Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Sudut Pandang Kuantitas Hadist (Mutawatir dan Ahad)

Disusun untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Studi Al-Qur’an dan Hadits

Dosen Pengampu : Anita Adriya Ningsih, M.Pd

DISUSUN OLEH:

ARIFKI MAULIDY (200606110084)

ELVARETTA NATHANIA (200606110090)

KELAS B

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

TEKNIK ARSITEKTUR

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Berkat limpahan
karunia nikmat-Nya saya dapat menyelesaikan makalah yang bertajuk " Sudut Pandang
Kuantitas Hadis (Mutawatir dan Ahad)" dengan lancar. Penyusunan makalah ini dalam
rangka memenuhi tugas mata kuliah yang diampu oleh ibuAnita Adriya Ningsih, M.Pd

Harapan saya semoga makalah yang telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah satu
rujukan maupun pedoman bagi para pembaca, menambah wawasan serta pengalaman,
sehingga nantinya saya dapat memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik
lagi.

Sebagai penulis, saya mengakui bahwasanya masih ada kekurangan yang terkandung di
dalamnya. Oleh sebab itu, dengan penuh kerendahan hati saya berharap kepada para pembaca
untuk memberikan kritik dan saran demi lebih memperbaiki makalah ini. Terima Kasih.

Malang, 29 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………… i

KATA PENGANTAR ………………………… ii

DAFTAR ISI ………………………………… iii

BAB I PENDAHULUAN ………………………

 Latar Belakang ………………………………………….. 1.1


 Rumusan Masalah ……………………………………… 1.2
 Tujuan Masalah ……………………………………….. 1.3

BAB II PEMBAHASAN ………………………….

 Pengertian Hadist Mutawattir …………………………………… 2.1


 Syarat-syarat Hadist Mutawattir…………………………………….. 2.2
 Jenis-jenis Hadist Mutawattir ………………………………………. 2.3
 Pengertian Hadist Ahad ………………………………. 2.4
 Pembagian Hadist Ahad ……………………………. 2.5

BAB III PENUTUP ……………………………………

 Kesimpulan …………………………………………………… 3.1

DAFTAR PUSTAKA …………………………………


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ilmu Hadist adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting dalam Islam untuk
mempelajari dan memahami hadist dengan baik dan benar sebagai salah satu sumber
hukum kedua setelah Al-Qur’an. Oleh karena itu pemahaman terhadap hadis sangatlah
penting agar tidak terjadi kesalahan dalam merujuk sebuah dasar hukum dalam
menentukan perbuatan yang dibenarkan dalam Islam.
Dalam tradisi Islam, hadits diyakini sebagai sumber ajaran agama kedua setelah al-
Quran. Disamping itu hadits juga memiliki fungsi sebagai penjelas terhadap ayat-ayt al-
Qur’an sebagaimana dijelaskan dalam QS: an-Nahl ayat 44. Hadits tersebut merupakan
teks kedua, sabda-sabda nabi dalam perannya sebagai pembimbing bagi masyarakat yang
beriman. Akan tetapi, pengambilan hadits sebagai dasar bukanlah hal yang mudah.
Mengingat banyaknya persoalan yang terdapat dalam hadits itu sendiri. Sehingga dalam
berhujjah dengan hadits tidaklah serta merta asal comot suatu hadits sebagai sumber
ajaran.
Adanya rentang waktu yang panjang antara Nabi dengan masa pembukuan hadits
adalah salah satu problem. Perjalanan yang panjang dapat memberikan peluang adanya
penambahan atau pengurangan terhadap materi hadits. Selain itu, rantai perawi yang
banyak juga turut memberikan kontribusi permasalahan dalam meneliti hadits sebelum
akhirnya digunakan sebagai sumber ajaran agama.
Klasifikasi hadis didasarkan pada kualitas dan kuantitasnya, hadis berdasarkan
kualitasnya adalah hadis Shahih, Hasan, dan Dhaif. Sedangkan hadis berdasarkan
kuantitasnya adalah hadis Mutawatir dan hadis Ahad. Adapun pengertian dari hadis ahad
ialah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak memenuhi
syarat hadis mutawatir, dan tidak mencapai derajat mutawatir.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian hadist mutawatir?
2. Apa syarat-syarat hadist mutawatir?
3. Apa saja jenis hadist mutawatir?
4. Apa pengertian hadist ahad?
5. Apa saja pembagian hadist ahad?
1.3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian hadist mutawatir.
2. Mengetahui syarat-syarat hadist mutawatir.
3. Mengetahuijenis hadist mutawatir.
4. Mengetahuipengertian hadist ahad.
5. Mengetahui pembagian hadist ahad.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hadist Mutawatir

Kata mutawatir Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-iringan atau
berturut-turut antara satu dengan yang lain. Hadits mutawatir merupakan hadits yang
diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasi, sejak generasi shahabat sampai
generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil untuk berbohong.

Suatu hadist baru dapat dikatakan hadist mutawatir, bila hadist itu memenuhi tiga
syarat, yaitu: Pertama: Hadist yang diriwayatkan itu haruslah mengenai sesuatu dari
Rasulullah SAW yang dapat ditangkap oleh panca indera, seperti sikap dan perbuatannya
yang dapat dilihat dengan mata kepala atau sabdanya yang dapat didengar dengan
telinga. Kedua: Para rawi (orang-orang yang meriwayatkan hadist) itu haruslah mencapai
jumlah yang menurut kebiasaan (adat) mustahil mereka sepakat untuk berbohong. Tentang
beberapa jumlah minimal para rawi tersebut terdapat perbedaan pendapat dikalangan para
ulama, sebagian menetapkan dua belas orang rawi, sebagian yang lain menetapkan dua puluh,
empat puluh dan tujuh puluh orang rawi. Ketiga: Jumlah rawi dalam setiap tingkatan tidak
boleh kurang dari jumlah minimal seperti yang ditetapkan pada syarat kedua.

2.2 Syarat-Syarat Hadist Mutawatir


Para ulama mensyaratkan Hadist mutawātir sebagai berikut:
1. Dirawayatkan oleh sejumlah perawi yang banyak.
2. Adanya kesinambungan jumlah perawi yang banyak dalam setiap ṭabaqah sanadnya.
3. Mesti ada pertimbangan menurut adat dan akal yang mengindikasikan kemustahilan
mereka untuk berdusta dengan jumlah yang banyak tersebut.
4. Khabar tersebut harus berdasarkan empiris.
Batasan jumlah perawi Hadist mutawātir yang ditawarkan para ulama sangat beragam,
sebagian mengkiaskannya pada jumlah monumental dari Alquran, ajaran Islam, maupun
peristiwa-peristiwa pada sirah Nabi saw, seperti jumlah empat orang saksi zina, lima nabi
ūlul-‘azmi, tujuh orang aṣḥābul-kahfi, 20 orang sabar pada Q.S. Al-Anfāl [8]: 65, 40 orang
jumlah minimal dalam salat jum’at, 70 orang yang dipilih oleh Nabi Musa as. (Q.S. Al-A‘rāf
[7]:155), 300 orang lebih peserta perang Badar, 1500 orang peserta Bai‘atur-Riḍwān dan lain-
lain.Sebagian lainnya membatasi jumlah minimal perawi Hadist mutawātir sebanyak sepuluh
orang saja. Pendapat terakhir dipegang oleh as-Suyūṭiy dan diperkuat oleh aṭ-Ṭaḥḥān. Boleh
jadi pendapat terakhir ini — di samping berdasarkan kiasan dari Q.S. Al-Baqarah [2]: 196
“tilka ‘asyaratun kāmilah” —didasari oleh kaedah bahasa bahwa bilangan di bawah sepuluh
merupakan jam‘ qillah. Seluruh jumlah minimalyang dikemukakan di atas, kecuali yang
terakhir, tidak mempunyai landasan yang kuat. Hanya saja pendapat yang paling kuat adalah
tidak adanyaketentuan jumlah minimal, dan patokannya adalah jumlah yang memberikan
ilmu yang yakini atas berita yang disampaikan.
Sebagian ulama tidak mensyaratkan kesinambungan jumlah perawi. Menurut mereka bisa
saja suatu Hadist yang pada ṭabaqah pertama diriwayatkan secara perorangan, kemudian pada
ṭabaqah berikutnya diriwayatkan oleh banyak orang secara sinambung, seperti Hadist
innamala‘māl bin-niyyāt. Ibnu Ṣalāḥ menolak Hadist yang sedemikian sebagai yang
mutawātir. As-Sa‘ad berkata: “Khabar dari tiap satu orang tidaklah memberi manfaat kecuali
ẓann (dugaan), dan mengumpulkan yang ẓann kepada ẓann yang lain tidaklah mesti
menjadikannya suatu keyakinan.” Ibnu Ḥajar menepis pendapat ini, dengan argumentasi
bahwa keberadaan Hadist āḥād ṣaḥīḥ yang banyak dalam kitab-kitab Hadist, lalu para
perawinya bertemu dalam mengeluarkan suatu Hadist sehingga jumlahnya sanadnya menjadi
banyak, dan memenuhi syarat-syarat Hadist mutawātir, maka hal itu telah memberikan ‘ilm
yaqīniy atas validitas Hadistitu yang berasal dari sumbernya, yakni Nabi saw. Kiranya
perbedaan tersebut bersumber dari pengertian ḥadist mutawātir lafẓiy/ḥaqiqiy dan Hadist
mutawātir ma‘nawiy sebagaimana yang akan dibahas nanti.
Sedangkan az-Zuhailiy mencukupkan kesinambungan banyaknya perawi tersebut sampai
pada ṭabaqah ke III (tābi‘ittābi‘īn), sebab cara penyampaian Hadist mutawātir setelah ṭabaqah
tersebut melalui tadwīn.

2.3 Jenis-Jenis Hadist Mutawatir


Hadist mutawātir terbagi menjadi dua jenis, lafẓiy dan ma‘nawiy. Hadist mutawātir
lafẓiy adalah Hadist mutawātir yang diriwayatkan dengan satu lafaz, Hadist mutawātir jenis
ini, sebagaimana kata Ibn-Ṣalāḥ sangat sedikit sekali, bahkan hampir tidak ada. Sebagian
besar ulama — berdasarkan ketepatan/kesuaian lafaz dari setiap seginya — mustahil ada pada
selain Alquran. Sebagian lainnya, sambil memberikan contoh ḥadist man każżaba ‘alayya
mut‘ammidan, insyiqāqul-qamar, man banā lillāhi masjidan, syafā‘ah dan lain-lain,
mengatakan bahwa Hadist mutawātir lafziy tidaklah sedikit. Ḥadist man każżaba ‘alayya
mut‘ammidan, misalnya, diriwayatkan oleh lebih dari 40 ṣaḥābiy.
Adapun ḥadist mutawātir ma‘nawiy, maka jelaslah bahwa pada jenis ini tidak
disyaratkan kesesuaian lafaz, tetapi cukup maknanya saja meskipun riwayat-riwayatnya
berbeda-beda. Hadist mutawātir jenis ini banyak sekali jumlahnya, seperti 100 ḥadist
beragam yang mengungkapkan Nabi saw. mengangkat tangan dalam berdo’a.
Di samping dua jenis Hadist mutawātir, lafẓiy dan ma‘nawiy di atas ada juga yang
menambahkanya dengan ḥadist mutawātir ‘amaliy. Perbedaannya dengan dua jenis
sebelumnya adalah bahwa mutawātir ‘amaliy tidak diriwayatkan tetapi diyakini sebagai
bersumber dari Nabi saw., seperti: cara pelaksanaan salat, manasik haji, kadar zakat, cara
berwudu’ dan lain sebagainya.

2.4 Pengertian Hadist Ahad


Al-Ahad jama’ dari ahad, menurut bahasa al-wahid atau satu. Dengan demikian
khabar wahid adalah berita yang disampaikan oleh satu orang. Ada juga ulama yang
mendefinisikan hadis ahad secara singkat, yakni hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat
hadis mutawatir, hadis selain hadis mutawatir atau hadis yang sanadnya sah dan bersambung
hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan
pengertian zhanni dan tidak samapi kepada qat’i dan yaqin.
Abdul Wahab Khalaf menyebutkan bahwa hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan
oleh satu, dua orang atau sejumlah orang tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah
perawi hadis mutawatir. Jumhur ulama sepakat bahwa beramal dengan hadis ahad yang telah
memenuhi ketentuan maqbul hukumnya wajib, sedangkan golongan Qadariah, Rafidhah dan
sebagain ahli Zhahir menetapkan bahwa beramal dengan dasar hadis ahad hukumnya tidak
wajib.
Menurut Al-Ma’udi, Hafidz dalam bukunya Ilmu Musthalahah Hadist, yang dimaksud
dengan hadist Ahad adalah hadits yang diriwayatkan oleh seorang atau lebih tetapi tidak
mencapai tingkat mutawatir. Sifatnya atau tingkatannya adalah "zhanniy".

2.5 Pembagian Hadist Ahad


a. Hadist masyhūr
aṭ-Ṭaḥḥān mendefinisikan Hadist masyhūr sebagai:
‫ما رواه الثالثة فأكثر ـ في كل طبقة ـ ما لم يبلغ حد التواتر‬
(Apa-apa yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih — dalam setiap ṭabaqahnya — selama
tidak mencapai batasan mutawātir.)
Definisi di atas adalah definisi Hadist masyhūr iṣṭilāḥiy. Selain itu dikenal istilah
Hadist masyhūr nisbiy atau masyhūr gairu iṣṭilāḥiy, yakni Hadist yang masyhur di kalangan
tertentu. Jenis Hadist ini tidak ada batasan jumlah perawi, seperti Hadist “abgaḍu-ḥalāl
ilallāhi aṭ-ṭalāq” yang masyhur di kalangan ahli fiqh.Jenis Hadistini kadang disebut pula
dengan Hadistmustafīḍ. Ada yang berpendapat justru definisi di ataslah yang merupakan
definisi mustafīḍ. Untuk jenis terakhir, al-Mubārak ‘Abdillāh menyangkalnya sebagai Hadist
masyhūr.
Ada juga Sebagian ulama fiqh menyamakan masyhūr dengan mustafīḍ. Sebagian
ulama lain membedakannya. Hadist mustafīḍ mengharuskan adanya kesamaan jumlah perawi
pada awal sanad dan ujungnya, sedangkan Hadist masyhūr lebih bersifat umum. Ada
sebagian lainnya yang justru memandang sebaliknya.
b. Hadist ‘azīz
Hadist ‘azīz adalah Hadist yang mensyaratkan adanya tidak lebih sedikit dari dua
orang perawi yang meriwayatkannya meskipun hanya ada dalam satu ṭabaqah.Berikut ini
sebagian definisi Hadist ‘azīz yang dikemukakan oleh ulama:
‫ما رواه اثنان ولو كانا في طبقة واحدة ثم رواه بعد ذلك جماعة‬
(Hadist yang diriwayatkan oleh dua perawi, walaupun dua perawi tersebut terdapat pada satu
ṭabaqah saja, kemudian setelah itu diriwayatkan oleh orang banyak.)
‫أن ال يق ّل رواته عن اثنين في جميع طبقات السند‬
(Apa yang perawinya tidak lebih sedikit dari dua orang dalam setiap ṭabaqah sanadnya.)
Berkenaan dengan definisi pertama di atas, jika setelah dua perawi tersebut
diriwayatkan oleh orang banyak, menurut al-Khaṭīb, Hadist ini tetap tidak keluar dari batasan
Hadist ‘azīz, hanya saja pada Hadist tersebut berkumpul dua sifat: ‘azīz sekaligus masyhūr.
c. Hadist fard
Yang dimaksud dengan fard ialah Hadist yang di dalam sanadnya terdapat seorang
yang menyendiri dalam periwayatan (“Huwa mā yanfaridu biriwāyatihi rāwin wāhīd.”), baik
di dalam setiap ṭabaqah maupun hanya pada sebagian ṭabaqah saja.
Sedangkan yang dimaksud dengan menyendiri di sini adalah menyendirinya seorang
perawi dalam meriwayatkan suatu matan (garābatul-matan), atau menyendirinya sifat seorang
perawi ketimbang para perawi lainnya yang meriwayatkan matan yang sama (garābatul-
isnād).
Ditinjau dari segi posisi penyendirian di atas maka Hadist fard digolongkan kepada
dua bagian: pertama, Hadist fard muṭlaq atau yeng lebih dikenal dengan sebutan Hadist fard
saja, dan kedua, Hadist fard nisbiy atau yeng lebih dikenal dengan sebutan Hadist garīb.
Hadist fard adalah Hadist yang posisi penyendirian perawinya pada aṣlus-sanad, yakni
pada ṭabaqah ṣaḥābiy (“Mā kānatil-garābah fī aṣli sanadihi ai mā yanfaridu biriwāyatihi
syakhs wāḥid fī aṣli sanadihi). Contohnya adalah Hadist “Innamal-a‘māl bin-niyyāt” yang
diriwayatkan secara menyendiri oleh ‘Umar ibnul-Khaṭṭāb ra., kemenyendirian itu terus
berlangsung sampai akhir sanad pada ṭabaqah ke IV, baru setelahnya diriwayatkan oleh orang
banyak.
Hadist garīb adalah Hadist yang posisi penyendirian perawinya pada tengah sanad,
maksudnya, Hadist yang diriwayatkan oleh lebih dari seorang perawi pada aṣlus-sanad
(ṭabaqah ṣaḥābiy), kemudian pada ṭabaqah selanjutnya, ada seorang perawi yang menyendiri
dalam periwayatannya. Contohnya adalah Hadist Mālik dari Anas ra. : annanNabiy saw.
dakhala Makkah wa ‘alā ra’sihil-migfar. Pada Hadist inihanya az-Zuhri yang meriwayatkan
dari Anas ra., sementara perawi yang lainnya meriwayatkan Hadist ini dari ṣaḥābiy lain,
selain Anas ra.
Pada bagian Hadist garīb ini para ulama mengklasifikasikannya kepada empat
macam:
1. Menyendirinya seorang perawi ṡiqah dalam periwayatan.
2. Menyendirinya seorang perawi tertentu dari seorang perawi tertentu.
3. Menyendirinya penduduk suatu negeri atau suatu daerah.
4. Menyendirinya penduduk suatu negeri atau suatu daerah dari penduduk suatu negeri atau
suatu daerah
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Hadits mutawatir merupakan hadits
yang diriwayatkan oleh banyak orang dalam setiap generasi, sejak generasi shahabat sampai
generasi akhir (penulis kitab), orang banyak tersebut layaknya mustahil untuk berbohong.
sedangkan hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua orang atau sejumlah
orang tetapi jumlahnya tidak sampai kepada jumlah perawi hadis mutawatir. Kedua hadist
tersebut merupakan hadist yang kuat jika perawi kedua hadist tersebut memiliki sanad yang
jelas dan tidak menyeleweng dari periwayat sebelumnya
DAFTAR PUSTAKA

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarata: PT Raja Grafindo Persada,2002.


Muhajirin, C. M. (2018). Hadis-hadis Sunni dalam Kitab Mut’ah Al-Nisa<’Fi< Al-Kita< b
Wa Al-Sunnah.
Abu ‘Abdillāh Saidī Muḥammad ibn Abil-Faiḍ Maulānā Ja‘far al-Ḥusainī al-Idrīsiy asy-
Syahīr bil-Kattāniy, Naẓmul-Mutanāsir minalHadistil-Mutawātir (Beirut: Dārul-
Kutubil-‘Ilmiyyah, 1983).
Wahbah az-Zuhailiy, Uṣūlul-Fiqhil-Islāmiy, vol. I (Beirut: Dārul-FikrilMu‘āṣir, 1986).

Anda mungkin juga menyukai