Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Hadits ditinjau dari kuantitasnya : Hadits Mutawattir dan Hadits Ahad

( Diajukan untuk memenuhi mata kuliah pengantar studi al-qur’an hadist)

Dosen Pengampu : Erni yusnita, M.Pd.I

Disusun oleh kelompok 11 :

Almaratul Fitriyana 2111030110

Yovi Fatmawati 2111030185

KELAS F

JURUSAN MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

1442 H / 2021 M
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kehadirat tuhan yang maha esa, atas rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “
Hadist ditinjau dari kuantitasnya : hadist mutawatir, ahad, dan
kehujjahannya” .

Tak lupa kami juga mengucapkan terimakasih kepada ibu Erni Yusnita, M.Pd.I
selaku dosen pengampu matakuliah pengantar study al-qur’an hadist yang telah
membimbing kami dalam mengerjakan makalah ini. Dan kami juga
mengucapakn terimakasih kepada teman-teman yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna dan memiliki banyak
kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik senantiasa diharapkan demi
perbaikan makalah,kami juga berharap semoga makalah ini mampu memberikan
pengetahuan tentang keterkaitan pengumpulan, penulisan, dan pembukuan
hadist.

Wassalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh

Bandar lampung, November 2021

Kelompok 11

i
ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR………………………………………………………. i

DAFTAR ISI………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………… 1

A. Latar Belakang……………………………………………………….. 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………. 1
C. Tujuan Masalah………………………………………………………. 1

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………. 2

A. Pengertian Hadits Mutawatir dan Ahad……………………………… 2


B. Syarat-Syarat Hadits Mutawatir dan Ahad…………………………… 3
C. Macam-Macam Hadits Mutawatir dan Ahad………………………… 7
D. Faedah Hadits Mutawatir dan Ahad………………………………….. 10

BAB III PENUTUP…………………………………………………………. 12

A. Kesimpulan…………………………………………………………… 12
B. Saran………………………………………………………………….. 12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Seperti yang telah diketahui, hadits diyakini sebagai sumber ajaran Islam
setelah kitab suci Al-Quran. Hadits merupakan segala sesuatu yang bersumber
dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa ucapan, perbuatan maupun ketetapan
yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan Allah yang disyari’atkan
kepada manusia. Selain itu, hadits juga dibutuhkan manusia untuk mengetahui
inti-inti ajaran dalam Al-Quran. Jika ayat-ayat dalam Al-Quran mutlak
kebenarannya, berbeda dengan hadits yang bisa saja belum jelas
periwayatannya, hadits tersebut benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. atau
bukan.

Ditinjau dari segi kuantitasnya, hadits dibagi menjadi mutawatir dan ahad.
Sedangkan ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu, hadits
Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan hadits Mardud (hadits
yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi menjadi dua yaitu hadits
Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk dalam hadits Mardud salah satunya
adalah hadits Dha’if. Semuanya memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.

Oleh karena itu, tujuan penulisan makalah ini diperlukan untuk mengetahui
lebih lanjut tentang masing-masing hadits shahih, hadits hasan, dan hadits
dho’if.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan pengertian hadits mutawatir dan hadits ahad !
2. Apa saja syarat-syarat hadits mutawatir dan ahad ?
3. Apa saja macam-macam hadits mutawatir dan ahad ?
4. Bagaimana faedah hadits mutawatir dan hadits ahad ?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui dan memahami pengertian hadits mutawatir dan ahad
2. Untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat hadits mutawatir dan
ahad

1
3. Untuk mengetahui dan memahami macam-macam hadits mutawatir dan
ahad
4. Untuk mengetahui dan memahami faedah hadits mutawatir dan ahad

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadits Mutawatir dan Hadits Ahad


 Hadits Mutawatir

Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berikutnya


atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya .1
Sedangkan pengertian Hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa
definisi, antara lain sebagai berikut:

“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat
mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”.2 

Ada juga yang mengatakan:

“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat
mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad
sampai akhir sanad, pada setiap tingkat (Thabaqat)”.3
Nur ad-Din Atar mendefinisikan:
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari
kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad
dengan didasarkan pada panca indra”.4 
 Hadits Ahad
Secara bahasa kata “ahad” merupakan bentuk plural dari kata “ahad” yang
bermakna satu. Hadits ahad, secara bahasa adalah hadits yang diriwayatkan oleh

1
Suparta, munzier, 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 95
2
Ibid. hlm. 96
3
Ibid.
4
Ibid.

2
satu orang.5 Adapun pengertian hadits ahad secara istilah adalah hadits yang
tidak memenuhi syarat syarat Hadits mutawatir. Menurut Al Qathan hadits ahad
adalah hadits yang tidak memenuhi syarat mutawatir.6
B. Syarat-Syarat hadits mutawatir dan ahad
 Syarat-syarat hadits mutawatir
Mengenai syarat-syarat hadits mutawatir ini, yang terlebih dahulu
merincinya adalah ulama ushul. Sementara para ahli hadits tidak begitu banyak
merinci pembahasan tentang hadits mutawatir dan syarat-syarat tersebut. Karena
menurut ulama ahli hadits, khabar Mutawatir yang sedemikian sifatnya, tidak
termasuk kedalam pembahasan Ilmu Al-Isnad, yaitu sebuah disiplin ilmu yang
membicarakan tentang sahih atau tidaknya suatu hadits, diamalkan atau
tidaknya, dan juga membicarakan sifat-sifat rijalnya yakni para pihak yang
banyak berkecimpung dalam periwayatan hadits, dan tata cara penyampaian.
Padahal dalam kajian hadits mutawatir tidak dibicarakan masalah-masalah
tersebut. Karena bila telah diketahui statusnya sebagai hadits mutawatir, maka
wajib diyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya, dan tidak boleh ada
keraguan, sekalipun di antara adalah orang kafir.7
Sedangkan  menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadits dapat
ditetapkan sebagai Hadits Mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:

 Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi

Hadits mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang


membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat untuk
berdusta. Mengenai masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada yang
menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menetapkan jumlah tertentu.
Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang penting dengan

5
Dr. Idri, 2010.Studi Hadis, Jakarta: Prenada Media Group, hlm. 141
6
Umi Sumbulah. 2010. Ilmu Hadis. Malang:Uin Maliki Press. hlm. 91

7
Suparta, munzier, 2002. Ilmu Hadis. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 97

3
jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan terhadap apa yang
diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta. 8Sedangkan menurut
ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka masih berselisih mengenai
jumlah tertentu itu.

Al-Qadhi Al-Baqillani menetapkan bahwa jumlah perawi hadits agar bisa


disebut hadits mutawatir tidak boleh berjumlah empat. Lebih dari itu lebih baik.
Ia menetapkan sekurang-kurangnya berjumlah 5 orang, dengan mengqiyaskan
dengan jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul Azmi.9 Al-Isthakhary menetapkan
yang paling baik minimal 10 orang, sebab jumlah 10 itu merupakan awal
bilangan banyak.10

Ulama lain menentukan 12 orang, mendasarkan pada firman Allah:

‫َوبَ َع ْثنَا ِم ْنهُ ُم ْاثن َْي َع َش َر نَقِيبًا‬


“...Dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin. (QS.Al-Maidah
(5):12)”11
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang. Sesuai dengan
firman Allah:
َ َ‫اِ ۡن يَّ ُك ۡن ِّم ۡن ُكمۡ ِع ۡشر ُۡون‬ 
‫صابِر ُۡونَ يَ ۡغلِب ُۡوا ِماَئت َۡي ِن‬
“Jika ada dua puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh... (QS. Al-Anfal (8): 65)”12
Ayat ini memberikan sugesti kepada orang-orang mukmin yang tahan uji, yang
hanya dengan jumlah 20 orang saja mampu mengalahkan 200 orang kafir. Ada
juga yang mengatakan bahwa jumlah perawi yang diperlukan dalam hadits
mutawatir minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah SWT.:
َ‫ك هَّللا ُ َو َم ِن اتَّبَ َعكَ ِمنَ ْال ُمْؤ ِمنِين‬
َ ُ‫يَا َأيُّهَا النَّبِ ُّي َح ْسب‬

8
Ibid

9
Ibid. hlm. 98
10
ibid
11
ibid
12
ibid

4
“Wahai Nabi, cukuplah Allah dan orang-orang mukmin yang
mengikutimu.” (QS. Al-Anfal (8): 64) 13 Saat ayat ini diturunkan jumlah umat
Islam baru mencapai 40 orang. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat Al-
Thabrany dan Ibn Abbas, ia berkata: “Telah masuk Islam bersama Rasulullah
sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang perempuan. Kemudian Umar masuk Islam,
maka jadilah 40 orang Islam.14 Selain pendapat tersebut, ada juga yang
menetapkan jumlah perawi dalam Hadits mutawatir sebanyak 70 orang, sesuai
dengan firman Allah SWT.:

‫َار ُمو َس ٰى قَوْ َمهُ َسب ِْعينَ َر ُجاًل لِ ِميقَاتِنَا‬ ْ ‫ َو‬ 


َ ‫اخت‬
“Dan Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk (memohon
taubat dari Kami) pada waktu yang telah kami tentukan... (QS. Al-Araf
(7):155)15
Penentuan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana disebutkan diatas,
sebetulnya bukan merupakan hal yang prinsip, sebab persoalan pokok yang
dijadikan ukuran untuk menetapkan sedikit atau banyaknya jumlah
Hadits Mutawatir tersebut bukan terbatas pada jumlah, tetapi diukur pada
tercapainya Ilmu Dharuri. Sekalipun jumlah perawinya tidak banyak (tapi
melebihi batas minimal yakni 5 orang), asalkan telah memberikan keyakinan
bahwa berita yang mereka sampaikan itu bukan kebohongan, sudah dapat
dimasukkan sebagai hadits mutawatir.16
 Adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqat pertama dengan
thabaqat berikutnya
Jumlah perawi hadits mutawatir, antara Thabaqat (lapisan/tingkatan) dengan
thabaqat lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu hadits
diriwayatkan oleh 20 orang sahabat, kemudian diterima oleh 10 tabi’in, dan
selanjutnya hanya diterima oleh 5 tabi’in, tidak dapat digolongkan sebagai hadits

13
ibid
14
Ibid. hlm. 99
15
Ibid.
16
ibid, hlm. 100

5
mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat pertama
dengan thabaqat-thabaqat seterusnya.17
Akan tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa keseimbangan jumlah perawi
pada tiap thabaqat tidaklah terlalu penting. Sebab yang diinginkan dengan
banyaknya perawi adalah terhindarnya kemungkinan berbohong.18

   Berdasarkan Tanggapan Pancaindra


Berita yang disampaikan oleh perawinya tersebut harus berdasarkan
tanggapan pancaindra. Artinya bahwa berita mereka sampaikan itu harus benar-
benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri. Oleh karena itu, bila berita
itu merupakan hasil renungan, pemikiran atau rangkuman dari suatu peristiwa
lain ataupun hasil istinbat dari dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits
mutawatir, misalnya berita tentang baharunya alam semesta yang berpijak pada
pemikiran bahwa setiap benda yang rusak itu baharu, maka berita seperti ini
tidak dapat dikatakan Hadits Mutawatir. Demikian juga berita tentang ke-Esa-an
Tuhan menurut hasil pemikiran pada filosof, tidak dapat digolongkan sebagai
hadits mutawatir.
 Syarat-syarat hadits ahad
Dalam masalah hadis, Imam Syafi’i juga sama seperti halnya imam Abu
Hanifah, beliau juga dikenal dengan nashir al-sunnah tsani. Apabila Abu
Hanifah menyelamatkan sunnah dari kaum mu’tazilah yang dikenal dengan
nashir al-Sunnah awwal, imam Syafi’i mempertahankan eksistensi sunnah dari
kelompok yang mencoba mengingkari keberadaan hadis {munkir al-Sunnah}.
Pada masa imam Syafi’i, muncul beberapa kelompok pengingkar sunnah,
ada kelompok yang hanya mengakui eksistensi al-Qur’an dan menolak
keseluruhan hadits. Ada pula yang hanya mengakui hadis mutawatir saja, dan
tidak mengakui kehujjahan hadits ahad dan kelompok yang menolak hadits yang
tidak jelas landasannya dalam al-Qur’an.  Menghadapi ketiga kelompok ini,

17
Ibid
18
Ibid

6
imam Syafi’i memberikan penjelasan bahwa hadits Rasul tidak dapat
ditinggalkan, karena banyak masalah ibadah yang tidak dapat dilaksanakan
tanpa penjelasan sunnah. Meskipun ada kegiatan pemalsuan hadits, bukan berarti
semua hadits tidak dapat digunakan, karena tidak semua hadits itu palsu.

 Imam Syafi’i menerima hadits ahad sebagai dalil dalam mengistinbatkan

hukum. Ada beberapa persyaratan untuk menerima hadis ahad, yaitu :

1. Periwayatnya tsiqah dalam agamanya, diketahui benar dalam hadisnya,


dan semua periwayatnya tsiqah dari awal hingga akhir.
2. Periwayat sudah balig ketika ia menyampaikan hadis, dan mengerti
makna hadis jika ia meriwayatkan secara makna, kalau ia tidak
memahaminya, ia harus meriwayatkan secara lafal yang berasal dari
Nabi.
3. Periwayatnya hafal hadis yang berdasarkan kepada hafalan dan menjaga
kitabnya jika ia meriwayatkannya secara kitabah.
4. Periwayatannya tidak berbeda dengan riwayat orang tsiqat.
5. Periwayatnya tidak mudallis, seperti ia meriwayatkan sesuatu yang tidak
didengarnya dari orang yang ditemuinya. Riwayatnya diterima apabila ia
menggunakan haddatsani atau sami’tu.19

C. Macam-macam hadits mutawatir dan hadits ahad


 Macam-macam hadits mutawatir
 Mutawatir Lafzhi
“Hadits mutawatir lafzhi ialah hadits yang kemutawatiran perawinya masih
dalam satu lafal.”
Contoh:
 ‫من كذب علي متعمدا فليتبو أمقعده من النار‬
Artinya: Barang siapa berdusta atas (nama)-ku dengan sengaja, maka hendaklah
ia mengambil tempat duduknya dari neraka.
Keterangan:
Menurut Al Bazzar, hadits ini diriwayatkan oleh 40 orang Sahabat. Al- Nawawi
menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 orang Sahabat.20

19
Shalih, Muhammad Adib, Lamahat fi Ushul al-Hadis, ( Beirut, al-Maktabat al-Islami, 1399 H ), hal 20

20
M. Noor Sulaiman PL. Antologi Ilmu Hadits.  Jakarta: Gaung Persada Press, 2008 hal 88.

7
Lafadz yang orang ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh
tersebut tersebut, diantaranya ada yang berbunyi begini :
)‫من تقول علي مالم اقل فليتبوأ مقعده من النا (ابن ماجه‬
Artinya: “Barang siapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu
yang aku tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya
dari neraka.” (Ibnu Majah)
Kemudian ada yang berbunyi seperti ini :
)‫ومن قال علي مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار (الحاكم‬
Artinya :” Dan barang siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak
pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.”
(Hakim)
Adanya perbedaan pada permulaan hadits mungkin terjadi karena Nabi
SAW mengucapkannya beberapa kali, namun pada dasarnya maknanya sama
saja. Hadits tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadits,
diantaranya: Bukhari, Muslim, Darimy, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi, Ath-
Tajalisy, Abu Hanifah, Thabarani dan Hakim.
 Mutawatir Ma’nawiy
Hadits Mutawattir Ma’nawiy merupakan hadits yang dimana susunan redaksinya
berbeda namun pada prinsipnya memiliki makna yang sama.
Contoh:
Adanya hadits yang menjelaskan bahwa Rasulullah mengangkat kedua
tangannya ketika berdo’a.
‫قال أبو موسى ﻤﺎ ﺭﻔﻊ رسول هللا ﺼﻟﻰ ﷲ ﻋﻟﻴﻪ ﻭ ﺴﻠﻡ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺘﻰ ﺭؤﻱ ﺒﻴﺎﺽ ﺍﺒﻁﻴﻪ ﻔﻰ ﺸﻴﺊ ﻤﻥ‬
‫ﻔﻰ ﺍﻹﺴﺘﺴﻘﺎﺀ‬  ‫ﺍﻻ‬  ‫ﺩﻋﺎﺌﻪ‬
(‫)رواه البخارى و مسلم‬
“Abu Musa Al-Ayari berkata bahwa Rasulullah saw tidak mengangkat
kedua tangan beliau dalam berdo’a hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya

8
dan beliau saw mengangkat tangannya selain dalam do’a shalat istisqa’. (HR
Bukhori dan Muslim)”21

‫ﻜﺎﻥ ﻴﺭﻔﻊ ﻴﺩﻴﻪ ﺤﺫﻭ ﻤﻨﻜﺒﻴﻪ‬


“Ketika beliau saw mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak
beliau”.
 Mutawatir Amali
Hadits mutawatir amali, yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan
oleh Nabi SAW, kemudian diikuti oleh para Sahabat, lalu Tabi’in , dan
seterusnya sampai sekarang. Contoh, hadits-hadits tentang sholat, jumlah
rakaatnya, dan lain sebagainya. Segala yang menjadi ijma’ di kalangan ulama
dikategorikan sebagai hadits mutawatir amali.22
 Macam-macam hadits ahad
 Hadits masyhur
Secara bahasa, kata masyhur adalah isim maf’ul dari kata syahara yang berarti
mengumumkan dan menjelaskan suatu hal. Dalam penegrtian ini masyhur juga
berarti sesuatu yang terkenal, yang dikenal atau yang populer dikalangan
manusia.23 Sedangkan secara istilah, hadits masyhur adalah hadits yang
diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dari setiap generasi, akan tetapi tidak
mencapai jumlah mutawatir. Jika diteliti lebih lanjut, sebenarnya hadits masyhur
ini tidak semuanya berkualitas shahih, karena jumlah perawi yang demikian
belum tentu menjamin keshahihannya kecuali disertai sifat sifat yang
menjadikan sanad ataupun matannya shahih. Dengan demikian, hadits masyhur
sendiri dapat dikelompokan kepada yang berkualitas shahih, hasan dan dhaif.24
 Hadits aziz
Secara bahasa, kata aziz merupakan sifat musyabbahah dari kata “azza
ya’izzu”,yang berarti sedikit atau jarang dan kata azza ya’azzu yang berarti kuat
21
 Ibid, hal 89
22
Ibid.
23
Dr. Idri, Op.Cit, hlm. 142
24
Umi Sumbulah, Op.cit. hlm. 91

9
dan sangat. Sedangkan menurut istilah hadits aziz adalah hadits yang
diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua perawi pada seluruh
tingkatan/generasi.25
Dengan demikian, suatu hadits yang pada salah satu thabaqah sanadnya
diriwayatkan oleh dua periwayat, meskipun pada thabaqah lainnya diriwayatkan
oleh banyak periwayat, maka hadits itu dinamakan hadits azis.26
 Hadits gharib
Secara bahasa kata “gharib” merupakan sifat musyabbahah yang bermakna
menyendiri. Sedangkan secara istilah, hadits gharib adalah hadits yang
diriwayatkan seorang perawi di manapun hal itu terjadi. Artinya bahwa tiap
hadits gharib ini tidak disyaratkan harus satu perawi pada setiap tingkatan atau
generasi, akan tetapi cukup satu tingkatan sanad dengan satu orang perawi. Di
antara contohnya adalah Hadits yang diriwayatkan dari Umar ibn Khattab dari
Rasullullah SAW tentang pentingnya niat sebagai berikut :
Berdasarkan letak terjadinya ke-gharib-an, hadits model ini dapat dipilih
menjadi tiga kelompok, yaitu :

1. Gharib matnan wa isnadan (gharib dari segi matan dan sanadnya)


artinya bahwa hadits tersebut tidak diriwayatkan melainkan melalui satu
sanad.
2. Gharib isnadan la matan (gharib dari segi sanadnya dan tidak
matannya). Artinya hadits tersebut merupakan hadits masyhur
kedatangannya melalui beberapajalur dari seorang perawi atau seorang
sahabat atau dari sejumlah perawi, lalu ada seorang perawi
meriwayatkannya dengan jalur lain yang tidak masyhur. Hadits gharib
dalam bentuk ini dinamakan hadits gharib mutlak disebabkan
diriwayatkan oleh seorang perawi saja, melalui jalur yang tidak masyhur.

25
Ibid, hlm. 93
26
Dr. Idri, Studi Hadits, hlm. 148

10
3. Gharib matnan la isnadan, yaitu hadits yang pada mula sanadnya
tunggal, akan tetapi pada tahap selanjutnya masyhur. Sebenarnya hadits
gharib dalam bentuk ini, jika dicermati, dapat dikelompokan pertama.27

D. Faedah hadits mutawatir dan hadits ahad


 Hadits mutawatir

Hadits mutawatir itu memberi faedah ilmu dharuriy atau yakin, artinya yakni
suatu keharusan untuk meyakini kebenaran suatu berita dari Nabi SAW yang
diriwayatkan secara mutawatir tanpa ada keraguan sedikitpun. Para perawi
hadits mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedhabitannya
(kuatnya hafalan/ingatan), karena kuantitas para perawi hadits sudah menjamin
tidak mungkin terjadi kesepakatan bohong.
  Hadits mutawatir mengandung hukum qath’I al tsubut, memberikan
informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut. Oleh sebab itu tidak
dibenarkan seseorang mengingkari hadits mutawatir, bahkan para ulama
menghukumi kufur bagi orang yang mengingkari hadits mutawatir. Mengingkari
hadits mutawatir sama dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti
bersumber dari Rasulullah.
 Hadits ahad
Pertama, menunjukkan dugaan kuat (zhann), yaitu dugaan terkuat akan
keabsaan penisbatan hadits tersebut kepada orang yang menjadi sumber
penukilan. Hal itu berbeda-beda sesuai dengan derajatnya. Hadits ahad bisa juga
memberikan faedah ilmu (yaqiin) jika memiliki berbagai indikasi (qaraa’in)
yang menguatkan hal itu dan dikuatkan oleh dalil pokok (yaitu Al-Qur’an atau
hadits shahih).
Kedua, mengamalkan kandungannya, yaitu dengan membenarkannya jika
berupa berita dan menerapkannya (melaksanakannya) jika berupa tuntutan.
Adapun hadits dha’if, maka tidak memberikan faedah zhann, tidak dapat
27
Umi Sumbulah, Ilmu Hadits. hlm. 95

11
diamalkan, tidak boleh dianggap sebagai dalil, tidak boleh disampaikan kecuali
jika disertai penjelasan akan kelemahannya. Namun hadits dha’if boleh
disampaikan dalam perkara targhiib (anjuran) dan tarhiib (enakut-nakuti).

12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembagian hadits bila ditinjau dari kuantitas perawinya dapat dibagi
menjadi dua, yaitu hadits mutawatir dan hadits ahad.
Mutawatir  menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang
berikutnya atau beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada
jaraknya. hadits mutawatir juga dibagi lagi menjadi 3 bagian yaitu: mutawatir
ma’nawi dan mutawatir ‘amali
Secara bahasa kata “ahad” merupakan bentuk plural dari kata “ahad”
yang bermakna satu. Hadits ahad, secara bahasa adalah hadits yang diriwayatkan
oleh satu orang. Adapun pengertian hadits ahad secara istilah adalah hadits yang
tidak memenuhi syarat syarat Hadits mutawatir. hadits ahad dibagi menjadi dua
macam, yaitu masyhur dan ghairu masyhur, sedangkan ghairu masyhur dibagi
lagi menjadi dua bagian yaitu, aziz dan ghairu aziz.

B. Saran

Demikian pembahasan makalah yang kami susun, semoga dapat


bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Penulis menyadari masih
banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun sangat kami harapkan dalam pembuatan makalah selanjutnya agar
menjadi lebih baik.

13
DAFTAR PUSTAKA

Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadits.  Jakarta: PT Raja Grasindo Persada

Azami, M.M., 2003. Memahami Ilmu Hadits.  Jakarta: Lentera

Zuhri, Muh. 2003. Hadits Nabi; Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta :


PT. Tiara Wacana Yogya.

Alawi Al-Maliki, Muhammad. 2006. Ilmu Ushul Hadits.  Yogyakarta : Pustaka


Pelajar.

Sulaiman PL, M. Noor. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta. Gaung Persada


Press.

Sumbulah, Umi. 2010. Ilmu Hadits. Malang, UIN Maliki Press.

Dr. Idri. 2010. Studi Hadits. Jakarta: Prenada Media Group.

14

Anda mungkin juga menyukai