Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

HADIST DI TINJAU DARI SEGI KUANTITAS

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Hadist

Dosen Pengampu: Eko Zulfikar, S.Th.I, M.Ag

Disusun Oleh:

Kelompok 4

1. Angga Saputra 2220304073

2. Siti Awliah 2230304085

3. Saniah Inayah 2220304063

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH PALEMBANG

2023
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang.

Hadits atau yang disebut dengan sunnah, adalah segala sesuatu yang bersumber atau
disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrirnya.
Sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-Qur'an, sejarah perjalanan Hadits tidak terpisahkan
dari sejarah perjalanan Islam itu sendiri. Akan tetapi, dalam beberapa hal terdapat ciri-ciri
tertentu yang spesifik, sehingga dalam mempelajarinya diperlukan pendekatan khusus.
Hadis dapat disebut sumber hukum Islam ke-dua setelah Al-Qur’an karena, hadis
diriwayatkan oleh para perawi dengan sangat hati-hati dan teliti, sebagaimana sabda Nabi
s.a.w. :

‫من كذ ب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النا ر‬


“Barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka tempatnya dalam neraka
disediakan”

Tidak seperti Al-Qur'an, dalam penerimaan Hadits dari Nabi Muhammad SAW banyak
mengandalkan hafalan para sahabatnya, dan hanya sebagian saja yang ditulis oleh mereka.
Penulisan itupun hanya bersifat dan untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, Hadits-
hadits yang ada pada para sahabat, yang kemudian diterima oleh para tabi'in, memungkinkan
ditemukan adanya redaksi yang berbeda-beda. Sebab ada yang meriwayatkannya sesuai atau
sama benar dengan lafadz yang diterima dari Nabi SAW, dan ada yang hanya sesuai makna
atau maksudnya saja, sedangkan redaksinya tidak sama.
Atas dasar itulah, maka dalam menerima suatu Hadits, langkah yang harus dilakukan
adalah dengan meneliti siapa pembawa Hadits itu (disandarkan kepada siapa Hadits itu), untuk
mengetahui apakah Hadits itu patut kita ikuti atau kita tinggalkan. Oleh karena untuk
memahami Hadits secara universal, diantara beberapa jalan, salah satu diantaranya adalah
dengan melihat Hadits dari segi kuantitas atau jumlah banyaknya pembawa Hadits (Sanad) itu.
Berangkat dari hal tersebut di atas, maka untuk memahami Hadits ditinjau dari kuantitas
sanad, maka dalam makalah ini akan kami bahas mengenai Hadits ditinjau dari kuantitas
sanadnya.
B. Rumusan Masalah

1. Ada berapa kelompokkah Hadits itu bila ditinjau dari segi kuantitas sanadnya ?
2. Bagaimana ketentuan umum dari hadist ahad itu ?
3. Bagaimanakah kedudukan hadits mutawatir dan hadits ahad itu?

C. Tujuan
1. Mengetahui ada berapa kelompok hadist bila ditinjau dari segi kuantitas sanadnya.
2. Mengetahui ketentuan umum dari hadist ahad.
3. Mengetahui kedudukan hadits mutawatir dan hadits ahad.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hadist Ditinjau dari Segi Kuantitas Sanadnya

Para ulama' berbeda pendapat tentang pembagian Hadits ditinjau dari sudut kuantitas
atau jumlah rawi yang menjadi sumber berita ini. Diantara mereka ada yang
mengelompokkannya menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Mutawatir, Hadits Masyhur dan Hadits
Ahad, dan ada pula yang membaginya menjadi dua bagian yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits
Ahad.
Ulama' golongan pertama, yang menjadikan Hadits Masyhur berdiri sendiri, tidak
termasuk bagian dari Hadits Ahad, diikuti oleh sebagian ulama' ushul, diantaranya adalah Abu
Bakar al-Jashshash (305-307 H). Sedangkan golongan ulama' kedua, yang menjadikan Hadits
Masyhur sebagai bagian dari Hadits Ahad, diikuti oleh kebanyakan ulama' ushul dan ulama'
kalam. Mereka membagi Hadits menjadi dua bagian, yaitu Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.
Berdasarkan pembagian ini, maka Hadits Masyhur, Hadits Aziz dan Hadits Gharib merupakan
bagian dari Hadits Ahad. Berangkat dari hal tersebut, guna memahami Hadits secara mudah
dan benar, maka dalam pembahasan makalah ini penulis mengikuti pendapat yang kedua.
1. Hadits Mutawatir

Mutawatir menurut bahasa berarti "mutatabbi'" yaitu yang (datang) berturut-turut


dengan tidak ada jaraknya. Sedangkan pengertian Hadits Mutawatir secara terminologi adalah
:

‫فالحديث المتواتر هو الحديث الذى رواه جمع يمتنع تواطؤهم على الكذب‬
[1]1‫منتهاه‬ ‫عن جمع مثلهم من أول السند إلى‬
Hadits Mutawatir adalah Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang tidak
mungkin mereka bersepakat untuk berdusta dari awal sanad sampai akhir sanad.
Berdasarkan definisi tersebut, ada empat hal yang harus terpenuhi pada sesuatu Hadits
yang dikategorikan Mutawatir, yaitu : Pertama, Hadits itu harus diriwayatkan oleh banyak
orang. Kedua, Hadits itu diterima dari banyak orang pula. Ketiga, ukuran banyak di sini
jumlahnya relatif, dengan ukuran berdasarkan sudut pandang kebiasaan masyarakat, bahwa

1 [1] Muhammad Ajaj al-Khotib, Ushulu al-Hadisi : Ulumuhu wa Musthalahuhu, Dar al-Manarah,
Jeddah, Makkah, hal : 315.
mereka tidak mungkin sebelumnya melakukan kesepakatan untuk berdusta, dan keempat,
Hadits itu diperoleh melalui pengamatan panca indera, bukan atas dasar penafsiran mereka2[2].
Syarat-syarat Hadits Mutawatir

Dengan memperhatikan ta'rif di atas, maka suatu Hadits baru bisa dikatakan Mutawatir
bila memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
(daya tangkap) panca indera. Artinya bahwa berita yang disampaikan oleh para perawi
harus berdasarkan hasil pengamatan panca indera. Dengan kata lain berita yang mereka
sampaikan harus benar-benar hasil pendengarannya, penglihatannya, penciumannya
atau sentuhannya.
2. Adanya kesamaan atau keseimbangan jumlah sanad pada tiap thabaqahnya. Jumlah
sanad Mutawatir antara satu thabaqah (tingkatan) dengan thabaqah lainnya harus
seimbang. Misalnya, jika sanad pada thabaqah pertama 10 orang, maka pada thabaqah-
thabaqah berikutnya juga masing-masing harus 10, atau 9, atau 11 orang. Dengan
demikian, bila suatu Hadits diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian diterima
oleh sepuluh tabi'in dan selanjutnya hanya diterima oleh empat tabi' at-tabi'in, tidak
digolongkan Hadits Mutawatir, sebab jumlah sanadnya tidak seimbang antara thabaqah
pertama dengan thabaqah-thabaqah berikutnya.
3. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan
mereka untuk bersepakat bohong (berdusta). Dalam hal ini para ulama' berbeda
pendapat tentang batasan jumlah untuk tidak memungkinkan bersepakat dusta :

➢ Abu at-Thayyib menentukan sekurang-kurangnnya 4 orang. Karena diqiyaskan dengan


banyaknya saksi yang diperlukan hakim untuk tidak memberi vonis kepada terdakwa.
➢ Ash-habu as-Syafi'i menentukan 5 orang, karena mengqiyaskan dengan jumlah para nabi
yang mendapat gelar Ulul Azmi.
➢ Sebagian ulama' menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, berdasarkan ketentuan yang
difirmankan oleh Allah dalam QS. Al-Anfal : 65 tentang sugesti Allah kepada orang
mukmin yang tahan uji, yang berjumlah 20 orang saja dapat mengalahkan 200 orang3[3].

2[2] Utang Ranuwijaya, 2001, Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama, Jakarta, hal : 125.

3[3] Fatchur Rahman, 1974, Ikhtisar Musthalahul Hadits, PT al-Ma'arif, Bandung, hal : 79.
)65 : ‫إن يكن منكم عشرون صابرون يغلبوا مائتين (األنفال‬
Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu niscaya mereka dapat mengalahkan dua
ratus musuh (al-Anfal : 65)
➢ Ulama' yang lain menetapkan jumlah tersebut sekurang-kurangnya 40 orang. Karena
mereka mengqiyaskan dengan firman Allah :

)64 : ‫يا أيها النبي حسبك هللا ومن اتبعك من المؤمنين (األنفال‬
Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang mengikutimu
(menjadi penolongmu).
➢ Dan ulama' yang lain berpendapat bahwa jumlah tersebut sekurang-kurangnya 70
orang4[4]. Karena mereka mengqiyaskan dengan firman Allah :

‫واختار موسى قومه سبعين رجال لميقاتنا‬


Sedangkan Hadits Mutawatir terbagi kepada dua bagian, yaitu Mutawatir Lafdzi dan
Mutawatir Ma'nawi5[5]. Adapun yang dimaksud dengan Hadits Mutawatir Lafdzi dan Ma'nawi
adalah :

[6]6‫المتواتر اللفظي هو ما تواتر لفظه ومعناه‬


Hadits Mutawatir Lafdzi adalah Hadits yang Mutawatir lafadz dan maknanya
Contoh dari Hadits Mutawatir Lafdzi ini yaitu :

)‫من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار (البخارى‬


Barang siapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat di
neraka. (HR. Bukhori)
Menurut Abu Bakar al-Bazzar, Hadits tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat, dan
sebagian ulama' mengatakan bahwa Hadits tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan
lafadz dan makna yang sama. Hadits tersebut terdapat pada 10 kitab Hadits ; al-Bukhori,
Muslim, al-Darimi, Abu Dawuf, Ibnu Majah, al-Turmudzi, al-Thayalisi, Abu Hanifah, al-
Tabrhani, al-Hikam.

4[4] Nuruddin 'Atar, 1997, Manhajun al-Naqdi fi Ulumil Haditsi, Dar al-Fikr al-Mu'asir, Beirut, hal :
405.

5[5] A. Qadir Hasan, 1990, Ilmu Mushthalah Hadits, CV Diponegoro, Bandung, hal : 44.

6[6] Mahmud at-Thahhan, Taisiiru Musthalahul Hadisi, hal : 20.


[7]7‫المتواتر المعنوي هو ماتواتر معناه دون لفطه‬
Hadits Mutawatir Ma'nawi adalah Hadits yang Mutawatir maknanya bukan lafadznya
Contoh dari Hadits Mutawatir Ma'nawi tersebut adalah :

‫م يده حتى رؤي بياض ابطيه فى شيئ من دعائه إال فى اإلستسفاء‬.‫ما رفع ص‬
)‫(متفق عليه‬
Nabi SAW tidak mengangkat kedua tangannya dalam berdo'a selain dalam shalat istisqa dan
beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih kedua ketiaknya
Hadits-hadits yang semakna dengan Hadits tersebut banyak sekali (kalau dikumpulkan
ada 100 Hadits), antara lain :

‫كان يرفع يده حدو منكبيه‬


Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau
2. Hadits Ahad

Secara etimologi, kata "ahad" merupakan bentuk jama' dari wahid yang berarti satu.
Maka Khobar Ahad atau Khobar Wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.
Sedangkan secara terminologi, Hadits Ahad adalah :

‫الحد يث االحد هوالحديث الذى لم يبلغ رواته مبلغ الحد يث المتوتر سواء كان الراوى واحد‬
‫او اثنين اوثالثة ااو اربعة اوخمسة الى غير ذ لك من العداد التى ال تشعر بان الحديث د خل‬
.‫المتوتر‬ ‫فى خبر‬
Artinya : “Hadis ahad adalah hadis yang para rawinya tidak mencapai jumlah rawi hadis
mutawatir, baik rawinya itu satu, dua, tiga, empat, atau seterusnya. Tetapi jumlahnya tidak
memberi pengertian bahwa hadis dengan jumlah rawi tersebut masuk dalam kelompok hadis
mutawatir”.
Ada juga yang memberikan tarif sebagai berikut
Hadits Ahad adalah Hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat Hadits Mutawatir8[8]
Atau dengan kata lain, Hadits Ahad adalah suatu Hadits yang jumlah pemberitaannya tidak
mencapai jumlah pemberita Hadits Mutawatir, baik pemberita itu seorang, dua orang, tiga

7[7] Ibid, hal : 21.

8[8] Ibid, hal : 22.


orang, empat orang, lima orang dan seterusnya, tetapi jumlah tersebut tidak memberi
pengertian bahwa Hadits tersebut masuk ke dalam Hadits Mutawatir9[9].
Dan Hadits Ahad itu dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu Hadits Masyhur, Hadits
'Aziz dan Hadits Gharib.
1). Hadits Masyhur

Adapun yang dimaksud dengan Hadits Masyhur adalah :

‫الحد يث المشهور او الحد يث المشتفيض هو الحد يث الذى رواه الثال ثة فاكثر لم يصل‬
.‫درجة التوتر‬
Hadits Masyhur adalah Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih – dalam tiap
thabaqah – serta belum mencapai derajat Mutawatir.
Ditinjau dari segi kualitasnya, Hadits Masyhur ada yang Shahih, ada yang Hasan dan
ada yang Dho'if10[10]. Hadits Masyhur yang Shahih artinya Hadits Masyhur yang memenuhi
syarat-syarat keshahihannya, Hadits Masyhur yang Hasan artinya Hadits Masyhur yang
kualitas perawinya di bawah kualitas perawi Hadits Masyhur yang Shahih, sedangkan Hadits
Masyhur yang Dho'if artinya Hadits Masyhur yang tidak memiliki syarat-syarat atau kurang
salah satu syaratnya dari syarat Hadits Shahih.
Menurut ulama' fiqhi, Hadits Masyhur itu adalah muradhif dengan Hadits Musthafid,
sedangkan ulama' yang lain membedakannya. Suatu Hadits dikatakan musthafid bila jumlah
rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari thabaqah pertama sampai thabaqah
terakhir. Sedang Hadits Masyhur lebih umum daripada Hadits Musthafid, yakni jumlah rawi-
rawi dalam tiap thabaqah tidak harus selalu sama banyaknya, atau seimbang. Karena itu, dalam
Hadits Masyhur bisa terjadi jumlah rawi-rawinya dalam thabaqah pertama adalah sahabat,
thabaqah kedua thabi'i, thabaqah ketiga tabi'it tabi'in dan thabaqah keempat adalah orang-orang
setelah tabi'it tabi'in, terdiri dari seorang saja, baru kemudian jumlah rawi-rawi dalam thabaqah
kelima dan seterusnya banyak sekali11[11].
Adapun contoh dari Hadits Masyhur tersebut adalah :

)‫إنما األعمال بالنيات وإنما لكل امرء ما نوى (متفق عليه‬

9[9] Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, 2000, Ulumul Hadits, Pustaka Setia, Bandung, hal : 74.

10[10] Abdul an-Nashir Taffiqul al-'Aththar, Úlumus as-Sunnah wa Dusturu al-Ummah, hal : 197.

11[11] Fatchur Rahman, Op-Cit, hal : 86.


Hanyasanya amal-amal itu dengan niat dan hanya bagi tiap-tiap seseorang itu memperoleh
apa yang ia niatkan (Muttafaqun Alaihi)
Hadits tersebut pada thabaqah pertama hanya diriwayatkan oleh sahabat Umar sendiri,
pada thabaqah kedua hanya diriwayatkan oleh al-Qamah sendiri, pada thabaqah ketiga
diriwayatkan oleh orang banyak, antara lain : Abd al-Wahhab, Malik, Hammad dan Sufyan.
Hadits tersebut biasa disebut Hadits Masyhur, atau disebut Hadits Gharib pada awalnya
dan Masyhur pada akhirnya12[12].
Istilah Masyhur yang diterapkan pada suatu Hadits, kadang-kadang bukan untuk
memberikan sifat-sifat Hadits menurut ketetapan di atas, yakni banyaknya rawi yang
meriwayatkan suatu Hadits, tetapi diterapkan juga untuk memberikan sifat suatu Hadits yang
mempunyai ketenaran di kalangan para ahli ilmu tertentu atau di kalangan masyarakat ramai.
Dari sisi ini, maka Hadits Masyhur terbagi kepada :

• Masyhur di kalangan para muhadditsin dan lainnya (golongan ulama' ahli ilmu dan
orang umum)
• Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu, misalnya hanya masyhur di kalangan ahli
Hadits saja, atau ahli Fiqih saja, atau ahli Tasawuf saja, atau ahli Nahwu saja dan lain
sebagainya.
• Masyhur di kalangan orang-orang umum saja.

2). Hadits 'Aziz

Ulama' Hadits memberikan ta'rif Hadits 'Aziz adalah :

‫الحد يث العزيز هو الحد يث الذى راه اثنان ولو كان في طبقة واحدة ثم رواه بعد ذالك جما‬
‫عة‬
Artinya: “Hadis ‘Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi, kendati dua orang
rawi itu pada satu tingkatan saja, dan setelah itu diriwayatkan oleh banyak rawi.”
Dari definisi tersebut, kiranyanya dapat disimpulkan bahwa suatu Hadits dikatakan
'Aziz bukan saja yang meriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqat, yakni sejak dari
thabaqat pertama sampai thabaqat terakhir, tetapi sewaktu kedua thabaqat didapati dua orang

12[12] Endang Soetari, 1997, Ilmu Hadits, Amal Bakti Press, Bandung, hal : 125.
perawi, tetap dapat dikategorikan sebagai Hadits 'Aziz. Dalam kaitannya dengan masalah ini,
Ibnu Hibban mengatakan bahwa Hadits 'Aziz yang hanya diriwayatkan dari dan kepada dua
orang perawi pada setiap thabaqat tidak mungkin terjadi. Secara teori memang ada
kemungkinan, tetapi sulit untuk dibuktikan13[13].
Dari pemahaman seperti ini, bisa saja terjadi suatu Hadits yang pada mulanya tergolong
sebagai Hadits 'Aziz, karena hanya diriwayatkan oleh dua rawi, tetapi berubah menjadi Hadits
Masyhur, karena perawi pada thabaqat lainnya berjumlah banyak.
Dalam Hadits 'Aziz terdapat Hadits 'Aziz yang Shahih, ada yang Hasan dan ada pula
yang Dha'if14[14]. Hadits 'Aziz yang Shahih, Hasan dan Dha'if tergantung kepada terpenuhi
atau tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan Hadits Shahih, Hasan dan Dha'if.
Contoh 1 : Hadits 'Aziz pada thabaqah pertama

‫ نحن اال خرون فى الد نيا اسا بقون يوم القيامة (عن‬: ‫قال رسول هللا صلي هللا عليه و سلَم‬
)‫حذ يفة وأبو هريرة‬
Artinya: “Rasulullah SAW. Bersabda, “ Kita adalah orang-orang yang paling akhir (di dunia)
dan yang paling terdahulu dihari kiamat.” (HR. Hudzaifah dan Abu Hurairah).
Hadits tersebut diriwayatkan oleh dua orang sahabat (thabaqah) pertama yakni
Hudzaifah Ibn al-Yaman dan Abu Hurairah. Hadits tersebut pada thabaqah kedua sudah
menjadi masyhur sebab melalui periwayatan Abu Hurairah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh
tujuh orang, yaitu Abu Salamah, Abu Hazim, Thawus, al-'Araj, Abu Shalih, Humam dan Abd
al-Rahman.
Contoh 2 : Hadits 'Aziz pada thabaqah kedua

‫ال يؤمن احدكم حتى اكون احب إليه من نفسه ووالده وولده والناس اجمعين‬
)‫(متفق عليه‬
Tidak sempurna iman salah seorang darimu sehingga aku lebih dicintainya dari pada ia
mencintai dirinya sendiri, orang tuanya, anak-anaknya dan manusia seluruhnya (Muttafaqun
'Alihi)
Hadits tersebut diterima oleh sahabat Anas Ibnu Malik (thabaqah pertama), kemudian
diterima oleh Qatadah dan Abd Aziz (thabaqah kedua).

13[13] Munzier Suparta, 2003, Ilmu Hadits, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal : 116.

14[14] Abdul an-Nashir Taffiqul al-'Aththar, Op-Cit, hal : 197.


Dari Qatadah diterima oleh Husein al-Mu'allim dan Syu'bah, sedang dari Abd al-Aziz
diriwayatkan oleh Abd al-Warits dam Ismail Ibnu Ulaiyah (thabaqah III). Pada thabaqah IV,
Hadits itu diterima masing-masing oleh Yahya Ibn Ja'far dan juga Yahya Ibnu Sa'id dari
Syu'bah, oleh Zubair Ibnu Harab dari Ismail, oleh Syaiban Ibnu Abi Syaibah dari Abd al-
Warits.
3). Hadits Gharib

Adapun pengertian Hadits Gharib adalah :

‫الغريب هو ما إنفرد بروايته راو بحيث لم يروه غيره او إنفرد بزيادة فى متنه او إسناده‬
Hadits Gharib adalah Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi karena tidak ada
orang lain yang meriwayatkannya, atau menyendiri dalam hal penambahan terhadap matan
atau sanadnya.
Hadis Gharib menurut bahasa adalah Hadist yang terpisah atau yang menyendiri dari yang
lain. Para ulama memberikan batasan sebagai berikut :

‫الحد يث الغريب هو الحد يث الَذي انفرد بروا يته شحص واحد فى اي مضع وقع التفر د من‬
.‫السند‬
Artinya: “Hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi (sendirian) pada
tingkatan maupun sanad ‘’
Contoh hadis gharib:

‫ انما ا‬:‫ سمعت سول هللا صلى هللا عليه و سلم يقول‬:‫عن عمر ابن الخطاب ضىاهلل عنه قال‬
‫العمال با النيات و انما لكل امرئ ما نوى‬
) ‫(رواه البخارى و مسلم و غير هما‬
Artinya: “Dari Umar bin Khattab, katanya, aku mendengar Rasulullah SAW. Bersabda,
“Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya (memperoleh) apa yang diniatkan.”(HR Bukhari,
Muslim, dan lain-lain).
Adapun maksud dari penyendirian rawi yaitu penyendirian rawi dalam meriwayatkan
Hadits itu, dapat mengenai personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain
rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan si rawi, artinya sifat atau keadaan si
rawi itu berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan Hadits
tersebut.
Ditinjau dari segi bentuk penyendirian rawi seperti tertera di atas, maka Hadits Gharib
ini terbagi menjadi dua macam, yaitu Gharib Mutlaq dan Gharib Nisbi.
a. Gharib Mutlaq
Dikatakan Gharib Mutlaq, artinya penyendirian itu terjadi berkaitan dengan keadaan
jumlah personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan Hadits tersebut kecuali
dirinya sendiri.
Contoh :

)‫اإليمان بضع وسبعون شعبة والحياء شعبة من اإليمان (متفق علعه‬


Iman itu bercabang-cabang menjadi 73 cabang, malu itu salah satu cabang dari iman
(Muttafaqun 'Alaihi)

Hadits tersebut diterima oleh Abu Hurairah dan Abu Hurairah (sahabat) hanya diterima
oleh Abu Shalih (tabi'in) dari Abu Shalih hanya diterima oleh Abdullah Ibn Dinar (tabi'u al-
tabi'in) yang darinya juga hanya diriwayatkan oleh Sulaiman ibn Bilal, dan dari Sulaiman
diterima oleh Abu Amir. Baru setelah dari Abu Amir Hadits tersebut diriwayatkan oleh
Ubaidillah Ibn Sa'id dan Abdun Ibn Humaid yang dari keduanya, kemudian diterima oleh
Muslim.
Mengenai Gharib Mutlaq ini, para ulama' berbeda pendapat, apakah penyendirian pada
thabaqah sahabat juga termasuk ke dalam kategori Hadits Gharib atau tidak. Dengan kata lain,
apakah kajian tentang keghariban Hadits itu juga termasuk pada thabaqah sahabat atau tidak.
Menurut sebagian ulama', keghariban sahabat juga termasuk, sehingga apabila suatu Hadits
diterima dari Rasulullah hanya oleh seorang sahabat (misalnya oleh Abu Hurairah sendiri atau
oleh 'Aisyah sendiri), Hadits tersebut juga disebut Gharib, meskipun pada thabaqah-thabaqah
berikutnya diterima oleh beberpa orang.
Menurut sebagian ulama' lainnya berpendapat bahwa, penyendirian sahabat tidak
termasuk ke dalam Hadits Gharib. Keghariban Hadits menurut mereka hanya diukur pada
thabaqah tabi'in (misalnya pada Ibn Syihab az-Zuhri) dan thabaqah-thabaqah berikutnya.
Dengan demikian, suatu Hadits baru bisa dikatagorikan ke dalam Hadits Gharib apabila terjadi
penyendirian pada thabaqah tabi'in atau thabaqah-thabaqah berikutnya.
b. Hadits Gharib Nisbi
Disebut Hadits Gharib Nisbi, arti katanya Gharib adalah yang relatif. Ini maksudnya,
penyendirian itu bukan pada perawi atau sanadnya, melainkan mengenai sifat atau keadaan
tertentu seorang rawi :

1. Penyendirian tentang sifat keadilan dan kedhabitan dan ketsiqahan rawi. Contoh :
‫م يقراء فى األضحى والفطر بق والقران المجيد واقترب الساعة وانشق‬.‫كان رسول هللا ص‬
)‫القمر (اخرجه مسلم‬
Konon Rasulullah SAW pada hari raya Qurban dan hari raya Idul Fitri membaca surat Qaaf
dan surat al-Qamar (Akhrajahu Muslim)
2. Penyendirian tentang kota atau tempat tinggal tertentu, yakni Hadits yang hanya diriwayatkan
oleh para rawi dari kota atau daerah tertentu saja, misalnya Basrah, Kufah atau Madinah saja.
Contoh :

)‫م ان نقراء بفاتحة الكتاب وما تيسر منه (رواه ابو داوو‬.‫امرنا رسول هللا ص‬
Rasulullah memerintahkan kepada kita agar membaca al-Fatihah
dan surat mudah dari al-Qur'an (HR. Abu Dawud)

Hadits ini diterima oleh Abu Dawud dari Abu Walid al-Thayalisi dari Hamam dan Qatadah
dari Abu Nasharah dan Sa'id yang kesemuanya berasal dari Bashrah.

3. Penyendirian tentang meriwayatkannya dari rawi tertentu. Contoh :

َ ‫م ا َ ْو‬.‫أن النبى ص‬
‫لم َعلى صفية بسوبق وتمر‬
Sesungguhnya Nabi SAW mengadakan walimah untuk Shafiyah dengan jamuan makanan
yang terbuat dari tepung gandum dan kurma
Dalam sanad Hadits tersebut, terdapat seorang rawi bernama Wa'il yang meriwayatkan
Hadits tersebut dari anaknya (Bakr Ibn Wa'il). Sedang perawi yang lain tidak ada yang
meriwayatkan demikian.
Adapun penyendirian pada segi matan, artinya matan Hadits yang diriwayatkan itu berbeda
dengan periwayatan rawi-rawi lain.
Penyendirian seorang perawi seperti di atas, bisa pada keadilan dan kedhabitannya, atau
pada tempat tinggal atau kota tertentu. Misalnya, Hadits itu tidak diriwayatkan oleh perawi
yang tsiqah kecuali si fulan. Maka si fulan berarti gharib dalam ketsiqahannya dari perawi
lainnya. Atau misalnya, Hadits itu tidak diriwayatkan oleh penduduk ahli Madinah kecuali si
fulan. Maka si fulan berarti gharib dalam meriwayatkan Hadits tersebut.
Dilihat dari sudut keghariban pada sanad dan pada matan, Hadits Gharib terbagi kepada
dua macam. Pertama, keghariban pada sanad dan matan secara bersama-sama, dan kedua,
keghariban pada sanad saja15[15].
Yang dimaksud dengan Gharib pada sanad dan matan secara bersama-sama adalah
Hadits Gharib yang hanya diriwayatkan oleh satu silsilah sanad dengan satu matan Haditsnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan Gharib pada sanad saja adalah Hadits yang telah populer
dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang rawi yang meriwayatkannya dari
salah seorang sahabat yang lain yang tidak populer. Periwayatan Hadits melalui sahabat yang
lain seperti ini disebut sebagai Hadits Gharib pada sanad.
Dari pembahasan tentang Hadits Gharib tersebut, jelasnya pada Hadits Gharib
mempunyai beberapa hukum (nilai) diantaranya :

1. Shahih, yaitu jika perawinya mencapai dhabith yang sempurna dan tidak ditentang oleh
perawi yang lebih kuat dari padanya.
2. Hasan, yaitu jika dia mendekati derajat yang di atas dan tidak ditentang oleh orang yang
lebih rajah dari padanya.
3. Syad, yaitu jika ditentang oleh orang yang lebih kuat dari padanya, sedang dia adalah
orang kepercayaan.
4. Munkar, yaitu jika ditentang oleh orang yang lebih kuat dari padanya, sedang diapun
adalah orang yang lemah.
5. Matruk, yaitu jika dia tertuduh dusta walaupun tidak ditentang oleh orang lain.

Oleh karena yang demikian, terbagilah Hadits Gharib kepada tiga bagian, yaitu :

1. Gharib Shahih, yaitu segala Hadits Gharib yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan
Shahih Muslim
2. Gharib Hasan, yaitu kebanyakan Hadits Gharib yang terdapat dalam sunan at-Turmudzi
3. Gharib Dha'if, yaitu kebanyakan Hadits Gharib yang terdapat dalam sunan-sunan lain
dan dalam musnad-musnad16[16]

15[15] Utang Ranuwijaya, Op-Cit, hal : 149

16[16] M. Hasbi ash-Shiddieqy, 1987, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, hal 84.
Untuk menetapkan suatu Hadits itu Gharib, hendaklah diperiksa lebih dulu pada kitab-
kitab Hadits, semisal kitab Jami' dan kitab Musnad, apakah Hadits tersebut mempunyai sanad
lain selain sanad yang dicari kegharibannya itu, atau tidak. Kalau ada hilanglah kegharibannya.
Cara untuk melakukan pemeriksaan terhadap Hadits yang diperkirakan Gharib dengan
maksud apakah Hadits tersebut mempunyai mutabi' atau syahid, disebut i'tibar. Jadi yang
dimaksud dengan i'tibar di sini adalah :

‫اإلعتبار تتبُّ ُع طرق الحديث من الجوامع والمساند واألجزاء‬


‫ أو ليس له شيئ منهما‬,‫حتى يُعلم أن له متابعا أو شاهدا‬
I'tibar adalah meneliti jalan-jalan Hadits dalam kitab-kitab Jami' Musnad dan kitab-kitab
juz untuk mengetahui apakah Hadits yang disangka fard (gharib) itu, ada mutabi'nya atau
tidak.17[17]

B. Ketentuan umum Hadits Ahad

Pembagian Hadits Ahad kepada Masyhur, 'Aziz dan Gharib tidak bertentangan dengan
pembagian Hadits Ahad kepada Shahih, Hasan dan Dha'if. Sebab membagi Hadits Ahad
kepada tiga macam tersebut, bukan bertujuan langsung untuk menentukan maqbul dan
mardudnya suatu Hadits, tetapi bertujuan untuk mengetahui banyak atau sedikitnya suatu
sanad. Sedang membagi Hadits Ahad kepada Shahih, Dha'if dan Hasan adalah bertujuan untuk
menentukan dapat diterima atau ditolaknya suatu Hadits.
Dengan demikian, Hadits Masyhur, 'Aziz itu masing-masing ada yang Shahih, Hasan
dan Dha'if. Juga tidak setiap Hadits Gharib itu tentu Dha'if. Ia adakalanya Shahih, apabila
memenuhi syarat-syarat yang dapat diterima dan tidak bertentangan dengan Hadits yang lebih
rajih. Hanya saja pada umumnya, Hadits Gharib itu Dha'if, dan kalaupun ada yang Shahih,
itupun hanya sedikit.
Contoh Hadits Gharib yang Shahih adalah Hadits Ibnu Mas'ud RA :

‫ نضّرهللا عبدا سمع مقالتي فوعاها فأدّاها كما سمعها‬: ‫قال رسول هللا صلعم‬
Rasulullah SAW bersabda : Allah mencemerlangkan seorang hamba yang mendengarkan
pembicaraan-pembicaraanku, lalu dipeliharanya, kemudian disampaikannya seperti yang
diterimanya.

17[17] Ibid, hal : 90.


C. Kedudukan Hadits Mutawatir Dan Hadits Ahad

Hadits Mutawatir jumlahnya banyak sekali dan sudah pasti shahih, sehingga tidak
dibahas lagi dalam ilmu isnad/musthalahul Hadits, karena ilmu Hadits membahas siapakah
perawi Hadits itu, seorang muslim, adil, dlabith ataukah tidak, bersambung-sambung sanadnya
atau tidak dan seterusnya. Hanya yang perlu dibahas di dalam Hadits Mutawatir adalah apakah
jumlah perawi yang meriwayatkan itu sudah cukup banyak atau belum, mungkinkah yang sama
memberitakan itu atau tidak, baik berdusta dengan jalan mufakat atau karena kebetulan saja,
demikian pula keadaan yang melatar belakangi berita itu, terutama kalau bilangan perawi itu
tidak begitu banyak jumlahnya. Karena Hadits Mutawatir sudah pasti shahih, wajib diamalkan
tanpa ragu-ragu, baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang amaliyah, yakni
baik mengenai ubudiyah maupun mu'amalah. Dan Hadits Mutawatir memberikan faedah qat'i
(yakin), sehingga bagi orang yang mengingkari Hadits mutawatir dihukumi keluar agama Islam
dan termasuk kafir18[18]. Sedangkan menurut M. Ajaj al-Khotib, bahwa Hadits Mutawatir
merupakan suatu perintah atau larangan yang harus diikuti dan diamalkan oleh setiap orang
muslim19[19].
Sedangkan Hadits Ahad memberikan faedah dhanni (diduga keras akan kebenarannya)
wajib diamalkan kalau sudah diakui akan keshahihannya dalam ilmu Hadits dan Ushul
Fiqh20[20]. Para muhaqqin menetapkan bahwa Hadits Ahad yang shahih diamalkan dalam
bidang amaliah, baik masalah-masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu'amalah, tidak
di dalam bidang aqidah/keimanan, karena keimanan atau keyakinan harus ditegakkan atas
dasar atau dalil yang qat'i, sedangkan Hadits Ahad hanya memberikan faedah dhanni. Oleh
karena itu, mempercayai suatu i'tikad yang hanya berdasarkan dalil dhanni tidak dapat
dipersalahkan. Dan Hadits Ahad tidak dapat menghapuskan hukum dari al-Qur'an, karena al-
Qur'an adalah Mutawatir, demikian pendapat imam Syafi'i. Dan menurut Ahlu al-Dhahir
(pengikut madzhab ad-Dahahiri) bahwa Hadits Ahad juga tidak boleh dipakai untuk
mentakhsiskan ayat-ayat al-Qur'an yang 'am, pendapat ini dikuti oleh sebagian ulama' pengikut
Hambali.

18[18] Moh Anwar Bc Hk, 1981, Ilmu Musthalah Hadits, al-Ikhlas, Surabaya, hal : 31.

19[19] Muhammad Ajaj al-Khotib, Op-Cit, hal : 316.

20 [20] Muhammad Thahir al-Jawaby, Matnul Hadisi an-Nabawy as-Syarif, Mu'assasah al-Karim
Abdullah, Tunisia, hal : 439
D. Perbedaan Hadis Mutawatir dengan Hadis Ahad.
1) Dari segi jumlah rawi, hadis mutawatir diriwayatkan oleh para perawi yang jumlahnya
sangat banyak pada setiap tingkatan sehingga menurut adat kebiasaan, mustahil mereka
sepakat untuk berdusta, sedangkan hadsi ahad diriwayatkan oleh para rawi dalam jumlah
yang menurut adat kebiasaan nasih memungkinkan mereka untuk sepakat berdusta.
2) Dari segi pengetahuan yang dihasilkan, hadis mutawatir menghasilkan ilmu qat’i (pasti)
atau ilmu daruri (mendesak untuk diyakini) bahwa Hadist itu sungguh-sungguh dari
Rasulullah, sehingga dapat dipastikan kebenarannya, sedangkan hadis ahad menghasilkan
ilmu zanni(bersifat dugaan), bahwa hadis itu berasal dari Rasulullah SAW. Sehingga
kebenarannya masih berupa dugaan pula.
3) Dari segi kedudukan, hadis mutawatir sebagai sumber ajaran agama Islam memiliki
kedudukan yang lebih tinggi dari pada hadis ahad. Sedangkan kedudukan hadis ahad
sebagai sumber ajaran Islam berada di bawah kedudukan hadis mutawatir.
4) Dari segi kebenaran keterangan matan, dapat ditegaskan bahwa keterangan matan hadis
mutawatir mustahiol bertentangan dengan keterangan ayat dalam Al-Qur’an, sedangkan
keterangan matan hadis ahad mungkin saja (tidak mustahil) bertentangan dengan
keterangan ayat Al-Qur’an. Bila dijumpai Hadist-hadist dalam kelompok Hadist ahad yang
keterangan matan Hadistnya bertentangan dengan keterangan ayat Al-Qur’an, maka
Hadist-hadist tersebut tidak berasal dari Rasulullah. Mustahil Rasulullah mengajarkan
ajaran yang bertentangan dengan ajaran yang terkandung dalam Al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hadist di tinjau dari kuantitasnya adalah dilihat dari sanadnya yaitu ada dua yakni Hadits
Mutawatir dan Hadist ahad
❖ Hadits Mutawatir yang memberikan faedah qat'i (yakin), wajib diamalkan tanpa ragu-ragu,
baik dalam masalah aqidah/keimanan maupun dalam bidang amaliyah, yakni baik
mengenai ubudiyah maupun mu'amalah.
❖ Hadits Ahad memberikan faedah dhanni wajib diamalkan, baik dalam bidang amaliah,
masalah-masalah ubudiyah maupun masalah-masalah mu'amalah, tidak di dalam bidang
aqidah/keimanan, karena keimanan atau keyakinan harus ditegakkan atas dasar atau dalil
yang qat'i, sedangkan Hadits Ahad hanya memberikan faedah dhanni.

B. Saran
Dalam penyusunan makalah ini maupun dalam penyajiaanya kami selaku manusia
biasa menyadari adanya beberapa kesalahan oleh karena itu kami mengharapkan kritk maupun
saran bagi kami yang brsifat membantu agar kami tidak melakaukan kesalahan yang sama
dalam penyusunan mkalah yang akan datang .
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir. 2000. Ulumul Hadits. Pustaka Setia: Bandung.
Ajaj al-Khotib, Muhammad.Ushulu al-Hadisi : Ulumuhu wa Musthalahuhu. Dar al-Manarah :
Jeddah, Makkah
Al-Jawaby, Muhammad Thahir. Matnul Hadisi an-Nabawy as-Syarif. Mu'assasah al-Karim
Abdullah: Tunisia.
Al-'Aththar, Abdul an-Nashir Taffiqul.Úlumus as-Sunnah wa Dusturu al-Ummah.
Anwar, Moh, Bc Hk.1981. Ilmu Musthalah Hadits, al-Ikhlas: Surabaya.
Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 1987. Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadits, Bulan Bintang:Jakarta.
At-Thahhan, Mahmud.Taisiiru Musthalahul Hadisi.
' Atar, Nuruddin. 1997. Manhajun al-Naqdi fi Ulumil Haditsi. Dar al-Fikr al-Mu'asir: Beirut.
Hasan, A. Qadir. 1990. Ilmu Mushthalah Hadits. CV Diponegoro; Bandung.
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Musthalahul Hadits. PT al-Ma'arif: Bandung.
Ranuwijaya, Utang. 2001. Ilmu Hadits, Gaya Media Pratama: Jakarta.
Soetari, Endang. 1997. Ilmu Hadits. Amal Bakti Press:Bandung.
Suparta, Munzier. 2003. Ilmu Hadits.PT Raja Grafindo Persada,:Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai