Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ULUMUL HADIST

“SYARAT-SYARAT SEORANG PERAWI DAN PROSES TRANSMISI”

DOSEN PENGAMPU : MUHAMMAD YANI, S.Ag., M.Pd.I.

Disusun Oleh :

AYU SAPUTRI 12092021010015

FITRIYA 12092021010017

MUSDALIFAH 12092021010035

PRODI : PAI (A)

SEMESTER : 1 (SATU)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)


AULIAURRASYIDIN TEMBILAHAN
2021\2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kita berbagai m a c a m n i k m a t , s e h i n g g a a k t i f i t a s h i d u p y a n g k i t a
j a l a n i i n i a k a n s e l a l u m e m b a w a keberkahan, baik kehidupan di alam
dunia ini, lebih-lebih lagi pada kehidupan akhirat kelak, sehingga semua cita-
cita serta harapan yang ingin kita capai menjadi lebih mudah dan penuh
manfaat. Terima kasih sebelum dan sesudahnya kami ucapkan kepada
Dosen serta teman-teman sekalian yang telah membantu, baik bantuan
berupa moriil maupun materil, sehingga makalah ini terselesaikan dalam
waktu yang telah ditentukan. Kami menyadari sekali, didalam
penyusunan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan serta banyak
kekurangan-kekuranganya, baik dari segi tata bahasa maupun dalam hal
pengkonsolidasian kepada dosenserta teman-teman sekalian, yang
kadangkala hanya menturuti egoisme pribadi, untuk itu besar harapan kami
jika ada kritik dan saran yang membangun untuk lebih menyempurnakan
makalah-makalah kami di lain waktu. Harapan yang paling besar dari
penyusunan makalah ini ialah, mudah-mudahan apa yang kami susun ini
bermanfaat, baik untuk pribadi, teman-teman, serta orang lain yang ingin
mengambil atau menyempurnakan lagi atau mengambil hikmah dari
makalah kami yang berjudul (Syarat-syarat Seorang Perawi dan Proses
Transmisi)

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................i

DAFTAR ISI .....................................................................................................ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ......................................................................................1


B. Rumusan Masalah .................................................................................1
C. Tujuan ....................................................................................................2

BAB II : PEMBAHASAN

A. Syarat Dalam Penerimaan Hadist (Tahammul) ......................................3


B. Syarat Dalam Penyampaian Hadist (Ada’)..............................................3
C. Shighot Dalam Proses Tahammul Wal ada’ Dan Kualitas
Persambungannya....................................................................................5

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................10
B. Saran .......................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................11

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG

Dalam penyampaian sebuah hadits tidak hanya asal diucapkan saja,


tetapi harus benar benar di perhatikan dari isi sampai yang meriwayatkannya.
Seorang perawi tidak menjamin sebuah hadits itu berkualitas shahih atau tidak
nya. Maka dibutuhkan pengamatan tentang bagaimana kondisi perawi
tersebut. Dalam hadits ada yang menerima dan mendengarkan sebuah
periwayatan hadits dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode.
Serta harus melalui beberapa persyaratan tertentu, dan beberapa shighat di
dalamnya. Lebih lanjutnya kita akan bahas dalam makalah ini.

Kedudukan para perawi yang berperan sebagai bagian mata


rantai dari sebuah hadits Rasulullah saw yang sampai kepada umatnya
mendorong para ulama hadits menaruh perhatian dengan serius
terhadap syarat-syarat diterimanya riwayat para perawi secara teliti dan
cermat. Syarat-syarat seperti itu belum pernah ditetapkan oleh pemeluk-
pemeluk agama di dunia ini segalanya telah diperhitungkan
s ecara sistematis dan cermat. Buktinya, sedikitpun mereka tidak
pernah memakai syarat-s y a r a t y a n g p e r n a h d i t e t a p k a n o l e h
u l a m a M u s h t h a l a h H a d i t s dalam sebuah periwayatan berita.
Banyak sekali berita yang dilontarkan melalui kantor berita resmi dan
tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, karena
pewartanya tidak memiliki identitas yang jelas.

2. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana cara penerimaan hadist ?
2. Bagaimana cara-cara penyampaian hadist ?
3. Bagaimana shighot dalam proses tahammul wal ada’ dan kualitas
persambungannya ?

1
3. TUJUAN
 Untuk menjadikan pendorong kelompok kami, betapa pentingnya
“STUDI HADITS” untuk kita pelajari sehingga kita dapat menjadi
berkepribadian yang baik namun bukan berarti kita harus menjadi orang
yang sempurna, karena tidak menutup kemungkinan seorang ulama atau
penguasa yang baik tentu banyak memiliki kekurangan. Dan juga
bertujuan untuk kita lebih mengetahui perbedaan antara hadis sahih atau
tidak nya, kuat atau lemah nya hadis tersebut dengan melihat siapa
periwayat atau perawi hadis tersebut, jadi kita bisa membedakan antara
hadits palsu dan hadits sahih serta mengetahui proses transmisi
periwayatan hadits.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. SYARAT DALAM PENERIMAAN HADIST (TAHAMMUL)

1. DEFINISI
Tahammul dalam bahasa artinya ‘’menerima’’. Jika digabungkan
dengan kata al-hadis, Tahammul hadis berarti kegiatan menerima riwayat
hadis.

Dalam istilah ilmu hadis, terdapat istilah yang disebut dengan At-
tahamul. At-tahamul adalah menerima dan mendengar suatu periwayatan
hadis dari seorang guru.

Untuk menerima sebuah hadits juga mempunyai beberapa syarat, akan


tetapi tidak sedetail periwayat hadits dibawah.

2. SYARAT-SYARAT

a. Tamyiz yaitu bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.

b. Sehat akal pikirannya


Orang yang kurang sehat akal pikirannya tidak bisa menerima
hadits dengan baik dan benar. Ditakutkan akan salah pengertian
terhadap apa yang didengarnya,atau mengubah-ubah isi hadits yang
didengarnya tersebut.

c. Secara fisik dan mental memungkinkan mampu memahami dengan baik


riwayat hadits yang diterimanya
Orang yang kekurangan dalam mental ( pikiran ), ditakutkan akan
mengurang-urangi bahkan menambah-nambahi isi hadits yang
didengarnya.Apabila seseorang itu menerima hadits dengan cara
mendengar, maka pendengarannya harus baik, begitu juga orang
menerima hadits dengan membaca,maka harus cakap dalam membaca.

3
B. SYARAT DALAM PENYAMPAIAN HADIST (ADA’)

1. DEFINISI
Ada’dalam bahasa artinya “menyampaikan’’. Jika digabungkan dengan
kata al-hadis, Ada’ hadist berarti ‘’kegiatan menyampaikan riwayat hadis”.

Dalam istilah ilmu hadis, terdapat istilah yang disebut dengan Al-ada’.
Al-ada’ adalah menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadis kepada orang
lain. Dan sedangkan Ada’ al-Hadits adalah kegiatan menyampaikan Hadits
dengan cara-cara tertentu.

Untuk menjadi seorang periwayat hadits tidak mudah, harus melalui


beberapasyarat. Karena seorang periwayat hadits mempunyai tanggung jawab
yang besar.Diterima atau tidaknya hadits tergantung kepada periwayat nya.
Oleh karena itulah,seorang periwayat hadits mempunyai banyak
persyaratan.Untuk lebih jelasnya dibawah ini akan dijelaskan persyaratan
tersebut.

2. SYARAT-SYARAT

a. Islam
Seorang periwayat hadits haruslah seorang muslim, karena hadits
yang disampaikan seorang kafir itu tidak sah.

b. Baligh

“Artinya sudah cukup umur ketika meriwayatkan hadits,


meskipun ia masih kecil waktu menerima hadits itu. Karenanya tidak
diterima riwayat anak-anak yang belum sampai umur”.

Anak yang belum baligh, belum bisa membedakan antara yang salah
dan benar, jadi hadits yang disampaikannya tidak bisa diterima.

Maksudnya adalah orang sudah mampu menangkap pembicaraan


dan memahami hukum-hukum syari’at.

c. Berakal
Diperlukan orang yang waras akalnya dan sehat pemikirannya
untuk meriwayatkan sebuah hadits. Orang yang kurang sehat akalnya

4
ditakutkan akan mengubah-ubah isi hadits yang didengarnya, dan
menyampaikan hadits yang salah.

d. Adil
Adil yang dimaksud disini berbeda dengan pengertian adil
sehari-hari, yangmengartikan adil itu tidak berat sebelah. Sedangkan
adil disini adalah tidak pernah melakukan perbuatan yang melanggar
syari’at, baik itu dosa besar bahkan dosa kecil sekalipun, serta
menjauhkan diri dari perbuatan maksiat.

e. Dhabith
Artinya tepat menangkap apa yang didengarnya, dan dihapalnya
dengan baik. Sehingga ketika dibutuhkan, ia dapat mengeluarkan atau
menyebutkan kembali. Dhabith pada lughat , yaitu orang yang
mengetahui dengan baik apa yang diriwayatkan, selalu berhati-hati, di
lafadz riwayatnya, jika ia diriwayatkan dari hafalannya.

Maksudnya adalah kemampuan seorang perawi dalam memahami


dan menghafal (menjaga) Hadits dari gurunya, sehingga dia mampu
menyampaikan hafalan Haditst ersebut kapan saja sesuai dengan apa
yang dia dengar dari gurunya. Dhabith dapat berupa dhabith shadri
(berdasarkan hafalan) dan dhabith kitabi (berdasarkan buku catatan).

Sekiranya jika diminta pembuktian, dia mampu memberikan


bukti, baik catatan maupun dengan pembuktian yang dapat dipercaya.

f. Tidak syadzd

Maksudnya adalah hadits yang diriwayatkan tidak berlawanan


dengan hadits yang lebih kuat atau dengan Al-Qur’an.

C. SHIGHOT DALAM PROSES TAHAMMUL WAL ADA’


DAN KUALITAS PERSAMBUNGANNYA
Tahammul wal– ada’ adalah “mengambil atau menerima “hadits dari
salah seorang guru dengan salah satu cara tertentu dan proses
mengajarkannya (meriwayatkan) hadits dari seorang guru kepada muridnya.
Cara menerima hadits ada delapan cara:

5
1. Al-isma’ (Mendengar lafazh\ucapan guru)

Yakni mendengar sendiri dari perkataan gurunya, baik dengan cara


didektekan maupun bukan, dan baik dari hafalannya maupun dari
tulisannya. Sehingga yang menghadirinya mendengar apa yang
disampaikan tersebut. Menurut jumhur ulama hadis bahwa cara ini
merupakan penerimaan hadis yang paling tinggi tingkatannya. Termasuk
kategori sama' juga seorang yang mendengar hadis dari Syeikh dari balik
satar. Jumhur ulama membolehkannya dengan berdasar pada para sahabat
yang juga pernahmelakukan hal demikian ketika meriwayatkan hadis-
hadis Rasulullah melalui para istri Nabi.
Gambarannya: seorang guru membaca dan murid mendengarkan,
baik guru membaca dari hafalannya atau tulisannya, dan baik murid
mendengar atau menulis apa yang didengarnya, atau mendengar saja dan
tidak menulis. Ketika menyampaikan hadits atau riwayat yang ia dengar
(terima) itu, sirawi menggunakan sighat، (‫) َح َّدثَنَا‬،(‫)أَ ْخبَ َرنَا‬، (‫ْت()أَ ْنبَأَنا‬
ُ ‫)سمعنا ) َس ِمع‬

2. Al-qira’ah (Membaca dari syeikh)


Yakni suatu cara penerimaan hadis dengan cara seseorang
membacakan hadis dihadapan gurunya, baik dia sendiri yang membacakan
maupun orang lain, sedangkan sang guru mendengarkan atau menyimak,
baik guru itu hafal maupun tidak tetapi dia memegang kitabnya atau
mengetahui tulisannya.
Gambarannya: seorang perawi membaca hadits kepada seorang
syeikh, dan syeikh mendengarkan bacaannya untuk meneliti, baik perawi
yang membaca atau orang lain yang membaca sedang syeikh
mendengarkan.
Ketika sirawi itu sendiri membaca hadits kepada syeikhnya, maka
waktu menyampaikannya, ia pakai sighat(‫)انباءنى‬. Sedangkan jika orang
lain yang membaca, sedang ia mendengarkan, maka ketika menyampaikan
ُ ‫)اَ ْخبَ َرنَا( )قَ َر ْأ‬
kepada rawi lain, ia sebut: ،(‫ت َعلَ ْي ِه‬

3. Al-ijazah
Artinya seorang syeikh mengizinkan muridnya meriwayatkan hadits,
baik dengan ucapan ataupun tulisan. Gambarannya: seorang syeikh
mengatakan kepada salah seorang muridnya: “aku izinkan kepadamu

6
untuk meriwayatkan dari kudemikian”. Di antara macam-macam ijazah
adalah :

a. Syaikh mengijazahkan sesuatu yang tertentu kepada seorang yang


tertentu. Misalnya dia berkata,”Aku ijazahkan kepadamu Shahih Bukhari”.
Di antara jenis-jenis ijazah, inilah yang paling tinggi derajatnya.

b. Syaikh mengijazahkan orang yang tertentu dengan tanpa menentukan


apa yang diijazahkannya. Seperti mengatakan,”Aku ijazahkan kepadamu
untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
c. Syaikh mengijazahkan kepada siapa saja (tanpa menentukan) dengan
juga tidak menentukan apa yangdiijazahkan, seperti mengatakan,”Aku
ijazahkan semua riwayatku kepada semua orang pada zamanku”.

d. Syaikh mengijazahkan kepada orang yang tidak diketahui atau majhul.


Seperti dia mengatakan,”Aku ijazahkan kepada Muhammad bin Khalid
Ad-Dimasyqi”; sedangkan di situ terdapat sejumlah orangyang
mempunyai nama seperti itu.

e. Syaikh memberikan ijazah kepada orang yang tidak hadir demi


mengikutkan mereka yang hadir dalam majelis. Umpamanya dia
berkata,”Aku ijazahkan riwayat ini kepada si fulan dan keturunannya”.

Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang


diterima dengan jalur ijazah adalah ajaza li fulan (beliau telah memberikan
ijazah kepada si fulan), haddatsana ijaazatan, akhbaranaijaazatan, dan
anba-ana ijaazatan (beliau telah memberitahukan kepada kami secara
ijazah).

Dalam menyampaikan sesuatu yang didapati dengan ijazah,


sirawi berkata، (ً‫)أَ ْخبَ َرنَافُاَل ٌن إِ َجا َزة‬،(‫] َشافَهَنى()فِ ْي َمااِ َجازَ نِ ْي فُاَل ن‬

4. Al-Munawalah (Menyerahkan)
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau
sebuah kitab hadis kepadamuridnya untu diriwayatkan.
Al-Munawalah ada 2 macam :
a) Munawalah yang disertai dengan ijazah.
Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-macam ijazah
secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya

7
kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini riwayatku dari
si fulan, maka riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut
dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau dipinjamkan untuk disalin.
Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan
tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
Munawalah yang disertai ijazah ketika menyampaikan riwayat
itu, sirawi berkata (‫ )انباءنى‬atau (‫)انباءنا‬.
b) Munawalah yang tidak disertai dengan ijazah.
Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada
sang murid dengan hanya mengatakan : ”Ini adalah riwayatku”. Yang
seperti ini tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
Munawalah yang tidak dengan ijazah, hendaklah ia berkata (‫)ناولنى‬
atau(‫)ناولنا‬

5. Al-Kitabah
Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiriatau meminta
orang lain menulis sebagian hadisnya untuk seorang murid yang ada
dihadapannya atau murid yang berada ditempat Lain lalu guru itu
mengirimkan kepada sang murid yang dapat dipercaya. Mukatabah ini ada
yang disertakan dengan ijazah, dan ada yang tidak pakai ijazah, tetapi
kedua-dua macam itu boleh dipakai. Waktu menyampaikan hadis yang
didapati dengan perantara mukatabah, sirawi berkata kepada orang yang ia
sampaikannya (‫ى فُاَل ٌن‬
َّ َ‫َب اِل‬
َ ‫) َكت‬.
Kitabah ada 2 macam :
a. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,”Aku
ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal
dengannya. Dan riwayat dengan cara ini adalah shahih karena
kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis
sebagian hadits untuk muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi
tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan
hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak memperbolehkan, dan sebagian
yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan tersebut
adalah karya syaikh itu sendiri.

6. Al-I’lam(Memberitahu)
Yaitu seorang syeikh memberitahu seorang murid nya bahwa hadits
ini atau kitab ini adalah riwayatnya dari fulan, dengan tidak disertakan izin

8
untuk meriwayatkan dari padanya. Ketika menyampaikan riwayat dari
jalan I’lam, sirawi berkata، (‫)اَ ْعلَمنِ ْى فُاَل ٌن()فِ ْي َماأَ ْعلَ َمنِى َش ْي ِخى‬.
Ketika menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata :
A’lamanii syaikhi (guruku telah memberitahu kepadaku).

7. Al-Wahsiyyah (Mewasiati)
Yaitu : Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau
dalam perjalanan, sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan :
Aushaa ilaya fulaanun bikitaabin (si fulan telah mewasiatkan kepadaku
sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan (sifulan telah
bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
Riwayat yang seorang diterima dengan jalan wasiat ini boeh dipakai
menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiyat ini, sirawi berkata ،(‫أَ ْخبَ َرنِى‬
ِ ‫ب()فُاَل ٌن بِ ْال َو‬
‫صيَ ِة‬ ٍ ‫ى فُاَل ٌن بِ ِكتَا‬
َّ َ‫صى اِل‬
َ ْ‫)اَو‬.

8. Al-Wijadah (Mendapat/penentuan)
Yaitu seorang perawi mendapat hadits atau kitab dengan tulisan
seorang syeikh dan ia mengenal syeikh itu, sedangkan hadits-haditsnya
tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si perawi.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan
wijadah ini, si perawi berkata,”Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat
buku ini dengan tulisan si fulan), atau ”qara’tu bikhththi fulaanin” (aku
telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian menyebutkan
sanad dan matannya. Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian
hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa
ketika perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia
harusmenceritakan sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits
tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai para
ulama’hadits.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan
wijadah ini, sirawi berkata، (‫ب فُاَل ن‬ ُ ‫ت بِ َخطِّ فُاَل ٌن() َو َج ْد‬
ِ ‫ت فِى ِكتَا‬ ٌ ‫] َو َج ْد‬

9
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Perawi adalah orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu


kitabapa-apa yang pernah didengarnya dan diterimanya dari seseorang. Seorang
perawi haditsmempunyai syarat-syarat tertentu diantaranya Islam, Baligh, Adil,
dhabit dan tidaksyadz. Tidak boleh seorang perawi hadits seorang yang kafir.

Tahamul dalam bahasa artinya menerima dan ada’ artinya menyampaikan.


Jika digabungkan dengan kata al - hadits, maka tahammul hadits merupakan
kegiatan menerima riwayat hadits.

Sedangkan ada‘ul hadits merupakan kegiatan menyampaikan riwayat


hadits. Menurut istilah Tahamul wa ada‟ al -hadits adalah suatu kegiatan
menerima dan menyampaikan riwayat hadits secara lengkap, baik berkenaan
dengan sanad maupun matan.

Para ulama hadits membagi metode penerimaan riwayat hadits menjadi


delapan macam, dan masing-masing metode mempunyai kode-kode yang lazim
dikenal shighat antara lain, Al-Isma‘, Al-Qira‘ah, Al-Ijazah, Al-Munawalah, Al-
Kitabah atau al-Mukatabah, Al-I‘lam, Al-Washiyah, Al–Wijadah.

10
DAFTAR PUSTAKA

A.Qodir Hassan, IlmuMushthalahHadits, (Bandung: Diponegoro, 2007), hlm.

365.Bulan Bintang, 1958), hlm. 322-325.

Drs Sahari Sahrani 2010. Ulumul Hadis.Ghalia Indonesia.Hal167-182.

H.mudasir Ilmu hadist Bandung cv.Pustaka setian1999.hlm85

Ilmu Hadist .Bandung : Amal Bhakti Press.2000

Mahmud thalihan. Intisari Ilmu Hadist (Malang:UIN Malang Press.2007)hal 174

M.Alfatih Suryadilaga, Ulumul Hadis, Cet. I (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm.


109,110.

Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. I (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2005), hlm. 182, 183.

Manna’ Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Cet. I (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2005), hlm.184, 185.

M. Ma’shumZein, IlmuMemahamiHaditsNabi, Cet. I (Yogyakarta: Pustaka


Pesantren,2014), hlm. 217.

Mohammad Gufron, Ulumul Hadits Praktis dan Mudah,Cet. I (Yogyakarta: Teras,


2013), hlm. 45,46.

Mudasir, Ilmu Hadis, Cet. V (Bandung: CV Pustaka Setia. 2010), hlm. 181

M.Syuhudi Ismail ,Ilmu Hadist (Bandung:Angkasa,1991)2

11

Anda mungkin juga menyukai