Anda di halaman 1dari 17

Perbedaan Hadits Nabi dari Segi Kuantitas Sanadnya

Iffa Nur Faizzah


C96219043

Pengertian hadith menurut bahasa yang memiliki makna baru. Hadith secara
bahasa bisa diartikan sesuatu yang dibicarakan atau dikutip kembali. Atau dapat
juga diartikan sesuatu yang sedikit atau yang banyak. Bentuk jamak dari al-Hadith
adalah ahadits. Pengertian hadith menurut ahli hadith ialah segala sesuatu yang
disandarkan kepada nabi Muhammad baik berupa perkataan, perbuatan, ketentuan,
sifat maupun sirah beliau baik sebelum maupun sesudah kenabian. Sedangkan
hadith menurut para ahli fikih, hadith merupakan perbuatan, perkataan, ataupun
penetapan yang disandarkan kepada nabi Muhammad setelah kenabiannya1.

Al-Hadith merupakan sumber ajaran islam yang ke dua setelah al-Qur’an,


hadith menduduki posisi yang sangat strategis dan sangat penting dalam sebuah
kajian keislaman. Sehingga keberadaan dan kedudukan al-hadith di sumber ajaran
islam tidak dapat dirauan lagi. Namun pembukun hadith baru di lakukan ratusan
tahun setelah kematian nabi Muhammad. Namun dalam kenyataan sejarah bahwa
banyak hadith yang telah di palsukan, maka dari itu keabsahan hadith-hadith yang
beredar di kalangan masyarakat muslimin masih diperdebatkan oleh para ahli
hadith. Namun hadith mempunyai keunikan yang tidak di miliki oleh sumber ajaran
lain, termasuk al-Qur’an. Al-Hadith memiliki sistem transmisi yang dapat
menhubungkan antara rasulullah yang berperan sebagai sumber informasi oleh
generasi penerusnya sampai informasi tersebut di kumpulkan dan di bukukan oleh
para Mukharij al-Hadith. 2

Setiap hadith memiliki dua bagian, yaitu teks hadith itu sendiri atau yang
disebut dengan matan dan mata rantai para periwayat hadith yang menyampaikan
matan hadith atau disebut sanad (isnad). Munculnya beberapa hadith yang sangat
banyak pada masa itu, sehingga para ulama pun mempunyai inisiatif untuk

1
Syaikh `Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits (Jakarta: Pustaka al-kautsar), 22
2
Muhammad ali, “Sejarah dan Kedudukan Sanad dalam Hadis Nabi”, Tahdis (Vol.7, No.1, 2016),
51

1
mengumpulkan, menata dan menyaring dengan melakukan sebuah perjalanan yang
disertai penelitian dengan menjelajah seluruh dunia islam pada masa itu. Setelah itu
sejumlah ulama yang melakuak perjalanan tersebut menemukan beberapa koleksi
hadith. Dan pada masa itu pula munculah sebuah pengelompokan hadith untuk
melakukan penyaringan. Dalam sebuah sejarah memang banyak orang atau sebuah
kelompok tertentu yang mencari-cari hadith untuk memperkokoh kedudukan atau
pendapatnya, sehingga diada-adakan hadith. Oleh karena itu muncullah sebuah
pengertian hadith shahih, yang memang asli berasal dari nabi Muhammad dan
munculah sebuah pengertian hadith mawdu’, yang pada hakikatnya tidak berasal
dari nabi Muhammad yang berarti karang dari orang lain selain nabi Muhammad.
Kemudian hadith sahih dibagi berdasarkan sanad atau periwayatnya ke dalam
hadith mutawatir, mashhur, dan ahad3.

A. Klasifikasi Hadith nabi dari Segi Kuantitas Sanad


Pengelompokan hadith dilihat dari banyak sedikitnya periwayat atau mayoritas
dari para ulama hadith yang disebut juga jumhur, dibagi menjadi 2 diantaranya
mutawatir dan ahad. Kemudian hadith ahad dibagi lagi menjadi 3 diantaranya
mashhur, ‘aziz dan gharib. Namun sebagaian besar dari para ulama ahli usul dan
ahli fikih beranggapan bahwa hadith dibagi menjadi 3 diantaranya mutawatir,
mashhur (mustafid), dan ahad. Sedangkan pengelompokan hadith dari segi
kuantitas sanadnya terbagi menjadi 4 tingkatan diantaranya mutawatir, mashhur
(mustafid), ahad (khassah) dan hadith yang terputus4. Pengelompokan hadith dari
segi kuantitas sanadnya sebagai berikut.
1. Hadith Mutawatir

Tidak ada kesepakatan diantara para ulama sacara lengkap menurut para ulama
tidak ada perbedaan yang signifikan mengenai konsep hadith mutawatir.
Kesepakatan yang dimaksud disini ialah mengenai mulai dari batsan jumlah
riwayat, definisi, menentukan keberadaannya (ada atau tidaknya), sampai dengan
pengelompokan atau pengkategorian yang mengakibatkan perbedaan dalam ke
hujjahan hadith. Namun dengan kehujjahan hadith mutawatir ini mengakibatkan

3
Toton Witono, Klasifikasi Kuantitas Sanad (Hadits Ahad dan Mutawatir), Academia (2001), 1
4
Ibid, 2

2
semua golongan umat islam untuk menyepakati dan menggunakan sebagai sumber
hukum5.

Pengertian mutawatir secara bahasa, kata mutawatir ialah isim fa’il yang
memiliki kata dasar (masdar) tawatur yang memiliki makna terus menerus atau
berkelanjutan. Secara istilah hadith mutawatir diriwayatkan oleh beberapa sahabat
nabi bahwa mereka beranggapan bahwa yang menurut akal sehat dan adat atau
kebiasaan yang tidak mungkin mereka sepakati untuk berdusta. Kemudian dari
beberapa sahabat di riwayatkan kembali oleh para tabi’in dan penerus selanjutnya
dalam jumlah yang sama rata6. Menurut Nur hadith mutawatir ialah hadith yang di
riwayatkan oleh banyak orang yang terhindar dari kesepakatan mereka untuk
berdusta mulai dari awal sanad hingga akhir sanad yang berdasarkan dengan panca
indera. Menurut Habsy As-Sidiqie yang menyatakan bahwa hadith mutawatir ialah
hadith yang diriwayatkan berlandaskan penelitian panca indera beberapa orang
menurut adat dan kebiasaan untuk melalukan berdusta7.

Namun definisi hadith mutawatir pertama kali disampaikan oleh al-Baghdadi


bahwa suatu hadith yang diriwayatkan oleh sekeompok orang dengan jumlah yang
tertentu menurut kebiasaan yang mustahil untuk mendustakan kesaksiannya.
Sementara itu Ibn Salah memberikan keterangan yang lebih lengkap dari al-
Baghdadi bahwa mutawatir ialah segaala suatu ungkapan tentang berita yang
diriwayatkan oleh orang yang mendapatkan ilmu, yang kebenarannya sudah dapat
dipertanggungjawabkan dan sanadnya yang tetap memenuhi syarat tersebut dari
awal sanad sampai akhir sanad8.

Menurut Mustofa Hasan hadith mutawatir dinyatakan sesuai dengan kemutawatiran


apabila memenuhi syarat sebagai berikut, diantaranya9:

a) Diriwayatkan oleh perawi yang banyak

Hadith mutawatir harus diriwayatkan oleh perawi yang banyak dikarenakan


merka ditugaskan untuk meyakinkan bahwa mereka bukanlah seorang pendusta.

5
Ibid, 3
6
Idri, Arif Jamaludin Malik, dkk, studi islam (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2018), 147-148
7
Nur Jannah, Hadits dari Aspek Kuantitas I, 2
8
Toton witono, “Klasifikasi Kuantitas Hadits (Hadits Ahad dan Mutawatir)”, Academia (2001), 3
9
Faslul Rahman, “Hadis Mutawatir dan Ahad”, Academia

3
Mengenai masalah jumlah perawinya dalam hal ini para ulama masih
memperdebatkan ada yang sudah menetapkan jumlah perawi yang tertentu ada juga
yang tidak menggunakan hal tersebut. Menurut para ulama yang tidak
menggunakan jumlah perawi mereka menegaskan yang terpenting dengan jumlah
tersebut, dan menurut adat mereka dapat memberikan keyakinan bahwa yang
mereka berikan itu benar dan tidak mungkin mereka akan berdusta. Sedangkan
menurut para ulama yang menggunkan jumlah perawi tertentu, mereka pun masih
memperdebadkan dalam jumlah perawinya. Al-Qodi al-Baqillani mengatakan
bahwa sekurang-kurangnya jumlah perawi ialah 5 orang perawi, beliau
menyamakan dengan jumlah nabi yang mendapatkan gelar Ulul Azmi. Adapun
disisi lain Astikhary juga menyatakan bahwa yang paling baik minimal 10 orang
perawi, beliau berargumen bahwa angka 10 merupakan permulaan dari bilangan
banyak10. Namun beberapa dari ulama juga berpendapat menetapkan jumlah perawi
sekurang-kurangnya ialah 20 orang perawi sesuai dengan firman Allah dalam surah
al-Anfal ayat 65:

Yang artinya” jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”.11

Ayat diatas menjelaskan bahwa hanya dengan 20 orang yang memiliki daya tahan
uji akan dapat mengalahkan 200 orang kafir.

Namun menurut hadith riwayat al-Thabrany dan Ibn ‘abbas mereka mengatakan
bahwa telah masuk islam bersama nabi Muhammad sebanyak 33 orang laki-laki
dan 6 orang perempuan, kemudian Umar bin Khattab masuk islam, sehingga jadilah
40 orang islam". Bahkan ada pula yang meriwayatkan bahwa jumlah perawi hadith
mutawatir ialah 70 orang perawi.

Menurut Mudassir dan Faturrahman yang mengatakan bahwa penentuan jumlah


perawi yang telah disebutkan diatas, tidaklah menjadi sebuah pondasi, sebab
persoalan yang menjadi pokok ukuran tidak hanya terbatas pada jumlah perawi
namun juga diukur dengan tercapainya ilmu daruri. Meskipun perawinya tidak
banyak yakni minimal 5 orang perawi asalkan dapat memberikan keyakinan bahwa

10
Ibid
11
Q.S. al-Anfal:65

4
berita yang mereka peroleh bukanlah berita bohon melain berita yang fakta, sudah
dapat dikategorikan sebagai hadith yang mutawatir12.

b) Menurut adat kebiasaan yang tidak mungkin sepakat untuk melakukan berdusta

Menurut adat kebiasaan para perawinya harus mencapai sebuah persyaratan


yang menurut adat kebiasaan kesepakatan tersebut tidak akan melakukan sebuah
kebohongan13.

c) Periwayatan yang dilakukan dengan menggunakan panca indera, bukan dengan


akal atau intuisi

Periwayatan yang digunakan dengan panca indera harus benar-benar dilihat


atau di dengar sendiri oleh perawi. Biasanya dalam periwayatannya para perawi
menggunakan simbol lafaz “‫ سمعنا‬yang memiliki arti kami telah mendengar” dan
“ ‫ راينا‬yang memiliki makna kami telah melihat” andaikata berita tersebut
merupakn hasil dari pemikiran, penelitian dan perangkuman dari peristiwa
kejadian lain atau hasil dari istinbath dari dalil-dalil yang lai, sehingga tidak dapat
dikatakan sebagai hadith yang mutawatir.
d) Terdapat keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dengan thabaqat
yang selanjutnya

Dalam meriwayatkan hadith dalam jumlah perawinya harus seimbang antara


thabaqat (tingkatan/lapisan) yang satu dengan thabaqat yang lainnya. Dengan
demikian, apabila dalam suatu hadith diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat
namun yang menerima hanya sepuluh tabi’in atau pun lima tabi’in maka hadith
tersebut tidak dapat dikatakan mutawatir. hal ini terjadi dikarenakan ke tidak
seimbangnya jumlah perawi dengan thabaqat pertama dengan thabaqat yang
selanjutnya14.

1) Pembagian Hadith Mutawatir

Menurut sebagian para ulama hadith , hadith mutawatir dibagai menjadi dua, yaitu
hadith mutawatir lafzhi dan hadith mutawatir ma’nawi. Namun sebagian ulama

12
Faslul Rahman, “Hadis Mutawatir dan Ahad”, Academia
13
Zainuddin, arif jamaludin dkk, studi hadits (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2011), 105
14
Faslul Rahman, “hadis Mutawatir dan Ahad”, Academia

5
juga berpendapat bahwa hadith mutawatir dibagi menjadi tiga, yaitu mutawatir
lafhzi, mutawatir ma’nawi dan mutawatir amali.

a. Hadith Mutawatir Lafhzi

Hadith mutawatir lafhzi merupakan hadith yang di riwyatkan dengan makna


dan lafaz yang serupa, serta memiliki kandungan hukum yang serupa15. Adapun
makna lain dari hadith mutawatir lafhzi adalah hadith yang mempunyai kesamaan
bunyi perawi-perawinya baik antara lafaz yang satu degan lafaz yang memiliki
makna sama dan merujuk pada makna yang dimaksud dengan tegas.

Segala sesuatu yang telah dikerjakan oleh nabi entah itu perkataan maupun
perbuatan beliau menjadi perhatian dan patokan para sahabat nabi. Bahkan gerak
gerik nabi pun dijadikan pedoman hidup oleh para sahabat nabi. Apabila jabatan
nabi (sebagai Nabi, atau kepala negara) dapat dihubungkan dan dilihat dengan
bentuk yang beranekka ragam hadith yang mengandung sabda, taqrir, perbuatan
serta hal ihwalnya, sehingga dapat dinyatakan bahwa hadith Nabi telah disebarkan
dengan berbagai cara, diantaranya sebagai berikut16.

1. Diutarakan dengan cara langung di depan orang yang bayak yang terdiri dari
kaum laki-laki.
2. Diadakan pengajian rutinan dikalangan kaum wanita.
3. Nabi juga mengutarakan hadithnya dengan cara perbuatan. Misalnya sholat
berjamaah pada saat bulan ramadhan.
4. Nabi juga menyampaikan hadith dalam berupa teguran, misalnya pada orang
petugas yang telah melakuakan korupsi yang berupa penerimaan hadiah dari
rakyat saat berwenang menjadi amil zakat.
5. Nabi juga menyampaikan melalui istri-istrinya, contonya seperti persoalan
keluarga yang berupa kebutuhan biologis.
6. Cara lain yang juga dilakukan oleh Nabi ialah dengan berpidato atau ceramah
ditempat yang terbuka, contohya seperti saat haji wada’.

15
Aprilia Husna, dkk, Pembagian Hadith dari Segi Kuantitas dan Kuantitas sanad (2019),...
16
Khadijah, ulumul hadis, 48-49

6
Contoh hadith mutawatir lafhzi Rasulullah bersabda “barang siiapa yang
dengan sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah dia bersiap-siap untuk
menduduki tempatnya di atas api neraka” Abu Bakar al-sairiy berpendapat bahwa
hadith yang diriwayatkan dengan cara marfu’ oleh 40 orang sahabat. Ibnu al-
Shalkah juga mengutarakan pendapatnya bahwa hadith mutawatir lafhzi
diriwayatkan oleh 62 orang sahabat. Abu Qasim ibn manduh juga berpendapat
bahwa hadith mutawatir lafhzi diriwayatkan oleh lebih dari 80 orang sahabat.
Sebagaian ppara ulama juga mengutarakan pendapatnya bahwa hadith mutaawaatir
lafhzi ini diriwayatkan oleh lebih dari 100 orang sahabat atau bahkan ada yang
berpendapat hadith ini diriwayatkan oleh 200 orang sahabat.

b. Hadith Mutawatir Ma’nawi

Hadith mutawatir ma’nawi merupakan hadith mutawatir yang secara


redaksional yang berbeda atara satu riwayat dengan periwayat yang lainnya akan
tetapi memiliki kesamaan makna17. Contohnya hadith yang telah meriwayatkan
bahwa Nabi saat sedang berdo’a ia mengangkat tananganya. Hadith ini sudah
diriwayatkan lebih dari seratus hadith yang mengenai berdo’a dengan mengangkat
tangan, namun menggunkan lafaz yang berbeda-beda antara satu hadith dengan
hadith yang lainnya. Akan tetapi, masing-masing dari lafaz tersebut tidak sampa
pada derajat kemutawatiran namun makna dari keseluruhan hadith tersebut
menjurus pada satu makna, sehingga secara ma’nawi hadith tersebut dapat
dikatakan mutawatir dan lain-lainnya18.

c. Hadith Mutawatir Amali

Hadith amali merupakan segala seuatu yang telah dipraktekan oleh Nabi yang
berupa praktek keagamaan yang kemudian di ikuti oleh para sahabat Nabi,
selanjutnya juga di tiru oleh para tabi’in dan seterusnya sampai generasi penerusnya
yakni sampai generasi kita saat ini.

d. Faedah Hadith Mutawatir

17
Zainudin, Nawawi, dkk, studi hadits (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press, 2014), cet. 4, 99
18
Khadijah, ulumul hadis, 52-53

7
Hadith mutawatir memiliki faedah yang berfungsi sebagai ilmu Qot’i yang
memiliki makna keyakinan atau ketakwaan yang kuat. Namun hadith mutawatir
juga memiliki faedah yaitu ilmu daruri yang bermakna segala sesuatu yang
memiliki keharusan untuk menerima dan mengamalkannya19.

e. Kedudukan Hadith Mutawatir

Kedudukan hadith mutawatir menurut para ulama yang mereka sepakati bahwa
hadith mutawatir menduduki derajat yang paling tinggi. Hadith mutawatir ialah
hadith sahih yang banyak diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak mungkin untuk
berdusta. Akan tetapi, masih ada yang diperdebatkan tentang “orang banyak”.
Sehingga sebagaian dari para ulama mempunyai banyak perbedaan tentang
pemahaman orang banyak akhirnya munculah argumen-argumen dari para ulama.
Akan tetapi, adri sebuah perbedaan pemahaman dari para ulama akan muncullah
sebuah arti yang meskipun mereka bersepakat bahwa akan kuatnya kesusukan
hadith mutawatir namun diantara mereka terdapat perbedaan dakam menentukan
syarat suatu hadith tersebut dapat dikatakan mutawatir. bisa jadi apa yang
dipandang oleh satu ulama akan berbeda dengan apa yang dipandang dengan ulama
lainnya20.

2. Hadith Ahad

Pengertian hadith ahad yang berasal dari ahadi ialah bahasa arab yang asalnya
dari kata dasar ahad yang mempunyai makna satu. Sedangkan hadith ahad secara
istilah ialah hadith yang belum memenuhi syarat-syarat mutawatir. akan tetapi ada
ulama lain yang mengartikan bahwa hadith yang mempunyai sanad dahih dan
berkesinambungan hingga sampai kepada sumbernya yakni Nabi Muhammad akan
tetapi kandungan didalamnya memberikan pengertian zanni dan tidak sampai
kaepada Qat’i atau yakin21.

Dari beberapa pengertian di atas ada dua hal yang menjadi garis besar, yaitu dari
sudut kuantitas perawi dan hadith ahad yang berada di bawah kuantitas hadith

19
Ibid, 53
20
Aprilia Husna, Yuni Riski Wardiah, Laila Angraini, Pembagian Hadis dari Segi Kuantitas dan
Kualitas,...
21
Khadijah, ulumul hadis, 53

8
mutawatir. Dan dari segi isinya, hadith ahad yang memberikan faedah zanni bukan
Qat’i. Kedua garis besar ini yang dapat membedakannya dengan hadith mutawatir.
Dengan demikian, semua hadith yang jumlah perawi dalam meriwayatkan tidak
sesuai dengan jumlah hadith mutawatir disebut juga dengan hadith ahad22.

Menurut Abdul Wahab Khalaf mengatakan bahwa hadith ahad ialah hadith yang
diriwayatkan oleh satu, dua orang atau bahkan lebih dari itu, akan tetapi jumlah dari
perawinya tidak sesuai syarat jumlah perawi yang terdapat pada mutawatir.
sedangkan menurut Hasbi ash-Shiddiqi haditih ahad ialah khabar yang jumlah
perawinya tidak sebanyak yang terdapat pada jumlah perawi hadith mutawatir,
meskipun perawinya itu terdapat satu, dua, tiga, empat, lima dan sebagainya yang
tidak memberikan makna bahwa jumlah perawi yang terdapat pada hadith ahad
tidak seperti yang terdapat pada perawi hadith mutawatir23.

Adapun pendapat lain yakni dari jumhur ulama yang berseppakat bahwa beramal
dengan hadith ahad yang telah memenuhi syaratnya maka hukumnya wajib. Abu
Hanifah, Imam Syafi’i dan juga Imam Ahmad yang juga memakai hadith ahad yang
syarat-syarat perawinya yang sahih sudah terlaksana dan perbuatannya yang tidak
menyalahi hadith yang telah diriwayatkan. Ada juga yang berargumen yakni Imam
Malik yang menetapkan persyaratan bahwa perawi yang terdapat pada hadith ahad
tidak menyalahi amalan yang berlaku di ahli Madinah24.

Ada beberapa golongan yang tidak memakai hadith ahad sebagai dasar
beramalnya. Dengan demikian Ibnu Qayyim pun menjawab golongan yang tidak
memakai hadith dasar bahwa ada tiga segi keterkaitannya as-Sunah dan al-Qur’an.
Yang pertama, kesesuaian terhadap persyaratan yang telah berlaku di al-Qur’an.
Yang kedua ialah menjelaskan maksud dari al-Qur’an. Yang terakhir ialah
menetapkan hukum-hukun yang tidak terdapat pada al-Qur’an. Untuk alternatif
yang ketiga merupakan kenteuan yang dittapkan oleh Nabi Muhammad yang wajib
untuk ditaati lebih dari itu ada yang menetapkan bahwa dasar dari beramal dengan
hadith ahad adalah al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’25.

22
Ibid, 54
23
Eco Nemo, “Hadis Ahad”, Academia, 3
24
Ibid,3
25
Ibid, 4

9
Ada pula beberapa syarat-syarat untuk menjadi periwayat yang menerima
khabar ahad diantaranya sebagai berikut.

a. Adil.
b. Dabit atau kuat dalam mengingat hafalan.
c. Faqih ialah cerdas dan faham.
d. Dapat melaksanakan amalan yang sesuai dengan syarat khabar tersebut.
e. Mendatangkan hadith sesuai dengan hurufnya.
f. Dapat memahami hadith dari segi lafaznya26.

Ditambah lagi dengan beberapa syarat-syarat khus untuk menjadi periwayat


yang menarima khabar ahad diantaranya sebagai berikut.

a. Sanad yang digunakan masih bersambung dengan Nabi.


b. Tidak memiliki keraguan (shadh) dan kekurangan atau cacat (‘illah)
c. Tidak ada pertentangan dengan sunnah masyur, baik qauliyah maupun fi’liyah.
d. Tidak berselisih dengan para sahabat, tabi’in dan kitab-kitab umum lainnya.
e. Tanpa adanya perselisihan antar ulama salaf.
f. Hadith yang tidak mengandung penambahan matan dan sanad yang
periwayatnya masih mengasingkan diri dari segi kepercayaaannya. Syarat
inilah yang menjadi kewaspadaan para ulama dalam menerima khabar27.

2) Pembagian Hadith Ahad

Menurut para ulama ahli hadith, hadith ahad terbagi menjadi tiga, yaitu hadith
mashhur, mustafid, aziz dan gharib. Apabila jumlah periwayat dua atau tiga orang
maka disebut denag ‘aziz dan jika jumlah periwayatnya berlebih lagi maka disebut
juda mashhur. Kemudian apabila jumlah periwayatnya yang banyak seimbang dari
awal sampai akhir sanad, maka dinamakan mustafid, sehingga ada yang menyebut
bahwa mashhur itu lebih umum daripada mustafid28.

Adapun pembagian hadith ahad diantaranya sebagai berikut.

26
Toton Witono, “Klasifikasi Kuantitas Hadits (Hadits Ahad dan Mutawatir” (2001), 7
27
Ibid, 7
28
Ibid, 8

10
a. Hadith Masyhur

Definisi hadith masyur secara bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu’ yang


memiliki makna sesuatu yang sudah tersebar atau populer. Adapun definisi hadith
ahad menurut istilah, yaitu:

“hadith yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih, akan tetapi
bilangannya tidak mencapai derajat bilangan hadith mutawatir”.

Ada juga yang mengartikan hadith masyur secara lebih ringkas, yaitu:

“hadith yang mempunyai jalan yang terbatas, akan tetapi lebih dari dua jaln dan
tidak sampai pada batas derajat hadith mutawatir”.

Hadith ini di beri nama masyhur dikarenakan hadith ini telah beredar luas
dikalangan masyarakat, lawan kata dari masyhur ialah majhul ialah hadith-hadith
yang diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak terkenal dikalangan ahli ilmu. Ada
ulama yang memasukkan hadith yang telah beredar luas dikalangan masyarkat
meskipun tidak mempunyai sanad sama sekali dan berstatus sahih atau dhaif
kedalam hadith masyhur. Menurut ulama hanafiah mengatakan bahwa jika dekat
dengan hadith masyhur maka hati akan menemukan ketenangan, dekat dengan
keimanan dan wajib untuk mengamalkannya, akan tetapi bagi yang tidak mengikuti
atau menolaknya tidak dikatakan dengan kafir29.

Hadith ini masih berkedudukan sebagai hadith sahih, hasan, ataupun dhaif. Yang
dimaksud dengan hadith masyur yang telah memenuhi syarat hadith sahih baik pada
matan maupun yang terdapat pada sanadnya.seperti hadith yang diutarakan oleh
Ibnu Umar “ bagi siapa pun yang mengikuti shalat jum’at seharusnya iya mekukan
mandi terlebih dahulu”. Adapun yang dimaksud dengan hadith masyhur hasan
adalah hadith masyhur yang telah memenuhi syarat-syarat hadith hasan baik yang
berhubungan dengan sanad dan matannya, seperti yang dibicarakan oleh Nabi
Muhammad:

29
TM Hasbi Ash Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadis (Jakarta: Bulan Bintang, 1987),
cet. 7, 68

11
“menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim baik laki-laki
maupun peremuan”

Ada juga yang diamksud dengan hadith masyhur dhaif ialah hadith yang tidak
memenuhi ketentuan-ketentuan hadith sahih dan hasan, baik yang terdapat pada
sanad maupun yang terdapat pada matannya, contohya seperti berikut ini.

“ apabila ada yang menegenal dirinya sendiri maka sungguh dia telah mengenal
tuhannya”30.

Hadith masyhur sering juga disebut dengan nama al-Mustafid diluar dari istilah
diatas, hadith mansyur dapat terbagi menjadi beberapa macam, yaitu sebagai
berikut31.

1. Hadith masyhur dikalangan para ahli hadith secara khusus, contohnya hadith
yang diriwayatkan oleh Anas yang berbunyi bahwa “Rasulullah pernah
melakukan qunut selama satu bulan setelah berdiri dari ruku’ dan berdo’a untuk
kebinasaan Ra’l dan Dzakwan”.
2. Hadith masyhur terkenal dikalangan ahli hadith, ulama, dan orang-orang awam,
contohnya ialah “orang muslim ialah orang yang keselamatan kaum muslimin
dari lisan dan tangannya”.
3. Hadith masyhur terkenal dikalangan ahli fikih, contohnya ialah “ perbuatan halal
yang paling dibenci oleh allah ialah perceraian atau talak”.
4. Hadith masyhur terkenal juga diantara para ahli usul fikih, contohnya ialah “
telah dibebaskan dari umatku kesalahan dan kelupaan..”.
5. Hadith masyhur juga terkenal dikalangangan para ahli sufi, contohnya ialah “aku
yang pada awalnya tidak terkenal atau harta yang tersembunyi, namun kemudian
aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk dan hingga akhirnya melalui
mereka pun aku dikenal”.
6. Hadith masyhur yang terkenal dikalangan ulama-ulama arab, contoh
ungkapannya ialah “kami sebagai orang-orang Arab yang paling fasih dalam
mengucapkan huruf dhad dikarenakan kami dari suku Quraisy”.

30
Eco Nomo, “hadis Ahad”, 5
31
Syaikh Mana’ al-Qathan, Pengantar Studi Ilmu hadits, (Jakarta: Pustaka al-Kaustsar, 2015), cet.
9, 113

12
7. Hadith masyhur punjuga terkenal dikalangan masyarakat umum, contohnya
ialah “apabila kita tergesa-gesa itu adalah sebagian dari perbuatan setan”32.
3) Hadith Ghairu Masyhur

Yang termasuk dalam hadith ghairu masyhur ini menurut para ulama hadis
dibedakan menjadi dua yaitu, Hadith Aziz dan Hadith Gharib.

1. Hadith Aziz

Pengertian aziz secara bahasa, diambil dari kata, "Ya'izzu" berarti yang
memiliki arti sedikit dan kuat. Adapun pengertian hadis aziz menurut istilah hadith
aziz ialah hadith yang diriwayatkan oleh dua orang perawi atau lebih dalam satu
thabaqatnya. Definisi yang paling populer menurut Ibnu Al-Shalah dan yang lain,
bahwa hadith aziz merupakan hadith yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang
perawi. Contohnya ialah "Bahwasanya Rasulullah bersabda, 'Tidak semmpurna
iman salah seorang di antara kamu sekalian sehingga aku lebih disukai olehnya
daripada orangtuanya dan anaknya.”
Hadith ini diriwayatkan dari Rasulullah oleh Anas bin Malik kemudian
diriwayatkan kepada dua orang yaitu, qatadah dan Abdul Aziz bin suhaib, dari
qatadah diriwayatkan pada dua orang, yaitu Syu’bah dan Husain al-Muallim. Dan
dari Abdul Aziz diriwayatkan kepada dua orang yaitu Abdul Warits dan Ismail bin
‘Ulaiyyah, dari keempat orang rawi ini diriwayatkan pada generasi dibawahnya
lebih banyak lagi yang akhirnya sampai pada Imam Bukhari dan Muslim. 33

2. Hadith Gharib

Pengertian hadith gharib secara bahasa berarti jauh dari tanah air atau sulit untuk
dipahami. Sedangkan pengertian hadith gharib menurut istilah adalah hadith yang
asing, sebab hanya diriwayatkan oleh seorang perawi, atau disebabkan oleh adanya
penambahan matan atau sanad. Hadith yang demikian disebut gharib karena
keadaannya asing menurut pandangan para perawi-perawi yang lain, seperti orang
yang jauh dari tempat tinggalnya34.
Adapun pengertian hadith gharib menurut para ahli sebagai berikut:

32
Ibid, 114
33
Eco Nomo, “Hadits Ahad”, 8
34
Ibid, 9

13
1. Ulama ahli hadith dalam hubungan ini mendefinisikan hadith gharib sebagai
berikut.
“Yaitu hadith yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya.”
2. Ibn Hajar meberikan pengertian hadith gharib dalam kitab Nukhbatul Fikr
sebagai berikut:
“Yaitu hadith yang sendirian saja seorang perawi dalam meriwayatkan dan
kesendiriannya itu terletak dimana saja dalam sanad.”
3. Menurut H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir mendefinisikan hadith gharib
sebagai berikut.
“Hadith yang pada sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam
meriwayatkannya di mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.”
Adapun pembagian hadith gharib terbagi dua, yaitu gharib muthlaq dan gharib
nisbi.
1. Hadis Gharib Nisby

Gharib nisby adalah apabila penyendirian itu mengenai sifat-sifat atau keadaan
tertentu seorang rawi. Penyendirian rawi mmengenai sifat-sifat atau keadaan
tertentu dari seorang rawi, mempunyai beberapa kemungkinan, antara lain:

 Sifat keadilan dan ke-dhabit-an (ke-tsiqat-an) rawi.


 Kota atau tempat tinggal tertentu.
 Meriwayatkannya dari orang tertentu.

Apabila penyendirian itu ditinjau dari segi letaknya apakah terletak di sanad atau
matan, hadis gharib terbagi lagi menjadi tiga bagian, yaitu:

 Gharib pada sanad dan matan.


 Gharib pada sanadnya saja.
 Gharib pada sebagian matannya.35

Hadis gharib nisbi, adalah:Hadis yang terjadi gharabahnya (perawinya satu


orang) di tengah sanad. Hadis Gharib Nisbi ini adalah hadis yang diriwayatkan oleh

35
Drs. M. Agus Solahudin, M.Ag, Ulumul Hadis, (Bandung: CV Pustaka Setia), hal. 139

14
lebih dari seorang perawi pada asal sanad, namun dipertengahan sanad-nya terdapat
tingkatan yang perawinya hanya sendiri.36

Gharib nisbi terbagi menjadi 3 macam,yaitu:

1. Muqayyad bi ats–tsiqah

Keghariban perawi hadis dibatasi pada sifat ke tsiqah an seorang atau beberapa
orang perawi saja.

2. Muqayyad bi Al-Balad

Sebutan gharabah bi al-balad diberikan kepada hadis yang hanya diriwayatkan


oleh suatu penduduk tertentu, sedangkan penduduk yang lain tidak
meriwayatkannya. Misalnya hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ath-
Thayalisi dari Hammam dari Abu Qatadah dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id
berkata:“Kami diperintah membaca Fatihah Al-Quran dan apa yang mudah dari al-
Quran.”

Al-Hakim berkata: “Hanya penduduk Bashrah yang meriwayatkan hadis


tersebut dari awal sanad sampai akhirnya.” Berdasarkan kata Al-Hakim ini maka
hadis diatas disebut gharib nisbi, karena ke-gharib-annya itu dibatasi pula ulama
bashrah saja yang meriwayatkannya,ulama dari negara lain tidak ada yang
meriwayatkannya.

3. Muqayyad ‘ala Ar-rawi

Periwayatan hadis ini dibatasi dengan perawi hadis tertentu, misalnya hadis dari
Sufyan bin Uyaynah dari Wa’il bin Dawud dari putranya Bakar bin Wa’il dari Az-
Zuhri dari Anas bahwa:“Bahwa Nabi SAW. mengadakan walimahnya shafiyah
dengan bubur sawiq dan tamar (kurma).”

Hadis diatas diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu
Majah. Tidak ada yang meriwayatkannya dari Bakar selain Wa’il dan tidak ada
yang meriwayatkannya dari Wa’il kecuali Ibnu Uyaynah.

36
Dr. Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1997), hal. 217

15
Cara untuk menetapkan ke-ghariban hadis hendaklah periksa dulu pada kitab-
kitab hadis, sperti jami’ dan kitab musnad, apakah hadis tesebut mempunyai sanad
lain yang menjadi mutabi’ dan atau matan lain yang menjadi sahid. Cara tersebut
dinamakan i’tibar.37

Menurut istilah ilmu hadis mutabi’ adalah hadis yang mengikuti periwayatan rawi
lain dari gurunya (yang terdekat), atau gurunya guru (yang terdekat itu).

Mutabi’ ada dua macam yaitu,

1. Mutabi’ tam, yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru
(mutaba’) dari yang terdekat sampai guru yang terjauh.
2. Mutabu’ qashir yaitu bila periwayatan mutabi’ itu mengikuti periwayatan guru
(mutaba’) yang terdekat saja, tidak sampai mengikuti gurunya guru yang jauh
sekali.

Adapun syahid adalahmeriwayatkan sebuah hadis lain sesuai dengan maknanya.

Hadis syahid ada dua macam yaitu,

1. Syahid bi al-lafzhi, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat yang
lain sesuai redaksi dan maknanya dengan hadis fard nya.
2. Syahid bi al-ma’na, yaitu bila matan hadis yang diriwayatkan oleh sahabat lain
itu, hanya sesuai dengan maknanya.38

Adapun nama lain yang dimiliki pleh hadis gharib. Para ulama banyak
mengguanakan nama lain untuk hadis gharib, diantaranya al-fardu, keduanya
memiliki arti yang sama. Sebagian ulama yang lainnya telah membedakan
keduanya. Namun al-hafidh Ibnu Hajar menganngap keduanya itu sama saja, baik
ditinjau dari segi bahasa maupun dari segi istilah. Meski begitu, beliau berkata
“bahwa ahli istilah (maksudnya adalah ahli hadis-pen). Disebut dengan hadis fard
karena lebih banyak digunakan untuk hadis fard yang mutlak. Sedangkan hadis
gharib lenih banak digunakan untuk hadis fard yang nisbi.39

37
Dr. H. Abdul Majid Khon M.Ag, ulumul hadis (Jakarta: AMZAH,2009)hal.145
38
Dr. Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1997), hal. 217
39
Dr, Mahmud thahan, Hadis Masyhur (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2008), hal. 5

16
Kedudukan Hadis Ahad dan Pendapat Ulama tentang Hadis Ahad
Para ahli hadis berbeda pendapat tentang kedudukan hadis ahad.
Pendapat tersebut antara lain:
1. Segolongan ulama, seperti Al-Qasayani, sebagian ulama Dhahiriyah dan Ibnu
Dawud, mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
2. Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad memberi faedah dhan.
Oleh karena itu, hadis ahad wajib diamalkan sesudah diakui kesahihannya.
3. Sebagian ulama menetapkan bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala
bidang.
4. Sebagian muhaqqiqin menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajibdiamalkan
dalam urusan amaliyah (furu’), ibadah, kaffarat, dan
hudud, namun tidak digunakan dalam urusan aga’id (akidah).
5. Imam Syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapuskan suatu
hukum dari hukum-hukum Al-Quran.
6. Ahlu Zhahir (pengikut Daud Ibnu ‘Ali Al-Zhahiri) tidak membolehkan men-
takhshis-kan umum ayat-ayat Al-Quran dengan hadis ahad.40
Hadis gharib juga dinamakan dengan hadis fard. baik menurut bahasa maupun
menurut istilah, perbedaan antara keduanya hanya ditinjau dari segi pemakaiannya.
Sebutan hadis gharib mutlak, sedangkan sebutan hadis gharib lebih banyak dipakai
untuk hadis gharib nisbi atau fard nisbi.hadisgharib ini ada yang sahih,hasan, dan
dhaif, tergantung pada kesesuaiannya dengan kriteria sahih, hasan atau dhaif-nya.

40
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis..., h. 139-141.

17

Anda mungkin juga menyukai