Anda di halaman 1dari 10

Kelompok 2

KLASIFIKASI HADIST

TUGAS MAKALAH
AL-ISLAM DAN STUDY AL-QUR’AN

Dosen Pengampu : Drs. H. Moh. Ridwan., M.Pd.I

Disusun Oleh :

 Khoerunisa (200711117)
 Intan Pradipta (200711109)
 Nurjanah Agustin (200711099)
 Shintanala Diantifany (200711107
 Yuni Annasya Amali (200711108)

Kelas : 20 – EIA – R5

PROGRAM STUDI S1 ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH CIREBON
CIREBON
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Ny
a sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang akan dibahas berjudul
“Klasifikasi Hadist” ini tepat pada waktunya. Dalam penyusunan makalah ini, kami ba
nyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak
tantangan ini bisa teratasi.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
makalah Islam Al-Hadist. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawas
an tentang proses dalam keperawatan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Drs. H. Moh Ridwan, M.Pd selak
u dosen yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wa
wasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi s
ebagian pengetahuannya sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Ole
h karena itu, kritik dan saran yang membangun akan nantikan demi kesempurnaan makal
ah ini.

Wassalamualaikum wr.wb

Cirebon, 20 Maret 2022

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Setiap hadits (tradisi verbal) mengandung dua bagian, teks hadits (matan)
itu sendiri dan isnad atau mata rantai transmisi, yang menyebutkan nama-nama
penutur/periwayatnya (rawi), yang mendukung teks hadits tersebut. Pada awalnya
hadits muncul tanpa dukungan isnad kurang lebih pada akhir abad ke-1 H (7 M).
Sekitar masa ini pulalah hadits muncul secara besar-besaran ketika ilmu-ilmu
tertulis yang formal mulai dirintis. Meskipun demikian, ada bukti kuat yang
langsung atau tidak langsung yang menunjukkan bahwa sebelum menjadi sebuah
disiplin yang formal dalam abad ke-2 H (8 M), fenomena hadits telah muncul
paling tidak sejak kira-kira tahun 60-80 H (680-700 M).Munculnya produk hadits
yang sangat melimpah itu, sejumlah ulama mengumpulkan, menyaring, dan men-
sistematisir dengan melakukan perjalanan menjelajah seluruh dunia Islam saat itu
(disebut “pencarian hadits”). Akhir abad ke-3 (permulaan 10 M) telah dihasilkan
beberapa koleksi hadits. Pada masa itu juga muncul pengkategorian hadits untuk
menyaringnya. Dalam sejarah memang terjadi ada orang atau golongan tertentu
yang mencari-cari hadits untuk memperkuat pendapat atau kedudukannya, maka
diada-adakanlah hadits. Oleh karena itu timbul pengertian hadits sahih, yang
betul-betul berasal dari Nabi, dan hadits mawdu’, yang sebenarnya tidak berasal
dari Nabi atau hasil karangan orang saja. Kemudian hadits sahih dibagi lagi
menurut sanad atau periwayat ke dalam mutawatir, mashhur, dan ahad.
Penyaringan diadakan dengan melakukan kritik sanad tentang riwayat hidup dan
kebonafidan periwayat (ilmu rijal al-hadith); pengklasifikasian menyangkut
bersambung atau tidaknya penyampaian serta tahap penyampaian di mana mata
rantainya ‘terputus’; dan pengkategorian menyangkut jumlah periwayat pada
waktu yang bersamaan pada setiap saat penyampaian.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Klasifikasi Kuantitas Hadist?
2. Bagaimana Perspektif Hadist dalam Ahlussunah ?
3. Bagaimana Teori Klasifikasi Kitab Hadist?
4. Bagaimana Klasifikasi Kesahihan Hadist Berdasarkan Perawi Hadist?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Klasifikasi Kuantitas Hadist
2. Untuk mengetahui Perspektif Hadist dalam Ahlussunah
3. Untuk mengetahui Teori Klasifikasi Kitab Hadist
4. Untuk mengetahui Klasifikasi Kesahihan Hadist Berdasarkan Perawi Hadist
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Klasifikasi Kuantitas Hadist
Pengklasifikasian hadits ditinjau dari sedikit-banyaknya periwayat atau dari segi
bilangan ruwah, oleh sebagian besar (jumhur) ulama hadits, dibagi menjadi dua;
mutawatir dan ahad. Kemudian dari hadits ahad dibagi lagi menjadi tiga;
mashhur, ’aziz, dan gharib. Namun kebanyakan ahli fiqih dan ahli usul,
membaginya menjadi tiga; mutawatir, mashhur (mustafid), dan ahad. Sedangkan
pembagian hadits dari segi pertalian sanad, dibagi menjadi empat tingkatan;
mutawatir, mashhur (mustafid}), ah}ad (khassah), dan hadits yang terputus (e.g.;
mursal, munqati’, etc.).1
a. Hadist Muttawatir
Tidak ada kesepakatan ulama secara menyeluruh —paling tidak ada
sedikit perbedaan mengenai konsep hadits mutawatir. Kesepakatan yang
dimaksud adalah mulai dari definisi, batasan jumlah periwayat, menentukan
keberadaannya (ada atau tidaknya), sampai dengan pengkategorian atau
pengklasifikasiannya yang mengakibatkan perbedaan dalam ber-hujjah
dengannya. Namun tentang ke-hujjah-annya, secara umum, hadits mutawatir
disepakati oleh semua golongan umat Islam untuk dapat dipakai sebagai sumber
hukum. Oleh ulama hadits, dibuat empat syarat hadits mutawatir :
1. Diriwayatkan oleh orang banyak.
2. Mereka tidak dimungkinkan sepakat berdusta atau secara kebetulan semuanya
lupa.
3. Sanad-sanad yang meriwayatkannya bersambung dari awal sampai akhir.
4. Cara penyampaian khabar melalui indera, bukan lewat intuisi (akal).
5. Sebagian ulama menambahkan syarat bahwa khabar itu bisa memberi manfaat
keilmuannya.2
Ibn Shalah menganggap bahwa hadits mutawatir termasuk bagian dari
hadits masyhur. Pengkategorian ini diakui oleh al-‘Asqalani bahwa setiap hadits
mutawatir adalah hadits masyhur, tetapi tidak sebaliknya. Ibn Shalah
memberitahu bahwa hadits mutawatir itu sangat sedikit jumlahnya, tetapi secara
tegas ia menolak suatu anggapan bahwa hadits mutawatir itu tidak ada. Agaknya
penolakan tersebut dialamatkan kepada Ibn Hibban dan orang-orang yang
sependapat dengannya.3
b. Hadist Ahad
Oleh Ah{mad ‘Umar Hashim, disebut sebagai khabar ahad, yakni khabar
yang dinukil oleh orang banyak, tetapi tidak mencapai derajat mutawatir (tidak
ditemui syarat-syarat mutawatir), entah satu, dua, tiga, empat, atau lima orang
periwayat. Ada beberapa syarat periwayat yang menerima khabar ahad, yakni :
1. Adil.
2. Kuat dalam hapalan (dabit).

1
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1997), hal. 68
2
Harun Nasution, Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 25
3
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang, 1991), hal. 200
3. Faqih (cerdas dan paham).
4. Melaksanakan amal yang sesuai dengan khabar tersebut.
5. Mendatangkan hadits sesuai dengan huruf-nya.
6. Memahami makna hadits dari lafaz-nya.
Ditambah pula beberapa syarat khusus, yakni:
1. Sanad bersambung sampai Nabi saw.
2. Tidak ada keraguan (shadh) dan cacat/kekurangan (‘illah).
3. Tidak bertentangan dengan sunnah masyhur, baik qawliyah ataupun fi’liyah.
4. Tidak bertentangan dengan sahabat, tabi’in dan kitab-kitab umum.
5. Tidak ada pertentangan (pencelaan) oleh sebagian ulama salaf.
6. Hadits tersebut tidak mengandung penambahan matan dan sanad yang
periwayatannya menyendiri dari segi kepercayaannya. Syarat yang terakhir ini
adalah bentuk kehati-hatian para ulama dalam menerima khabar. 4
Para ulama ahli hadits, membagi hadits ahad menjadi tiga; hadits mashhur
atau mustafid, ‘aziz, dan gharib. Gambaran sekilas bagi perbedaan pembagian
tersebut, diungkapkan oleh Subhi al-Salih (1984). Bahwa al-gharib (dalam
konteks disamakan dengan al-fard al-nisby) adalah hadits yang diriwayatkan oleh
seorang periwayat saja pada suatu tingkatan sanad. Apabila periwayat itu
berjumlah dua atau tiga orang, dinamakan ‘aziz. Dan apabila jumlah periwayat
lebih banyak lagi, dinamakan mashhur. Kemudian bila jumlah periwayat yang
banyak itu seimbang dari awal sampai akhir sanad, maka mashhur itu dinamakan
mustafid. Sehingga ada yang mengatakan bahwa mashhur lebih umum dibanding
mustafid.5
c. Hadist Mashur
Secara etimologis berasal dari al-shuhrah artinya tersebar atau tersiar
(masyhur; popular). Dinamakan hadits masyhur memang karena kemasyhuran
dan kepopularannya. Dalam pengertian istilah hadits, menurut Ibn Hajar, “hadits
masyhur adalah hadits yang memiliki sanad (periwayat) yang terbatas yang lebih
dari dua”, memiliki sanad yang terbatas (‫ )رةقط‬berarti membedakannya dengan
hadits mutawatir. Batasan sanad yang lebih dari dua, berarti mengkecualikan
hadits gharib dan ‘aziz. Hal itu berbeda dengan kebanyakan ahli hadits, yang
memberi batasan sekurang-kurangnya diriwayatkan oleh tiga orang, atau lebih,
yang tidak mencapai derajat mutawatir. Al-Hakim membagi hadits masyhur
menjadi dua bagian; yang sahih dan tidak sahih. Nuruddin Itr berpendapat pula
bahwa hadits masyhur tidak senantiasa sahih. Bila disejajarkan dengan
pengklasifikasian hadits menurut kualitas periwayat, maka hadits masyhur ini bisa
berupa tiga tingkatan, i.e.; sahih, hasan, dan da’if. 6
Ditinjau dari segi lingkungan tersiar dan tersebarnya hadits masyhur dapat
dibagi menjadi banyak bagian. Lingkungan (kalangan) tersebar dan tersiarnya
hadits-hadits masyhur itu antara lain pada; kalangan ahli hadits, kalangan ahli
hadits dan ulama lain serta masyarakat umum, kalangan ahli fiqih, kalangan ahli

4
Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits: Ijtihad Al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits,
(Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 170
5
Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits: Ijtihad Al-Hakim dalam Menentukan Status Hadits,
(Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 170
6
Nuruddin Itr, `Ulum Al-Hadits 2, terj. Mujiyo, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 196
ushul fiqih, kalangan ulama ahli bahasa Arab, kalangan ahli pendidikan, kalangan
umum.7

d. Hadist Aziz
Relevansi ‘aziz dan hadits ‘aziz itu jelas, sebab hadits tersebut jadi kuat
dengan diriwayatkan melalui dua jalur atau karena jumlah hadits yang demikian
sangat sedikit. Oleh karenanya, Ibn Hibban mempertanyakan adanya hadits ini.
Ibn Hajar menimpalinya, bahwa bila yang dikehendaki adalah periwayatan oleh
dua orang pada tiap tingkatan secara berimbang, itu memang sama sekali tidak
dapat dijumpai. Suatu hadits dalam tingkatan tertentu diriwayatkan oleh dua
orang periwayat, kemudian pada tingkatan berikutnya ternyata diriwayatkan oleh
periwayat yang lebih banyak dari dua, maka hadits tersebut masih tetap termasuk
kategori hadits ‘aziz, karena jumlah periwayat yang paling sedikit itu menentukan
nasib periwayat yang lebih banyak.8

e. Hadist Gharib
Hadits gharib adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat,
yang periwayatannya secara menyendiri pada tiap tingkatannya atau pada
sebagian tingkatannya.Al-Hakim membagi hadits gharib menjadi tiga bagian,
yaitu gharib sahihgharib shuyukh, dan gharib al-mutun. Gharib shuyukh dibagi
lagi menjadi sahih dan tidak sahih. Ibn Shalah membaginya menjadi dua, yaitu
gharib sahih dan gharib al-mutun. Sedangkan al-‘Asqalany dan ulama hadits
lainya membaginya menjadi gharib mutlaq dan gharib nisby.9

B. Perspektif Hadist dalam Ahlussunah


Dalam tradisi Sunni, yang dimaksud dengan hadis ialah segala perkataan,
perbuatan, taqrīr, dan ḥāl iḥwāl yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Hadis dalam pengertian ini oleh ulama hadis disinonimkan dengan istilah
alSunah. 12 Dengan demikian, bentuk-bentuk hadis atau Sunah ialah segala berita
berkenaan dengan sabda, perbuatan, taqrīr, dan hal-ihwal Nabi Muhammad SAW.
Dari definisi hadis yang ditetapkan Sunni di atas, memberikan batasan tentang
segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW, sekaligus ketetapan
bahwa wahyu telah terhenti setelah wafatnya Nabi Muhammad. Dengan
demikian, apapun yang bersumber dari Nabi dapat dijadikan dasar hukum dan
sekaligus sumber ajaran Islam. Sebaliknya apapun yang tidak bersumber langsung
dari Nabi bukan termasuk hadis, tidak wajib diikuti dan tidak dapat dijadikan
dasar hukum dan sumber ajaran Islam. Maka sumber utama yang dapat
mengeluarkan hadis menurut Sunni hanya Nabi Muhammad Saw.10
Dengan demikian, hakikat hadis menurut Sunni pada dasarnya adalah
wahyu Allah yang diberikan melalui Nabi Muhammad SAW berupa peneladanan
langsung yang melibatkan rumusan-rumusan verbal (living tradition). Karena itu,

7
Nuruddin Itr, `Ulum Al-Hadits 2, terj. Mujiyo, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 196
8
Ahmad ‘Umar Hashim, Qawa ’id Usul al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr tt.), hal. 143
9
Ahmad ‘Umar Hashim, Qawa ’id Usul al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr tt.), hal. 143
10
Muhammad Nasir, “Kriteria Kesahihan Hadis Perspektif Syiah”, Bogor: PT Islami 2015), hal. 194
hadis mempunyai peranan yang sangat urgen ketika disandingkan dengan
Alquran. Keduanya menjadi sumber hukum yang harus diyakini oleh umat Islam.
Pengertian hadis sahih yang disepakati oleh mayoritas ulama hadis Sunni adalah
mencakup sanad dan matan hadis. Kriteria yang menyatakan bahwa rangkaian
periwayat dalam sanad harus bersambung dan seluruh periwayat harus ‘ādil dan
ḍābiṭ adalah kriteria untuk kesahihan sanad, sedang keterhindaran dari syāż dan
‘illāt, selain merupakan kriteria untuk kesahihan sanad, juga kriteria untuk
kesahihan matan hadis.11
Definisi Hadis Sahih yang disepakati oleh ulama Sunni meliputi beberapa
unsur. Di antara kriteria yang ditetapkan ulama untuk mendapatkan suatu Hadis
Sahih adalah:
(1) Sanad bersambung,
(2) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat ‘ādil,
(3) Seluruh periwayat dalam sanad bersifat ḍābiṭ,
(4) Sanad dan matan Hadis terhindar dari syāż,
(5) Sanad dan matan hadis terhindar dari ‘illat., Sedangkan dari segi matannya
harus sesuai dengan Alquran, Sunah yang Sahih, tidak menyalahi fakta historis
dan tidak bertentangan dengan akal dan panca indera.12
Demikianlah, kriteria-kriteria kesahihan hadis yang dibangun oleh ulama
Sunni. Sekaligus menetapkan bahwa suatu hadis yang tidak memenuhi kelima
unsur tersebut adalah ḍa’if dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum.
Mulai periode aṭbā’ al-tābi’īn, sejarah kompilasi dan kodifikasi (tadwīn) hadis
memasuki tahap perkembangan yang sangat penting. Tidak seperti halnya tadwīn
hadis pada periode-peride sebelumnya yang umumnya dilakukan secara acak,
tanpa upaya klasifikasi dan sistematisasi, pada periode aṭbā’ al-tābi’īn, khususnya
sejak pertengahan abad II H, telah mulai dilakukan kompilasi dan kodifikasi hadis
secara sistematis berdasarkan bab-bab atau subjek-subjek tertentu (taṣnīf).19
Selama periode aṭbā’ al-tābi’īn telah ditulis sejumlah besar karya kompilasi
Hadis. Di antaranya yang terpenting untuk kalangan Ahlussunah Waljamaah
adalah karya kompilasi Hadis yang disusun oleh Ibn Juraij (w. 150 H), Ibn Isḥāq
(w. 151 H), Ma‟mar ibn Rasyīd (w. 153 H), Sa‟id ibn Abī Urubah (w. 156 H)
dsb. 13

C. Teori Klasifikasi Kitab Hadis Menurut Para Ulama


Para Muhadditsin telah menulis berbagai jenis kitab hadis dalam berbagai
bidang bahasannya. Hal ini merupakan suatu khazanah ilmu hadis yang dapat
menjawab semua masalah yang dijumpai oleh para ulama dan peneliti berbagai
kitab. Terdapat teori atau metode yang yang dilakukan oleh para ulama dalam
mengklasifikasikan kitab hadis, yaitu sebagai berikut:
Pertama; Teori atau metode yang disajikan oleh Manna‘ al-Qattan dalam
kitabnya Mabahis fi ‘Ulum al-Hadis, ia mengklasifikasika yaitu:

11
Muhammad Nasir, “Kriteria Kesahihan Hadis Perspektif Syiah”, Bogor: PT Islami 2015), hal. 194
12
Musṭafā al-Sibā‟i, al-Sunah wa Makanatuha fī al-Tasyrī’ al-Islāmī (T.tp : al-Dār al-Qaumiyyah,
1966), hal.53
13
Nur al-Dīn al-‟Itr, al-Madkhāl ilā ‘Ulūm al-Ḥādiṡ (Madīnah al-Munawwarah: al-Maktabah al-
‟Ilmiyyah, 1972), hal. 15
1. Metode masanid (berdasarkan kumpulan hadis dari sahabat secara tersendiri,
baik hadis sahih, hasan maupun dhoif sesuai huruf hijaiyyah).
2. Metode al-Ma‘ajim (berdasarkan kumpulan hadis-hadis yang berurutan
berdasarkan nama-nama sahabat atau guru-guru penyusun atau negeri sesuai
huruf hijaiyyah).
3. Metode pengumpulan Hadis berdasarkan semua bab pembahasan agama,
seperti kitab-kitab al-jawami‘.
4. Metode penulisan hadis berdasarkan pembahasan fikih (menyebutkan bab-bab
fiqih secara berurutan).
5. Metode kitab-kitab yang penyusunnya menyatakan komitmen hanya
menuliskan hadis-hadis yang sahih.14
Kedua; teori yang dikemukakan Ajjaj al-Khatib dalam karyanya Usul al-
Hadis (‘Ulumuhu wa Mustalahuhu), membagi kedalam beberapa klasifikasi kitab
hadis sebagai berikut:
1. Metode musannafat
2. Metode jami‘ atau majmu‘an
3. Metode al-majami‘
4. Metode al-masanid
Ketiga; teori yang dikemukakan oleh M. Syuhudi Ismail dalam karyanya
Pengantar Ilmu Hadis, mengklasifikasikan ke dalam beberapa metode penyusunan
kitab, yaitu:
1. Periode keempat (abad ke-2 H) menggunakan metode almuwatta’, musnad dan
mukhtalif al- hadis.
2. Periode kelima (permulaan abad ke-3 H) menggunakan metode musnad, dan
(pertengahan abad ke-3 H) menggunakan metode musannaf, yang bentuk
penyusunannya terbagi ke dalam dua bentuk yaitu: a. Kitab Sahih b Kitab Sunan.
3. Periode keenam (abad ke-4 sampai pertengahan abad ke7 H), menggunakan
metode baru yaitu: a. Kitab Atraf b. Kitab Mustakhraj c. Kitab Mustadrak d. Kitab
Jami‘.
Keempat; teori klasifikasi himpunan kitab hadis yang dipaparkan oleh Imam al-
Nawawiy, membagi ke dalam dua jalan atau metode klasifikasi,6 yaitu: 1.
Penghimpunan hadis-hadis dengan cara perbab-bab 2. Penghimpunan hadis-hadis
dengan jalan atau cara al-Masani.15

D. Klasifikasi Kesahihan Hadist Berdasarkan Perawi Hadist


Hadits merupakan perkataan, perbuatan, ketetapan dari Rasulullah
Muhammad SAW yang dijadikan sebagai sumber hukum kedua oleh umat
muslim. Al-Hadits dirangkum melalui pewarisan Rosulullah SAW kepada para
sahabatnya lalu sahabat itu ke satu yang lain dan begitu seterusnya -yang biasa
dikenal sebagai sanad- sampai dapat diketahui oleh kita. Maka dari itu hadits
digolongkan menjadi empat kategori berdasarkan kekuatan sanadnya yaitu, hadits
sahih, hasan, dhaif, dan maudu’. Sahih yang berarti sangat kuat dan dijadikan
landasan oleh banyak muslim, hasan yang bermakna kuat tapi masih adanya

14
Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis (Ulumuhu wa Mustalahuhu), (BairutnLebanon: Dar al-Fikr, 1989
M/1409 H), h. 180-181.
15
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. X; Bandung: Angkasa, 1994 M), hal. 101-129
perawi yang kurang dalam hafalannya. Dhoif bermakna lemah yang disebabkan
oleh beberapa faktor dari sifat perawinya. Dan terakhir adalah maudu’ yakni
hadits palsu yang dibuat-buat sendiri tetapi dinisbatkan kepada Rosulullah
SAW.16
Metode analisis kesahihan hadits ini dinilai lebih cepat dan lebih efisien
jika dibandingkan cara konvensional yakni dengan mengecek suatu hadits dalam
kitab-kitab hadits yang tebal. Cara ini dianggap lebih menguntungkan karena
hanya perlu menyalin hadits yang akan dicek kesahihannya. Inilah sebabnya
mengapa topik ini dapat dianggap mampu mengarahkan kepada cara yang lebih
mudah dan cepat untuk menentukan tipe kesahihan hadits, dalam hal ini
memanfaatkan nama-nama perawi hadits. Untuk mengetahui tingkat kesahihan
sebuah hadits dengan menganalisis nama-nama perawi yang ada pada hadits
tersebut. Adapun tingkat kesahihan yang dimaksud terbatas pada tiga kategori
yakni sahih, hasan, dan dhaif.17

16
Al-Maliki, S. M. Al-Manhalul Lathif fi Ushulil Hadits As-Syarif. (Madinah: Maktabah Malik Fahd
1885M ) hal. 12
17
Al-Qahthan, M. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Maktabah Wahbah. (Yogyakarta : Pustaka belajar
2009) hal. 29
Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 1997), hal. 68
Harun Nasution, Islam: Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.
25
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang,
1991), hal. 200
Abdurrahman, Pergeseran Pemikiran Hadits: Ijtihad Al-Hakim dalam Menentukan
Status Hadits, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 170
Nuruddin Itr, `Ulum Al-Hadits 2, terj. Mujiyo, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994),
hal. 196
Ahmad ‘Umar Hashim, Qawa ’id Usul al-Hadith (Beirut: Dar al-Fikr tt.), hal. 143
Muhammad Nasir, “Kriteria Kesahihan Hadis Perspektif Syiah”, Bogor: PT Islami
2015), hal. 194
Musṭafā al-Sibā‟i, al-Sunah wa Makanatuha fī al-Tasyrī’ al-Islāmī (T.tp : al-Dār al-
Qaumiyyah, 1966), hal.53
Nur al-Dīn al-‟Itr, al-Madkhāl ilā ‘Ulūm al-Ḥādiṡ (Madīnah al-Munawwarah: al-
Maktabah al- ‟Ilmiyyah, 1972), hal. 15
Ajjaj al-Khatib, Usul al-Hadis (Ulumuhu wa Mustalahuhu), (BairutnLebanon: Dar al-
Fikr, 1989 M/1409 H), h. 180-181.
M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu Hadis, (Cet. X; Bandung: Angkasa, 1994 M), hal.
101-129
Al-Qahthan, M. Pengantar Studi Ilmu Hadits. Maktabah Wahbah. (Yogyakarta : Pustaka
belajar 2009) hal. 29

Anda mungkin juga menyukai