Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH TENTANG ILMU HADIST

PENGERTIAN PEMBAGIAN DAN FUNGSI HADIST

KELOMPOK : 1.M SYAHRUL NAFI


2. RENDI YUSUF A
3.NUR HADI C
4.MUHAMMAD JAZULI
5. M FARIH YAHYA

KELAS :X TSM 4
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya


menyelesaikan makalah ini dengan penuh kemudahan. Tanpa
pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu
tentang pengertian, pembagian dan fungsi Hadist. Makalah ini
di susun oleh penyusun dengan berbagai rintangan. Baik itu
yang datang dari diri penyusun maupun yang datang dari luar.
Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan
dari Tuhan akhirnya makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini memuat tentang “Ilmu Hadist” yang menjelaskan
tentang pengertian, pembagian dan fungsi Hadist.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen mata
kuliah Agama yang telah membimbing penyusun agar dapat
menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih
luas kepada pembaca. Walaupun makalah ini memiliki
kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran dan
kritiknya. Terima kasih.
DAFTAR ISI

Kata Pengantar
Daftar isi
BAB I ( PENDAHULUAN )
A. Latar Belakang
B. Tujuan Pembahasan
C. Rumusan Masalah
BAB II ( PEMBAHASAN )
1. Pengertian Hadist
2. Pembagian hadist Secara Umum
3. Fungsi Hadist
BAB III ( PENUTUP )
A. Kesimpulan
B. Saran dan Kritik
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Umat Islam mengalami kemajuan pada zaman klasik (650-
1250). Dalam sejarah, puncak kemajuan ini terjadi pada sekitar
tahun 650-1000 M. Pada masa ini telah hidup ulama besar,
yang tidak sedikit jumlahnya, baik di bidang tafsir, hadits, fiqih,
ilmu kalam, filsafat, tasawuf, sejarah maupun bidang
pengetahuan lainnya. Berdasarkan bukti histories ini
menggambarka bahwa periwayatan dan perkembangan
pengetahuan hadits berjalan seiirng dengan perkembangan
pengetahuan lainnya.

Menatap prespektif keilmuan hadist, sungguh pun ajaran hadist


telah ikut mendorong kemajuan umat Islam. Sebab hadits Nabi,
sebagaimana halnya Al-Qur’an telah memerintahkan orang-
orang beriman menuntut pengetahuan. Dengan demikian
prespektif keilmuan hadits, justru menyebabkan kemajuan
umat Islam. Bahkan suatu kenyataan yang tidak boleh luput
dari perhatian, adalah sebab-sebab dimana al-Qur’an
diturunkan. Dalam dunia pengetahuan tentang agama Islam,
sebenarnya benih metode sosio-historis telah ada
pengikutsertaan pengetahuan asbab al nuul (sebab-sebab
wahyu diturunakan) untuk memahami al-Qur’an, dan asbab al-
wurud (sebab-sebab hadits diucapkan) untuk memahami al-
Sunnah.

Meskipun asbab al-Nuzul dan asbab al –Wurud terbatas pada


peristiwa dan pertanyaan yang mendahului nuzul (turun) Al-
Qur’an dan wurud (disampaikannya) hadits, tetapi
kenyataannya justru tercipta suasana keilmuan pada hadits
Nabi SAW. Tak heran jika pada saat ini muncul berbagai ilmu
hadits serta cabang-cabangnya untuk memahami hadits Nabi,
sehingga As-Sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua
dapat dipahami serta diamalkan oleh umat Islam sesuai dengan
yang dimaksudkan oleh Rasulullah.

B. TUJUAN PEMBAHASAN
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah:
1. mengetahui definisi Hadits
2. mengetahui macam-macam hadits serta penjelasannya
3. mengetahui kegunaan mempelajari ilmu-ilmu hadits

C. RUMUSAN MASALAH
Adapun batasan-batasan masalah atau batasan pembahasan
makalah ini adalah:
1. Apa definisi ilmu hadits?
2. Apa saja pembagian hadits itu?
3. Apa saja kegunaan mempelajari ilmu hadits

BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Hadits
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan
ketetapan dan persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang
dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam. Hadits
dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain Al-Qur'an,
Ijma dan Qiyas, dimana dalam hal ini, kedudukan hadits
merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur'an.
Ada banyak ulama periwayat hadits, namun yang sering
dijadikan referensi hadits-haditsnya ada tujuh ulama, yakni
Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi,
Imam Ahmad, Imam Nasa'i, dan Imam Ibnu Majah.

2. Pembagian Hadits Secara Umum


Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat
diyakini kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut
tidaklah mudah karena hadits yang ada sangatlah banyak dan
sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.

A. DARI SEGI JUMLAH PERIWAYATNYA


Hadits ditinjau dari segi jumlah rawi atau banyak sedikitnya
perawi yang menjadi sumber berita, maka dalam hal ini pada
garis besarnya hadits dibagi menjadi dua macam, yakni hadits
mutawatir dan hadits ahad.

1. Hadits Mutawatir

a. Ta'rif Hadits Mutawatir


Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti
beriring-iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang
lain.

Sedangkan menurut istilah ialah:


"Suatu hasil hadist tanggapan pancaindera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut
kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta."

Artinya:

"Hadits mutawatir ialah suatu (hadits) yang diriwayatkan sejumlah rawi yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat berbuat dusta, hal tersebut seimbang dari permulaan sanad hingga akhirnya, tidak
terdapat kejanggalan jumlah pada setiap tingkatan."

Tidak dapat dikategorikan dalam hadits mutawatir, yaitu


segala berita yang diriwayatkan dengan tidak bersandar pada
pancaindera, seperti meriwayatkan tentang sifat-sifat manusia,
baik yang terpuji maupun yang tercela, juga segala berita yang
diriwayatkan oleh orang banyak, tetapi mereka berkumpul
untuk bersepakat mengadakan berita-berita secara dusta.

Hadits yang dapat dijadikan pegangan dasar hukum suatu


perbuatan haruslah diyakini kebenarannya. Karena kita tidak
mendengar hadist itu langsung dari Nabi Muhammad SAW,
maka jalan penyampaian hadits itu atau orang-orang yang
menyampaikan hadits itu harus dapat memberikan keyakinan
tentang kebenaran hadits tersebut. Dalam sejarah para perawi
diketahui bagaimana cara perawi menerima dan
menyampaikan hadits. Ada yang melihat atau mendengar, ada
pula yang dengan tidak melalui perantaraan pancaindera,
misalnya dengan lafaz diberitakan dan sebagainya. Disamping
itu, dapat diketahui pula banyak atau sedikitnya orang yang
meriwayatkan hadits itu.
Apabila jumlah yang meriwayatkan demikian banyak yang
secara mudah dapat diketahui bahwa sekian banyak perawi itu
tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, maka penyampaian
itu adalah secara mutawatir.

b. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir


Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah
memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut
harus berdasarkan tanggapan (daya tangkap) pancaindera.
Artinya bahwa berita yang disampaikan itu benar-benar
merupakan hasil pemikiran semata atau rangkuman dari
peristiwa-peristiwa yang lain dan yang semacamnya,
dalam arti tidak merupakan hasil tanggapan pancaindera
(tidak didengar atau dilihat) sendiri oleh pemberitanya,
maka tidak dapat disebut hadits mutawatir walaupun rawi
yang memberikan itu mencapai jumlah yang banyak.
2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang
menurut adat mustahil mereka untuk berdusta. Dalam hal
ini para ulama berbeda pendapat tentang batasan jumlah
untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta.
 Abu Thayib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang. Hal
tersebut diqiyaskan dengan jumlah saksi yang diperlukan
oleh hakim.
 Ashabus Syafi'i menentukan minimal 5 orang. Hal tersebut
diqiyaskan dengan jumlah para Nabi yang mendapatkan
gelar Ulul Azmi.
 Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20
orang. Hal tersebut berdasarkan ketentuan yang telah
difirmankan Allah tentang orang-orang mukmin yang
tahan uji, yang dapat mengalahkan orang-orang kafir
sejumlah 200 orang (lihat surat Al-Anfal ayat 65).
 Ulama yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-
kurangnya 40 orang. Hal tersebut diqiyaskan dengan
firman Allah:
"Wahai nabi cukuplah Allah dan orang-orang yang mengikutimu (menjadi penolongmu)." (QS. Al-Anfal:
64).

3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat


(lapisan/tingkatan) pertama maupun thabaqat berikutnya. Hadits
mutawatir yang memenuhi syarat-syarat seperti ini tidak banyak
jumlahnya, bahkan Ibnu Hibban dan Al-Hazimi menyatakan bahwa
hadits mutawatir tidak mungkin terdapat karena persyaratan yang
demikian ketatnya. Sedangkan Ibnu Salah berpendapat bahwa
mutawatir itu memang ada, tetapi jumlahnya hanya sedikit.

Ibnu Hajar Al-Asqalani berpendapat bahwa pendapat tersebut di atas


tidak benar. Ibnu Hajar mengemukakan bahwa mereka kurang
menelaah jalan-jalan hadits, kelakuan dan sifat-sifat perawi yang dapat
memustahilkan hadits mutawatir itu banyak jumlahnya sebagaimana
dikemukakan dalam kitab-kitab yang masyhur bahkan ada beberapa
kitab yang khusus menghimpun hadits-hadits mutawatir, seperti Al-
Azharu al-Mutanatsirah fi al-Akhabri al-Mutawatirah, susunan Imam As-
Suyuti(911 H), Nadmu al-Mutasir Mina al-Haditsi al-Mutawatir, susunan
Muhammad Abdullah bin Jafar Al-Khattani (1345 H).

2. Hadist Ahad

a. Pengertian hadist ahad


Menurut Istilah ahli hadist, tarif hadist ahad antara lain adalah:

Artinya:
"Suatu hadist (khabar) yang jumlah pemberitaannya tidak mencapai
jumlah pemberita hadist mutawatir; baik pemberita itu seorang. dua
orang, tiga orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi
jumlah tersebut tidak memberi pengertian bahwa hadist tersebut
masuk ke dalam hadist mutawatir: "

Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut:

Artinya:
"Suatu hadist yang padanya tidak terkumpul syara-syarat mutawatir."

b. Faedah hadist ahad


Para ulama sependapat bahwa hadist ahad tidak Qat'i, sebagaimana hadist
mutawatir. Hadist ahad hanya memfaedahkan zan, oleh karena itu masih perlu
diadakan penyelidikan sehingga dapat diketahui maqbul dan mardudnya. Dan
kalau temyata telah diketahui bahwa, hadist tersebut tidak tertolak, dalam arti
maqbul, maka mereka sepakat bahwa hadist tersebut wajib untuk diamalkan
sebagaimana hadist mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam
berhujjah dengan suatu hadist, ialah memeriksa "Apakah hadist tersebut maqbul
atau mardud". Kalau maqbul, boleh kita berhujjah dengannya. Kalau mardud, kita
tidak dapat iktiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.

Kemudian apabila telah nyata bahwa hadist itu (sahih, atau hasan), hendaklah kita
periksa apakah ada muaridnya yang berlawanan dengan maknanya. Jika terlepas
dari perlawanan maka hadist itu kita sebut muhkam. Jika ada, kita kumpulkan
antara keduanya, atau kita takwilkan salah satunya supaya tidak bertentangan
lagi maknanya. Kalau tak mungkin dikumpulkan, tapi diketahui mana yang
terkemudian, maka yang terdahulu kita tinggalkan, kita pandang mansukh, yang
terkemudian kita ambil, kita pandang nasikh.

Jika kita tidak mengetahui sejarahnya, kita usahakan menarjihkan salah satunya.
Kita ambil yang rajih, kita tinggalkan yang marjuh. Jika tak dapat ditarjihkan salah
satunya, bertawaqquflah kita dahulu.

Walhasil, barulah dapat kita dapat berhujjah dengan suatu hadist, sesudah nyata
sahih atau hasannya, baik ia muhkam, atau mukhtakif adalah jika dia tidak marjuh
dan tidak mansukh.

B. DARI SEGI KUALITAS SANAD DAN MATAN HADIST

Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu hadist bergantung kepada tiga hal,
yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas) rawi, dan keadaan matan. Ketiga hal
tersebut menetukan tinggi-rendahnya suatu hadist. Bila dua buah hadist
menentukan keadaan rawi dan keadaan matan yang sama, maka hadist yang
diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya dari hadist yang
diriwayatkan oleh satu orang rawi; dan hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang
rawi lebih tinggi tingkatannya daripada hadist yang diriwayatkan oleh dua orang
rawi.

Jika dua buah hadist memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama,
maka hadis tyang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya, lebih tinggi
tingkatannya daripada hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah
tingkatannya, dan hadist yang diriwayatkan oleh rawi yang jujur lebih tinggi
tingkatannya daripada hadist yang diriwayatkan oleh rawi pendusta.

Artinya :
"Dan Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon tobat kepada kami) pada waktu
yang telah kami tentukan."

Pendapat lain membatasi jumlah mereka empat pulu orang, bahkan ada yang membatasi cukup dengan
empat orang pertimbangan bahwa saksi zina itu ada empat orang.

Kata - kata

(dari sejumlah rawi yng semisal dan seterusnya sampai akhir sanad) mengecualikan hadist ahad yang
pada sebagian tingkatannya terkadang diriwayatkan oleh sejumlah rawi mutawatir.

Contoh hadist :
Artinya :
"Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya."

Awal hadist tersebut adalah ahad, namun pada pertengahan sanadnya menjadi mutawatir. Maka hadist
yang demikian bukan termsuk hadist mutawatir.

Kata -kata

(dan sandaran mereka adalah pancaindera)

seperti sikap dan perkataan beliau yang dapat dilihat atau didengar sabdanya.
Misalnya para sahabat menyatakan; "kami melihat Nabi SAW berbuat begini".
Dengan demikian mengecualikan masalah-masalah keyakinan yang disandarkan
pada akal, seperti pernyataan tentang keesaan firman Allah dan mengecualikan
pernyataan-pernyataan rasional murni, seperti pernyataan bahwa satu itu
separuhnya dua. Hal ini dikarenakan bahwa yang menjadi pertimbangan adalah
akal bukan berita.

Bila dua hadist memiliki rawi yang sama keadaan dan jumlahnya, maka hadist
yang matannya seiring atau tidak bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran, lebih
tinggi tingkatannya dari hadist yang matannya buruk atau bertentangan dengan
ayat-ayat Al-quran. Tingkatan{martabat) hadist ialah taraf kepastian atau taraf
dugaan tentang benar atau palsunya hadist berasal dari Rasulullah.

Hadist yang tinggi tingkatannya berarti hadist yang tinggi taraf kepastiannya atau
tinggi taraf dugaan tentang benarnya hadist itu berasal Rasulullah SAW. Hadist
yang rendah tingkatannya berarti hadist yang rehdah taraf kepastiannya atau
taraf dugaan tentang benarnya ia berasal dari Rasulullah SAW. Tinggi rendahnya
tingkatan suatu hadist menentukan tinggi rendahnya kedudukan hadist sebagai
sumber hukum atau sumber Islam.

Para ulama membagi hadist ahad dalam tiga tingkatan, yaitu hadist sahih, hadist
hasan, dan hadist daif. Pada umumnya para ulama tidak mengemukakan, jumlah
rawi, keadaan rawi, dan keadaan matan dalam menentukan pembagian hadist-
hadist tersebut menjadi hadist sahih, hasan, dan daif.

1. Hadist Shahih

Hadist sahih menurut bahasa berarti hadist yng bersih dari cacat, hadist yng benar berasal dari
Rasulullah SAW. Batasan hadist sahih, yang diberikan oleh ulama, antara lain :

Artinya :
"Hadist sahih adalah hadist yng susunan lafadnya tidak cacat dan maknanya tidak menyalahi ayat (al-
Quran), hdis mutawatir, atau ijimak serta para rawinya adil dan dabit."

Keterangan lebih luas mengenai hadist sahih diuraikan pada bab tersendiri.

2. Hadist Hasan

Menurut bahasa, hasan berarti bagus atau baik. Menurut Imam Turmuzi hasis hasan adalah :
Artinya :"yang kami sebut hadist hasan dalam kitab kami adalah hadist yng sannadnya baik menurut
kami, yaitu setiap hadist yang diriwayatkan melalui sanad di dalamnya tidak terdapat rawi yang
dicurigai berdusta, matan hadistnya, tidak janggal diriwayatkan melalui sanad yang lain pula yang
sederajat. Hadist yang demikian kami sebut hadist hasan."

3. Hadist Daif

Hadist daif menurut bahasa berarti hadist yang lemah, yakni para ulama memiliki dugaan yang lemah
(keci atau rendah) tentang benarnya hadist itu berasal dari Rasulullah SAW.

Para ulama memberi batasan bagi hadist daif :

Artinya :
"Hadist daif adalah hadist yang tidak menghimpun sifat-sifat hadist sahih, dan juga tidak menghimpun
sifat-sifat hadist hasan."

Jadi hadist daif itu bukan saja tidak memenuhi syarat-syarat hadist sahih, melainkan juga tidak
memenuhi syarat-syarat hadist hasan. Pada hadist daif itu terdapat hal-hal yang menyebabkan lebih
besarnya dugaan untuk menetapkan hadist tersebut bukan berasal dari Rasulullah SAW.
C. DARI SEGI KEDUDUKAN DALAM HUJJAH

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa suatu hadist perlu dilakukan pemeriksaan, penyelidikan dan
pemhahasan yang sek sama khususnya hadist ahad, karena hadist tersebut tidak mencapai derajat
mutawatir. Memang berbeda dengan hadist mutawatir yang memfaedahkan ilmu darury, yaitu suatu
keharusan menerima secara bulat. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, hadist ahad ahad ditinjau
dari segi dapat diterima atau tidaknya terbagi menjadi 2 (dua) macam yaitu hadis maqbul dan hadis
mardud.

a. Hadist Maqbul

Maqbul menurut bahasa berarti yang diambil, yang diterima, yang dibenarkan. Sedangkan menurut urf
Muhaditsin hadist Maqbul ialah:

Artinya :
"Hadist yang menunjuki suatu keterangan bahwa Nabi Muhammad SAW menyabdakannya."

Jumhur ulama berpendapat bahwa hadist maqbul ini wajib diterima. Sedangkan yang temasuk dalam
kategori hadist maqbul adalah:

* Hadist sahih, baik yang lizatihu maupun yang ligairihi.

* Hadist hasan baik yang lizatihi maupun yang ligairihi.

Kedua macam hadist tersebut di atas adalah hadist-hadist maqbul yang wajib diterima, namun demikian
para muhaddisin dan juga ulama yang lain sependapat bahwa tidak semua hadist yang maqbul itu harus
diamalkan, mengingat dalam kenyataan terdapat hadist-hadist yang telah dihapuskan hukumnya
disebabkan datangnya hukum atau ketentuan barn yangjugaditetapkan oleh hadist Rasulullah SAW.

Adapun hadist maqbul yang datang kemudian (yang menghapuskan)disebut dengan hadist nasikh,
sedangkan yang datang terdahulu (yang dihapus) disebut dengan hadis mansukh. Disamping itu,
terdapat pula hadist-hadist maqbul yang maknanya berlawanan antara satu dengan yang lainnya yang
lebih rajih (lebih kuat periwayatannya). Dalam hal ini hadist yang kuat disebut dengan hadist rajih,
sedangkan yang lemah disebut dengan hadist marjuh.

Apabila ditinjau dari segi kemakmurannya, maka hadist maqbul dapat dibagi menjadi 2 (dua) yakni
hadist maqbulun bihi dan hadist gairu ma'mulin bihi.

1. Hadist maqmulun bihi

Hadist maqmulun bihi adalah hadist yang dapat diamalkan apabila yang termasuk hadist ini ialah:

 Hadist muhkam, yaitu hadist yang tidak mempunyai perlawanan

 Hadist mukhtalif, yaitu dua hadist yang pada lahimya saling berlawanan yang mungkin
dikompromikan dengan mudah

 Hadist nasih

 Hadist rajih.

2. Hadist gairo makmulinbihi

Hadist gairu makmulinbihi ialah hadist maqbul yang tidak dapat diamalkan. Di antara hadist-hadist
maqbul yang tidak dapat diamalkan ialah:

 Hadist mutawaqaf, yaitu hadist muthalif yang tidak dapat dikompromikan, tidak dapat
ditansihkan dan tidak pula dapat ditarjihkan

 Hadist mansuh

 Hadist marjuh.

 Hadist Mardud

Mardud menurut bahasa berarti yang ditolak; yang tidak diterima. Sedangkan menurut urf Muhaddisin,
hadist mardud ialah :

Artinya :

"Hadist yang tidak menunjuki keterangan yang kuat akan adanya dan tidak menunjuki keterangan yang
kuat atas ketidakadaannya, tetapi adanya dengan ketidakadaannya bersamaan."

Ada juga yang menarifkan hadist mardud adalah:

Artinya :

"Hadist yang tidak terdapat di dalamnya sifat hadist Maqbun."

Sebagaimana telah diterangkan di atas bahwa jumhur ulama mewajibkan untuk menerima hadist-hadist
maqbul, maka sebaliknya setiap hadist yang mardud tidak boleh diterima dan tidak boleh diamalkan
(harus ditolak).

Jadi, hadist mardud adalah semua hadist yang telah dihukumi daif.

D. DARI SEGI PERKEMBANGAN SANADNYA

1. Hadist Muttasil

Hadist muttasil disebut juga Hadist Mausul.

Artinya :
"Hadist muttasil adalah hadist yang didengar oleh masing-masing rawinya dari rawi yang di atasnya
sampai kepada ujung sanadnya, baik hadist marfu' maupun hadist mauquf."

Kata-kata "hadist yang didengar olehnya" mencakup pula hadist-hadist yang diriwayatkan melalui cara
lain yang telah diakui, seperti Al-Arz, Al-Mukatabah, dan Al-Ijasah, Al-Sahihah. Dalam definisi di atas
digunakan kata-kata "yang didengar" karena cara penerimaan demikian ialah cara periwayatan yang
paling banyak ditempuh. Mereka menjelaskan, sehubungan dengan hadist Mu 'an 'an, bahwa para
ulama Mutaakhirin menggunakan kata 'an dalam menyampaikan hadist yang diterima melalui Al-Ijasah
dan yang demikian tidaklah menafikan hadist yang bersangkutan dari batas Hadis Muttasil.

Contoh Hadist Muttasil Marfu' adalah hadist yang diriwayatkan oleh Malik; dari Nafi' dari Abdullah bin
Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda:

Artinya :
"Orang yang tidak mengerjakan shalat Asar seakan-akan menimpakan bencana kepada keluarga dan
hartanya"

Contoh hadist mutasil maukuf adalah hadist yang diriwayatkan oleh Malik dari Nafi' bahwa ia
mendengar Abdullah bin Umar berkata:

Artinya :
"Barang siapa yang mengutangi orang lain maka tidak boleh menentukan syarat lain kecuali keharusan
membayarnya."

Masing-masing hadist di atas adalah muttasil atau mausul, karena masing-masing rawinya
mendengarnya dari periwayat di atasnya, dari awal sampai akhir.

Adapun hadist Maqtu yakni hadist yang disandarkan kepada tabi'in, bila sanadnya bersambung. Tidak
diperselisihkan bahwa hadist maqtu termasuk jenist Hadist muttasil; tetapi jumhur mudaddisin berkata,
"Hadist maqtu tidak dapat disebut hadist mausul atau muttasil secara mutlak, melainkan hendaknya
disertai kata-kata yang membedakannya dengan Hadist mausul sebelumnya. Oleh karena itu, mestinya
dikatakan "Hadist ini bersambung sampai kepada Sayid bin Al-Musayyab dan sebagainya ". Sebagian
ulama membolehkan penyebutan hadist maqtu sebagai hadist mausul atau muttasil secara mutlak tanpa
batasan, diikutkan kepada kedua hadist mausul di atas. Seakan-akan pendapat yang dikemukakan
jumhur, yaitu hadist yang berpangkal pada tabi'in dinamai hadis maqtu. Secara etimologis hadist maqtu'
adalah lawan Hadist mausul. Oleh karena itu, mereka membedakannya dengan menyadarkannya
kepada tabi'in.

2. Hadist Munqati'

Kata Al-Inqita' (terputus) berasal dari kata Al-Qat (pemotongan) yang menurut bahasa berarti
memisahkan sesuatu dari yang lain. Dan kata inqita' merupakan akibatnya, yakni terputus. Kata inqita'
adalah lawan kata ittisal (bersambung) dan Al-Wasl. Yang dimaksud di sini adalah gugurnya sebagaian
rawi pada rangkaian sanad. Para ulama berbeda pendapat dalam memahami istilah ini dengan
perbedaan yang tajam. Menurut kami, hal ini dikarenakan berkembangnya pemakaian istilah tersebut
dari masa ulama mutaqaddimin sampai masa ulama mutaakhirin.

Definisi Munqati' yang paling utama adalah definisi yang dikemukakan oleh Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr,
yakni:

Artinya :
"Hadist Munqati adalah setiap hadist yang tidak bersambung sanadnya, baik yang disandarkan kepada
Nabi SAW, maupun disandarkan kepada yang lain."

Hadist yang tidak bersambung sanadnya adalah hadist yang pada sanadnya gugur seorang atau
beberapa orang rawi pada tingkatan (tabaqat) mana pun. Sehubungan dengan itu, penyusun Al-
Manzhumah Al-Baiquniyyah mengatakan:
Artinya :
Setiap hadist yang tidak bersambung sanadnya bagaimanapun keadannya adalah termasuk Hadist
Munqati' (terputus) persambungannya."

Demikianlah para ulama Mutaqaddimin mengklasifikasikan hadist, An-Nawawi berkata, "Klasifikasi


tersebut adalah sahih dan dipilih oleh para fuqaha, Al-Khatib, Ibnu Abdil Barr, dan Muhaddis lainnya".
Dengan demikian, hadist munqati' merupakan suatu judul yang umum yangmencakup segala macam
hadist yang terputus sanadnya.

Adapun ahli hadist Mutaakhirin menjadikan istilah tersebut sebagai berikut:

Artinya :
"Hadist Munqati adalah hadist yang gugur salah seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat atau
beberapa tempat, dengan catatan bahwa rawi yang gugur pada setiap tempat tidak lebih dari seorang
dan tidak terjadi pada awal sanad."

Definisi ini menjadikan hadist munqati' berbeda dengan hadist-hadist yang terputus sanadnya yang lain.
Dengan ketentuan "Salah seorang rawinya" defnisi ini tidak mencakup hadist mu'dal; dengan kata-kata,
"Sebelum sahabat" definisi ini tidak mencakup hadist mursal; dan dengan penjelasan kata-kata "Tidak
pada awal sanad" definisi ini tidak mencakup hadist muallaq.
3. FUNGSI HADITS TERHADAP AL-QUR’AN

Al-Quran menekankan bahwa Rasul SAW. berfungsi menjelaskan maksud firman- firman Allah (QS
16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk
dan sifat serta fungsinya.

Al-qur`an dan hadist merupakan dua sumber yang tidak bisa dipisahkan.

Keterkaitan keduanya tampak antara lain:

1. Hadist menguatkan hukum yang ditetapkan Al-qur`an. Di sini hadits berfungsi memperkuat dan
memperkokoh hukum yang dinyatakan oleh Al-quran. Misalnya, Al- quran menetapkan hukum puasa,
dalam firman-Nya :

Hai orang–orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana

diwajibkan atas orang–orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” . (Q.S Al

Baqarah/2:183 )

Dan hadits menguatkan kewajiban puasa tersebut:

Islam didirikan atas lima perkara : “persaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah , dan Muhammad
adalah rasulullah, mendirikan shalat , membayar zakat , puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke
baitullah.” (H.R Bukhari dan Muslim)

2. Hadits memberikan rincian terhadap pernyataan Al qur`an yang masih bersifat global.

Misalnya Al-qur`an menyatakan perintah shalat :

“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan bayarkanlah zakat” (Q.S Al Baqarah / 2:110) shalat dalam ayat
diatas masih bersifat umum, lalu hadits merincinya, misalnya shalat yang wajib dan sunat. sabda
Rasulullah SAW:
Dari Thalhah bin Ubaidillah : bahwasannya telah datang seorang Arab Badui kepada Rasulullah SAW. dan
berkata : “Wahai Rasulullah beritahukan kepadaku salat apa yang difardukan untukku?” Rasul berkata :
“Salat lima waktu, yang lainnya adalah sunnat” (HR.Bukhari dan Muslim)

Al-qur`an tidak menjelaskan operasional shalat secara rinci, baik bacaan maupun gerakannya. Hal ini
dijelaskan secara terperinci oleh Hadits, misalnya sabda Rasulullah SAW:“Shalatlah kamu sekalian
sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari)

3. Hadits membatasi kemutlakan ayat Al qur`an .Misalnya Al qur`an mensyariatkan

wasiat:

“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan tanda–tanda maut dan dia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu dan bapak karib kerabatnya secara makruf. Ini
adalah kewajiban atas orang–orang yang bertakwa,” (Q.S Al Baqarah/2:180)

Hadits memberikan batas maksimal pemberian harta melalui wasiat yaitu tidak melampaui sepertiga
dari harta yang ditinggalkan (harta warisan). Hal ini disampaikan Rasul dalam hadist yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari Sa`ad bin Abi Waqash yang bertanya kepada Rasulullah tentang jumlah
pemberian harta melalui wasiat. Rasulullah melarang memberikan seluruhnya, atau setengah. Beliau
menyetujui memberikan sepertiga dari jumlah harta yang ditinggalkan.

4. Hadits memberikan pengecualian terhadap pernyataan Al Qur`an yang bersifat

umum. Misalnya Al-qur`an mengharamkan memakan bangkai dan darah:


“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain
Allah , yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang buas kecuali yang
sempat kamu menyembelihnya , dan yang disembelih untuk berhala. Dan diharamkan pula bagimu
mengundi nasib dengan anak panah, karena itu sebagai kefasikan. (Q.S Al Maidah /5:3)

Hadits memberikan pengecualian dengan membolehkan memakan jenis bangkai tertentu (bangkai ikan
dan belalang ) dan darah tertentu (hati dan limpa) sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Dari Ibnu Umar ra.Rasulullah saw bersabda : ”Dihalalkan kepada kita dua bangkai dan dua darah .
Adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang dan dua darah adalah hati dan limpa.”(HR.Ahmad,
Syafii`,Ibn Majah ,Baihaqi dan Daruqutni)

5. Hadits menetapkan hukum baru yang tidak ditetapkan oleh Al-qur`an. Al-qur`an bersifat global,
banyak hal yang hukumnya tidak ditetapkan secara pasti .Dalam hal ini, hadits berperan menetapkan
hukum yang belum ditetapkan oleh Al-qur`an, misalnya hadits dibawah ini:

Rasulullah melarang semua binatang yang bertaring dan semua burung yang

bercakar (HR. Muslim dari Ibn Abbas)

‘Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha
menulis bahwa Sunnah atau Hadits mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi
sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i dalam Al-
Risalah, ‘Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah
yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan
bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di
dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari
ayat-ayat Al-Quran.

Demikian Tentang Makalah Ilmu Hadist, Pengertian, Pembagian, dan Fungsi Hadist.

Anda mungkin juga menyukai