ULUMUL HADIST
Disusun Oleh :
FITRIYA 12092021010017
MUSDALIFAH 12092021010035
SEMESTER : 1 (SATU)
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kita berbagai m a c a m n i k m a t , s e h i n g g a a k t i f i t a s h i d u p y a n g k i t a
j a l a n i i n i a k a n s e l a l u m e m b a w a keberkahan, baik kehidupan di alam
dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-
cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh
manfaat. Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada
Dosen serta teman-teman sekalian yang telah membantu, baik bantuan
berupa moriil maupun materil, sehingga makalah ini terselesaikan dalam
waktu yang telah ditentukan. Kami menyadari sekali, didalam
penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak
kekurangan-kekuranganya, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal
pengkonsolidasian kepada dosenserta teman-teman sekalian, yang
kadangkala hanya menturuti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami
jika ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan
makalah-makalah kami di lain waktu. Harapan yang paling besar dari
penyusunan makalah ini ialah, mudah-mudahan apa yang kami susun ini
bermanfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang ingin
mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari
makalah kami yang berjudul (Syarat-syarat Seorang Perawi dan Proses
Transmisi)
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................i
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
A. Kesimpulan .............................................................................................10
B. Saran .......................................................................................................10
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara penerimaan hadist ?
2. Bagaimana cara-cara penyampaian hadist ?
3. Bagaimana shighot dalam proses tahammul wal ada’ dan kualitas
persambungannya ?
1
3. TUJUAN
Untuk menjadikan pendorong kelompok kami, betapa pentingnya
“STUDI HADITS” untuk kita pelajari sehingga kita dapat menjadi
berkepribadian yang baik namun bukan berarti kita harus menjadi orang
yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau
penguasa yang baik tentu banyak memiliki kekurangan. Dan juga
bertujuan untuk kita lebih mengetahui perbedaan antara hadis sahih atau
tidak nya, kuat atau lemah nya hadis tersebut dengan melihat siapa
periwayat atau perawi hadis tersebut, jadi kita bisa membedakan antara
hadits palsu dan hadits sahih serta mengetahui proses transmisi
periwayatan hadits.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. DEFINISI
Tahammul dalam bahasa artinya ‘’menerima’’. Jika digabungkan
dengan kata al-hadis, Tahammul hadis berarti kegiatan menerima riwayat
hadis.
Dalam istilah ilmu hadis, terdapat istilah yang disebut dengan At-
tahamul. At-tahamul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan
hadis dari seorang guru.
2. SYARAT-SYARAT
a. Tamyiz yaitu bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
3
B. SYARAT DALAM PENYAMPAIAN HADIST (ADA’)
1. DEFINISI
Ada’dalam bahasa artinya “menyampaikan’’. Jika digabungkan dengan
kata al-hadis, Ada’ hadist berarti ‘’kegiatan menyampaikan riwayat hadis”.
Dalam istilah ilmu hadis, terdapat istilah yang disebut dengan Al-ada’.
Al-ada’ adalah menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadis kepada orang
lain. Dan sedangkan Ada’ al-Hadits adalah kegiatan menyampaikan Hadits
dengan cara-cara tertentu.
2. SYARAT-SYARAT
a. Islam
Seorang periwayat hadits haruslah seorang muslim, karena hadits
yang disampaikan seorang kafir itu tidak sah.
b. Baligh
Anak yang belum baligh, belum bisa membedakan antara yang salah
dan benar, jadi hadits yang disampaikannya tidak bisa diterima.
c. Berakal
Diperlukan orang yang waras akalnya dan sehat pemikirannya
untuk meriwayatkan sebuah hadits. Orang yang kurang sehat akalnya
4
ditakutkan akan mengubah-ubah isi hadits yang didengarnya, dan
menyampaikan hadits yang salah.
d. Adil
Adil yang dimaksud disini berbeda dengan pengertian adil
sehari-hari, yangmengartikan adil itu tidak berat sebelah. Sedangkan
adil disini adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang melanggar
syari’at, baik itu dosa besar bahkan dosa kecil sekalipun, serta
menjauhkan diri dari perbuatan maksiat.
e. Dhabith
Artinya tepat menangkap apa yang didengarnya, dan dihapalnya
dengan baik. Sehingga ketika dibutuhkan, ia dapat mengeluarkan atau
menyebutkan kembali. Dhabith pada lughat , yaitu orang yang
mengetahui dengan baik apa yang diriwayatkan, selalu berhati-hati, di
lafadz riwayatnya, jika ia diriwayatkan dari hafalannya.
f. Tidak syadzd
5
1. Al-isma’ (Mendengar lafazh\ucapan guru)
3. Al-ijazah
Artinya seorang syeikh mengizinkan muridnya meriwayatkan hadits,
baik dengan ucapan ataupun tulisan. Gambarannya: seorang syeikh
mengatakan kepada salah seorang muridnya: “aku izinkan kepadamu
6
untuk meriwayatkan dari kudemikian”. Di antara macam-macam ijazah
adalah :
4. Al-Munawalah (Menyerahkan)
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau
sebuah kitab hadis kepadamuridnya untu diriwayatkan.
Al-Munawalah ada 2 macam :
a) Munawalah yang disertai dengan ijazah.
Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah
secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya
7
kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini riwayatku dari
si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut
dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin.
Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan
tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
Munawalah yang disertai ijazah ketika menyampaikan riwayat
itu, sirawi berkata ( )انباءنىatau ()انباءنا.
b) Munawalah yang tidak disertai dengan ijazah.
Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada
sang murid dengan hanya mengatakan : ”Ini adalah riwayatku”. Yang
seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
Munawalah yang tidak dengan ijazah, hendaklah ia berkata ()ناولنى
atau()ناولنا
5. Al-Kitabah
Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiriatau meminta
orang lain menulis sebagian hadisnya untuk seorang murid yang ada
dihadapannya atau murid yang berada ditempat Lain lalu guru itu
mengirimkan kepada sang murid yang dapat dipercaya. Mukatabah ini ada
yang disertakan dengan ijazah, dan ada yang tidak pakai ijazah, tetapi
kedua-dua macam itu boleh dipakai. Waktu menyampaikan hadis yang
didapati dengan perantara mukatabah, sirawi berkata kepada orang yang ia
sampaikannya (ى فُاَل ٌن
َّ ََب اِل
َ ) َكت.
Kitabah ada 2 macam :
a. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,”Aku
ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal
dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena
kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis
sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi
tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan
hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian
yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut
adalah karya syaikh itu sendiri.
6. Al-I’lam(Memberitahu)
Yaitu seorang syeikh memberitahu seorang murid nya bahwa hadits
ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari fulan, dengan tidak disertakan izin
8
untuk meriwayatkan dari padanya. Ketika menyampaikan riwayat dari
jalan I’lam, sirawi berkata، ()اَ ْعلَمنِ ْى فُاَل ٌن()فِ ْي َماأَ ْعلَ َمنِى َش ْي ِخى.
Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata :
A’lamanii syaikhi (guruku telah memberitahu kepadaku).
7. Al-Wahsiyyah (Mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau
dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan :
Aushaa ilaya fulaanun bikitaabin (si fulan telah mewasiatkan kepadaku
sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan (sifulan telah
bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
Riwayat yang seorang diterima dengan jalan wasiat ini boeh dipakai
menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiyat ini, sirawi berkata ،(أَ ْخبَ َرنِى
ِ ب()فُاَل ٌن بِ ْال َو
صيَ ِة ٍ ى فُاَل ٌن بِ ِكتَا
َّ َصى اِل
َ ْ)اَو.
8. Al-Wijadah (Mendapat/penentuan)
Yaitu seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan
seorang syeikh dan ia mengenal syeikh itu, sedangkan hadits-haditsnya
tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan
wijadah ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat
buku ini dengan tulisan si fulan), atau ”qara’tu bikhththi fulaanin” (aku
telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan
sanad dan matannya. Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian
hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa
ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia
harusmenceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits
tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para
ulama’hadits.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan
wijadah ini, sirawi berkata، (ب فُاَل ن ُ ت بِ َخطِّ فُاَل ٌن() َو َج ْد
ِ ت فِى ِكتَا ٌ ] َو َج ْد
9
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
10
DAFTAR PUSTAKA
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. I (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2005), hlm. 182, 183.
Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. I (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2005), hlm.184, 185.
Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V (Bandung: CV Pustaka Setia. 2010), hlm. 181
11