Anda di halaman 1dari 8

TUGAS STUDI AL-HADIST

HADITS – HADITS NABI DARI SEGI KUALITASNYA

OLEH:
MULYANINGSIH
2197204005

PROGRAM STUDI S-1 PENDIDIKAN IPA


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HASYIM ASY‘ARI
JOMBANG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Hadist merupakan sumber ajaran agama islam, di samping Al-Qur’an. Bila dilihat dari segi
periwayatannya jelas berbeda antara Al-Qur’an dengan hadist. Untuk Al-Qur’an semua periwayatan
berlangsung secara mutawatir, sedangkan periwayatan hadist sebagian berlangsung secara
mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Berawal dari hal tersebut sehingga timbul
berbagai pendapat dalam menilai kualitas sebuah hadist sekaligus sebagai sumber perdebatan, yang
akibatnya bukan kesepakatan yang didapatkan tetapi sebaliknya justru perpecahan.

Mayoritas ulama’ berbeda pendapat dalam pengkajian hadist. Hadist yang sering dijumpai tidak
serta merta dapat diterima secara langsung, hadist yang didapati perlu adanya pencarian jati diri
hadist tersebut untuk dijadikan landasan hidup.

B. Rumusan Masalah

Adapun pokok pembahasan dalam makalah ini dirumuskan masalah berikut ini:

1.      Bagaimana pembagian hadits dari segi kualitasnya?

2.      Apa yang dimaksud dengan hadits Shahih?

3.      Apa yang dimaksud dengan hadits Hasan?

4.      Apa yang dimaksud dengan hadits Dha’if?

C. Tujuan

1. Mengetahui macam-macam hadits

2. Mengetahui maksud dari Hadits Shahih

3. Mengetahui maksud dari Hadits Hasan

4. Mengetahui maksud dari Hadits Dha’if


BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pembagian Hadits Ditinjau Dari Segi Kualitasnya

Ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan-nya, atau berdasarkan kepada kuat dan lemahnya, Hadits
terbagi menjadi 2 golongan, yaitu: Hadits Maqbul & Hadits Mardud.

Yang dimaksud dengan Hadits Maqbul adalah hadits yang memenuhi syarat untuk diterima sebagai
dalil dalam perumusan hukum  atau untuk beramal dengannya. Hadits Maqbul ini terdiri dari
Hadits Shahih dan Hadits Hasan. Sedangkan yang dimaksud dengan Hadits Mardud adalah Hadits
yang tidak memenuhi syarat-syarat qabul, dan Hadits Mardud dinamai juga dengan Hadits Dha’if.

B.     Hadits Shahih

1.      Pengertian Hadits Shahih

Kata “Shahih” menurut bahasa berarti: sehat, selamat, sah dan sempurna. Ulama biasa menyebut
kata shahih sebagai lawan dari kata “saqim” yang bermakna sakit. Makna hadits shahih secara
bahasa adalah hadis yang sehat, selamat, benar, sah, sempurna dan yang tidak sakit. Sedangkan
menurut istilah yaitu “ Hadis yang dinukilkan (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna
ingatannya, bersambung sanadnya, tidak ber’illat (cacat),  dan tidak syadz (janggal).” Demikian
pengertian hadis shahih menurut pendapat muhadditsin.

2.      Syarat-syarat Hadis Shahih

Dari pengertian di atas bahwa suatu hadis dapat dikatakan shahih apabila memenuhi lima syarat,
yaitu:

a. Bersambung sanadnya, maksudnya tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima
langsung dari guru yang memberinya dan tidak terdapat rawi yang gugur.

b.      Perawinya adil, terdapat beberapa kriteria yaitu beragama Islam, dewasa, sehat jasmanai dan
rohani, mukallaf, memelihara muru’ahnya, dan tidak mengikuti salah satu pendapat mazhab yang
bertentangan dengan dasar syara’.

c.       Perawinya dhabith, maksudnya kuatnya daya ingat perawi hadis terhadap hadis yang
didengar             maupun menyampaikannya sebagaimana mestinya, kapan saja ketika diperlukan.
Para muhadditsin membaginya menjadi dua bagian, yaitu:

-  Dhabith shadr atau dhabith fu’ad yaitu terpeliharanya semua hadis dalam hafalan, mulai dari ia
menerima sampai meriwayatkannya kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan
kapan saja, dimana saja ia kehendaki.

- Dhabith kitab yaitu terpeliharanya ingatan itu melalui tulisan-tulisan atau catatan-catatan yang
dimilikinya. Ia ingat betul hadis-hadis yang telah ditulis sejak ia mendengarnya, meriwayatkannya
kepada orang lain yang benar. Jika ditemukan adanya kesalahan tulisan dalam kitab, ia mengetahui
kesalahannya.
d.      Tanpa syadz(janggal) yaitu hadis yang sanad dan matannya tidak bertentangan dengan hadis
lain yang lebih tsiqqah.

e.       Tanpa ‘illat (cacat) maksudnya hadis yang secara lahiriyyah tidak cacat, tetapi apabila diteliti
cacat itu ada sehingga keberadaannya dapat mencacatkan keshahihannya.

3.      Macam-macam Hadis Shahih

Para ulama hadis membagi hadis shahih menjadi dua macam, yaitu:

a. Hadis Shahih Li Dzatihi

      Hadis shahih li dzatihi adalah  hadis yang didalamnya telah terpenuhi syarat-syarat hadis maqbul
atau yang memenuhi syarat-syarat diatas secara sempurna. Akan tetapi jika kualitas daya ingat
perawi kurang sempurna, maka hadis shahih li dzatihi akan turun menjadi hadis hasan lidzatihi, akan
tetapi jika kekurangan tersebut dapat ditutupi dengan adanya hadis lain yang kualitas daya ingatnya
lebih kuat maka naiklah hadis hasan li dzatihi menjadi hadis shahih lighairihi.

b. Hadis Shahih Li Ghairihi

      Hadis shahih li ghairihi adalah hadis yang keshahihannya dibantu oleh adanya hadis lain. Pada
mulanya hadis ini memiliki kelemahan berupa periwayatan yang kurang dhabith, sehingga dinilai
tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan sebagai hadis shahih. Tetapi setelah diketahui ada hadis
lain dengan kandungan matan yang sama dengan kualitas shahih maka hadis tersebut naik menjadi
hadis shahih, kata lain hadis shahih li ghairihi pada asalnya adalah hadis hasan yang karena hadis ada
hadis shahih dengan matan yang sama maka hadis hasan tersebut naik menjadi hadis shahih. Contoh
hadis hasan menjadi shahih li ghairihi:

ِ ‫ق َعلَى ُأ َّمتِي اَل َ َمرْ تُهَ ْم بِال ِّس َو‬


َ ‫اك ِع ْن َد ُك ِّل‬
)‫ ( رواه الترمذي‬.‫صاَل ٍة‬ َّ ‫لَوْ اَل َأ ْن َأ ُش‬

Kalau tidak memberatkan ummatku, sungguh aku akan menyuruh mereka siwak (sikat gigi) setiap
hendak shalat. (HR TIRMIDZI)

Dalam redaksi yang sama persis, hadis tersebut diriwayatkan oleh Imam Tirmizi juga Imam Bukhari.
Hadis yang melalui jalur Imam Tirmidzi melalui rawi Muhammad bin Amir yang terkenal sebagai
orang yang jujur namun dinilai kurang dhabit, maka hadis tersebut adalah hasan li dzatihi. Akan
tetapi ada hadis lain dengan redaksi dan makna yang sama melalui jalur Bukhari yang shahih, maka
hadis yang melalui jalur Tirmidzi naik menjadi hadis Shahih li ghairihi.

4.      Kehujjahan Hadis Shahih

Dalam menanggapi masalah apakah hadis shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
menetapkan hukum secara umum maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan ahli
Fiqh bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.

Sekalipun demikian, kesepakatan tersebut hanya terbatas pada masalah-masalah yang berkaitan
dengan penetapan status halal dan haram, bukan yang berhubungan dengan keyakinan atau aqidah,
sebab masalah keyakinan atau aqidah harus ditetapkan dengan dasar Al-Qur’an dan hadis
mutawwatir bukan dengan hadis ahadi, sedangkan hadis shahih termasuk ke dalam salah satu
macam hadis ahadi jika dilihat dari sisi kualitasnya.
Dari faktor itulah, maka stratifikasi hadis shahih tergantung pada sejauh mana kedhabitan dan
keadilan para perawinya, semakin dhabit dan adil maka semakin tinggi pula strata kualitas hadis
yang diriwayatkan.

C. Hadits Hasan

1.      Pengertian Hadis Hasan

Secara bahasa Hasan artinya sesuatu yang disenangi dan dicondongi oleh nafsu. Sedangkan secara
istilah menurut Ibnu Hajar al-Asqalani adalah:

“Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya,
tidak mengandung ‘illat (cacat), dan tidak mengandung kejanggalan (syadz)”.

Para ulama sepakat bahwa istilah hadis hasan diperkenalkan pertama kali oleh Tirmidzi, karena
sebelum beliau pembagian hadis hanya ada shahih dan saqim atau maqbul dan mardud.

2.      Macam-macam Hadis Hasan

Sebagaimana hadis shahih, demikian pula hadis hasan juga dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Hadis hasan li dzatihi

Hadis yang memenuhi lima unsur persyaratan hadis shahih, tetapi salah satu rawi ditengarai kurang
kuat hafalannya.

Menurut al-Hafidz Ibnu Hajar, hadis hasan li dzatihi ialah hadis yang bersambung sanadnya dengan
penukilan perawi yang ‘adil dan ringan kedhabitannya dan yang semisalnya atau dari perawi yang
lebih tinggi darinya sampai akhirnya berhentinya sanad dan bukan hadis yang syadz, juga bukan
mu’allal (yang bercacat).

b. Hadis hasan li ghairihi

Yaitu hadis dha’if yang karena didukung oleh hadis lain yang shahih dengan matan yang sama,
sehingga naik menjadi hadis hasan li ghairihi. Hadis yang naik peringkatnya menjadi hadis hasan
hanyalah hadis dha’if yang tidak terlalu dha’if. Adapun hadis yang sangat lemah tidak dapan menjadi
hadis hasan meskipun terdapat hadis hadits dengan matan yang sama berkualitas shahih.

Contoh hadis dha’if yang menjadi hadis hasan li ghairihi:


َ‫ْت فِى ْال َجنَّ ِة فَ َرَأيْت‬ َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَ ِم ق‬
ُ ‫ اطَلَع‬: ‫ال‬ ٍ ‫َح َّدثَنَا ع ُْث َمان ب ِْن الهَ ْيت َِم َح ّدثَنَا َعوفُ ع َْن َأبِي َر َجا ٍء ع َْن ِع ْم َر‬
َ ‫ان ْب ِن ُح َسي ٍْن َع ِن النَّبِى‬
ِّ َ ْ ‫َأ‬
)‫ ( رواه البخارى‬.‫ار فَ َر يْت كث َر أ ْهلِهَا الن َسا ُء‬ ُ ‫َأ‬ ِ ‫َأ ْكثَ َر َأ ْهلِهَا الفقَ َرا ُء َواطلعْت فِي الن‬
َّ ُ َ َ ُ ْ

Aku pergi ke surga dan aku dapati kebanyakan penghuninya adalah orang faqir dan aku pergi ke
neraka kudapati sebagian besar penghuninya adalah wanita. (HR BUKHARI)

Hadis yang diriwayatkan melalui jalur Bukhari menjadi dha’if karena adanya Usman bin Haitam yang
dinilai lemah, namun menjadi hasan li ghairihi karena adanya jalur lain melalui Tirmizi yang bernilai
hasan.

3. Kehujjahan Hadits Hasan

Adapun kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits hasan
sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada sebagian ulama yang
memasukkan hadits hasan ke dalam kelompok hadits shahih baik hasan li dzatihi maupun hasan li
ghairihi.
Maka dari itu, para ahli hukum banyak beramal menggunakan dasar dari hadits hasan, sekalipun
mereka tetap berpegang pada persyaratan keafsahan hasan li ghairihi sebagai hujjah, yaitu:

a. Meminimalisir kekurangan-kekurangan yang ada.

b. Hadits tersebut tertutup oleh banyaknya periwayatan hadits lain, baik redaksinya sama atau
hampir sama.

E. Hadis Dha’if

1. Pengertian  Hadis Dha’if

Kata dha’if menurut bahasa berarti lemah, kebalikannya adalah  (‫ )ﻗﻮﻯ‬yang berarti kuat. Maka
sebutan hadis dha’if secara bahasa berarti hadis yang lemah, sakit, tidak kuat. Sedangkan pengertian
hadis dha’if secara terminologi menurut an-Nawawi dan al-Qasimi adalah:

        ‫ص َّح ِة َواَل ُشرُوْ طُ ْال َح َس ِن‬


ِ ‫َما لَ ْم يُوْ َج ْد فِ ْي ِه ُشرُوْ طُ ال‬
Hadis dha’if adalah hadis yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadis shahih dan syarat-
syarat hadis hasan.

Dari definisi tersebut dapat difahami bahwa jika dalam satu hadis telah hilang satu syarat saja dari
sekian syarat-syarat hadis hasan, maka hadis tersebut dinyatakan sebagai hadis dha’if. Apalagi yang
hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka inilah yang dikatakan sebagai hadis dha’if dan status
semua hadis dha’if adalah mardud

(tertolak) dan tidak bias dijadikan hujjah.

2. Klasifikasi Hadis Dha’if

Hadis dha’if berdasarkan tingkat kedha’ifannya dibagi menjadi dua, yaitu:

a. Dha’if muhtamal, yaitu yang bias ditahan (diterima) atau ringan, bukan dha’if yang berat. Hal ini
ketika ada hadis semisal yang membantu tertutupnya kedha’ifan hadis tersebut dan terangkat
menjadi hadis hasan li ghairihi.

b.  Dha’if syadid, yaitu dha’if yang sangat berat. Hal ini ketika ada hadis yang semisalnya tetapi tetap
tidak tertutup kedha’ifan hadis tersebut dan tidak terangkat derajatnya.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dalam menanggapi masalah apakah hadis shahih itu dapat dijadikan sebagai hujjah dalam
menetapkan hukum secara umum maka dalam hal ini para muhaddisin, sebagian ahli ushul dan ahli
Fiqh bersepakat untuk menyatakan bahwa hadis shahih dapat dijadikan hujjah dan wajib diamalkan.

Adapun kehujjahan hadits hasan, para ulama’ bersepakat untuk mengatakan bahwa hadits hasan
sama dengan hadits shahih sekalipun tingkatannya tidak sama, bahkan ada sebagian ulama yang
memasukkan hadits hasan ke dalam kelompok hadits shahih baik hasan li dzatihi maupun hasan li
ghairihi.

Jika dalam satu hadis telah hilang satu syarat saja dari sekian syara-syarat hadis hasan, maka hadis
tersebut dinyatakan sebagai hadis dha’if. Apalagi yang hilang itu sampai dua atau tiga syarat maka
inilah yang dikatakan sebagai hadis dha’if dan status semua hadis dha’if adalah mardud (tertolak)
dan tidak bias dijadikan hujjah.
DAFTAR PUSTAKA

Zein, Muhammad Ma’shum.2007.Ulumul Hadits & Musthalah Hadits.Jakarta:Darul Hikmah

Yuslem, Nawir.2001.Ulumul Hadis.Jakarta:PT. Mutiara Sumber Widya

TIM MGMP PROVINSI YOGYAKARTA.2011.Ilmu Hadits.Yogyakarta:Kementrian  Agama Provinsi


Daerah Istimewa Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai