Anda di halaman 1dari 4

MAKALAH ULUMUL HADIS

PEMBAGIAN HADIS
Dosen pengampu:

RAHADIAN KURNIAWAN, M.Pd.I

Di susun oleh:

Kelompok 6

1.RAJU ANGGARA

2.FERA FUJI RAHAYU

3.ESIN VRIANITA UTAMA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI)

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) CURUP

2020
A.pembagian hadis dari segi kuantitas/jumlah perawi

1. Hadis Mutawatir

Menurut bahasa, kata Mutawatir, berarti mutatabi' yaitu yang (datang) berturut-turut, dengan tidak ada
jaraknya. Sedangkan hadis mutawatir menurut istilah ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang banyak
dalam setiap generasinya, yang menurut adat tidak mungkin mereka berbuat dusta, dan mereka
meriwayatkannya secara indrawi dan memberikan ilmu yakin. Selain itu, ada juga yang mendefinisikan
Hadis Mutawatir ialah Hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang yang menurut adat mustahil mereka
bersepakat untuk berdusta (jumlah banyak itu) sejak awal sanad sampai akhirnya. Ada lagi yang
mendefenisikan hadis mutawatir ialah Hadis yang diriwayatkan banyak orang, dan diterima dari banyak
orang pula, yang menurut adat mustahil mereka bersepakat untuk berdusta.

Dari definisi tersebut maka terdapat beberapa ciri atau syarat yang bisa disematkan pada hadis Mutawatir,
yaitu: diriwayatkan banyak orang, diterima banyak orang, tidak mungkin perawi yang banyak itu
bersepakat untuk berdusta, dan hadis itu didapat melalui panca indra. Jika dilihat berdasarkan fungsi dari
ilmu hadis yaitu untuk memberikan keyakinan atas berita atau hadis yang disampaikan periwayat, maka
kedudukan hadis mutawatir telah tercapai dengan baik bahwa yang tergandung di dalamnya adalah benar-
benar dari Rasulullah SAW.

Adapun hadis mutawatir ini umumnya dibagi kedalam dua kategori yaitu, mutawatir lafzi dan mutawatir
maknawi. Sedangkan M. Syuhudi Ismail menambahkan satu lagi yaitu mutawatir 'amali, yaitu amalan
agama yang dikerjakan Nabi Muhammad lalu diikuti oleh sahabat dan seterusnya hingga sekarang, seperti
waktu shalat, jumlah rakaat shalat, adanya shalat id, adanya shalat janazah dan seterusnya.

Mutawatir lafzhi menurut para ulama, jumlahnya sangat sedikit, bahkan menurut Ibn Hibban dan al-
Hazimi hadis tidak ada. Al-Asqolani menolak pendapat ibn Hibban dan al-Hazimi, menurutnya
pandangan yang demikian itu terjadi karena kurang mengetahui jalan-jalan atau keadaan-keadaan para
rawi serta sifat-sifatnya yang menghendaki bahwa mereka itu tidak mufakat untuk berdusta. Salah satu
contoh hadis mutawatir lafzhi yang sering dikutip yaitu "barang siapa yang dengan sengaja berbuat dusta
atas namaku, niscaya ia menempati tempat duduknya dari api neraka". Berbeda dengan mutawatir lafzhi,
muawatir maknawi tidak banyak diperdebatkan oleh ahli hadis, karena hadis ini relatif jauh lebih banyak
dan lebih mudah dijumpai karena biasanya menyangkut aktifitas ibadah ritual.

Hadis-hadis mutawatir ini ini dapat diperoleh pada kitab-kitab hadis para ulama, tetapi untuk
memudahkan memperoleh dan mengetahuinya terdapat ulama yang secara khusus menulis kitab hadis
yang berisi hadis-hadis mutawatir, salah satu diantaranya ialah: al-azhar al-Mutanatsirah fi al Akhbar al-
Mutanawatirah karya as-Suyuti yang di dalamnya memuat 112 buah hadis.

2. Hadis Ahad

Secara sederhana, yang disebut hadis ahad adalah hadis yang tidak mutawatir. Kata ahad adalah bahasa
Arab yang berarti satu, maka pengertian hadis ahad adalah hadis yang disampaikan oleh satu periwayat.
Dalam beberapa literatur yang didapat pengertian hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi syarat-
syarat hadis mutawatir, atau yang jumlah periwayatnya terbatas dan tidak banyak sebagaimana yang
terjadi pada hadis mutawatir.

Hadis ahad dibagi menjadi tiga jenis yaitu, hadis masyhur, hadis aziz, dan hadis gharib. Hadis masyhur
adalah hadis yang diriwayatkan lebih dari dua orang tetapi belum mencapai derajat mutawatir. Hadis aziz
adalah hadis yang jumlah periwayatnya tidak kurang dari dua orang dalam seluruh tingkatannya.
Sedangkan hadis gharib adalah hadis yang periwayatnya diriwayatkan satu orang saja dengan tanpa
mempersoalkan dalam berbagai tingkatannya.

Terkait dengan kedudukannya ulama hadis sependapat bahwa hadits ahad yang maqbul (bisa diterima)
dalam arti shahih, bisa digunakan sebagai dasar hukum Islam, dan wajib diamalkan. Adapun yang
berkaitan dengan akidah ada beberapa pendapat yang netral, hadits ahad yang telah memenuhi syarat
(shahih) dapat dijadikan hujjah / dalil untuk masalah akidah asal hadits tersebut tidak bertentangan
dengan al-Qur'an, dan hadits-hadits lain yang lebih kuat, dan tidak bertentangan dengan akal sehat.

B.pembagian hadis dari segi kualitas nya

Berdasarkan kualitasnya, ulama mat'akhkhirin membagi hadis dalam tiga kategori yaitu: hadis shahih,
hadis hasan, dan hadis dla'if. Hadis shahih ialah hadis yang bersambung sanad-nya, adil dan dlabith (kuat
hafalannya )periwayatnya, tidak syadz (ganjil, menyimpang) dan tidak cacat. Hadis hasan ialah hadis
yang bersambung sanad-nya dengan periwayat hadis yang 'adil, rendah tingkat ke-dlabith-annya, mulai
dari awal sanad sampai akhir tidak syadz dan tidak cacat. Sedangkan hadis dla'if ialah hadis yang tidak
memenuhi sifat-sifat hadis shahih dan hadis hasan.

Baik hadis shahih, hasan maupun dla'if juga masih dibagi kedalam beberapa jenis. Hadis shahih dan hadis
hasan masing-masing dibagi menjadi dua, yaitu lidzatih dan li ghayrih. Sedangkan hadis dha'if banyak
macamnya, diantaraya hadis dla'if mu'allaq, mu'dhal, munqathi' mursal, mudallas, maudlu' matruk,
munkar, mu'alli, mudraj, maqlub, mudltharib, mushahhaf, majhul, syadz, mukhtalith, dan lain-lain.
Banyaknya hadis dla'if ini berkaiatan dengan tidak terpenuhinya salah satu atau lima syarat hadis shahih.
C.hadis maqbul dan hadis mardud

Hadis maqbul artinya hadis yang telah jelas kebenaran yang diriwayatkan perawi. Maqbul sendiri secara
bahasa berarti yang diterima. Hukum hadis maqbul adalah wajib dijadikan landasan dalil hukum dan
diamalkan.

Berdasarkan kualitasnya, hadis maqbul terbagi menjadi empat bagian;

1.Shahih li dzatihi; Hadis yang sanadnya tersambung, dengan perantara perawi yang ‘adil dan kuat
hafalannya, tanpa ada syadz dan illat.

2.Shahih li lighairihi; Hadis hasan yang naik derajatnya menjadi shahih karena ada riwayat yang sama
yang lebih kuat darinya.

3.Hasan li dzatihi; hadis yang sanadnya tersambung dengan perantara perawi yang adil tapi terdapat
kekurangan pada hafalannya, tidak ada syadz dan illat.

4.Hasan di ghairihi; hadis dhaif yang naik dejaratnya menjadi hasan karena ada riwayat lain yang lebih
kuat darinya.

Jika hadis maqbul adalah hadis yang memiliki syarat-syarat hadis maqbul seperti dijelaskan di atas, maka
hadis mardud adalah hadis yang tidak mencukupi syarat hadis maqbul. Setiap hadis yang mardud atau
ditolak hukumnya dhaif.

Menurut ulama mutaqaddimin, hadis dhaif ada yang matruk (ditinggal) dan ada yang tidak sampai matruk
(ditinggal) ini merupakan penjelasan Ibnu Taimiyah. Sementara ulama muta’akhirin menyebutkan, hadis
mardud adalah hadis yang tidak memenuhi syarat hadis shahih dan tidak pula syarat hadis hasan.

Artinya hadis mardud adalah hadis yang tidak jelas kebenaran riwayat yang disampaikan perawi. Secara
bahasa, mardud artinya yang ditolak dan tidak diterima. Hukumnya, hadis mardud tidak bisa dijadikan
landasan hukum dan tidak wajib mengamalkannya. Hadis tertolak terkadang karena sanadnya terputus
atau karena terdapat masalah pada diri perawi.

Anda mungkin juga menyukai