Anda di halaman 1dari 13

HADIST MUTAWATIR DAN HADIST AHAD SERTA ARGUMENTASI

KEHUJJAHAN HADIST AHAD

MAKALAH

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Ulumul Hadist

Yang diampu oleh Bapak Khaililullah, M.H

Oleh:

KELOMPOK 4

FARAMITA (21382072054)

SAHRUL RISKI DARUSMAN (21320871074)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

2021
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Berkat limpahan rahmat, karunia
dan kuasa-Nya penulis mampu menyelesaikan tugas pembuatan makalah tentang hadits
mutawatir dan hadist ahad. Shalawat beserta salam juga disanjungkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah membawa umat dari alam kebodohan kepada alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.

Makalah ini di susun agar pembaca dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang
hadits mutawatir dan hadist ahad, penerapannya dalam kehidupan sehari-hari serta pengertian
dan ketentuannya.

Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis melakukan metode penelaahan melalui


studi pustaka dan dari bahan bacaan media lainnya yang bertujuan untuk melengkapi materi
atau data-data dalam penyusunan makalah ini.

Penulisan makalah ini telah diupayakan semaksimal mungkin, namun disadari bahwa
masih terdapat berbagai kekurangan yang disebabkan oleh keterbatasan ilmu pengetahuan yang
dimiliki. Karena itu, diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
kesempurnaannya dan semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak.
AamiinYa Rabbal ’Alamin

Pamekasan, 08 november 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................................

DAFTAR ISI .....................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................

A. Latar Belakang .......................................................................................................


B. Rumusan Masalah ..................................................................................................
C. Tujuan Penulisan ....................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................

A. Pengertian Hadits Mutawatir .................................................................................


B. Pengertian Hadits Ahad .........................................................................................
C. Kehujjahan Hadits Ahad ........................................................................................

BAB III PENUTUP ..........................................................................................................

A. Kesimpulan ............................................................................................................
B. Saran ......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................


BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hadits dapat ditinjau dari segi jumlah perawinya (kuantitasnya), meningkatkan


banyak orang yang meriwayatkan suatu hadits maka semakin valid hadits tersebut dari
segi kuantitas. Kuantitas perawinya mulai dari sahabat, tabi'in sampai kepada perawi
yang meriwayatkan suatu hadits dalam jumlah yang seimbang pada setiap tingkatan
(thabaqat). Dengan jumlah yang banyak dan seimbang tersebut, maka perkiraan mereka
menurut kebiasaan akan berbohong,

Namun ada juga hadits yang diriwayatkan oleh sedikit orang, sehingga
mengurangi validitas hadits tersebut. Maka berdasarkan jumlah perawinya ini, hadits
menjadi bertingkat-tingkat, mulai dari tingkat atas yang paling diterima sampai yang
cukup hanya diterima.

Hadits-hadits yang mutawattir yang tergolong hadits yang maqbul dan wajib
diterima dan diamalkan, sedangkan hadits masyhur atau hadits Ahad, maka ia bisa saja
berstatus shahih, hasan, ataupun dhaif, tergantung kualitas masing-masing hadits
tersebut. Adapun makalah ini terbatas hanya membahas hadits dari segi kuantitas
perawinya, yakni pembahasan tentang Hadis Mutawatir dan Hadis Ahad.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian hadist Mutawatir dan hadist Ahad?


2. Apa saja macam-macam hadist Mutawatir dan hadist Ahad?
3. Apa saja syarat-syarat hadist Mutawatir dan hadist Ahad?
4. Apa saja perbedaan hadist Mutawatir dan hadist Ahad?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian hadist Mutawatir dan hadist Ahad


2. Untuk mengetahui macam-macam hadist Mutawatir dan hadist Ahad
3. Untuk mengetahui syarat-syarat hadist Mutawatir dan hadist Ahad
4. Untuk mengetahui perbedaan hadist Mutawatir dan hadist Ahad
Bab II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadis Mutawatir


Menurut bahasa, kata al-mutawatir adalah isim fa’il berasal dari mashdar ”al-
tawatur´ semakna dengan ”at-tatabu’u” yang berarti berturut-turut atau beriring-
iringan seperti kata “tawatara al-matharu” yang berarti hujan turun berturut-turut.
Menurut istilah, hadis mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah
perawi pada semua thabaqat (generasi) yang menurut akal dan adat kebiasaan tidak
mungkin mereka bersepakat untuk berdusta.
Dalam ilmu Hadist maksudnya ialah hadist yang diriwayatkan dengan banyak
sanad yang berlainan rawi-rawinya serta mustahil mereka itu dapat berkumpul jadi
satu untuk berdusta mengadakan hadist itu.
Secara definitive Hadis Mutawatir itu ialah:
َ ْ َ ُ َ َُ َ ْ ُ ‫وخ ْر ٌي َع رن َم رح ُس روس َر َو ُاه َع َد ٌد َج ٌّم َيج‬
َ ُ
‫ب ِ ِف ال َعاد ِة ِا َحالة ِإ رج ِت َم ِاع ِه رم َوت َواط ِئ َه رم َعَل الك ِذ ِب‬ ِ ٍ ‫ه‬.

Suatu hadis hasil tanggapan dari panca indera, yang diriwayatkan oleh sejumlah
besar rawi, yang menurut adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan
bersepakat dusta.
Ada juga mengatakan:
ْ ُ ََُ َ َ َ َّ ‫َ ر‬ ‫ر‬ َ ْ َ ُ ُ ُ ‫َ ر‬ َ ُ َ ْ ُ ْ
‫السن ِد َوكان ُم رستنده ُم ال ِحس‬ ‫مشن َواطن ُه رم َعَل الك ِذ ِب َع رن ِمث ِل ِه رم ِإَل ان ِت َه ِاء‬‫أل َح ِد ريث ال ُمت َوا ِت ُر ه َوالذى َر َو ُاه َج رم ٌع ك ِث ْر ٌيُيؤ‬

“Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang tidak
mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan
seterusnya sampai akhir sanad, dan sanadnya mereka adalah pancaindra.
Hasby As-Shiddiqie dalam bukunya iIlmu Mustalah Al-Hadits mendefinisikan
sebagai berikut.
Hadis yang diriwayatkan berdasarkan pengamatan pancaindra orang banyak
yang menurut adat kebiasaan mustahil untuk berbuat dosa.

Syarat-Syarat Hadis Mutawatir


a. Hadist tersebut diriwayatkan oleh sejumlah perawi
b. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut akal, mustahil
mereka sepakat untuk berbuat dusta
c. Jumlah perawi harus seimbang sejak lapisan pertama sampai pada lapisan
terakhir.
d. Hadist yang diriwayatkan harus berdasarkan pancaindera, bukan
menggunakan kekuatan akal.
Macam-macam hadist Mutawatir
1. Mutawatir Lafdzi
Lafdzi artinya secara lafadz. Jadi Mutawatir Lafdzi itu ialah Mutawatir yang
lafadz hadistnya sama atau hampir bersamaan atau hadist mutawatir yang berkaitan
dengan lafal perkataan Nabi. Artinya perkataan Nabi yang diriwayatkan oleh orang
banyak kepada orang banyak.
Contoh :
‫من كذب علي متعمدافليتبوأمقعده من النار‬
Artinya : Barang siapa berdusta atas (nama)-ku dengan sengaja, maka hendaklah ia
mengambil tempat duduknya dari neraka
Hadist ini diriwayatkan orang dari jalan seratus sahabat Nabi SAW.
Lafadz yang orang ceritakan hampir semua bersamaan dengan contoh tersebut
tersebut, diantaranya ada yang berbunyi begini :
)‫عَل مالم اقل فليتبوأ مقعده من النار (ابن ماجه‬
‫من تقول ي‬
Artinya : Barang siapa mengada-adakan omongan atas (nama)-ku sesuatu yang aku
tidak pernah katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka
(Ibnu Majah)
Dan ada lagi begini :
)‫عَل مالم اقل فاليتبوأ مقعده من النار (الحاكم‬
‫ومن قال ي‬

Artinya :Dan barang siapa berkata atas (nama)-ku sesuatu yang aku tidak pernah
katakan, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya dari neraka.
Maknanya semua sama. Perbedaan lafadz itu timbulnya boleh jadi karena Nabi
mengucapkannya beberapa kali.
Dari ketiga contoh itu, tahulah kita bahwa yang dinamakan Mutawatir Lafdzi tidak
mesti lafadznya semua sama betul-betul.
Hadist tersebut diriwayatkan oleh berpuluh-puluh imam ahli hadist, diantaranya:
Bukhari, Muslim, Darimy, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tarmidzi, Ath-Tajalisy, Abu
Hanifah, Thabarani dan Hakim.
Mutawatir Lafdzi ini sebenarnya tidak termasuk dalam pembelajaran ilmu Hadist,
karena rawi-rawi yang menceritakan Hadist itu tidak perlu diperiksa dan dibahas lagi,
sebab tida syarat Mutawatir 37 sudah memadai untuk menetapkan keyakinan kita akan
benarnya dari Nabi SAW.
2. Mutawatir Ma’nawi
Ma’nawi artinya secara ma’na. mutawatir ma’nawi ialah mutawatir pada ma’na,
yaitu beberapa riwayat yang berlainan, mengandung satu hal atau satu sifat atau satu
perbuatan. Ringkasnya, beberapa cerita yang tidak sama, tetapi berisi satu ma’na atau
tujuan atau hadist mutawatir ialah hadist yang menyangkut amal perbuatan nabi, artinya
perbuatan nabi yang diriwayatkan oleh orang banyak kepada orang banyak lagi.
Contoh:
Sembahyang maghrib tiga rakaat.
Keterangan :
1) Satu riwayat menerangkan, bahwa dalam hadlar (negeri sendiri) nabi
sembahyang tiga rakaat.
2) Satu riwayat menunjukkan, bahwa dalam safar nabi sembahyang maghrib
tiga rakaat.
3) Satu riwayat membayangkan bahwa di Mekkah nabi sembahyang maghrib
tiga rakaat.
4) Satu riwayat mengatakan nabi sembahyang maghrib di Madinah tiga rakaat.
5) Satu riwayat mengabarkan, bahwa sahabat sembahyang maghrib tiga rakaat.,
diketahui oleh nabi.
6) Dan lain-lain lagi.
Semua cerita tersebut ceritanya berlainan, tetapi maksudnya satu yakni menunjukkan
dan menetapkan bahwa sembahyang maghrib itu tiga rakaat.
Menurut para ulama, sebuah hadist mutawatir diriwayatkan oleh sejumlah besar
perawi di setiap generasi sudah cukup bukti sebagai riwayat yang terpercaya atau
shahih. Jadi, tawatur bukanlah bagian “ilm al-isnad” yang menguji watak perawi dan
cara periwayatan hadist, dan mendiskusikan keshahihan hadist atau kelemahannya
untuk diterima atau ditolak. Sebuah hadist mutawatir, menurut para ulama, hanya untuk
dipraktikkan, sedang historisasinya tidak perlu didiskusikan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah perawi pada setiap tingkatan
yang harus dipenuhi oleh sebuah hadist mutawatir. Beberapa ulama menentukan jumlah
sampai tujuh puluh, ada yang empat puluh, ada yang dua belas, dan bahkan ada ulama
yang mengatakan cukup empat.
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan sarjana muslim tentang kehujahan (otoritas
argumentasi) hadist mutawatir, karena dianggap meghasilkan ilmu dan keyakinan dan
bukan praduga (zhanni).
B. Pengertian hadist Ahad

Menurut bahasa kata “ahad” bentuk plural (jama’) dari kata “ahad” yang berarti:
satu (hadist wahid) berarti hadis yang diriwayatkan satu perawi.
Hadis Ahad adalah suatu hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadis mutawatir.
Ulama' Muhadditsin menta'rifkannya dengan:
ُ َّ َ َ ‫َ ر‬
‫اَل َينت ِِه َل الت َواتر‬

“Hadis yang tidak mencapai derajat mutawatir”.


Sebagian ulama' mendefinisikan hadis ahad dengan hadis yang sanadnya sah dan bersambung
hingga sampai kepada sebenarnya (Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni
dan tidak sampai kepada qath'i dan yakin.

Klasifikasi hadis Ahad


Para Muhadditsin memberikan nama-nama tertentu bagi hadis Ahad mengingat banyak
sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqat dengan Hadis Mansyur, Hadis 'Aziz
dan Hadis Gharib.
A. Hadis Mansyur
َّ َ ُ َ َ َّ
‫ار َو ُاه الثَلثة ل رم رل الت َوا‬.
َ

“Hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir”.
Menurut ulama fiqhi, Hadis Masyhur itu adalah muradlif dengan Hadis-Mustafid . Sedang
ulama' yang lain membedakannya. Yaitu, suatu hadis dikatakan dengan mustafidl bila jumlah
rawi-rawinya tiga orang atau lebih sedikit, sejak dari thabaqah pertama sampai dengan
thabaqah terakhir. Sedang hadis Mansyur lebih umum daripada hadis Mustafid.
Macam-macam hadis Mansyur
1. Mansyur di kalangan para Muhadditsin dan lainnya (golongan ulama ahli ilmu dan orang
umum).
2. Mansyur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu misalnya hanya mansyur di kalangan ahli hadis
saja, atau ahli fiqhi saja, atau ahli tasawuf saja, atau ahli nahwu saja, atau lain sebagainya.
3. Mansyur di kalangan orang-orang umum saja.
B. Hadis 'Aziz
‫ات ا ِت ِه ا ِان‬ َ َ
ِ ‫اجاء‬
Hadis yang perawinya kurang dari dua orang dalam semua thabaqat sanad.
Kemudian, definisi tersebut dijelaskan oleh Mahmud At-Tahan bahwa sekalipun hearts
sebagian thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau lebih, hal ini tidak menjadi masalah,
asalkan dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat yang jangka waktu perawinya hanya doa
orang. definisi mirip dengan definisi Ibnu Hajar. Ada juga yang mengatakan bahwa hadis Aziz
adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.
C. Hadist Gharib
H. Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir mendefinisikan gharib sebagai berikut:
َ َّ َ َ َّ ِ ٌ َ َ‫ر‬ َّ ُ ْ ُ ‫َْ َ ر ُ ْ َ ر‬
‫السن ِد‬ ‫ب ال َح ِد ريث ال ِذى انف َرد َاي ِت ِه ِاحد ِف التفرد‬‫الح ِديث الغري‬

Hadis yang pada sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya di mana
penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Ada juga yang mengatakan bahwa hadis gharib adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang
perawi yang menyendiri dalam periwayatannya, tanpa ada orang lain yang meriwayatkannya

C. Kehujjahan Hadist Ahad


Hadist ahad dengan pembagiannya terkadang dapat dihukumi shahih, hasan, atau dha’if
bergantung pada syarat-syarat penerimaan hadist. Adapun kehujjahan hadist ahad, jumhur
ulama sepakat bahwa hadist ahad dapat dijadikan sebagai hujjah, selama hadis tersebut masuk
kategori hadist maqbul, atau memenuhi syarat diterimanya hadist.
Para ulama banyak memberikan bukti tentang kehujjahan hadist ahad. Di antara dalil-dalil yang
mereka gunakan adalah:
a. Sejarah membuktikan bahwa Rasulullah SAW tatkala menyebarkan Islam kepada para
pemimpin negeri atau para raja, beliau menunjuk dan mengutus satu atau dua orang sahabat.
Bahkan beliau pernah mengutus dua belas sahabat untuk berpencar menemui dua belas
pemimpin saat itu untuk diajak menganut Islam. Kasus ini membuktikan bahwa khabar yang
disampaikan atau dibawa oleh satu dua orang sahabat dapat dijadikan hujjah. Seandainya
Rasulullah menilai jumlah sedikit tidak cukup untuk menyampaikan informasi agama dan tidak
dapat dijadikan sebagai pedoman niscaya beliau tidak akan mengirim jumlah sedikit tersebut.
Demikian kata Imam Syafi’i.
b. Dalam menyebarkan hukum syar’i, kita dapatkan juga bahwa Rasulullah mengutus satu
orang untuk mensosialisasikan hukum-hukum tersebut kepada para sahabat yang kebetulan
tidak mengetahui hukum yang baru ditetapkan. Kasus pengalihan arah kiblat yang semula
menghadap Baitul Maqdis di Palestina kemudian dipindah ke arah kiblat (Ka’bah) di Mekkah.
Info pengalihan seperti ini disampaikan oleh seorang sahabat yang kebetulan bersama Nabi
SAW kemudian datang ke salah satu kaum yang saat itu sedang melaksanakan shalat subuh
lalu memberitahukan bahwa kiblat telah diubah arah. Mendengar informasi seperti itu spontan
mereka berputar arah untuk menghadap ke Ka’bah padahal mereka tidak mendengar sendiri
ayat yang turun tentang hal itu. Imam Syafi’i mengatakan, seandainya khabar satu orang yang
dikenal jujur tidak dapat diterima niscaya mereka tidak akan menggubris informasi
pemindahan arah kiblat tersebut.
c. Termasuk dalil yang digunakan Imam Syafi’i untuk membuktikan kehujjahan hadist ahad
adalah hadist yang berbunyi:
‫أوع من سامع‬ ِ
‫نض هللا امرا سمع منا شيئا فبلغه كما سمع فرب مبلغ ي‬
Artinya: Semoga Allah membaguskan wajah orang yang mendengar dari kami sebuah hadis
lalu ia menyampaikannya sebagaimana ia dengar, bisa jadi orang yang disampaikan lebih
memahami dari pada orang yang mendengar.
Anjuran Rasulullah SAW untuk menghafal lalu menyampaikan pada orang lain menunjukkan
bahwa khabar atau hadist yang dibawa orang tersebut dapat diterima dan sekaligus dapat
dijadikan sebagai dalil. Di sisi lain hadist yang disampaikan itu bisa berupa hukum-hukum
halal haram atau juga berkaitan dengan masalah aqidah. Dengan demikian hadist dapat
dijadikan sebagai hujjah dalam berbagai masalah selama memenuhi kriteria shahih.
Namun demikian, pembelaan kaum ahli sunnah wa al jama’ah terhadap hadist ahad, bukan
berarti tanpa alasan. Mereka yakin bahwa memanfaatkan hadist sekalipun ahad, jauh lebih
bernilai dibandingkan dengan ketiadaan rujukan dalam penetapan hukum.
BAB III
PENUTUP

A.Kesimpulan
Dari penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa jika hadist ditinjau dari
segi jumlah (sedikit banyaknya) perawi atau sumber berita, hadist dapat dibagi menjadi
dua bagian yaitu hadist mutawatir dan hadist ahad.
Hadist mutawatir adalah hadist yang diriwayatkan oleh banyak rawi baik dari thabaqat
pertama (sahabat) sampai kepada thabaqat yang terakhir (thabi’at thabi’un). Dengan
demikian penyebutan hadist dengan jenis ini akan sangat dipengaruhi oleh kualitas
perawi dan jumlah perawi dalam setiap tingkatan. Dilihat dari cara periwayatannya,
hadist mutawatir dapat dibagi menjadi dua bagian yakni:
1. Hadist mutawatir lafdzi yaitu hadist yang apabila dilihat dari sisi susunan kalimat
dan maknanya memiliki kesamaan antara satu periwayatan dengan periwayatan
lainnya.
2. Hadist mutawatir ma’nawi adalah hadist yang rawi-rawinya berlainan dalam susunan
redaksinya, tetapi di antara perbedaan itu, masih menyisakan persamaan dan
persesuaian yakni pada prinsipnya. Dengan kata lain hadist yang dalam susunan redaksi
kalimatnya menggunakan kata-kata yang berasal dari perawi itu sendiri.
Lawan dari hadits mutawatir adalah hadist ahad yakni hadist yang dilihat dari sisi
penutur dan perawinya tidak mencapai tingkat mutawatir atau terkadang mendekati
jumlah hadist mutawatir.. berbeda dengan hadist mutawatir, hadist ahad mengalami
pencabangan. Pencabangan ini dilatar belakangi oleh jumlah perawi dalam masing-
masing thabaqat. Dalam hadist ahad dikenal dengan istilah hadist masyhur, hadist aziz,
dan hadist gharib.
1. Hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih perawi
hadist tetapi belum mencapai tingkat mutawatir.
2. Hadist aziz adalah hadist yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun jumlah
dimaksud hanya terdapat dalam satu thabaqat., kemudian setelah itu orang-orang
meriwayatkannya.
3. Hadist gharib adalah hadist yang dalam sanadnya hanya terdapat seorang perawi
hadist.
B. Saran
Kami menyadari tentu masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan baik dari
penulisan serta penyajian dalam Makalah ini, oleh sebab itu kami mengharapkan masukan-
masukan dari Dosen Pembimbing Serta teman-teman gunakesempurnaan makalah yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA

• Cecep Sumarna, M. Ag. Pengantar Ilmu Hadist. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004). H. 68 http://nabildaffa.blogspot.com/2012/01/makalah-hadis-mutawatir-dan-
ahad.html?m=1
• T. TASQA Alaidin
https://www.academia.edu/37763452/Makalah_Hadits_Mutawatir_dan_Hadits_Ahad
_Masyhur_Aziz_Gharib_
• Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: Mutiara Sumber Widya, 1998) hlm.31. April
26 2019 . iainpspblog.blogspot.com
https://iainpspblog.blogspot.com/2019/04/makalah-hadist-mutawatir-ahad-
dan.html?m=1
• H. JAMAL ABD NASR, LC. & ABD WAHED, M.H.I, Ulumul hadits. Perpustakaan
STAIN Pamekasan. hal 129.

Anda mungkin juga menyukai