Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, al-Qur’an sebagai kitab suci dibukukan
sejak dahulu oleh para sahabat dan disakasikan oleh mereka yang
menerima langsung dari Nabi Muhammad tentang ayat-ayat yang telah
diwahyukan kepada beliau. Dengan adanya pembukuan yang disaksikan
oleh mereka yang hadir langsung bersama Rasulullah dalam proses
penerimaan wahyu selama 23 tahun, maka keotentikan dan validitas Al-
Qur’an tidak diragukan lagi.
Dilihat dari jarak waktu antara masa Rasulullah sebagai pemilik
hadis dan masa para ulama yang membukukan hadis-hadis beliau,
tentunya ada mata rantai periwayatan karena penulis yang membukukan
hadis tidak semasa dengan beliau. Mereka hidup sebagai generasi setelah
sahabat dan masuk kategori sebagai tabi’in atau tabi’ tabi’in. Tentunya
hadis-hadis yang mereka bukukan tidak didengar secara langsung dari
Rasulullah, tetapi didapat atau didengar dari para gurunya yang gurunya
pun juga tidak mendengar langsung dari baginda Nabi, sehingga ada
runtutan mata rantai perawi yang bersambung kepada para sahabat, dan
para sahabat menerima langsung dari baginda Nabi Muhammad saw.
(Moh. Jufriyadi S,2022:34).
Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat mulia dalam islam. Orang-
orang yang bergelut didalamnya telah menyandang gelar keharuman
tersendiri dalam sejarah. Sebut misalnya: malik bin anas, abu hanifah, al-
syafi’i, ahmad bin hambal, al-bukhori, muslim, ibnu khuzaimah, ibnu
hibban, al-nawawi, ibnu hajar, ibnu katsir, ibnu taimiyyah, ibnu qayyim,
ibnu rajab, al-syaukani, dan lainnya yang tetap berlanjut sampai saat ini.
Merekalah ashhab al-hadits (para ahli hadits) dan merekalah orang-orang
yang mendapatkan pengakuan bahwa sebagai penghulu atau pemimpin
al-firqah al-najiyyah (golongan yang selamat).(Rachmatfatahillah,2011).
Demikian juga masing-masing dari macam-macam hadits akan
memiliki beberapa cabang dan masing-masing memiliki pembahasan

1
yang unik dan tersendiri. Dalam makalah ini, akan dikemukakan
pembagian hadits dari tinjauan kuantitas perawi. Untuk mengungkapkan
tinjauan pembagian hadits dari segi kuantitas jumlah perawi, para penulis
hadits pada umumnya menggunakan beberapa redaksi yang berbeda.
Sebagian mereka ada yang membagi hadits dari segi bagaimana proses
penyampaian hadits dan sebagian lagi memilih dari segi kuantitas atau
jumlah perawinya. (Abdul M.K,2019:114).
Oleh karena itu dalam makalah ini kita akan menjelaskan
pembagian hadits dari segi kuantitas atau jumlah perawi, yaitu hadits
mutawatir dan hadits ahad.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hadis Mutawatir?
2. Ada berapa macam-Macam Hadir Mutawatir?
3. Apa pengertian Hadis Ahad?
4. Ada berapa macam-Macam Hadis Ahad?
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian hadits mutawatir.
2. Mengetahui macam-macam hadits mutawatir.
3. Mengetahui pengertian hadits ahad.
4. Mengetahui macam-macam hadits ahad.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Mutawatir


Secara bahasa mutawatir berarti al-mutatabi’ yang berarti yang
datang kemudian, beriring-iringan atau beruntun. Secara istilah hadits
mutawatir yaitu:

‫مارواه مجع حتيل العادة تواطؤهم على الكذب عن مثلهم من اول السنداىل منتهاه‬
Artinya: hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak
yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat untuk berdusta dari sesama
jumlah banyaknya awal sanad sampai akhir. (Abdul M.K,2019:146).
Menurut As-Sayid Muhammad bin ‘Alawi al-Maliki al-Husni,
Minhal al-Latihif fi ushul al-Hadis as-Sarif, (1410), Hal 100. Secara
bahasa,mutawatir adalah isim fa’il dari at-tawwaatur yang artinya
berurutan. Menurut istilah adalah “hadist yang diriwayatkan oleh perawi
yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya, menurut akal tidak mungkin
para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan memalsukan hadist, dan
mereka bersandarkan dalam meriwayatkan pada sesuatu yang dapat
diketahui dengan indera seperti pendengarannya dan semacamnya”.
Jadi, dapat kita simpulkan bahwasanya hadits mutawatir adalah
hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang bersambung sanadnya sampai
kepada nabi, dan para perawi tersebut sepakat untuk tidak akan berdusta.
Dari termenologi ini, para ulama menentukan empat syarat sebuah
hadis bisa dikatakan mutawatir. Adapun syarat tersebut adalah:
a. Di riwayatkan oleh sejumlah orang banyak
Para ulama’ berbeda pendapat tentang jumlah banyak pada perawi
hadits tersebut. Di antara mereka berpendapat 4 orang, 5 orang, 10
orang, 40 orang, 70 orang (jumlah sahabat nabi musa, bahkan ada
yang berpendapat 300 orang lebih (jumlah tentara thalut dan ahli
perang badar). Namun, pendapat yang terpilih minimal 10 orang
seperti pendapat al-isthikhari. (Abdul M.K,2019:147).

3
b. Adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad
Adanya konsistensi jumlah perawi yang banyak tersebut pada
setiap thabaqh (tingkatan generasi). Apabila salah satu dari
tingkatan sanad tidak mencapai jumlah minimal bilangan
mutawátir, maka sanad tersebut tidak dikategorikan mutawátir,
akan tetapi masuk dalam kategori sanad hadis āhād. (Moh.
Jufriyadi Sholeh,2022:37).
c. Mustahil bersepakat bohong
Menurut adat kebiasaan mereka tidak mungkin bersepakat untuk
melakukan kebohongan secara bersama-sama. Seperti mereka (para
perawi) yang datang dari daerah yang berbeda-beda, tidak saling
mengenal, tidak pernah berkomunikasi antara satu dengan yang
lain. (Moh. Jufriyadi Sholeh,2022:37).
Misalnya, para perawi dalam sanad hadist itu datang dari berbagai
negara yang berbeda, jenis yang berbeda, dan pendapat yang
berbada pula. Maka, Sejumlah para perawi yang banyak ini secara
logika mustahil terjadinya kesepakatan berbohong secara ‘uruf.
Dan belum di katakan mutawatir meskipun sudah mencapai jumlah
banyak. (Abdul M.K,2019:148).
d. Sandaran berita itu pada panca indra
Maksud sandaran panca indra adalah berita itu di dengar dengan
telinga atau di lihat dengan mata dan di sentuh dengan kulit, tidak
di sandarkan pada logika atau akal seperti tentang sifat barunya
alam.

B. Macam-Macam Hadits Mutawatir


Sebagian ulama’ membagi hadits mutawatir menjadi 3 macam,
yaitu:
1. Mutawatir lafdzi
Sebagaimana yang dijelaskan oleh thohir al-jaza’iri dalam
kitabnya tawjih an-nadzar (dalam bukunya Abdul M.K,2019:150-
151) hadits mutawatir lafdzi adalah hadits yang sesuai lafadz

4
perawinya, baik dengan menggunakan satu lafadz atau lafadz lain
yang satu ma’na dan menunjukkan kepada ma’na yang dimaksud
secara tegas. Contoh mutawatir lafdzi:

‫من كذب علي متعمدا فليتبوا مقعده من النار‬


Artinya : barangsiapa yang mendustakan atas namaku,
hendaklah bersiap-siap bertempat tinggal di neraka. (HR. Al-
bukhori, Muslim, Ahmad, At-tirmidzi, An-nasa’i, dan Abu
Dawud).
Menurut ibnu as-shalah, hadist ini di riwayatkan lebih dari
70 sahabat, 10 di antaranya para sahabat yang di gembirakan nabi
masuk surga.
Para ulama’ berbeda dalam memahami definisi mutawatir
lafdzi, sehingga di antara mereka ada yang berpendapat hadist
mutawatir hanya sedikit.
2. Hadist Mutawatir Ma’nawi
Hadis mutawatir maknawi adalah hadis mutawatir yang
lafadznya berbeda antara satu riwayat dengan riwayat yang lain,
tetapi riwayat-riwayat tersebut memiliki sisi kesamaan makna,
seperti hadis-hadis mengangkat kedua tangan ketika berdo’a.
Menurut Ahmad Umar Hasyim, ada sekitar seratus riwayat yang
menjelaskan bahwa Nabi saw mengangkat kedua tangan ketika
berdo’a.( Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawá’id ‘Ushúl al-Hadíts
(Kairo: Dár al-Syabáb, 1995), 147).
Riwayat- riwayat tersebut dalam moment yang berbeda,
sehingga secara redaksional, berbeda pula. Tetapi dari riwayat-
riwayat tersebut ada kesamaan makna, yaitu mengangkat kedua
tangan ketika berdo’a. (Moh. Jufriyadi Sholeh,2022:38-39).
Hadis mutawatir ini memiliki faidah ilmu dhoruri. Yakni,
suatu keharusan untuk menerima dan mengamalkannya sesuai
dengan yang diberitakan oleh hadis mutawatir tersebut. Hingga
membawa kepada suatu keyakinan yang qat’I (pasti).
(rahmatfatahillah,2011).

5
3. Hadist mutawatir ‘amali
Hadist mutawatir ‘amali di definisikan oleh sebagian
ulama’ sebagai berikut:

‫ما علم من الدين بالضرورة وتواتر بببني املسلمني ان النيب صلى اهلل عليه وسلم فعله‬

‫او امر به او غري ذلك‬

Artinya: sesuatu yang di ketahui dengan mudah bahwa ia dari


agama dan telah mutawatir antara kaum muslimin bahwa nabi
menger jakanya atau menyuruhnya dan atau selain itu.

Misalnya, berita-berita yang menjelaskan tentang sholat,


baik waktu dan rokaatnya, sholat jenazah, zakat, haji, dan lain-
lain yang telah menjadi ijma’ para ulama’. Semua itu terbuka dan
di saksikan oleh banyak sahabat dan kemudian di riwayatkan
secara terbuka oleh sejumlah besar kaum musilimin dari masa ke
masa. Barang siapa yang menolak hadist mutawatir berarti di
hukumi kafir. (Abdul M.K,2019:153-154).

C. Pengertian Hadits Ahad

Kata ahad adalah bentuk jama’ dari lafadz ahad ( ‫َاَح ٌد‬ ‫)آَح اٌد مجع‬
dengan makna (‫)وحد‬satu, tunggal, atau esa. Hadist atau khobar wahid

berarti hadits yang di riwayatkan oleh seorang perawi. Ahad ( ‫ )احد‬dengan

di panjangkan bacaan (‫ )آحد‬mempunyai ma’na satuan. Sedangkan

menurut istilah hadits ahad adalah:

‫ما مل جيمع شروط املتواتر‬

Artinya: hadist yang tidak menemui beberapa persyaratan hadist


mutawatir.

6
Perawi hadits ahad tidak mencapai jumlah banyak yang
meyakinkan bahwa mereka tidak mungkin bersepakat bohong dalam
hadits mutawatir, ia hanya di riwayatkan satu, dua, tiga, empat, atau lima
yang tidak mencapai mutawatir. Hadits ahad memberi faedah ilmu
nazhari, artinya ilmu ynag di perlukan peneliatian dan pemeriksaan
terlebih dahulu, apakah jumlah perawi yang sedikit itu memiliki
kredibilitas yang dapat di pertanggung jawabkan atau tidak.

D. Macam-Macam Hadits Ahad


Para ulama membagi hadis ahad berrdasarkan kuantitas sanadnya menjadi
tiga bagian, yaitu:
1. Hadits masyhur

Dalam bahasa kata masyhur berasal dari ‫َش َه َر َيْش َه ُر ُش ْه َرًة َوَم ْش ُه ْوًر‬ di

artikan tenar, terkenal, dan menampakkan. Menurut istilah, Hadis


Masyhur adalah hadis yang diriwayatkan dengan tiga jalur perawi
(sanad) atau lebih, namun tidak sampai pada tingkatan mutawatir.
Periwayatan dengan minimal tiga jalur sanad tidak harus di semua
tingkatan sanad, tetapi bisa jadi hanya di satu tingkatan saja.
Umpamanya di tingkatan atau jalur sahabat hanya diriwayatkan oleh
tiga orang saja, sedangkan ditingkatan berikutnya ada empat perawi
atau lebih, maka hadis tersebut tetap dinamakan hadis masyhur. (Moh.
Jufriyadi Sholeh,2022:42).
Dalam istilah hadits, masyhur terbagi menjadi 2 macam, yaitu:
a. Masyhur isthilahi

‫مارواه ثالثة فاكثر ىف كل طبقة من طبقات السند مامل يبلغ حد التواتر‬


Artinya: hadits yang di riwayatkan oleh 3 orang atau lebih pada
setiap tingkatan (thobaqat) pada beberapa tingkatan sanad, tapi
tidak mencapai kriteria mutawatir.
Sebagian ulama’ berpendapat bahwa hadits masyhur
sinonim dengan hadits mustafidh (penuh dan tersebar). Dan
sebagian ulama’ lain berpendapat bahwa mustafidh lebih khusus,
karna dalam mustafidh di syaratkan dua ujung sanadnya harus sma

7
jumlahnya, yaitu tiga orang atau lebih. Menurut pendapat kedua ini
hadits mustafidh lebih khusus dari pada masyhur, karna di
persyaratkan jumlah tiga orang periwayat dari awal sampai akhir
sanad. (abdul M.K,2019:155-156).
b. Hadits masyhur ghoir isthilahi
hadits masyhur ghoiru isthilah adalah hadis yang terkenal atau
masyhur dari mulut ke mulut. Jumlah atau kuantitas perawi tidak
menjadi persyaratan dalam definisi ini, yang penting hadis tersebut
masyhur atau terkenal dari mulut ke mulut. Pada hakikatnya hadis
masyhur non istilah tidak termasuk bagian dari hadis ahad, karena
yang menjadi pertimbangan kemasyhurannya bukan kuantitas
sanad, sebagaimana hadis ahad. ((Moh. Jufriyadi Sholeh,2022:42).
Hadits masyhur ghoiru isthilah adalah hadits yang populer di
kalangan golongan atau kelompok tertentu, sekalipun jumlah
periwayat dalam sanad tidak mencapai tiga orang atau lebih.
Pupularitas hadits masyhur di sini lebih di tekankan kepada
popularitas hadits itu sendiri di kalangan kelompok orang atau
ulama’ dalam bidang ilmu tertentu.
Hukum hadits masyhur baik isthilahi atau ghoiru isthilahi tidak
seluruhnya di nyatakan shohih atau tidak shohih, tetapi tergantung
kepada hasil penelitian atau pemeriksaan para ulama’. Namun
memang di akui bahwa keshohihanya hadits masyhur isthilahi
lebih kuat dari pada keshohihan hadits ‘aziz dan ghorib yang hanya
di riwayatkan satu atau 2 orang perwai saja. (Abdul
M.K,2019:160).
2. Hadist ‘aziz
‘aziz menurut istilah adalah hadits yang diriwaytkan oleh 2
orang, rawi walaupun 2 orang rawi tersebut terdapat pada satu
thobhaqoh saja, kemudian orang-orang meriwayatkanya.
(Rohman. Op.cit,hal.93 dalam bukunya agus solahuddin,
2013:136).

8
Maksud definisi di atas, hadits ‘aziz adalah hadist yang di
riwayatkan oleh dua orang perawi pada seluruh tingkatan sanad
atau dalam satu tingkatan sanad saja.
Hukum hadist ‘aziz adakalanya shohih , hasan, dan dhoif
tergantung persyaratan yang terpenuhi. (Abdul M.K,2019:158-
160).
3. Hadist ghorib
Gharib menurut bahasa berarti mufarridan yang berarti
menyendiri di negaranya. sedangkan menurut istilah yakni hadis
yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang menyendiri dalam
meriwayatkannya sekiranya tidak ada perawi lain yang
meriwayatkan hadis tersebut. Atau dalam penyendiriannya
tersebut dia menambahkan matan dalam hadis tersebut. (rahmat
fatahillah,2011).
Selain istilah gharib, para ulama juga mengenal hadis gharib
dengan nama hadis fard. Secara etimologi dan terminologi
keduanya sama, tetapi ahli istilah membedakan keduanya dalam
pemakaiannya. Kata “fard” lebih banyak dipakai untuk fard
mutlak, sedangkan kata “gharib” untuk fard nisbi (Ibn Hajar
al-‘Asqalani, Nuzhah al-Nadlr, tahqiq Nuruddin ‘Itr (Damaskus:
Mathba’ah al-Shabáh, 1414 H), 57).
Pembagian hadits ghorib ada 2 macam:
a. Ghorib muthlaq
Hadits ghorib muthlaq yaitu hadits yang ghorobahnya (perawi
satu orang) terletak pada pokok sanad. Pokok sanad adalah ujung
sand yaitu seorang sahabat.
Ujung sanad di sebut pokok atau asal sanad karena sahabat
yang menjadi referensi utama dalam periwayatan hadits sekalipun
banyak jalan dan tingkatan dalam sanad.

‫االميان بضع وستون شعبة‬....." "


“Iman memiliki enam puluh lebih cabang …”

9
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Abu Shaleh dari Abu
Hurairah. Selanjutnya, yang meriwayatkan dari Abu Shaleh hanya
Abdullah bin Dinar, dan berikutnya diriwayatkan dengan jalur
sanad yang lebih dari satu. (Moh. Jufriyadi Sholeh,2022:47).

b. Ghorib nisbhi (relatif)


Hadits ghorib nisbhi yaitu hadits yang terjadi ghorobah
(perawinya satu orang) di tengah sanad. Hadits tersebut di
kalangan tabi’in hanya malik yang meriwayatkanya dari az-zuhri.
Boleh jadi pada awal sanad atau akhir sanad lebih dari satu orang,
namun di tengah-tengahnya terjadi ghorobah, artinya hanya
seorang saja yang meriwayatkanya. Ghorobah nisbhi ini terbagi
menjadi 3 macam:
1) Muqoyyad bi ats-tsiqoh
Keghoripan perawi hadits di batasi pada sifat ke-tsiqoh-an
seorang atau beberapa orang perawi saja.
2) Muqoyyad bi al-balad
Sebutan ghorobah bi al-balad di berikan kepada hadits
yang hanya di riwaytkan oleh suatu penduduk tertentu,
sedangkan penduduk yang lain tidak meriwayatkanya.
3) Muqoyyad ‘ala ar-rawi
Periwayatan hadits ini di batasi dengan hadits tertentu.
(Abdul,M.K,2019:161-162).

Demikian hadist dilihat dari kuantitas jumlah para perawi


yang dapat menunjukkan kualitas bagi hadits mutawatir tanpa
memeriksa sifat-sifat para perawi secara individu, atau menujuk
kualitas hadits ahad, jika di seratai pemeriksaan memenuhi
persyaratan hadits yang maqbul (di terima).

Hadits ahad masih memerlukan berbagai persyaratan, yaitu


segi sifat-sifat kepercayaan para perawi atau sifat-sifat yang dapat
mempertanggung jawabakan kebenaran berita berita secara
individu, yaitu: sifat keadilan dan kedhobitan, ketersambungan

10
sanad, dan ketidak ganjilannya. Kebenaran berita hadits mutawatir
secara absolut dan pasti (qoth’i), sedangkan kebenaran berita yang
di bawa oleh hadits ahad bersifat relatif (zhanni) yang wajib di
amalkan.

11
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Hadits mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang
bersambung sanadnya sampai kepada nabi, dan para perawi tersebut
sepakat untuk tidak akan berdusta. Dan harus memenuhi syarat-syarat
hadits mutawatir yaitu: diriwayatkan oleh sejumlah orang banyak,
adanya jumlah banyak pada seluruh tingkatan sanad, mustahil
bersepakat bohong, dan sandaran berita pada panca indra.
2. Macam-macam hadits mutawatir ada 3 yaitu: mutawatir lafdhi (yang
mutawatir lafad dan maknanya), mutawatir ma’nawi (yang mutawatir
maknanya saja bukan lafadnya), mutawatir ‘amali (hadits mutawatir
yang sudah diketahui oleh agama dan telah mutawatir antara kaum
muslimin).
3. Hadits ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh satu perawi dan
memenuhi beberapa syarat hadits mutawatir.
4. Macam-macam hadits ahad ada 3 yaitu: hadits masyhur (hats yang
diriwayatkan oleh 3 orang perawi atau lebih pada setiap tingkatan),
hadits ‘aziz (hadist yang di riwayatkan oleh dua orang perawi pada
seluruh tingkatan sanad), hadits gharib (hadits yang diriwayatkan oleh
satu perawi saja).

12
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad ‘Umar Hasyim, Qawá’id ‘Ushúl Al-Hadíts (Kairo: Dár Al-Syabáb, 1995),
147)
As-Sayid Muhammad Bin Alawi Al-Maliki Al-Husni.1402.Al-Qa’idah Al-
Islamiyyah Fi Ilmu Mustholah Al-Hadits

Https://Rachmatfatahillah.Blogspot.Com/2011/09/Pembagian-Hadits-Dari-Segi-
Kuantitas.Html ( Diakses Oleh Rahmat Freeink11 Di 6:07:00 Am
Saturday, September 10, 2011)

Khon, M.A. 2019. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah

Sholeh,J.M. 2022. Jurnal Dakwah Islam Telaah Pemetaan Hadis Berdasarkan


Kuantitas Sanad. Sumenep: Bayan Lin Naas

Solahuddin,A. 2013. Pengantar Studi Hadits. Halaman 136

13

Anda mungkin juga menyukai