuat rawi-
rawi dalam kitab hadis tertentu, seperti Rijalu Shahih Muslim karya Abu Bakar
Ahmad bin Ali Al-Asfahani (w. 428 H), al—Jam’u baina Rijal al-Shahihain buah
tangan Ibn al-Qirani (w. 507 H), al-Ta’rif bi Rijal al-Muwatta’ karya al-Tamimi
(w. 416 H). Ada pula kitab-kitab yang khusus memuat rawi kutub al-sittah, seperti
Tahdzib al-Kamal karya al-Mizzi, Tahzdib al-Tahzdib karya Ibnu Hajar al-
Asqalani, Khulasah Tazhib al-Kamal karya al-Khazraji. Ada pula kitab-kitab yang
khusus memuat para rawi yang siqah seperti: Kitab al-Siqqat karya Muhammad
bin Ahmad bin Hibban al-Busti, Kitab al-Siqqat karya al-Ijli. Diantara kitab-kitab
yang secara spesifik memuat para perawi yang lemah atau masih diperselisihkan
dan diperbincangkan kualitasnya seperti Kitab al-Du’afa karya al-Uqaili, al-Kamil
fi Du’afa al-Rijal karya al-Jurjani dan Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal karya al-
Zahabi
2.2. Jahr wa Ta’dil
- Al-„Adlu secara bahasa adalah apa yang lurus dalam jiwa; lawan dari
durhaka. Dan seorang yang „adil artinya kesaksiannya diterima; dan At-
Ta‟dil artinya mensucikannya dan membersihkannya.
.هو العلم الذي يبحث يف أحوال الرواة من حيث قبول روايتهم أوردها
"Ialah suatu ilmu yang membahas hal ihwal para rawi dari segi diterima
atau ditolak periwayatannya"
Dua hadits di atas merupakan dalil Al-Jarh dalam rangkan nasihat dan
kemaslahatan. Adapun At-Ta‟dil, salah satunya berdasarkan hadits : Rasulullah
shallallaahu „alaihi wasallam bersabda : “Sebaik-baik hamba Allah adalah Khalid
bin Walid, salah satu pedang diantara pedang-pedang Allah” (HR. Ahmad dan
Tirmidzi dari Abi Hurairah radliyallaahu „anhu).
Adapun informasi jarh dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui
dua jalan, yaitu:
b. Berdasarkan pujian atau pen-tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila
seorang rawi yang adil menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal
keadiannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar
adil dan periwayatannya bisa di terima.
Begitu juga dengan rawi yang di tarjih. Bila seorang rawi yang
mentarjihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima. Sementara orang
yang melakukan ta'dil dan tarjih harus memenuhi syarat sebagai berikut: berilmu
pengetahuan, taqwa, wara', jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan
mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta'dil ini
Ilmu Tarikh al-Ruwat atau ilmu Tarikh al-Rijal ini menjelaskan hal ihwal
para rawi dalam hal periwayatan hadisnya yang meliputi informasi tentang kurun
hidupnya (lahir dan wafatnya), daerah kelahirannya, guru-gurunya, murid-
muridnya, negeri-negeri tempat kediaman gurunya, perlawatannya, tarikh
kedatangannya ke Negara-negara yang dikunjungi, pendengaran hadisnya dari
guru sebelum dan sesudah guru mengalami ikhtilat, dalam kasus di antara gurunya
ada yang mukhtalit, madzhab yang dipeganginya dan lain-lain yang ada
hubungannya dengan urusan hadis. Dengan demikian pada dasarnya, ilmu ini
memfokuskan diri mengkaji sejarah perjalann hidup rawi yang terkait dalam
perlawatan dan periwayatan hadis.
Dengan ilmu ini akan dapat diketahui informasi yang terkait dengan semua
rawi yang menerima dan menyampaikan hadis atau yang melakukan transmisi
hadis Nabi SAW sehingga para rawi yang mentransfer hadis dan terlibat dalam
periwayatan adalah semua rawi baik dari kalangan sahabat, para tabi’in, para tabi’
al-tabi’in sampai mukharrij hadis. Mereka inilah yang menjadi focus kajian Ilmu
Tarikh Al-Rijal.
Para pakar dalam ilmu hadis member atensi yang cukup besar, karena
mereka memerlukan untuk mengetahui kredibilitas para rawi dalam sanadnya.
Mereka mengkhususkan diri dan meluangkan waktu untuk berlanglangbuana
dalam kaitannya dengan input sekitar rawi, umur, kediaman, pendengaran
hadisnya dari para guru, perlawatannya rawi ke berbagai tempat, kecenderungan
madzhab rawi dan pada puncaknya mengarah kepada kredibilitas para rawi.
Karena informasi tentang sah tidaknya pendengaran para rawi dalam periwayatan
hadis dari aspek pribadi dan intelektualnya sangat mereka perlukan.
Perlu diketahui bahwa adanya naskh dalam syari’at atau adanya ayat Al-
Qur’an yang mansukh (dihapus hukumnya/lafazhnya) oleh ayat lain ditunjukkan
oleh dalil naql (ayat/hadits), dalil akal, dan ijma’.
Dalil Naql
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an,
sebagaimana penafsiran Salafush Sholih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari
Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad
bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu
Jarir, dan Ibnu Katsir.[9]
Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan
“mu’jizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A.Hassan
rahimahullah, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara
bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di
atas. Wallohu a’lam.
Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain. [An
Nahl/16:101]
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an
yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Alloh jadikan
pengganti adalah naasikh, ayat yangdigantikan adalah ayat mansukh. Dan ini
sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat
mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Alloh. Lebih luas dapat dilihat
dalam kitab-kitab ushul fiqih.
Dalil Akal.
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Syaikh Tsanaulloh Az-Zahidi berkata: “Ahli fiqih dan ushul telah sepakat
atas kebolehan/kemungkinan adanya naskh menurut akal, dan atas terjadinya
menurut syara’. Kecuali apa yang dinukilkan dari Abu Muslim Muhammad bin
Bahr Al-Ashfahani seorang Mu’tazilah yang mati tahun 322 H”[14]
Macam-Macam Naskh
Pertama : Macam-macam naskh, dilihat dari nash yang mansukh (dihapus) ada
tiga bagian:
Hikmah naskh jenis ini adalah: tetapnya pahala membaca ayat tersebut dan
mengingatkan umat tentang hikmah naskh, terlebih dalam hukum yang
diringankan dan dimudahkan.
َيآَأُّيَها الَّنِبُّي َح ِّر ِض اْلُم ْؤ ِمِنيَن َع َلى اْلِقَتاِل ِإن َيُك ن ِّم نُك ْم ِع ْش ُروَن َص اِبُروَن َيْغ ِلُب وا ِم اَئَتْيِن َو ِإن َّيُك ن ِّم ْنُك ْم ِم اَئ ٌة
َيْغ ِلُبوا َأْلًفا ِّم َن اَّلِذ يَن َكَفُروا ِبَأَّنُهْم َقْو ٌم َال َيْفَقُهوَن
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mu’min itu untuk berperang. Jika
ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan
dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) diantaramu, maka
mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-
orang kafir itu kaum yang tidak mengerti. [Al Anfal/8 :65]
اْلَئاَن َخ َّفَف ُهللا َعنُك ْم َو َع ِلَم َأَّن ِفيُك ْم َض ْع ًفا َفِإن َيُك ن ِّم نُك م ِّم اَئٌة َص اِبَر ٌة َيْغ ِلُبوا ِم اَئَتْيِن َو ِإن َيُك ْن ِّم ْنُك ْم َأْل ٌف َيْغ ِلُب وا
َأْلَفْيِن ِبِإْذ ِن ِهللا َو ُهللا َم َع الَّصاِبِريَن
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata: “Hikmah
naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap
amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan
mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi
yang berusaha menutupi nash rajm di dalam Taurat”[19].
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajm[20] Umar bin Al-Khathab
berkata:
َلَقْد َخ ِش يُت َأْن َيُطوَل ِبالَّناِس َز َم اٌن َح َّتى َيُقوَل َقاِئٌل اَل َنِج ُد الَّرْج َم ِفي ِكَتاِب ِهَّللا َفَيِض ُّلوا ِبَتْر ِك َفِريَضٍة َأْنَز َلَها ُهَّللا
َأاَل َو ِإَّن الَّرْج َم َح ٌّق َع َلى َم ْن َزَنى َو َق ْد َأْح َص َن ِإَذ ا َق اَم ِت اْلَبِّيَن ُة َأْو َك اَن اْلَحَب ُل َأِو ااِل ْع ِت َر اُف َق اَل ُس ْفَياُن َك َذ ا
َح ِفْظُت َأاَل َو َقْد َر َج َم َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو َر َجْم َنا َبْع َد ُه
Adapun lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:
الَّش ْيُخ َو الَّش ْيَخ ُة ِإَذ ا َزَنَيا َفاْر ُج ُم وُهَم ا اْلَبَّتَة َنَك اًال ِم َن ِهللا َو ُهللا َع ِزْيٌز َحِكْيٌم
Laki-laki yang tua (maksudnya : yang sudah menikah) dan wanita yang
tua (maksudnya : yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya
sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan
Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.
Jenis naskh ini disepakati adanya oleh para ulama’, adapun orang yang
beranggapan tidak ada ayat mansukh di dalam Al-Qur’an, maka perkataannya
tidak dianggap.
Contohnya adalah ayat 65, yang mansukh oleh ayat 66 dari surat Al-Anfal,
sebagaimana telah kami sampaikan di atas. Contoh lain: firman Allah Azza wa
Jalla.
َياَأُّيَها اَّلِذ يَن َء اَم ُنوا ِإَذ ا َناَج ْيُتُم الَّرُسوَل َفَقِّد ُم وا َبْيَن َيَد ْي َنْج َو اُك ْم َص َد َقًة َذ ِلَك َخْيُُر َّلُك ْم َو َأْطَهُر َف ِإن َّلْم َتِج ُدوا َف ِإَّن
َهللا َغ ُفوُُر َّر ِح يٌم
َء َأْش َفْقُتْم َأن ُتَقِّد ُم وا َبْيَن َي َد ْي َنْج َو اُك ْم َص َد َقاٍت َف ِإْذ َلْم َتْفَع ُل وا َو َت اَب ُهللا َع َلْيُك ْم َف َأِقيُم وا الَّص َالَة َو َء اُت وا الَّز َك اَة
َو َأِط يُعوا َهللا َو َر ُسوَلُه َو ُهللا َخ ِبيٌر ِبَم ا َتْع َم ُلوَن
Pada bagian ini ulama juga berselisih. Yang rajih –wallohu a’lam- hal ini ada dan
terjadi. Contohnya:
ُقل آل َأِج ُد ِفي َم آ ُأوِح َي ِإَلَّي ُمَح َّر ًم ا َع َلى َطاِع ٍم َيْطَعُم ُه ِإَّال َأن َّيُك وَن َم ْيَتًة َأْو َد ًم ا َم ْس ُفوًحا َأْو َلْح َم ِخ نِزيٍر َفِإَّن ُه
ِر ْج ٌس َأْو ِفْس ًقا ُأِهَّل ِلَغْيِر ِهللا ِبِه
Ayat ini menunjukkan bahwa makanan yang diharamkan -di saat ayat ini
diturunkan- hanyalah empat jenis di atas. Ini berarti, di saat itu, daging keledai
jinak boleh dimakan, berdasarkan ayat ini. Kemudian kebolehan ini dihapuskan
hukumnya oleh hadits-hadits shahih yang datang kemudian yang mengharamkan
daging keledai jinak. Karena ayat di atas termasuk surat Al-An’am, yang
merupakan surat Makiyyah, yang turun sebelum hijroh, dengan kesepakatan
ulama. Adapun pengharaman daging keledai jinak dengan Sunnah terjadi setelah
itu di Khoibar.
َع ْن َأَنِس ْبِن َم اِلٍك َرِض ي ُهَّللا َع ْنُه َأَّن َر ُسوَل ِهَّللا َص َّلى ُهَّللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َج اَءُه َج اٍء َفَقاَل ُأِك َلِت اْلُح ُم ُر ُثَّم َج اَءُه َج اٍء
َفَقاَل ُأِك َلِت اْلُح ُم ُر ُثَّم َج اَءُه َج اٍء َفَقاَل ُأْفِنَيِت اْلُح ُم ُر َف َأَم َر ُم َناِد ًي ا َفَن اَدى ِفي الَّن اِس ِإَّن َهَّللا َو َر ُس وَلُه َيْنَهَي اِنُك ْم َع ْن
ُلُحوِم اْلُح ُم ِر اَأْلْهِلَّيِة َفِإَّنَها ِر ْج ٌس َفُأْك ِفَئِت اْلُقُد وُر َوِإَّنَها َلَتُفوُر ِبالَّلْح ِم
Contoh jenis ini adalah: syari’at shalat menghadap Baitul Maqdis, yang ini
berdasarkan Sunnah, dihapuskannya dengan firman Allah Azza wa Jalla.
َقْد َنَر ى َتَقُّلَب َو ْج ِهَك ِفي الَّس َم آِء َفَلُنَو ِّلَيَّنَك ِقْبَلًة َتْر َض اَها َفَو ِّل َو ْج َهَك َش ْطَر اْلَم ْس ِج ِد اْلَحَر اِم َو َح ْيُث َم ا ُك نُتْم َفَو ُّل وا
ُوُجوَهُك ْم َش ْطَرُه
ِع ْلٌم ُيْع َر ُف ِبِه َم ْعَنى َم اَو َقَع فى متون ْاَالَح اِد ْيِث ِم َن ْاَألْلَفاِظ اْلَعَر ِبَّيِة
َع ْن َأْذ َهاِن اَّلِذ ْيَن َبْع َد َع ْهِدِهْم ِباْلَعَر ِبَّيِة اْلَخ اِلَصِة.
“Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits
yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”.
Sesudah berlalu masa sahabat, yakni abad pertama, dan para tabi’in pada
tahun 150 H mulailah bahasa Arab yang tinggi, tidak diketahui lagi oleh umum.
Oleh karena itu, berusahalah para ahli mengumpulkan kata-kata yang dipandang
tak dapat dipahamkan oleh umum dan kata-kata yang kurang terpakai dalam
pergaulan sehari-hari dalam suatu kitab dan mensyarahkannya.
Menurut sejarah, yang mula-mula berusaha dalam bab ini ialah Abu
Ubaidah Ma’mar ibn al-Mutsanna (210 H), kemudian usaha itu diluaskan lagi
oleh Abul Hasan al-Maziny (204 H). Usaha beliau-beliau ini berlaku di
penghujung abad kedua hijrah.
Di awal abad ketiga hijrah berusahalah Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Sallam
(244 H) menyusun kitabnya yang terkenal dalam ilmu gharibil hadits, yang
diusahakan dalam tempo 40 tahun. Kitabnya mendapat sambutan dari masyarakat,
sehingga datang massanya Ibnu Qutaibah ad-Dainury (276 H). Beliau menyusun
kitabnya yang terkenal pula.
Maka dengan terdapat dua kitab itu, terkumpullah sebagian besar dari
kata-kata yang gharib. Sesudah itu, berusaha pula beberapa ahli, sehingga sampai
kepada masa al-Khaththaby (378 H). Dan setelah kitabnya selesai, terdapat tiga
induk kitab bagi segala kitab gharibil hadits.
Sesudah itu datanglah Ibnul Atsier (606 H), lalu menyusun kitabnya an-
Nihayah. Kitab inilah sebesar-besar kitab gharibil hadits yang terdapat dalam
masyarakat Islam. Kitab ini diikhtisarkan oleh as-Suyuthi (911 H) dalam kitabnya
yang dinamai ad-Durrun Natsier.
Obyek ilmu Gharib al-Hadits adalah kata-kata yang sulit dan sukar
dipahami maksud dan tujuannya. Diantara fungsi dibentuknya ilmu ini adalah
untuk meminimalisir seseorang yang menafsirkan hadits Nabi hanya berdasarkan
dengan dugaan saja dan mentaklidi pendapat seseorang yang tidak kompeten
dalam bidang ini.
Imam Ahmad pernah ditanya tentang suatu lafadz gharib yang terdapat
dalam suatu hadits namun karena beliau merasa tidak mampu, beliau menjawab:
”Tanyalah kepada seseorang yang mempunyai keahlian dalam bidang gharib al-
hadits, karena aku tidak suka memperbincangkan hadits Rasul hanya berdasarkan
dugaan semata.”
1). Dengan menggunakan sanad yang berbeda dengan sanad yang bermatan gharib
tersebut.
2). Melalui penjelasan dari sahabat yang meriwayatkan hadits atau dari sahabat
lain yang tidak meriwayatkannya.
1289 – حدثنا عبدان أخبرنا عبد هللا عن يونس عن الزهري قال أخبرني سالم بن عبد هللا أن ابن عمر
أن عمر انطلق مع النبي صلى هللا عليه و سلم في رهط قبل ابن صياد حتى وجدوه: رضي هللا عنهما أخبره
يلعب مع الصبيان عند أطم بني مغالة وقد قارب ابن الصياد الحلم فلم يشعر حتى ضرب النبي صلى هللا عليه
. فنظر إليه ابن صياد فقال أشهد أنك رسول األميين. ) و سلم بيده ثم قال البن الصياد ( تشهد أني رسول هللا
فقال. ) فقال ابن صياد للنبي صلى هللا عليه و سلم أتشهد أني رسول هللا ؟ فرفضه وقال ( آمنت باهلل وبرسله
) فقال النبي صلى هللا عليه و سلم ( خلط عليك األمر. قال ابن صياد يأتيني صادق وكاذب. ) له ( ماذا ترى
فقال ( اخسأ فلن. فقال ابن صياد هو الدخ. ) ثم قال له النبي صلى هللا عليه و سلم ( إني قد خبأت لك خبيئا.
فقال النبي صلى هللا عليه و سلم. فقال عمر رضي هللا عنه دعني يا رسول هللا أضرب عنقه. ) تعدو قدرك
]1[ ) ( إن يكنه فلن تسلط عليه وإن لم يكنه فال خير لك في قتله
Beberapa pengertian ilmu ‘ilal hadith yang dipaparkan oleh ulama’ antara
lain adalah :
العلم الذي يبحث عن االسباب الخفية من جه„„ة ق„„دحها فى الح„„ديث كوصل منقطع ورفع موق„„وف وادخال
الحديث فى حديث اوالحاق سند اوغيرذالك.
Artinya; “Ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi dari segi dia dapat
mencacatkan hadith seperti mewashalkan yang munqathi’. Merafa’kan yang
mauquf, memasukkan hadith ke dalam hadith, atau membuat suatu sanad ke
dalam suatu matan atau lain-lain”.
Jadi ilmu ‘ilal al-hadīth adalah ilmu yang membahas tentang sebab-sebab
yang samar dari segi penyebab hadith menjadi cacat, seperti menyambung hadith
yang sebenarnya putus, menjadikan hadith marfū’ padahal mauqūf atau
memasukkan matan hadith kepada hadith yang lain.
Para ulama telah menetapkan kriteria ke-ṣahih-an hadith ada lima, yaitu
sanadnya bersambung, perawinya ‘adil, ḍābit, tidak ada ‘illah dan tidak syadh.
Tiga syarat pertama berkaitan dengan sanad dan dua syarat terakhir berkaitan
dengan sanad dan matan sekaligus.
Tanpa melihat latar belakang dari penyampaian hadis, maka akan sulit
dalam memahami sebuah hadis, bahkan dapat menunjang terjadinya kekliruan
tatkala ingin memahami hadis. Maka asbab al-wurud adalah ilmu yang penting
dalam meraih pemahaman dalam satu hadis yang mempunyai sebab dalam
penyampainya, sama hal nya dengan asbabun nuzul, memahami sebuah ayat tanpa
mengetahui sebab penurunannya, maka akan berpotensi kekeliruan .
Asbabul wurud berasal dari kalimat bahasa arab yaitu سببyang bermakna
sebab atau kronologi terjadinya suatu kejadian dan ورودbermakna datang, seperti
yang di sebutkan dalam kamus al munawwir. Maka dapat di artikan bahwa
asbabul secara bahasa adalah kronologi terjadinya sesuatu.
1. Sebab yang berupa ayat Alquran. Maksudnya, ayat Alquran itu menjadi
penyebab Nabi saw. mengeluarkan sabdanya.
2. Sebab yang berupa hadis. Maksudnya, pada waktu itu terdapat suatu hadis
namun sebagian sahabat merasa kesulitan memahaminya, maka kemudian
muncul hadis lain yang memberikan penjelasan terhadap hadis tersebut.
3. Sebab yang berupa keterkaitan, yang berkaitan dengan para pendengar di
kalangan sahabat.
Tashif karena salah dengar, seperti dalam hadis yang diriwayatkan dari
Ashim al-Ahwal. Sebagian periwayatannya men-tashif-nya menjadi
Washil al-Ahdab. Perkara ini menurut al-Daraquthni
termasuk tashif karena salah dengar, bukan karena salah lihat Mengingat
dalam tulisan kedua nama itu sangat berbeda tetapi dlam pengucapan
berdekatan. Jenis at-tashif yang muncul karena buruknya pendengaran
atau karena jauhnya jaak sang pendengar dari pusat informasi atau
semacamnya, sehingga beberapa kalimat terdengar sama karena terbentuk
dari wazan sharf yang satu.
3. Ditinjau dari lafal atau makn akalimat, tashif dibagi menjadi dua:
Tashif yang berkaitan dengan makna, yakni dari segi tulisan atau bacaan
tidak ada perubahan tetapi diucapkan bukan untuk maksud yang
seharusnya.
Hadis mushahhaf, yaitu hadis yang padanya terjadi perubahan titik atau
tanda bacaan lainnya.
Dalam kaidah bahasa Arab, kata mukhtalif al-hadits adalah susunan dua
kata yakni mukhtalif dan al-hadits. Menurut bahasa, mukhtalif merupakan isim
fa’il dari kata ikhtilafa artinya lawan dari kata sepakat (ittifaq). Makna dari hadis
mukhtalif adalah hadis-hadis yang sampai kepada kita, namun satu sama lain
saling bertentangan maknanya. Dengan kata lain, maknanya saling kontradiktif.
Menurut istilah, mukhtalif merupakan hadis maqbul yang bertentangan dengan
hadis lain yang semisal, namun memiliki peluang untuk di-jama’
(dikompromikam) diantara keduanya. Yaitu bisa berupa hadis shahih atau hadis
hasan, lalu ada hadis lain yang derajat dan kekuatannya sama, akan tetapi secara
zhahir maknanya bertentangan.
في االح„„اديث.العلم الذي يبحث في االحاديث التي يشكل فهمها او تصو رها فيدفع اشكالها ويوضح حقيقته„„ا
“ التي ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها او يوفق بينها كما
Para imam dan tokoh kritikus hadis secara umum membagi hadis yang
mengandung problem di atas menjadi dua langkah penyelesaian. Langkah
pertama, jika kedua hadis yang bertentangan memungkinkan untuk
dikompromikan, maka langkah kompromi segera ditetapkan dan dijalankan
terhadap keduanya. Langkah kedua, jika kedua hadis yang bertentangan tidak
memungkinkan untuk dikompromikan dengan berbagai alasan. Hadis ini terbagi
menjadi tiga bagian, yaitu Pertama, jika diketahui salah satu diantara kedua hadis
itu merupakan nasikh, maka nasikh lebih didahulukan dan diamalkan. Sedangkan
hadis yang mansukh kita tinggalkan. Kedua, jika kita tidak mengetahui mana yang
nasikh dan mana yang mansukh, maka kita harus mentarjih salah satu diantara
kedua hadis tersebut, kemudian kita mengamalkan hadis yang rajih (terkuat).
Ketiga, jika terhadap kedua hadis itu tidak bisa dilakukan proses tarjih dan hal ini
merupakan kebuntuan, maka kita tawaqqufkan (bekukan) mengamalkan kedua
hadis tersebut, hingga tampak bagi kita mana hadis yang lebih rajih.
Oleh karena itu, untuk memberikan batasan terhadap hadis yang termasuk
dalam kategori mukhtalif maka ulama hadis memberikan beberapa syarat:
1. Terjadinya pertentangan antara dua buah hadis yang sama derajat ataupun
kualitasnya.
2. Dua buah hadis tersebut merupakan dua buah bentuk hukum yang
berbeda, yakni satu hadis menetapkan hukum halal dan hadis yang lain
menetapkan hukum haram.
3. Kedua hadis bertentangan secara lahiriyah dan dapat dikompromikan
Al-Jam’u wa al-Taufiq
Al-Tarjih
Al-Tarjih adalah bentuk masdar dari ترجيحا يرجح رجحartinya memberatkan,
menguatkan, menjadikan sesuatu lebih kuat atau mempunyai kelebihan daripada
yang lain. Hasbi Ash- Shiddieqy mengatakan, tarjih adalah menjadikan rajih salah
satu dari dua hadis yang berlawanan yang tidak bisa dikompromikan karena ada
sesuatu sebab dari sebab-sebab tarjih.
Nasakh
Tawaqquf
Agar tidak terjadi kekosongan hukum atau dasar hukum sebagai rujukan
untuk bertindak, maka langkah-langkah yang dapat digunakan, yaitu: 1. Mencari
hadis lain atau dalil hukum lain, meskipun kualitas, kuantitas, dan tingkatannya
lebih rendah dari hadis yang berta’arrudh 2. Kembali ke hukum asal. Artinya, jika
hal itu berkaitan dengan masalah ibadah, maka pelaksanaannya harus didasarkan
pada nash atau dalil hukum. Selama dasar hukumnya belum ditemukan, maka
sesuatu yang dipandang ibadah tidak dapat dilaksanakan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ilmu Rijalil Hadist Sebagai salah satu cabang Ulum al-Hadis, Ilmu Rijalil
Hadis merupakan Ilmu yang secara spesifik mengupas keberadaan para
rijal hadis atau para perawi atau transmitter hadis. Ilmu Rijalil Hadis
memiliki dua cabang, yakni Ilmu Tarikh ar-Rijal- didefinisikan
Muhammad Ajjaj al-Khatib sebagai Ilmu yang membahas keadaan para
perawi dari segi aktivitas mereka dalam meriwayatkan hadis dan Ilmu al-
Jarh wa at-Ta’dil, Ilmu yang membahas keadaan para perawi dari segi
diterima tidaknya periwayatan mereka.
ilmu pengetahuan yang membahas tentang kritikan adanya 'aib atau
memberikan pujian adil kepada seorang rawi disebut dengan "Ilmu Jarh
wa al-Ta’dil"
informasi jarh dan ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan,
yaitu:
Ilmu Tarikh al-Ruwat atau ilmu Tarikh al-Rijal ini menjelaskan hal
ihwal para rawi dalam hal periwayatan hadisnya yang meliputi informasi
tentang kurun hidupnya (lahir dan wafatnya), daerah kelahirannya, guru-
gurunya, murid-muridnya, negeri-negeri tempat kediaman gurunya,
perlawatannya, tarikh kedatangannya ke Negara-negara yang dikunjungi,
ilmu ini memfokuskan diri mengkaji sejarah perjalann hidup rawi yang
terkait dalam perlawatan dan periwayatan hadis.
ِع ْلٌم ُيْع َر ُف ِبِه َم ْعَنى َم اَو َقَع فى متون ْاَالَح اِد ْيِث ِم َن ْاَألْلَفاِظ اْلَعَر ِبَّيِة
َع ْن َأْذ َهاِن اَّلِذ ْيَن َبْع َد َع ْهِدِهْم ِباْلَعَر ِبَّيِة اْلَخ اِلَصِة.
“Ilmu yang menerangkan makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits
yang sukar diketahui maknanya dan yang kurang terpakai oleh umum”
Asbabul wurud berasal dari kalimat bahasa arab yaitu سببyang bermakna
sebab atau kronologi terjadinya suatu kejadian dan ورودbermakna datang,
seperti yang di sebutkan dalam kamus al munawwir. Maka dapat di artikan
bahwa asbabul secara bahasa adalah kronologi terjadinya sesuatu.
Secara terminologi, dalam persfektif ilmu hadits, ababul wurud adalah salah
satu illmu yang menjelaskan tentang sebab datangnya sebuah hadits dan
menjelaskan keadaan sosial yang terjadi pada saat hadits itu di sampaikan.
Menurut al-Suyuti, asbab al-wurud dapat dikatagorikan menjadi tiga macam,
yaitu: 1) sebab yang berupa ayat Alquran, 2) sebab yang berupa Hadis itu
sendiri 3) sebab yang berupa sesuatu yang berkaitan dengan para pendengar
dikalangan sahabat.
Ilmu al-tashif wa al-tahrif merupakan ilmu yang berusaha menerangkan
perihal hadis-hadis yang terubah atau diubah titik atau syakalnya (mushahhaf)
dan bentuknya (muharraf).
في االح„„اديث.العلم الذي يبحث في االحاديث التي يشكل فهمها او تصو رها فيدفع اشكالها ويوضح حقيقته„„ا
“ التي ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها او يوفق بينها كما
DAFTAR PUSTAKA