Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH ULUMUL HADIST

PEMBAGIAN HADIST DANSEGI KUANTITAS DAN KUALITAS

( Makalah ini disusun untuk memenuhi mata kuliah ulumul hadist )

DOSEN PENGAMPU :

MUHAMMAD YANI, S.Ag., M.Pd.I.

DISUSUN OLEH :

NAMA : ARDHEA PRIMISTI RAGITA CAHYANI (1209202101009)

NUR CAHAYA (12092021010041)

RASIDAH (12092021010056)

SEMESTER : I

JURUSAN : PAI A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM STAI AULIAURRASYIDIN

TEMBILAHAN

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang


senantiasa melimpahkan rahmat dan ridho nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah materi kuliah ulumul hadist yang judul
“pembagian hadist dari segi kuantitas dan kualitas”.

Harapan kami semoga penyusunan makalah ini bisa


bermanfaat bagi kita semua serta menjadi tambahan informasi
pengetahuan tentang pembagian hadist dari segi kuantitas dan kualitas
bagi pembaca.

I
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................i

DAFTAR ISI.............. ........................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..................................................................................1


B. Rumusan Masalah .............................................................................1
C. Tujuan ................................................................................................1

BAB II : PEMBAHASAN

A. Pengertian dan contoh hadist mutawatir...........................................2


B. Pengertian dan contoh hadist masyhur.............................................2
C. Pengertian dan contoh hadist ahad....................................................2
D. Pengertian dan contoh hadis shahih..................................................2
E. Pengertian dan contoh hadist hasan..................................................2
F. Pengertian dan contoh hadist dloif....................................................2

BAB III : PENUTUP

Kesimpulan ...........................................................................................4

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................5

II
BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Seperti yang telah diketahui, hadits diyakini sebagai sumber ajaran


Islam setelah kitab suci Al-Quran. Hadits merupakan segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi Muhammad SAW. baik berupa ucapan, perbuatan
maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum dan ketentuan Allah
yang disyari’atkan kepada manusia. Selain itu, hadits juga dibutuhkan
manusia untuk mengetahui inti-inti ajaran dalam Al-Quran. Jika ayat-ayat
dalam Al-Quran mutlak kebenarannya, berbeda dengan hadits yang bisa
saja belum jelas periwayatannya, hadits tersebut benar berasal dari Nabi
Muhammad SAW. atau bukan.
Ditinjau dari segi kuantitasnya, hadits dibagi menjadi mutawatir dan ahad.
Sedangkan ditinjau dari segi kualitasnya, hadits terbagi menjadi dua yaitu,
hadits Maqbul (hadits yang dapat diterima sebagai dalil) dan hadits
Mardud (hadits yang tertolak sebagai dalil). Hadits Maqbul terbagi
menjadi dua yaitu hadits Shahih dan Hasan, sedangkan yang termasuk
dalam hadits Mardud salah satunya adalah hadits Dha’if. Semuanya
memiliki ciri dan kriteria yang berbeda.
Oleh karena itu, tujuan penulisan makalah ini diperlukan untuk
mengetahui lebih lanjut tentang masing-masing hadits shahih, hadits
hasan, dan hadits dho’if.

I
B. RUMUSAN MASALAH
Ditinjau dari Segi Kuantitas
1. Apa pengertian Hadits Mutawatir?
2. Apa contoh hadist mutawatir?
3. Apa pengertian hadist masyhur?
4. Apa contoh hadist masyhur?
5. Apa pengertian hadist ahad?
6. Apa contoh hadist ahad?
7. Apa pengertian hadist sahih ?
8. Apa contohhadist sahih?
9. Apa pengertian hadist hasan?
10. Apa contoh hadist hasan?
11. Apa pengertian hadist dloif?
12. Apa contoh hadist dloif?

C. TUJUAN

1. Untuk mengetahui mengenai bagaimana pembagian hadist dari segi kuantitas


sanad
2. Untuk mengetahui mengenai bagaimana pembagian hadist dari segi kualitas
sanad

II
BAB II

PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN DAN CONTOH HADIST MUTAWATIR

1. Hadis Mutawatir.

a) Penegertian Hadis Mutawatir. mutawatir menurut bahasa berasal dari kata ‫متابع‬
atau ‫ متتبع‬maksudnya yang datang beriringan antara satu dengan lainnya dengan tidak ada
perselangannya. Atau datang sesuatu secara berturut-turut secara bergantian tanpa adanya
yang mencela. Yang dimaksudkan di sini adalah mutawatir mengandung penegertian
yang bersifat terus menerus atau kontinyu yang berturut-turut tanpa adanya yang mencela
dan menghalangi komunitas itu. Secara istilah mutawatir adalah Hadis yang di
diriwayatkan oleh rawi yang jumlahnya banyak, diterima secara panca indera dan secara
adat dan dan kebiasaan pada masa itu tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta.

Rawi yang banyak harus terdapat disetiap tingkatan tabaqat. ٍ ْ‫هُ َو َخبَ ٌر ع َْن َمحْ سُو‬
‫س‬
ِ ‫اع ِه ْم َوتَ َوا طُئِ ِه ْم َعلَى ْال َك ِذ‬
‫ب‬ ِ ‫ َر َواهُ َع َد ٌد َج ٌّم يَ ِجبُ فِى ْال َعا َد ِة اِ َحالَةُ إِجْ تِ َم‬Artinya:
Suatu hadis hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah besar
rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan sepakat berdusta.

Para ulama berbeda pendapat mnegenai pengharusan adanya indikator panca


indera, ada sebagian ulama yang tidak mengharuskan periwayatan melalui pancaindera.
Adapun pendefinisian hadis mutawatir dikalangan ulama dengan beragam presepsi yakni,
menurut Mahmud al-Tahan, definisi hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh
banyak periwayat yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta.18
Muhammad ‘Ajjaj al-Hatib hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah periwayat yang menurut adat kebiasaan mereka sepakat untuk berdusta dari
seetiap rawi yang ada dan dari setiap tabaqat tidak kurang dari standarisasi hadis
mutawatir. Menurut Nur al-Din ‘Itr hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah orang yang tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta sampai akhir sanad.
Dan hadis yang diriwayatkan harus sesuai dengan pengamatan pancaindera. Menurut
Muhammad Muhammad Abu Suyhbah hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan
oleh beberapa orang yang menurut akal sehat dan adat kebiasaan mereka mustahil untuk

1
berdusta tentang hadis yang diriwayatkan, dari sejumlah periwayat sepadan dari sanad

awal sampai akhir dengan syarat tidak kurang disetiap generasi dan sandaran yang
digunakan berdasarkan yang didapatkan dengan indera, seperti disaksikan, didengar,
dll.Dari berbagai opini para pakar hadis yang telah dituliskan sangatlah beragam namun
pada esensinya mempunyai titik temu yang sama. Yakni berujung pada kesimpulan hadis
yang disampaikan oleh banyak periwayat yang di setiap generasi selalu mencapai
standarisasi kriteria hadis mutawatir. Mereka berkumpul menurut adat dan kebiasaan
mustahil mereka berdusta, dan apa yang disampaikan diterima dengan pancaindera.

b) Kriteria dan syarat hadis mutawatir Berdasarkan berbagai pengertian maka


syarat dan kriteria hadis mutawatir yakni:

1). Periwayatan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan tanggapan
pancaindera.

2) Jumlah rawi-rawi harus mencapai satu kesatuan yang tidak memungkinkan mereka
sepakat unutuk berbohong.

3) Adanya keseimbangan jumlah rawi-rawi dalam setiap tabaqat pertama dengan tabaqat-
tabaqat selanjutnya. Adapun contoh hadis mutawatir yakni:

َ ‫ َعنْ أَ ِبي‬،ٍ‫ َعنْ أَ ِبي َحصِ ني‬،‫ َح َّد َث َنا أَبُو َع َوا َن َة‬، ُّ‫حَ َّد َث َنا م َُح َّم ُد بْنُ ُع َب ْي ٍد ْال ُغ َب ِري‬
:‫صل ى اهل ُل َع َل ْي ِه َو َسل َم‬ َ ‫اهلل‬ ِ ‫ َقا َل َرسُو ُل‬:‫ َقا َل‬،‫ َعنْ أَ ِبي ه َُري َْر َة‬،‫صال ٍِح‬
َ
‫ َف ْل َي َت َب َّو ْأ َم ْق َعدَ هُ م َِن ال َّنار‬،‫ب َع َليَّ ُم َت َع ِّم ًدا‬ َ ‫َمنْ َك َذ‬

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid alGhubari telah
menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abu Hashin dari Abu Shalih dari Abu
Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa berdusta atas namaku maka hendaklah dia menempati tempat
duduknya dari neraka.

2
2. Hadist Masyhur

Pengertian Hadist Masyhur Hadist masyhur menurut bahasa yaitu kata “Masyhur”
berbentuk isim maf‟ul dari kata “syaharats Al-Amru” yang berarti sesuatu yang
telah terkenal setelah disebarluaskan dan ditampakkan dipermukaan.

Menurut istilah hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh lebih dari tiga

perawi dan belum mencapai batasan mutawatir. Apabila dalam salah satu
thabaqahnya (jenjang) dari thabaqat sanad terdapat tiga perawi maka hadist
tersebut dikategorikan hadist masyhur, sekalipun pada thabaqah sebelum atau
sesudahnya terdapat banyak perawi.

Contoh Hadits Masyhur

Klasifikasi Hadist Masyhur Dalam istilah hadist, masyhur terbagi menjadi dua
macam, yaitu sebagai berikut:

1) Masyhur Istilahi Masyhur istilahi adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga
orang atau lebih pada setiap tingkatan ( thabaqat ) pada beberapa tingkatan sanad,
tetapi tidak mencapai kriteria mutawatir.

2) Masyhur Ghairu Istilahi Masyhur ghairu istilahi adalah hadist yang popular
pada ungkapan lisan (para ulama ), tanpa ada persyaratan yang definitive. Hadist
masyhur ghairu istilahi adalah hadist yang popular atau terkenal dikalangan
golongan atau kelompok orang tertentu, sekalipun jumlah periwayat dalam sanad
tidak mencapai 3 orang atau lebih. Di antara kelompok hadist masyhur yang
popular.

3
3. Hadist ahad
a) Pengertian Hadis Ahad Hadis Ahad adalah hadis yang tidak memenuhi
syaratsyarat hadis mutawatir. Hadis Ahad adalah selain dari hadis mutawatir.
Al-ahad merupakan kata jamak dari ahad yang berarti satu. Hadis Ahad
adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang.Hadis Ahad adalah hadis
yang bersumber dari Nabi yang menurut periwayatanya tidak sampai kepada
kriteria hadis mutawatir. dan standarisasi jalur rawi berlaku pada setiap
lapisan generasi.

b) Pembagian Hadis Ahad Hadis Ahad ulama sepakat menjadi tiga bagian yakni,

masyhur, aziz dan garib:


1) Masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang rawi atau

lebih tetapi tidak sampai kepada derajat mutawatir. contoh: ‫املُ ْسلِ ُم َم ْن َسلِ َم‬
‫ املُ ْسلِ ُمونَ ِم ْن لِ َسانِ ِه َويَ ِد ِه‬Artinya: Seorang muslim tidaklah mengganggu kaum
muslimin dengan lisan dan tangannya

2) Aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang rawi. Contoh: »‫َل‬

َ ‫اس أَجْ َم ِع‬


‫ني‬ ِ َّ‫ َوالن‬،‫ َو َوالِ ِد ِه‬،‫«ا ي ُْؤ ِم ُن أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى أَ ُكونَ أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه ِم ْن َولَ ِد ِه‬
Artinya: Salah seorang dari kalian tidak akan beriman hingga aku menjadi orang
yang paling dicintainya dari pada anaknya, orang tuanya dan manusia semuanya.

3) garib adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang rawi. Contoh: َّ ‫إِن‬

‫ئ َما نَ َوى‬ ِ ‫َما اأْل َ ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬


ٍ ‫ َوإِنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬،‫ت‬ Artinya: Sesungguhnya amalan
itu tergantung kepada niatnya, dan bagi setiap orang akan mendapatkan sesuai
apa yang telah. ia niatkan. Kedudukan hadis ahad ber bedah-bedah namun jumhur
Ulama sepakat yang bersatatus maqbul wajib untuk di amalkan.30 Ulama juga
berbedah pendapat tentang kehujjahan hadis ahad sebagai dalil aqidah, karena
menganggap lemah berbeda dengan hadis mutawatir yang kuat.

4
4. Hadist sahih
Pengertian Hadits Shahih Kata shahih menurut bahasa dari kata shahha,
yashihhu, suhhan wa shihhatan wa shahahan, yang menurut bahasa berarti yang
sehat, yang selamat, yang benar, yang sah dan yang benar. Para ulama‟ biasa
menyebut kata shahih itu sebagai lawan kata dari kata saqim (sakit). Maka hadits
shahih menurut bahasa berarti hadits yang sah, hadits yang sehat atau hadits yang
selamat. Hadits Shahih didefinisikan oleh Ibnu Ash Shalah, sebagai berikut :
“Hadits yang disandarkan kepada Nabi saw yang sanadnya bersambung,
diriwayatkan leh (perawi) yang adil dan dhabit hingga sampai akhir sanad, tidak
ada kejanggalan dan tidak ber‟illat”. Ibnu Hajar al-Asqalani, mendefinisikan
lebih ringkas yaitu : “Hadits yang diriwayatkan oleh orang–orang yang adil,
sempurna kedzabittannya, bersambung sanadnya, tidak ber‟illat dan tidak syadz”.
Dari kedua pengertian di atas maka dapat difahami bahwa hadits shahih
merupakan hadits yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sanadnya
bersambung, perawinya yang adil, kuat ingatannya atau kecerdasannya, tidak ada
cacat atau rusak.
2. Syarat – syarat Hadits Shohih Menurut ta‟rif muhadditsin, maka dapat
difahami bahwa suatu hadits dapat dikatakan shahih, apabila telah memenuhi
lima syarat :
a. Sanadnya bersambung Yang dimaksudsanad bersambung adalah tiap–
tiap periwayatan dalam sanad hadits menerima periwayat hadits dari periwayat
terdekat sebelumnya, keadaan ini berlangsung demikian sampai akhir anad dari
hadits itu.
b. Periwayatan bersifat adil Adil di sini adalah periwayat seorang
muslim yang baligh, berakal sehat, selalu memelihara perbutan taat dan
menjauhkan diridari perbuatan – perbuatan maksiat.
c. Periwayatan bersifat dhabit Dhabit adalah orang yang kuat hafalannya
tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan
saja ia menghendakinya.

5
d. Tida Janggal atau Syadz Adalah hadits yang tidak bertentangan
dengan hadits lain yang sudahdiketahui tinggi kualitas ke-shahih-annya.
e. Terhindar dari „illat (cacat) Adalah hadits yang tidak memiliki cacat,
yang disebabkan adanya hal – hal yang tidak bak, yang kelihatannya samar –
samar.
3. Pembagian Hadits Shahih Para ulama‟ ahli hadits membagi hadits–
hadits menjadi dua macam yaitu :
a. Hadits Shahih Li-Dzatih Ialah hadits shahih dengan sendiriya, artinya
hadits shahih yang memiliki lima syarat atau kiteria sebagaimana disebutkan
pada persyaratan di atas, atau hadits shahih adalah : “hadist yang melengkapi
setinggi-tinggi sifat yang mengharuskan kita menerimanya
Dengan demikian penyebutan hadist shahih li dzatih dalam
pemakaiannya sehari-hari pada dasarnya cukup memakai sebutan dengan hadist
shahih. Adapun contoh hadist Li-dzatih , yang artinya “Dari Ibnu Umar ra.
Rasulullah SAW bersabda: “Dasar (pokok) Islam itu ada lima perkara : mengakui
tidak ada tuhan selain Allah dan mengaku bahwa Muhammad adalah Rasul Allah
, menegakkan Sholat (sembahyang), membayar zakat, menunaikan puasa dibulan
Ramadhan dan menunaikan ibadah haji” (HR. Bukhari dan Muslim).
b. Hadist Shahih Li-Ghairih. Yang dimaksud dengan hadist Li-Ghairih
adalah Hadist yang keshahihannya dibantu adanya keterangan lain. Hadist pada
kategori ini pada mulanya memiliki kelemahan pada aspek
kedhabitannya.Sehingga dianggap tidak memenuhi syarat untuk dikategorikan
sebagai Hadist shahih. Contoh hadist shahih LiGhairihi : Artinya : “Dari Abu
Hurairah Bahwasahnya Rasulullah SAW bersabda: “sekiranya aku tidak
menyusahkan ummatku tentulah aku menyuruh mereka bersunggi (menyikat
gigi) disetiap mengerjakan Sholat.”(HR. Bukhari dan Tirmidzi).

6
c. Kehujjahan Hadist Shahih Para Ulama‟ sependapat bahwa hadist ahad
yang shahih dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan syariat islam, namun
mereka berbeda pendapat, Apabila hadist kategori ini dijadikan untuk
menetapkan soal-soal aqidah. Perbedaan di atas berpangkal pada perbedaan
penilaian mereka tentang faedah yang diperoleh dari hadist ahad yang shahih,
yaitu apakah hadist semacam itu member faedah qoth‟i sebagaimana hadist
mutawatir, maka hadist-hadist tersebut dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan
masalah-masalah aqidah.Akan tetapi yang menganggap hanya member faidah
zhanni, berarti hadist-hadist tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan soal ini. Para ulama dalam hal ini berbeda pendapat, sebagai berikut:
Pertama : menurut sebagian ulama bahwa hadist shahih tidak memberi
faidah qath‟i sehingga tidak bisa dijadikan hujjah untuk menetapkan soal aqidah.
Kedua : menurut An-Nawawi bahwa hadist-hadist shahih yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim memberikan qaidah qath‟i. Ketiga : Pendapat Ibn Hazm,
bahwa semua hadist shahih memberikan faidah qath‟i, tanpa dibedakan apakah
diriwayatkan oleh kedua ulama di atas atau bukan jika memenuhi syarat ke
shahih-hannya, adalah sama dalam memberikan faidahnya.

5. Hadist Hasan

1. Pengertian Hadist Hasan Menurut pendapat Ibnu Hajar, ”Hadist hasan adalah
hadist yang dinukilkan oleh orang yang adil, yang kurang kuat ingatannya, yang muttasil
sanadnya, tidak cacat dan tidak ganjil.” Imam Tirmidzi mengartikan hadist hasan sebagai
berikut : “Tiap-tiap hadist yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta
(pada matan-nya) tidak ada kejanggalan (syadz) dan (hadist tersebut) diriwayatkan pula
melalui jalan lain”. Dari uraian di atas maka dapat difahami bahwa hadist Hasan tidak
memperlihatkan kelemahan dalam sanadnya kurang kesempurnaan hafalannya.
Disamping itu pula hadist hasan hampir sama dengan hadist shahih, perbedaannya hanya
mengenai hafalan, di mana hadist hasan rawinya tidak kuat hafalannya.

2. Syarat-syarat Hadist Hasan Adapun syarat-syaratv yang harus dipenuhi bagi


suatu hadist yang dikategorikan sebagai hadist hasan, yaitu:

a. Para perawinya yang adil,


b. Ke-Dhabith-an perawinya dibawah perawi Hadist shahih,

c. Sanad-sanadnya bersambung,

d. Tidak terdapat kejanggalan atau syadz,

e. Tidak mengandung „illat.

3. Pembagian Hadist Hasan Para ulama hadist membagi Hasan menjadi dua
bagian yaitu :

a. Hadist Hasan Li-Dzatih Yang dimaksud hadist hasan Li-Dzatih adalah hadist
hasan dengan sendirinya, yakni hadist yang telah memenuhi persyaratan hadist hasan
yang lima. Menurut Ibn Ash-Shalah, pada hadist hasan Li-Dzatih para perawinya terkenal
kebaikannya, akan tetapi daya ingatannya atau daya kekuatan hafalan belum sampai
kepada derajat hafalan para perawi yang shahih.40 Contoh Hadist Hasan Li-Dzatih adalah
sebagai berikut : Artinya :”Dari Ibnu Umar r.a. Rasulullah SAW bersabda :Barang siapa
menuntut ilmu pengetahuan karena selain Allah atau bertujuan selain Allah maka,
tempatnya di dalam Neraka”.

b. Hadist Hasan Li-Ghairih Hadist Hasan Li-Ghairih adalah hadist yang sanadnya
tidak sepi dari seorang mastur-tak nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak
salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan hadistnya
adalah baik berdasarkan pernyataan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang
lain”. Hadist Hasan Li-Ghairihi ialah Hadist Hasan yang bukan dengan sendirinya,
artinya Hadist yang menduduki kualitas Hasan, karena dibantu oleh keterangan Hadist
lain yang sanadnya Hasan. Jadi Hadist yang pertama itu terangkat derajatnya oleh Hadist
yang kedua, dan yang pertama itu disebut Hadist Hasan. Contoh sebagai berikut :
Rasulullah SAW, bersabda :Hak bagi seorang Muslim mandi di hari Jum‟at, hendak
mengusap salah seorang dari mereka wangi-wangian keluarganya, jika ia tidak
memperoleh airpun cukup dengan wangiwangian”.(H.R.Ahmad)

Hadist dapat menjadi Hadist Hasan Li-Ghairih, karena dibantu oleh Hadist yang
lain semakna dengannya atau karena banyak yang meriwayatkannya.
c. Kehujjahan Hadist Hasan Sebagaimana Hadist Shahih, menurut para ulama
ahli Hadist, bahwa Hadist Hasan, baik Hasan Li-dzatihi maupun Hasan Li-Ghairihi, juga
dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum, harus diamalkan. Hanya saja
terdapat perbedaan pandangan diantara mereka dalam soal penempatan Rutbah
(urutannya), yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing.

6.Hadist Dhaif

1. Pengertian Hadist Dhaif Kata Dhaif menurut bahasa yang berarti lemah,
sebagai lawan dari Qawiy yang kuat. Sebagai lawan dari kata shahih, kata Dhaif secara
bahasa berarti Hadist yang lemah, yang sakit atau yang tidak kuat.42 Secara
Terminilogis, para ulama mendefinisikan secara berbeda-beda. Akan tetapi pada dasarnya
mengandung maksud yang sama, Pendapat An-Nawawi : “Hadist yang didalamnya tidak
terdapat syarat-syarat Hadist Shahih dan syarat-syarat Hadist Hasan.”43 2. Pembagian
Hadits Dhaif a. Dhaif dari sudut sandaran matannya. Dhaif dari sudut sandaran matannya,
maka hal ini terbagi dua macam, yaitu:

1) Hadits Mauquf, ialah Hadits yang diriwayatkan dari para sahabat, berupa
perkataan, perbuatan dan taqrirnya44. Sebagai contoh Ibnu Umar berkata: Bila kau
berada diwaktu sore, jangan menunggu datangnya diwaktu pagi hari, dan bila kau berada
diwaktu pagi jangan menunggu datangnya waktu sore hari, Ambillah dari waktu sehatmu
persediaan untuk waktu sakitmu dan dari waktu hidupmu untuk persediaan matimu.”
(Riwayat Bukhari)

2) Hadits Maqhtu, ialah Hadits yang diriwayatkan dari Tabi‟in, berupa perkataan,
perbuatan atau taqrirnya. Contoh : seperti perkataan Sufyan Ats-Tsaury, seorang Tabi‟in:
“Termasuk Sunnah, ialah mengerjakan sembahyang 12 rakaat setelah sembahyang idul
fitri , dan 6 rakaat sembahyang idul Adha. b. Dhaif dari sudut matannya. Hadits Syadz,
ialah Hadits yang diriwayatkan oleh para perawi yang tsiqah atau terpercaya, akan tetapi
kandungan haditsnya bertentangan dengan (kandungan Hadits) yang diriwayatkan oleh
para perawi yang lebih kuat ketsiqahannya.

9
Contohnya, “Rasulullah SAW, bila telah selesai sembahyang sunnat dua rakaat
fajar, beliau berbaring miring diatas pinggang kanannya.” Hadits Bukhari diatas yang
bersanad Abdullah bin Yazid, Said bin Abi

Ayyub, Abul Aswad, Urwah bin Zubair dan Aisyah r.a dan riwayat dari rawi-
rawi yang lain yang lebih tsiqah yang meriwayatkan atas dasar fiil (perbuatan Nabi).

c. Dhaif dari salah satu sudutnya, baik sanad ataupun matan secara bergantian.
Yang dimaksud bergantian disini adalah ke-Dhaifan tersebut kadang-kadang terjadi pada
sanad dan kadang-kadang pada matan, yang termasuk hadits yaitu:

1. Hadits Maqlub, ialah Hadits yang terjadi mukhalafah (menyalahkan hadits


lain), disebabkan mendahulukan dan mengakhirkan. Tukar menukar yang dikarenakan
mendahulukan sesuatu pada satu dan mengakhirkan pada tempat lain, adakalanya terjadi
pada matan hadits dan adakalanya terjadi pada sanad hadits. Contoh: Tukar menukar yang
terjadi pada matan , Hadits Muslim dari Abu Hurairah r.a Artinya: “... dan seseorang
yang bersedekah dengan sesuatu yang sedekah yang disembunyikan, hingga tangan
kanannya tak mengetahui apa-apa yang telah dibelanjakan oleh tangan kirinya”. Hadits
ini terjadi pemutarbalikan dengan Hadits riwayat Bukhari atau riwayat Muslim Sendiri,
pada tempat lain, yang berbunyi.

“(hingga tangan, kirinya tak mengetahui apa-apa yang dibelanjakan tangan


kanannya.)”. Tukar menukar pada sanad dapat terjadi, misalnya rawi Ka‟ab bin Murrah
bertukar dengan Murrah bin Ka‟ab dan Muslim bin Wahid, bertukar dengan Wahid dan
Muslim.

2. Hadits Mudraf Kata Mudraf menurut bahasa artinya yang disisipkan.Secara


terminologi hadits mudraf ialah hadits yang didalamnya terdapat sisipan atau tambahan.

10

3. Hadits Mushahhaf Hadits Muhahhaf ialah Hadits yang terdapat perbedaan dengan
hadits yang diriwayatkan oleh tsiqah, karena didalamnya terdapat beberapa huruf
yang diubah. Pengubahan ini juga bias terjadi pada lafadz atau pada makna,
sehingga maksud hadits menjadi jauh berbeda dari makna, dan maksud semula

d. Dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama Yang termasuk
hadits dhaif dari sudut matan dan sanadnya secara bersama-sama yaitu:
1) Hadits Maudhu Hadits yang disanadkan dari Rasululah SAW secara
dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, melakukan dan
menetapkan.
2) Hadits Munkar Ialah hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang
perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh
perawi yang terpercaya/jujur”.
e. Dhaif dari segi persambungan sanadnya Hadits-hadits yang termasuk dalam
kategori Dhaif atau lemah dari sudut persambungan sanadnya ialah: Hadits
Mursal, Hadits Mungqathi‟, hadits Mu‟dhal, dan Hadits Mudallas.
1) Hadits Mursal Hadits Mursal ialah hadits yang gugur sanadnya setelah
tabi‟in. Yang dimaksud gugur disini ialah
nama sanad terakhir, yakni nama sahabat tang tidak disebutkan, padahal
sahabat adalah oang pertama menerima Hadits dari Rasulullah SAW.
2) Hadits Mungqathi‟ Ialah Hadits yang gugur pada sanadnya. Seorang
perawi atau pada sanad tersebut disebutkan seorang yang tidak dikenal namanya.
3) Hadits Mu‟dhal Hadits yang gugur dua sanadnya atau lebih, secara
berturut-turut, baik (gugurnya itu) antara sahabat dengan tabi‟in, atau antara
tabi‟in dengan tabi‟in.
f. Berhujjah dengan Hadits Dhaif Para ulama sepakat melarang
meriwayatkan hadits dhaif bukan maudhu. Adapun hadits dhaif bukan hadits
maudhu‟ maka diperselisihkan tentang boleh atau tidaknya diriwayatkan untuk
berhujjah. Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
1. Melarang secara mutlak
2. Membolehkan Ibnu Hajar Al-Asqalani, ulama hadits yang
memeperbolehkan berhujjah dengan hadits dhaif untuk keutamaan amal,
memberikan 3 syarat:
11

a. Hadits Dhaif itu tidak keterlaluan.


b. Dasar Amal yang ditunjukan oleh hadits Dhaif tersebut, masih dibawah suatu
dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (Shahih atau Hasan)

c. Dalam mengamalkannya tidak mengitikadkan bahwa hadits tersebut benar-


benar bersumber dari Nabi. Tetapi tujuan ikhtiyath (hati-hati) belaka Dari beberapa uraian
diatas maka dapatlah disimpulkan bahwa apabila menggunakan hadits Dhaif untuk
dijadikan suatu sugesti amalan maka dapatlah kita pergunakan hal ini memotifasi bagi
masyarakat.Untuk memperbanyak amalan-amalannya,

hadits yang diteranhkan harus selektif mungkin juga sampai tidak masuk akal
atau rasional.

12
DAFTAR PUSTAKA
al-‘Usaimin, Muhammad bin Salih, Mustalah Al-Hadis, Cet: I; Mesir
al-‘Arabiyah: Dar Ibnu Jauziyah al-Qohiroh, 2006.

Agama RI, Kementrian, Alquran Tajwid dan Terjemah, Cet: 9; Jawa Barat: CV
Diponegoro, 2016.

Hanur, B. S. A., Umam, M. K., & Zuhriyah, N. (2020). MEMANTIK


PERKEMBANGAN FISIK MOTORIK ANAK USIA DINI MELALUI PEMBERIAN
GIZI SEIMBANG DALAM PERSFEKTIF AL QURAN DAN HADIST. SAMAWAT,
3(2).

An-Nawawi, At-Taqrib An-nawawi Fann Ushul Hadits, Abdul arrasman


Muhammad, Kairo,tt

At-Tarmudzi, Sunan At-Turmudzi, Dar al-Fikr, Bairut, 1980 Fathur Rahman,


Ikhtisar Musthalahu‟ul Hadits, Al-Ma‟arif, Bandung, Cet. V, 1987

Cet. V, 1987 Hasbi Ash-Shidiqi, Diroyah Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1986
Ibnu Hajar As-Qalani, Fath Al-Bari, Dar Al-Fikr wa.Maktabah. Al

Salafiyah, tt Ibnu Ash-Shalda, Abu Amr Usman bin Abd ar-Radiman, “Ulum
AlHadits,”Maktabah Al-Islamiyah, Madinah, 1972

Muhammad Nashiruddin Al-Bani, Silsilah HaditsAl-Dhaif wa


AlMaudhu‟ah,MaktabahAl-Ma‟arif, Riyadh,tt

Maudhu‟ah,MaktabahAl-Ma‟arif, Riyadh,tt Muhammad Jamal Al-Din Al-


Qasimi, Qowaid at-Tahdith min Funun

Mutshalah Al-hadits, Dar Al-Kutub, Bairut, 1989 Syuhudi Ismail, Metodologi


Penelitian Hadits, Bulan Bintang, Jakarta, 1992 ,

13
, Kaedah Keshahihan sanad Hadits,Bulan Bintang, Jakarta, 1995 Subnhi Ahsh-
Shahih, U‟lum Al-Hadits wa Musthalahuh, Dar Al-Ilm

Al-Malayin, Bairut, 1977 Zainuddin Hamidi, et Al, Terjemah Hadits Shahih


Bukhari, Widjaya,

Jakarta,1992 Zufran Resman, Kajia Sunnah Nabi SAW sebagai sumber hukum
islam, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, Cet. I. 1995

14

Anda mungkin juga menyukai