Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HADIS DITINJAU DARI KUANTITAS PERAWI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ulumul Hadis

Disusun oleh:

SRI MAWARNI

Dosen Pengampu

Syahrul Hasibuan, M.Pd.I

Prodi:

Ekonomi Syariah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ROKAN

BAGAN BATU

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalahyang berjudul Hadits Hasan ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen
pada mata kuliah ulumul hadits. Kami mengucapkan terimakasih kepada bapak Syahrul
Hasibuan M.Pdi selaku dosen mata kuliah ulumulhadits yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami
tekuni.

Saya juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Pujud,26 Juni 2022

Pemakalah

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................1
DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I....................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN................................................................................................... 4
A.Latar Belakang...........................................................................................4
B.Rumusan Masalah......................................................................................5
BAB II.......................................................................................................................6
PEMBAHASAN.......................................................................................................6
A. Hadis mutawattir.....................................................................................6
B. Hadis Ahad..............................................................................................7

BAB III....................................................................................................................12
PENUTUP................................................................................................................12
A.Kesimpulan...............................................................................................13
B.Saran.........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................14

2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian tentang kajian
keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan dalam ilmu hadits yang
sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan dipelajari, terutama masalah ilmu
hadits.
Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan beragam.
Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian hadits yang
ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan hanya segi
pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah perawinya.
Pembagian hadis diperlukan dalam upaya untuk mengklasifikasikan hadis, dari sisi
kuantitas pembagian hadis bertujuan untuk mengetahui jumlah rawi pada tiap tingkatan
sehingga muncul klasifikasi hadis mutawattir dan hadis ahad.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Hadis Mutawatir
o Pengertian Hadis Mutawatir
o Syarat-syarat Hadis Mutawatir
o Pembagian Hadis Mutawatir
o Kehujjahan Hadis Mutawatir
2. Hadis Ahad
o Pengertian Hadis Ahad
o Pembagian Hadis Ahad
o Kehujjahan Hadis Ahad

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan dalam makalah ini sebagai
berikut:
1. Menjelaskan pengertian hadis mutawatir,ahad dan isi yang terkandung didalamnya.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hadis mutawattir
1. Pengertian Hadis Mutawatir
Kata mutawatir secara bahasa merupakan isim fa’il dari kata al-tawatur yang bermakna
al-tatabu(berturut-turut). Mutawatir mengandung pengertian sesuatu yang kontinyu baik
secara berturut-turut maupun terus menerus tanpa adanya hal yang menyela yang
menghalangi kontinuitas itu. Pengertian etimologis ini, bila dikaitkan dengan hadis
menunjukkan bahwa pada hadis mutawatir itu antara periwayat yang satu dengan periwayat
yang lain pada generasi sebelum maupun sesudahnya terjadi hubungan yang berturut-turut,
runtun sehingga tidak berputus-putus dikarenakan jumlah pada masing-masing generasi
cukup banyak.
Sedangkan pengertian hadits mutawatir menurut istilah, terdapat beberapa definisi,
antara lain sebagai berikut:

ِ ‫َما َر َواهُ َج ْم ٌع َع ْن َج ْم ٍع تُ ِح ْي ُل ْال َعا َدةُ تَ َوا طُُؤ هُ ْم َعلَى ْال َك ِذ‬
‫ب‬

“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”.
Ada juga yang mengatakan:

َّ ‫ب َع ْن ِم ْثلِ ِه ْم ِم ْن َأ َّو ِل‬


‫نَ ِد‬b‫الس‬ ِ ‫ ِذ‬b‫م َعلَى ْال َك‬bُْ‫َما َر َواهُ َج ْم ٌع تُ ِح ْي ُل ْال َعا َدةُ تَ َواطُُؤ ه‬
.ُ‫ِإلَى ُم ْنتَهَاه‬

“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sejak sanad sampai akhir sanad, pada
setiap tingkat (Thabaqat)”.

2. Syarat-syarat Hadis Mutawatir


a. Diriwayatkan oleh periwayat yang banyak.
Para perawi hadis mutawatir syaratnya harus berjumlah banyak. Sebagian ulama mengatakan
bahwa jumlah minimal ‘banyak’ itu adalah empat. Ulama lain berpendapat 5, 7, 10, 12, 40, 70, dan
bahkan ada yang berpendapat 300 orang lebih. Mengutip pendapat sebagian ulama, al-Suyuthi

4
menyatakan bahwa pendapat yang terpilih (al-mukhtar) adalah sepuluh orang karena merupakan
batas minimal bilangan banyak. Jumlah sepuluh ini juga dinyatakan oleh Mahmud al-Thahhan.
Menurut Ibn Hajar al-Asqalani, tidak disyaratkan bilangan dalam jumlah tertentu. Karena ‘banyak’
itu adalah jumlah yang menghasilkan keyakinan pasti terhadap kebenaran sebuah berita.
b. Adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqat (lapisan) pertama dengan thaqabat berikutnya.
Jumlah perawi hadis mutawatir, antara thaqabat dengan thaqabat lainnya harus
seimbang. Dengan demikian, bila suatu dahabat hadis diriwayatkan oleh dua puluh orang
sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh tabiin dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir,
sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara thaqabat pertama dengan thaqabat
seterusnya.
c. Berdasarkan tanggapan pancaindra
Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan tanggapan pancaindra.
Artinya, berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar merupakan hasil pendengaran
atau penglihatan sendiri.1

3. Pembagian Hadis Mutawatir


Menurut sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir lafzhi
dan mutawatir maknawi. Sebagian ulama lainnya, membaginya menjadi tiga, yakni hadis
mutawatir lafzhi, maknawi, dan amali.
a. Hadis mutawatir lafzhi.
Yang dimaksud dengan hadits mutawatir lafzhi adalah:

ِ ‫ َعلَى لَ ْف ٍظ َو‬bُ‫ت ِر َوايَتُه‬


.‫اح ِد‬ ْ ‫َماتَ َواتَ َر‬

“Hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafal”.


Hadis yang mutawatir periwayatannya dengan suatu redaksi yang sama atau hadis yang
mutawatir lafal dan maknanya.Contoh hadits mutawatir lafzhi adalah sabda Rasulullah
saw.:

‫ْأ‬
ِ َّ‫ي ُمتَ َع ِّم ًدا فَ ْليَتَبَ َّو َم ْق َع َدهُ ِم َن الن‬
‫ار‬ َّ َ‫ب َعل‬
َ ‫َم ْن َك َذ‬
“Barang siapa yang berbuat dusta terhadap diriku (yang mengatakan sesuatu yang tiada
aku katakana atau aku kerjakan), hendaklah ia menempati neraka”.
1Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 86.

5
b. Hadismutawatir ma’nawi.
Contoh hadis mutawatir ma’nawi, antara lain adalah hadis yang meriwayatkan bahwa
Nabi Muhammad saw. mengangkat tangannya ketika berdo’a:

.‫ ِه‬b ‫اض ِإ ْبطَ ْي‬b ُ ‫ ِه َو َرَأي‬b ‫ ثُ َّم َرفَ َع يَ َد ْي‬:‫ال َأب ُْو ُم ْو َسى اَْأل ْش َع ِريْ َد َعا النَّبِ ُّي ص م‬
َ bَ‫ْت بَي‬ َ َ‫ق‬
)‫(رواه البخارى‬

“Abu Musa Al-Asy’ari berkata, Nabi Muhammad saw. berdo’a kemudian dia
mengangkat kedua tangannya dan aku melihat putih-putih kedua ketiaknya” (H.R. Bukhari).
Hadis semacam ini berjumlah sekitar seratus hadis dengan redaksi yang berbeda-beda,
namun mempunyai titik persamaan, yakni keadaan Nabi saw. mengangkat tangan sat
berdooa.
c. Hadis mutawatir amali.
Adapun yang dimaksud dengan hadis mutawatir amali yaitu, Sesuatu yang diketahui
dengan mudah bahwa dia termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat Islam
bahwa Nabi Muhammad saw. mengerjakannya, menaruhnya, atau selain dari itu. Dan
pengertian ini sesuai dengan ta’rif ijmak.
Jenis hadis mutawatir amalia ini banyak jumlahnya, misalnya hadis yang menerangkan
waktu shalat, rakaat shalat, shalat jenazah, tata cara shalat, cara pelaksanaan haji dan lain-
lain.2

4. Kehujjahan Hadis Mutawatir


Hadis mutawatir memberikan faedah ilmu dharuri, yakni suatu keharusan untuk
menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh hadis mutawatir
tersebut, hingga membawa pada keyakinan yang qathi’I (pasti).
Ibnu Tamiyah mengatakan bahwa suatu hadis dianggap mutawatir oleh sebagian
golongan membawa keyakinan pada golongan tersebut, tetapi tidak bagi golongan lain yang
tidak menganggap bahwa hadis tersebut mutawatir. Barang siapa yang telah meyakini ke-
mutawatir-an hadis yang diwajibkan untuk mengamalkan sesuai dengan tuntutan-nya.
Sebaliknya, bagi mereka yang belum mengetahui dan meyakini ke-mutawatir-annya, wajib
baginya mempercayai dan mengamalkan kewajiban mereka mengikuti ketentuan hukum
yang disepakati oleh ahli ilmu.

2Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 87.

6
Para perawi hadis mutawatir tidak perlu dipersoalkan, baik mengenai keadilan maupun
ke-dhabit-annya, sebab dengan adanya persyaratan yang begitu ketat, sebagaimana telah
ditetapkan di atas menjadikan mereka tidak mungkin sepakat melakukan dusta. Para ulama
Darul dan juga Imam Nawawi dalam Syarah Muslim tidak menetapkan syarat “muslim”
bagi para perawi hadis mutawatir. Ada juga yang pembahasan ilmu hadis dilihat dari para
perawi dan dari cara menyampaikan periwayatannya, dijadikan dalam hadis mutawatir,
kualitas para perawinya tidak dijadikan sasaran pembahasan. Yang menjadi titik tekan
dalam hadis mutawatir ini adalah kuantitas perawi dan kemungkinan adanya kesepakatan
atau tidak.3

B. Hadis Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad
Kata Ahad (‫ )احاد‬jamak dari ahad (‫ )احد‬yang berarti satu (‫)واحد‬. Hadis Ahad secara bahasa
adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang saja. Adapun menurut terminologi ulama
hadis, hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi salah satu dari syarat-syarat
mutawatir.Menurut Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthi, hadis ahad adalah hadis yang
sanadnya sahih dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya (Nabi) tetapi
kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada qath’i atau yakin.4
Hadis ahad menurut istilah banyak didefiniskan para ulama yaitu, khabar yang jumlah
perawinya tidak sebanyak jumlah perawi hadis mutawatir, baik perawinya itu satu, dua,
tiga, empat, lima dan seterusnya yang memberikan pengertian bahwa jumlah perawi
tersebut tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir.5

2. Pembagian Hadis Ahad


Para ulama membagi hadis ahad menjadi dua, yaitu masyhur dan ghairu masyhur,
sedangkan ghairu masyhur terbagi menjadi dua yitu hadis aziz dan gharib.
a. Hadis Masyhur
Secara bahasa, kata Masyhur merupakan isim maf’ul dari kata syahara yang berarti
mengumumkan dan menjelaskan suatu hal. Dalam pengertian bahasa, masyhur juga berarti
suatu yang terkenal, yang dikenal, atau yang populer di kalanagn manusia, sehingga hadis
masyhur berarti hadis terkenal, dikenal, atau populer di kalnagan umat manusia. 6

3Sahrani, Sohari, Ulumul Hadits, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010, hlm. 90.
4Idri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010, hlm. 141.
5Ibid, hlm. 91.
6Ibid, hlm. 142

7
Al-Syuhrah (kemasyhuran) secara etimologis berarti tersebar dan tersiar. Adapun
pengertian as-syuhrah dalam kaitannya dengan hadis masyhur menurut istilah al-Hafizh
Ibnu Hajar ialah, hadis yang memilki sanad terbatas yang lebih dari dua. Sedangkan
menurut terminologi ulama hadis, hadis masyhur ialah hadis yang diriwayatkan oleh tiga
periwayat atau lebih pada tiap thabaqahnya tetapi tidak sampai pada peringkat mutawatir.7
Menurut ulama ushul, hadis masyhur ialah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang
dari kalangan sahabat yang tidak mencapai batas mutawatir kemudian sesudah sahabat dan
orang-orang sesudah mereka diriwayatkan secara mutawatir. Menurut Ibnu Hajar al-
Asqalani, dalam Syarh Nukhbah al-Fikar, definisi hadis masyhur ialah hadis yang
mempunyai jalan sanad yang terbatas lebih dari dua dan tidak mencapai batasan mutawatir.
Muhammad al-Shabbagh mendifiniskan hadis masyhur dengan hadis yang disampaikan
oleh orang banyak akan tetapi jumlahnya tidak sebanyak periwayat pada hadis
mutawatir.8Hadis masyhur terbagi menjadi beberapa jenis sesuai sisi pandangnya:
1) Ditinjau dari segi diterima atau tidak, hadis masyhur terbagi menjadi tiga, yaitu sahih,
hasan dan dhaif.
Contoh hadis masyhur sahih

ْ‫ِإ َذا َجا َءَأ َح ُد ُك ْم ال ُج ُم َعةَفَ ْليَ ْغتَ ِسل‬


“Apabila salah seorang diantara kamu hendak mendatangi salat Jumat, maka
hendaklah ia mandi”.Hadis ini diriwayatkan dari Nabi melalui banyak sanad.
Contoh hadis Masyhur Hasan

‫ار‬ ِ ‫ض َر َر َواَل‬
َ ‫ض َر‬ َ ‫اَل‬
“Tidak boleh membiarkan bahaya datang dan tidak boleh mendatangkan bahaya”.
Hadis ini diriwayatkan dari Nabi melalui banyak sanad yang dapat menempatkannya
pada derajat hasan atau sahih. Hadis ini dinilai hasan oleh al-Nawawi dalam kitab al-
Arba’in.
Contoh hadis masyhur dhaif

‫و ِبالصِّ ي ِْن‬bْ َ‫الع ْل َم َول‬ ْ ُ‫ا‬


ِ b‫طلُب ُْوا‬
7Nuruddin ‘Itr, ‘Ulumul Hadis, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2014, hlm. 434.
8Idri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 142-143.

8
“Carilah ilmu walau di negeri Cina”. Hadis ini diriwayatkan melalui banyak sanad
dari Anas dan Abu Hurairah, tetapi semua sanadnya tidak terbebas dari rawi yang cacat
(majruh) dengan pencacatan (jarh) yang cukup serius. Oleh karena itu, hadis di atas
merupakan hadis masyhur yang dhaif.
2) Ditinjau dari segi posisinya, hadis masyhur terbagi menjadi dua, yaitu hadis masyhur
muthlaq dan nisbiy.
Masyhur Muthlaq, apabila diriwayatkan dari tiga orang sahabat atau lebih seperti
pada contoh hadis masyhur yang sahih, hasan dan dhaif.Masyhur Nisbiy, apabila
diriwayatkan oleh banyak orang pada salah satu tingkatan sanadnya. Contoh:

‫ِإلَى هللاِ َو‬b ُ‫ت ِهجْ َرتُه‬ ْ َ‫ان‬bb‫ فَ َم ْن َك‬،‫ َوى‬b َ‫ا ن‬bb‫رٍئ َم‬b ِ b‫ َوِإنَّ َما اِل ْم‬،‫ِإنَّ َما اَأل ْع َما ُل بِالنِّيَ ِة‬
ِ ‫ا ي‬bbَ‫هُ ِإلَى ُد ْني‬b ُ‫ت ِهجْ ِرت‬
‫ ْيبُهَا‬b ‫ُص‬ ْ َ‫ َو َم ْن َكان‬،‫ فَ ِهجْ َرتُهُ ِإلَى هللاِ َو َرس ُْولِ ِه‬،‫َرس ُْولِ ِه‬
‫ه‬bِ ‫ فَ ِهجْ َرتُهُ ِإلَى َما هَا َج َر ِإلَ ْي‬،‫َأ ِو ا ْم َرَأ ٍة يَتَ َز َّو ُجهَا‬

“sesungguhnya setiap amalan itu didasari oleh niat, dan setiap orang mendapatkan
sesuai dengan niatnya. Maka barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya
maka hijrahnya bernilai hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang
hijrahnya karena niat mendapatkan dunia atau mengawini seorang wanita maka
hijrahnya bernilai sesuai yang ia niatkan”. (Bukhari dan Muslim).
3) Ditinjau dari segi istilah, hadis masyhur terbagi menjadi dua, yaitu masyhur istilahiy
dan ghairu istilahiy.
Masyhur istilahiy (sesuai definisi), yaitu hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang
atau lebih pada setiap tingkatan sanadnya, tapi tidak mencapai derajat
mutawatir.Masyhur gairu Istilahiy (tidak sesuai definisi), yaitu hadis masyhur (terkenal)
karena banyak disebutkan oleh orang sekalipun sanadnya hanya satu atau dua, atau
bahkan tidak punya sanad sama sekali. Hadis masyhur gairu istilahi bermacam-macam,
diantaranya:
a) Hadis yang masyhur di kalangan ulama hadis.
b) Hadis yang masyhur di kalangan ahli hadis, para ulama dan masyarakat umum.
c) Hadis yang masyhur di kalangan ahli Ushul Fiqh.
d) Masyhur di kalangan fuqaha’.
e) Masyhur di kalangan ulama bahasa Arab.
f) Masyhur di kalangan masyarakat umum.

9
b. Hadis Ghairu Masyhur

Para ulama membagi hadis ghairu masyhur menjadi aziz dan gharib.

1) Hadis ‘Aziz
Kata ‘aziz dalam bahasa arab berasal dari bahasa Arab yaitu ‘azza-ya’izzu yang
berarti sedikit atau jarang dan kata ‘azza ya’uzzu yang berarti kuat dan sangat. Menurut
istilah, hadis ‘aziz adaah hadis yang pada semua thabaqoh sanadnya tidak kurang dari
dua orang periwayat.
Hadis ‘aziz menurut Muhammad ‘Ajjaj al-Khattib ialah hadis yang diriwayatkan oleh
dua orang periwayat sehingga tidak diriwayatkan oleh kurang dari dua orang periwayat
dari dua orang periwayat. Menurutnya, seandainya hadis itu diriwayatkan oleh banyak
periwayat setelah diriwayatkan oleh dua periwayat itu, maka tetap disebut hadis ‘aziz
tetapi ditambah dengan masyhur sehingga disebut hadis ‘aziz masyhur.
Contoh hadis ‘aziz adalah sebagai berikut

َ ِ‫َع ْن َأبِي هُ َري َْرةَ اَ َّن َرس ُْو ُل هللا‬


َ bَ‫لَّ َم ق‬b ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس‬
‫ ُد ُك ْم‬b‫ْؤ ِم ُن اَ َح‬bُ‫ اَل ي‬:‫ال‬b
ِ َّ‫َحتَّى َأ ُك ْو َن اَ َحبَّ ِإلَ ْي ِه ِم ْن َوالِ ِد ِه َو َولَ ِد ِه َوالن‬
‫اس اَجْ َم ِعي َْن‬

”Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW. bersabda: “tidaklah beriman
seseorang di antara kalian hingga aku lebih dicintainya daripada ayahnya, anaknya, dan
seluruh manusia” (H.R Bukhari Muslim).
Hadis ini diriwayatkan pula oleh banyak peiwayat yang sampai akhirnya sampai
kepada al-Bukhari dan Muslim. Sebagaimana halnya hadis masyhur, hadis ‘aziz ada
yang sahih, hasan, dha’if bahkan maudhu’ tergantung pada keberadaan sanad dan matan
hadis yang bersangkutan. Karena itu tidak setiap hadis ‘aziz itu sahih dan tidak pula
setiap hadis sahih itu ‘aziz.
2) Hadis Gharib
Kata gharib secara bahasa berarti menyendiri (‫رد‬bb‫ )المنف‬atau jauh dari kerabatnya.
Definisi hadis gharib menurut Mahmud al-Thahhan adalah hadis yang diriwayatkan
secara sendirian oleh seorang periwayat. Menurut Ibnu Hajar al-‘Asqalani sebagaimana
dikutip oleh Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan
secara sendiriam oleh seorang periwayat pada tempat sanad manapun ketersendirian itu
terjadi.

10
Menurut Mahmud al-Thahhan hadis gharib terbagi menjadi dua, yaitu gharib mutlak
dan gharib nisbi. Hadis gharib mutlak adalah hadis yang diriwayatkan secara sendirian
oleh thabaqah sahabat. Contoh hadis gharib mutlak adalah hadis yang diriwayatkan oleh
‘Umar ibn Khathab bahwa nabi bersabda:

ِ ‫ِإنَّ َما اَأل ْع َما ُل بِالنِّيَا‬


‫ت‬

“sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat” (H.R Bukhari-Muslim).


Adapun hadis gharib nisbi adalah hadis yang diriwayatkan secara sendirian di tengah-
tengah sanad meskipun diriwayatkan oleh banyak periwayat pada thabaqah sahabat.
Contoh hadis gharib nisbi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Malik dari al-Zuhri,
yaitu:

.ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َد َخ َل َم َّكةَ َو َعلَى َرْأ ِس ِه ال ِم ْغفَر‬ َّ ِ‫ِإ َّن النَّب‬
َ ‫ي‬
“Bahwasannya Nabi SAW. memasuki Mekkah di atas kepalanya terdapat pengahpus”
(H.R Bukhari Muslim).9

3.Kehujjahan Hadis Ahad


Mengenai hadis ahad para ahli hadis berbeda pendapat tentang kedudukan hadis ahad,
pendapat tersebut antara lain:
1. Segolongan ulama seperti al-qasayani, sebagian ulama dhahiriyah dan ibnu dawud
mengatakan bahwa kita tidak wajib beramal dengan hadis ahad.
2. Jumhur ulama ushul menetapkan bahwa hadis ahad memberi faidah dhan. Oleh karena itu
hadis ahad wajib diamalkan setelah diakui kesahihannya.
3.Sebagian ulama berpendapat bahwa hadis ahad diamalkan dalam segala bidang.
4.Sebagian muhaqqiqi menetapkan bahwa hadis ahad hanya wajib diamalkan dalam urusan
amaliyah, ibadah, kaffarat, dan hudud, namun tidak digunakan dalam urusan aqa’id (akidah).
5.
5.Imam syafi’i berpendapat bahwa hadis ahad tidak dapat menghapuskan suatu hukum dari
hukum-hukum al-qur’an.
6.Ahlu dzahir (pengikut daud ibnu ‘ali al-zahiri) tidak membolehkan menakhsiskan umum
ayat-ayat al-qur’an dengan hadis ahad.
Selain pendapat diatas, imam ahmad disamping berpegang pada hadis ahad dalam urusan amal, juga
beliau berpegang padanya dalam urusan i’tiqad, seperti iman kepada azab kubur, pertanyaan mungkar
nakir, syafa’at, dan iman bahwa segala orang yang bertauhid akan dikeluarkan dari neraka sesudah
diazabkan. Semua itu berdasarkan hadis ahad.

9Idri, Studi Hadis, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010, hlm. 147-153.

11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kata mutawatir secara bahasa merupakan isim fa’il dari kata al-tawatur yang
bermakna al-tatabu (berturut-turut). Menurut istilah hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu

12
untuk berdusta. Syarat-syarat hadis mutawatir adalah, diriwayatkan oleh periwayat yang
banyak, adanya keseimbangan antar perawi pada thabaqat (lapisan) pertama dengan thaqabat
berikutnya, berdasarkan tanggapan pancaindra. Menurut sebagian ulama, hadis mutawatir
itu terbagi menjadi dua, yaitu mutawatir lafzhi dan mutawatir maknawi. Sebagian ulama
lainnya, membaginya menjadi tiga, yakni hadis mutawatir lafzhi, maknawi, dan amali.
Hadis Ahad secara bahasa adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu orang saja.
Adapun menurut terminologi ulama hadis, hadis ahad adalah hadis yang tidak memenuhi
salah satu dari syarat-syarat mutawatir. Para ulama membagi hadis ahad menjadi hadis
masyhur dan juga hadis ghairu masyhur, adapun hadis ghairu masyhur dibagi menjadi
dua yaitu hadis ‘aziz dan hadis gharib.

B. Saran
Demikianlah makalah ini di buat, semoga dengan penyusunan makalah ini dapat
mengerti mengenai hadis dari segi kuantitas perawinya. Saya menyadari bahwa masih
terdapat kesalahan dalam penulisan makalah ini, untuk itu saya harapkan kritik dan saran
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

https://id.scribd.com/document/423456089/HADIS-DITINJAU-DARI-KUANTITAS-
PERAWI-docx

http://perpuspendidikan.blogspot.com/2014/03/kehujjahan-hadis-mutawatir-dan-hadis.html?
m=1

13
14

Anda mungkin juga menyukai