Anda di halaman 1dari 7

Mata kuliah Dosen Pengampu

Ulumul Hadits Inawati M.Jaine Jarabah. Lc.MA

PEMBAGIAN HADITS DARI SEGI KUANTITAS

Disusun oleh :

1. Hasan Arbai 210102010032


2. Muhammad Ajami 210102010030
3. Rihani Pajriah 210102010033
4. Rusma Diana 210102010031

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ANTASARI BANJARMASIN
2021

BAB I
Pendahuluan
Hadits adalah sumber hukum islam kedua setelah Al-Quran. Hadist juga dijadikan
sebagai sandaran hukum disamping Al-Quran, Ijma, dan Qiyas. Sebelum mengamalkan sesuatu
dalam hidup ada kalanya kita harus tau asal muasal kualitas dari sesuatu perkataan juga
perbuatan dari nabi Muhammad yang ditulis dalam hadits. Hadist atau al-hadits menurut bahasa
Al-Jadid yang artinya sesuatu yang baru. Hadist sering disebut dengan Al-Khabar yang berarti
berita, yaitu sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain.

Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan banyak pula bermunculan penelitian tentang


keilmuan islami, termasuk dalam ilmu hadits. Banyak sekali pembahasan dalam ilmu hadist yang
sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari. Maka sebelum itu adakalanya
kita mengatahui akan kuantitas dari hadits tersebut.

Didalam makalah ini, akan dijabarkan tentang pembagian hadits dari segi kuantitas sanad,
pada segi kuantitas sanad mengatup: mutawatir, ahad, dan gharib. Dari makalah ini diharapkan
pembaca dapat memahami dan mengerti hadits dari segi kuantitas. Agar tidak terjadi keragu
raguan dalam mengikuti amalan yang diperbuat dari hadits.

BAB II
Pembahasaan
Hadits berdasarkan kuantitas sanad
Sebelum masuk ke pengertian hadits dati segi kuantitas ada baiknya kita mengetahui apa
yang dimaksud dengan sanad. Untuk mengetahui tentang sanad hadits. Sanad adalah sandaran,
yaitu jalan matan dari Nabi Muhammad SAW sampai kepada orang yang mengeluarkan (mukhrij)
hadits itu atau muddawwin (orang yang menghimpun atau membukukan) hadits. Sanad biasa
juga disebut dengan isnad yang artinya penyandaran. Pada dasarnya orang atau ulama yang
menjadi sanad hadits itu adalah perawi juga. Atau dengan redaksi lain sanad adalahperiwayatan
yang dapat menghubungan matan hadits kepada Nabi Muhammad SAW.1
Kuantitas hadits disini ialah dari segi jumlah orang yang meriwayatkan suatu hadits atau
dari segi jumlah sanadnya. Dalam membagi hadits jumhur ulama membagi secara umum
menjadi 2 macam, yaitu hadist mutawatir dan hadits ahad2
A. Hadis Mutawatir
1. Pengertian
Secara etimologi, kata mutawatir adalah sebagai isim fail dari kata al-tawatur, berarti al-

1
Mardani, Hadis Ahkam, (Jakarta:PT Rajagrafindo Persada, 2012) hal.14
2
Rozali, ilmu hadits, (Medan:Azhar Centre,2019) hal.60
tatabbu, artinya beruntun atau berturut turut. Adapun secara terminologi, ahli hadits
mendefenisikannya sebagai berikut:
‫وھﻮ ﻣﺎ رواه ﺟﻤﻊ ﺗﺤﯿﻞ اﻟﻌﺎدة ﺗﻮاطﺆھﻢ ﻋﻠﻰ اﻟﻜﺬب ﻋﻦ ﻣﺜﻠﮭﻢ ﻣﻦ اول اﻟﺴﻨﺪ اٮﻞ ﻣﻨﺘﮭﺎه ﻋٮﻞ ان اﻟﯿﺤﺘﻞ ھﺬا اﻟﺠﻤﻊ ف اي طﺒﻘﺔ‬
‫ﻣﻦ طﺒﻘﺎت اﻟﺴﻨﺪ‬

“(Hadits) mutawatir ialah hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang tidak
mungkin sepakat berdusta dalam periwayatannya walaupun tidak sengaja secara bersambung
dari awal hingga akhir sanadnya serta didasarkaan pada penglihatan atau pendengaran atau
seumpamanya.

2. Pembagian Hadits Mutawatir

Hadits mutawatir dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu lafzi dan ma'nawi. Hadits mutawatir
lafzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh jumlah perawi yang banyak, dan para perawi tidak
berbeda pendapat mengenai lafaznya, seperti hadits.
Adapun hadits mutawatir ma'nawi ialah hadits yang diriwayatkan dan berbagai sumber
dengan lafaz berbeda, namun semua perawi sepakat menggunakan satu ma'na.Sebagai contoh
hadits mutawatir :
ِ‫ﻣَﻦْ ﻛَﺬَ بَ ﻋَﻠَﻲﱠ ﻣُﺘَﻌَﻤﱢﺪًا ﻓَﻠْﯿَﺘَﺒَﻮﱠأْ ﻣَﻘْﻌَﺪَهُ ﻣِﻦْ اﻟﻨﱠﺎر‬

Mengenai hadits hadits mutawatir ini As Suyuthi telah mengkoleksikan dalam dalam
bukunya al-Azhar al-Mutanatsirat fi al Akhbar al-Mutawatirat dan diringkas dalam bukunya
yang dikenal dengan “qathf al-Azhar” Adapun hukum hadits mutawatir, baik yang lafzi maupun
ma‟nawi, merupakan hadits yang qath‟iyyu al-tsubut, memberi keyakinan yang sangat kuat
tanpa diragukan kebenarannya dan mengharuskan kita untuk menerima dan mempedomaninya3

3. Syarat Syarat Hadits Mutawatir


Para ulama mensyaratkan ḥadits mutawatir sebagai berikut:
1. Dirawayatkan oleh sejumlah perawi yang banyak.
2. Adanya kesinambungan jumlah perawi yang banyak dalam setiap ṭabaqah sanadnya..
3. Mesti ada pertimbangan menurut adat dan akal yang mengindikasikan
kemustahilan mereka untuk berdusta dengan jumlah yang banyak tersebut.
4. Khabar tersebut harus berdasarkan empiris.

Batasan jumlah perawi ḥadits mutawatir yang ditawarkan para ulama sangat beragam,

3
Suja’I,fitriadi,alfiah,Studi Ilmu Hadis (Riau: Kreasi Edukasi,2016),hal.113-114
sebagian mengkiaskannya pada jumlah monumental dari Alquran, ajaran Islam, maupun
peristiwa-peristiwa pada sirah Nabi saw., seperti jumlah empat orang saksi zina, lima nabi ulul
‘azmi, tujuh orang aṣḥabul-kahfi, 20 orang sabar pada Q.S. Al-Anfal [8]: 65, 40 orang jumlah
minimal dalam salat jum’at, 70 orang yang dipilih oleh Nabi Musa as. (Q.S. Al-A‘raf [7]:155),
300 orang lebih peserta perang Badar, 1500 orang peserta Bai‘atur-Riḍwan dan lain-lain.
Sebagian lainnya membatasi jumlah minimal perawi ḥadits mutawatir sebanyak sepuluh orang
saja. Pendapat terakhir dipegang oleh as-Suyuṭiy dan diperkuat oleh aṭ-Ṭaḥḥan. Boleh jadi
pendapat terakhir ini di samping berdasarkan kiasan dari Q.S. Al-Baqarah [2]: 196 “tilka
‘asyaratun kamilah” didasari oleh kaedah bahasa bahwa bilangan di bawah sepuluh merupakan
jam‘ qillah. Seluruh jumlah minimal yang dikemukakan di atas, kecuali yang terakhir, tidak
mempunyai landasan yang kuat. Hanya saja pendapat yang paling kuat adalah tidak
adanyaketentuan jumlah minimal, dan patokannya adalah jumlah yang memberikan ilmu yang
yakini atas berita yang disampaikan.

Sebagian ulama tidak mensyaratkan kesinambungan jumlah perawi. Menurut mereka bisa
saja suatu ḥadits yang pada ṭabaqah pertama diriwayatkan secara perorangan, kemudian pada
ṭabaqah berikutnya diriwayatkan oleh banyak orang secara sinambung, seperti ḥadits
‫انﻣﺎل اعملبالنﯾﺎت‬
Ibnu Ṣhalaḥ menolak ḥadits yang sedemikian sebagai yang mutawatir. As-Sa‘ad berkata:
“Khabar dari tiap satu orang tidaklah memberi manfaat kecuali ẓann (dugaan), dan
mengumpulkan yang ẓann kepada ẓann yang lain tidaklah mesti menjadikannya suatu
keyakinan.” Ibnu Ḥajar menepis pendapat ini, dengan argumentasi bahwa keberadaan hadistaḥad
ṣaḥīḥ yang banyak dalam kitab-kitab ḥadīṡ, lalu para perawinya bertemu dalam mengeluarkan
suatu ḥadīṡ sehingga jumlahnya sanadnya menjadi banyak, dan memenuhi syarat-syarat ḥadits
mutawatir, maka hal itu telah memberikan ‘ilm yaqiniy atas validitas ḥadīṡitu yang berasal dari
sumbernya, yakni Nabi saw. Kiranya perbedaan tersebut bersumber dari pengertian hadist
mutawātir lafẓiy/ḥaqiqiy dan ḥaditṡ mutawātir ma‘nawiy sebagaimana yang akan dibahas nanti.
Sedangkan az-Zuhailiy mencukupkan kesinambungan banyaknya perawi tersebut sampai pada
ṭabaqah ke III (tabi‘it tabi‘in), sebab cara penyampaian ḥadīṡmutawātir setelah ṭabaqah tersebut
melalui tadwīn.4
B. Hadits ahad
1. Pengertian

4
Alif Muhammad, Asy Syifa (Banten, jurnal Tafsir dan Hadits , 2010 ) hal.39-41
Secara bahasa kata ahad atau wahid berarti satu. Maka hadis ahad atau hadis wahid
adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.5 Sedangkan hadis ahad menurut definisi
singkat :
‫اﻟﻤﺘﻮاﺗﺮ ﺷﺮوط ﯾﺠﻤﻊ ﻟﻢ ﻣﺎ‬
“Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat mutawatir”
Ulama lain mendefinisikan dengan hadis yang sanadnya shahih dan bersambung hingga
sampai kepada sumbernya (Nabi Muhammad SAW) tetapi kandungannya memberikan
pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin. Dari dua definisi di atas ada dua
hal yang harus digaris bawahi, yaitu:
1. Dari sudut kuantitas perawinya,hadis ahad berada di bawah kuantitas hadis mutawatir.
2. Dari sudut isinya, hadits ahad memberi faedah zhanni bukan qath’i Pembagian Hadis
Ahad
Dalam hadits ahad terbagi dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Hadis Masyhur
Hadits masyhur menurut bahasa ialah al-intisyar wa az-zuyu artinya sesuatu yang
tersebar dan populer6. Sedangkan menurut istilah :
‫اﻟﺘﻮاﺗﺮ درﺟﺔ إﻟﻰ ﯾﺼﻞ وﻟﻢ واﺣﺪة طﺒﻘﺔ ﻓﻲ وﻟﻮ ﻓﺄﻛﺜﺮ ﺛﻼﺛﺔ رواھﻤﺎ‬
Hadis yang diriwayatkan dua orang atau lebih tetapi tidak sampai batasan mutawatir”
Dari sudut kualitasnya, dapat dibagi menjadi :
1) Hadis Masyhur Shahih, yaitu Hadis Masyhur yang memenuhi syarat- syarat
keshahihannya. Maka Hadis Masyhur Shahih dapat dijadikan hujjah.
Contohnya :
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumat, hendaklah ia mandi.”
2) Hadits Masyhur Hasan, yaitu hadits masyhur yang kualitas perawinya di bawah hadits
masyhur yang shahih.
Contohnya: “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim”
 Hadits Masyhur yang dhaif, artinya Hadits Masyhur yang tidak memiliki syarat-syarat atau
kurang salah satu syaratnya dari syarat hadits shahih. Dan tidak dapat dijadikan hujjah.
Contohnya: “Siapa yang mengetahui dirinya, niscaya ia mengetahui Tuhan-nya”
2. Hadits Aziz

5
Munzier suparta, ilmu hadis, (Jakarta Rajagrafindo,2010)hal 107
6
Munzier Supatra, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajagrafindo, 2010) hal ". 110
Aziz menurut bahasa berarti mulia, kuat, atau sedikit. Secara terminologis, aziz
didefinisikan sebagai Hadis yang diriwayatkan oleh sedikitnya dua orang perawi diterima dari
dua orang pula.
Sebagaimana hadits Masyhur, hadits aziz terbagi kepada shahih, hasan dan da’if. Pembagian ini
tergantung kepada terpenuhi atau tidaknya ketentuan- ketentuan atau syarat-syarat yang
berkaitan dengan kualitas ketiga kategori tersebut.
Contohnya :
‫ووﻟﺪه واﻟﺪه ﻣﻦ إﻟﯿﮫ أﺣﺐّ أﻛﻮن ﺣﺘﻰ أﺣﺪﻛﻢ ﯾﺆﻣﻦ ﻻ‬
Artinya: “Tidaklah beriman seseorang di antara kamu, hingga aku lebih dicintai dari pada dirinya,
orang tuanya, anaknya dan semua manusia” (H.R. al-Bukhari dan Muslim)
3. Hadits Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-Munfarid artinya menyendiri atau al- Ba’id an
Aqaribihi artinya jauh dari kerabatnya. Sedangkan Secara terminologis, gharib didefinisikan :
“Hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya”
Ada dua macam pembagian Hadits Gharib, yaitu :
1. Dilihat dari sudut bentuk penyendirian perawi
a. Hadits Gharib Muthlaq artinya penyendirian itu terjadi berkaitan dengan keadaan
jumlah personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan Hadits tersebut, kecuali
dirinya sendiri.
b. Hadits Gharib Nisbi artinya penyendirian itu bukan pada perawi atau sanadnya,
melainkan mengenai sifat atau keadaan tertentu,yang berbeda dengan dengan perawi lainnya.
2. Dilihat dari sudut kaitannya antara penyendirian pada sanad dan matan.
a. Gharib pada sanad dan matan secara bersama-sama, yaitu hadits Gharib yang hanya
diriwayatkan oleh salah satu silsilah sanad, dengan satu matan haditsnya.
b. Gharib pada sanad saja, yaitu hadits yang telah populer dan diriwayatkan oleh banyak
sahabat, tetapi ada seorang rawi yang meriwayatkan dari salah seorang sahabat lain yang lain
yang tidak populer.
BAB III
Penutup
Dengan demikian telah dijelaskan bahwa hadits merupakan sumber hukum islam kedua
setelah Al-Quran. Hadist juga dijadikan sebagai sandaran hukum disamping Al-Quran, Ijma, dan
Qiyas. Juga telah menjabarkan tentang pembagian hadist dari segi kuantitas sanad, yang mana
para ulama telah membagi menjadi 2 bagian yaitu : hadits mutawatir dan hadits ahad. Selajutnya
hadits ahad pun terbafi menjadi 3 bagian yaitu : hadits masyhur, hadits azis dan hadits gharib
Daftar Pustaka
Mardani.2012.Hadis Ahkam. Jakarta: Rajagrafindo Persada

Rozali, Muhammad.2019.Ilmu Hadits. Medan:Azhar Centre

Suja’I,fitriadi,alfiah.2016.Studi Ilmu Hadi. Riau: Kreasi Edukasi

Alif Muhammad.2010. Asy Syifa Banten. Jurnal Tafsir dan Hadits

Munzier suparta.2010. Ilmu Hadits. Jakarta:Rajagrafindo

Munzier Supatra.2010. Ilmu Hadits. Jakarta: Rajagrafindo

Anda mungkin juga menyukai