Anda di halaman 1dari 8

Klasifikasi Hadist Berdasarkan Kuantitas Jalur Periwayatan

A. Periwayatan Hadist

Terkadang satu atau beberapa hadist diriwayatkan oleh perawi dalam jumlah yang
banyak. Yang demikian karena boleh jadi ketika Nabi Saw. menyampaikan hadist-hadist
tersebut banyak sekali sahabat yang mendengarnya, atau Nabi Saw. sengaja menyampaikan
hadist-hadist itu di hadapan banyak orang (sahabat). Boleh jadi karena ketika Nabi Saw.
menyampaikan hadist-hadist tersebut hanya beberapa orang bahkan satu atau dua orang
sahabat saja yang mendengarnya. Kemudian para sabahabat menyampaikan hadist-hadist itu
kepada murid-muridnya, dan begitu seterusnya sampai dengan generasi penulis hadist dalam
kitab-kitabnya.

Dalam ilmu hadist, terdapat pengelompokkan hadist dari kuantitas sanad. Dari segi
ini, hadist dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu hadist mutawwatir dan hadist ahad.

B. Hadist Mutawatir
1. Pengertian Hadist Mutawatir

Secara bahasa, mutawatir adalah isim fa’il dari akar kata “tawatara”, artinya
berturut-turut. Sedangkan secara istilah, mutawatir adalah “hadist yang diriwayatkan
oleh sejumlah perawi (pada setiap tingkatan sanadnya), dimana secara kebiasaan
mustahil mereka sepakat untuk berdusta terhadap hadist tersebut.1 Singkatnya, hadist
mutawatir diperoleh atau ditangkap atau diketahui oleh para perawi melalui indera
mereka, seperti pendengaran dan semacamnya.

Dari definisi diatas dapat menarik beberapa persyaratan hadist mutawatir, yakni
sebagai berikut:

a. Diriwayatkan oleh sejumlah bilangan perawi yang banyak, mengenai jumlah


minimalnya masih diperselisihkan oleh para ulama hadist
b. Jumlah bilangan perawi yang banyak itu berada dalam semua tingkatan
(thabaqat) sanadnya
c. Mustahil menurut adat kebiasaan mereka sepakat untuk berdusta terhadap
hadist tersebut
d. Sandaran hadist itu adalah panca indra. Maksudnya bahwa hadist itu diperoleh
para perawi dari hasil pendengarannya, atau penglihatannya. Misalnya,
1
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, (Halb: al-Mathba’ah al-‘Arabiyyah, 1978), hlm. 30
mereka mengatakan “kami mendengar bahwa Nabi Saw. bersabda ...”, atau
“Kami melihat bahwa Nabi Saw. melakukan ...”.

Umat Islam harus meyakini kebenaran hadist mutawatir sebagaimana keyakinan


yang muncul dari hasil penglihatan atau pendengaran mereka sendiri terhadap
sesuatu. Karena itu, semua hadist mutawatir harus diterima tanpa harus menanyakan
keadaan para perawi dan matannya.

2. Syarat-syarat Hadist Mutawatir

Berbeda dengan ulama muttaqaddimin, para ulama mutaakhkhirin menetapkan


syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh hadis mutawatir. Syarat-syarat itu adalah
sebagai berikut:

a. Informasi yang dimuat dalam hadist itu harus diperoleh melalui panca indera.
Jika informasi yang dimuat dalam hadist itu tidak diperoleh melalui panca
indera, maka ia tidak bisa disebut sebagai hadist mutawatir, karena tidak
menunjukkan tingkat atau tarap yang meyakinkan.
b. Jumlah perawi mencapai jumlah yang menurut adat mustahil mereka
bersepakat dusta. Yakni mereka mustahil bersepakat untuk membuat-buat
(mengada-ngadakan) hadist atau merubah, menambah dan atau mengurangi
informasi/khabar yang diperoleh dari Nabi Saw.
c. Adanya keseimbangan jumlah perawi dalam setiap thabaqatnya, baik di awal,
di tengah maupun di akhir thabaqat (tingkatan/lapisan).2

Para ulama berbeda pendapat mengenai ukuran jumlah perawi yang mencapai
tarap mustahil mereka bersepakat dusta, sehingga hadistnya tergolong mutawatir.
Sebagian ulama ada yang berpendapat sekurang-kurangnya 10,12,10,40 dan 70. 3
Banyaknya jumlah perawi pada hadist mutawatir sehingga secara adat hadist
mereka mustahil bersepakat untuk dusta menjadikan hadist ini dari segi wurudnya
bersifat qath’i. Yang dimaksud qath’i al-wurud disini adalah bahwa hadist
mutawatir memberi keyakinan yang kuat bersumber dari Nabi Saw.

Para ulama sepakat bahwa hadist mutawatir memberi faidah ilmu dharuri.
Oleh karena itu, hadist ini mau tidak mau harus diterima dan tidak bisa ditolak.

2
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadist, Jilid 1, hlm 59
3
ibid
Orang yang mengingkari ilmu dharuri dengan jalan mutawatir sama dengan
mengingkari ilmu dharuri dengan jalan penyaksian.4

3. Macam-macam Hadist Mutawatir


a. Mutawatir Lafzhi

Hadist mutawatir lafzhi adalah hadist mutawatir yang diriwayatkan dengan


menggunakan redaksi yang sama, sehingga makna dan hukum yang dikandungnya
juga sama. Ada juga yang mengartikan hadist yang sama bunyi lafadzh perawi-
perawinya, baik dengan lafazh yang satu maupun dengan lafadzh yang lain yang
semakna dan menunjukkan pada makna yang dimaksud secara tegas. Contoh
hadist Mutawatir Lafzhi adalah:

‫ْأ‬
ِ َّ‫ي فـ َ ْليَتَبَ َّو َم ْق َع َدهُ ِمنَ الن‬
‫ار‬ َ ‫ َم ْن َك َذ‬:‫قـَا َل َرسُوْ ُل هللا َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َّ َ‫ب َعل‬

Artinya: “Barang siapa sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah


bersiap-siap menempati tempatnya di neraka (H.R. Jamaah).”

b. Mutawatir Maknawi

Mutawatir maknawi adalah hadist yang maknanya bersifat mutawatir, bukan


lafadznya. Atau, hadist mutawatir yang redakis lafadzhnya beragam, namun
substansinya (kandungan maknanya) sama. Misalnya, hadist-hadist yang
menginformasikan bahwa Nabi Saw. mengangkat tangan pada saat berdo’a.
Hadist-hadist tentang mengangkat tangan ini jumlahnya sangat banyak, yakni
sekitar 100 buah.5

c. Mutawatir ‘Amali
Mutawatir ‘amali adalah suatu bagian agama yang diketahui dengan mudah
dan mutawatir di kalangan kaum muslimin bahwa Nabi Saw. pernah
mengerjakannya atau menyuruhnya atau yang lainnya, dan ia betul-betul dapat
diterapkan ta’rif ijma’.

Yang termasuk hadist mutawatir amali diantaranya informasi-informasi yang


menerangkan waktu-waktu shalat, tata cara shalat jenazah, shalat Ied, kadar zakat
mal. Jelasnya, segala amal yang telah menjadi ijma’ atau kesepakatan para ulama

4
Ibid., hlm 60
5
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, hlm. 31
masuk dalam kategori mutawatir amali. Amal-amal tersebut diperoleh umat Islam
melalui hadist mutawatir ‘amali.

Dari ketiga hadist mutawatir di atas yang tergolong mutawatir lafzhi


jumlahnya sangat sedikit. Pada umumnya hadist mutawatir yang sampai kepada
umat Islam bersifat amali atau maknawi.

4. Kitab-kitab yang Menghimpun Hadist Mutawatir

Diantara kitab yang khusus menghimpun hadist mutawatir adalah:

a. Al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah, karya Imam as-


Suyuthi
b. Quthaf al-Azhar, karya Imam as-Suyuti, sebuah kitab ringkasan dari kitab
terdahulu
c. Nazham al-Mutanatsirah min al-Hadist al-Mutawatirah, karya Muhammad bin
Ja’far al-Kitany.6
C. Hadist Ahad
1. Pengertian Hadist Ahad

Istilah hadist ahad dipakai oleh para ahli hadist sebagai lawan dari hadist
mutawatir. Istilah tersebut digunakan sebagai numenklatur (penamaan) bagi hadist
yang kuantitas sanadnya tidak mencapai tingkatan mutawatir.

Lain halnya dengan hadist ahad. Hadist ini dari segi orisinalitasnya kurang
meyakinkan. Hal itu karena jumlah jalur sanad yang dimilikinya dinilai masih
memungkinkan untuk terjadinya persekongkolan dusta di antara periwayat-periwayat
yang terdapat pada setiap level sanadnya. Karena itu hadist yang berada dalam
kelompok ini di pandang oleh para ahli hadist bersifat dhanni al-wurud, yakni hadist-
hadist tersebut dari segi keberadaannya hanya diduga datang (berasal) dari Nabi Saw.
Sifat dhanni (dugaan) inilah yang kemudian mendorong para ulama untuk menelitinya
lebih jauh terutama untuk mengetahui kualitas hadist. Salah satu cara yang dapat
ditempuh oleh para peneliti untuk mengetahui kualitas hadist adalah dengan
melakukan takhrij hadist.

Secara bahasa, hadist ahad berasal dari kata hadist dan ahad. Hadist adalah segala
sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Saw., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir
6
Ibid., hlm. 32
(sikap diamnya) maupun sifat-sifat tertentu.7 Sedangkan kata ahad adalah jama’ dari
kata wahid, yang berarti satu.8 Kata ahad dalam literatur hadist dipakai dalam konteks
periwayatan. Dengan demikian, secara bahasa, hadist ahad adalah hadist yang
diriwayatkan oleh satu orang atau lebih tepatnya oleh perorangan.

Adapun secara istilah, hadist ahad diartikan sebagai hadist yang diriwayatkan oleh
satu orang atau lebih yang secara kuantitas tidak mencapai tingkatan mutawatir.9

2. Pembagian Hadist

Para ulama membagi hadist ahad dalam bagian-bagian yang lebih kecil menurut
kuantitas jalur sanad yang dimilikinya. Pembagian tersebut sebagai berikut:

a. Hadist Masyhur

Kata masyhur secara bahasa semakna dengan kata muntasyir atau mutfasysyi,
yang berarti sesuatu yang sudah tersebar atau sudah populer. 10 Sedangkan secara
istilah, hadist masyhur adalah hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih
dalam tiap-tiap thabaqat (tingkatan sanadnya) tetapi tidak mencapai derajat
mutawatir.11

Sebagian ulama menyamakan hadist masyhur dengan hadist mustafidh.


Sedangkan sebagian yang lainnya membedakan keduanya. Menurut kelompok yang
membedakan, hadist mustafidh adalah hadist yang dari awal hingga akhir sanadnya
diriwayatkan oleh tidak kurang dari tiga orang, sedangkan hadist masyhur lebih
umum dari ini.12

Hadist masyhur dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: Masyhur istilahi, dan
Masyhur ghairu istilahi. Hadist masyhur istilahi adalah hadist masyhur yang
penamaannya didasarkan pada jumlah perawi yang terdapat dalam setiap tingkatan
sanadnya. Karena itu, pengertian hadist masyhur di atas sesungguhnya pengertian
hadist masyhur istilahi.

Sedangkan hadist masyhur ghairu istilahi atau yang juga disebut masyhur li
masyburihi adalah hadist yang penamaannya didasarkan pada aspek popularitas hadist
7
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, (Halb: al-Mathba’ah al-‘Arabiyyah, 1978), hlm. 24
8
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadist, Jilid I, hlm. 66
9
ibid
10
Ibid., hlm. 67
11
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, hlm. 33
12
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Diarayat Hadist, Jilid I, hlm. 69
tersebut di kalangan tertentu. Perlu diperhatikan bahwa hadist ini tidak terikat oleh
persyaratan-persyaratan yang berlaku bagi hadist masyhur istilahi. Karena itu, hadist
masyhur ghairu istilahi atau masyhur li masyburihi bisa mencakup:

1). Hadist yang hanya mempunyai satu sanad (gharib)

2). Hadist yang mempunyai leboh dari satu sanad (‘aziz dan hadist masyhur
istilahi) dan

3). Hadist yang sama sekali tidak mempunyai sanad (munqathbi’).

Hadist masyhur ghairu istilahi dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
(1) hadist yang hanya masyhur dikalangan para ulama hadist, (2) hadist yang hanya
masyhur dikalangan ulama hadist dan ulama lainnya, (3) hadist yang hanya masyhur
dikalangan ulama fiqh, (4) hadist yang hanya masyhur dikalangan ulama ushul, dan
(5) hadist yang hanya masyhur dikalangan orang-orang awwam.

Dari segi kualitas, hadist masyhur, baik istilahi maupun ghairu istilahi tidak
otomatis bisa diberi predikat shahih. Diantara keduanya, ada yang shahih, hasan,
dha’if, dan bahkan maudhu’ (palsu). Akan tetapi, apabila hadist hadist masyhur
istilahi setelah diteliti ternyata berkualitas bagus atau berpredikat shahih, maka dari
segi kekuatan dapat dinilai lebih baik dari pada hadist shahih lainnya yang berasal
dari hadist kelompok ‘aziz, terlebih dari kelompok hadist gharib.

b. Hadist ‘Aziz

Secara bahasa kata ‘aziz adalah sifat musyabbahah dari kata “azza-ya ‘izzu”
dengan ‘ain berharakat kasrah, yang berarti sedikit atau jarang. Atau dari kata (‘azza-
ya ‘uzzu) dengan ‘ain berharakat fathah, yang berarti kuat atau keras (sangat).13

Sedangkan secara istilah, hadist ‘aziz adalah hadist yang oleh tidak kurang dari
dua orang dalam setiap thabaqat (level) sanadnya.14 Definisi seperti ini tidak
mensyaratkan hadist-hadist ‘aziz harus diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang.
Karena yang demikian akan sangat sulit ditemukan eksistensinya. Definisi tersebut
hanya mensyaratkan bahwa untuk dapat disebut hadist ‘aziz, sebab hadist harus
diriwayatkan oleh dua orang dalam setiap thabaqatnya. Dengan demikian, apabila ada
sebuah hadist yang diriwayatkan oleh banyak orang tetapi pada salah satu thabaqatnya

13
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, hlm. 36
14
ibid
ada yang hanya diriwayatkan oleh dua orang periwayat, maka hadist dapat disebut
hadist ‘aziz.

Mensifati hadist dengan predikat ‘aziz tidak ada hubungannya dengan kualitas
hadist tersebut. Keshahihan dan kedha’ifan suatu hadist bisa menerpa pada hadist
manapun selama berstatus sebagai hadist ahad. Karena itu, sebagian hadist ‘aziz ada
yang berpredikat shahih, hasan dan ada pula yang dha’if.

Istilah ‘aziz seperti halnya istilah masyhur maupun gharib adalah istilah yang
diciptakan oleh ulama hadist untuk menamai kelompok-kelompok hadist ahad dilihat
dari segi kuantitas jalur sanad yang dimilikinya. Sedangkan istilah shahih, hasan, dan
dha’if adalah istilah yang diciptakan oleh ulama untuk menyebut predikat hadist-
hadist ahad dilihat dari segi kualitas keseluruhannya, baik yang menyangkut sanad
maupun matan.

c. Hadist Gharib

Secara bahasa, kata “gharib” termasuk faladh musytarak, yakni lafadzh yang
memiliki lebih dari satu arti. Kata tersebut bisa berarti orang yang jauh dari tanah air,
kalimat yang sulit untuk dipahami,15 sendiri atau jauh dari teman-teman dekatnya.16
Sedangkan secara istilah, para ulama hadist berbeda dalam mendefinisikan hadist
gharib.

Para ahli hadist, sebagaimana dikutip oleh M. Hasbi Ash-Shiddieqy, pada


umumnya mengartikan hadist gharib adalah “hadist yang bersendiri seorang perawi
dalam meriwayatkannya, dimana saja terjadi persendirian itu di dalam sanad.”17
Dalam kitab Taujibun Nadhar, yang juga dikutip oleh Hasbi diterangkan bahwa hadist
gharib adalah “hadist yang bersendiri seorang perawinya pada suatu tempat didalam
sanad.18 Sedangkan Mahmud Thahhan mengartikan hadist gharib adalah “hadist yang
diriwayatkan oleh seorang perawi sendirian atau satu orang perawi.”19

Definisi yang dikemukakan oleh Mahmud Thahhan tidak memberikan kejelasan,


apakah kesendirian periwayatan tersebut terjadi disetiap thabaqat sanad ataukah

15
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadist, Jilid I, hlm. 78
16
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, hlm. 37
17
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadist, Jilid I, hlm. 78
18
Ibid, hlm. 79
19
Mahmud al-Thahhan, Ushul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid, hlm. 37
cukup disalah satunya saja. Definisi yang disebutkan oleh ulama terakhir ini dapat
menimbulkan pemahaman yang bisa mengenai konsep hadist gharib.

Sebagian ulama menyebut hadist gharib dengan istilah hadist fard. Sedangkan
sebagian yang lainnya membedakan keduanya. Diantara ulama yang menyamakan
hadist gharib dengan hadist fard adalah Ibn Hajar al-Atsqalani. Menurutnya, kedua
istilah tersebut adalah sinonim, baik secara lughowi (kebahasan) maupun secara
istilah. Menurutnya, al-fard lebih banyak mereka gunakan untuk yang al-fard al-
muthlaq, sedangkan al-gharib lebih banyak mereka gunakan untuk al-fard al-nisbi.20

Gharib mutlak atau fard mutlak adalah jika kegharibannya terletak pada asal
sanadnya. Maksudnya adalah hadist yang diriwayatkan oleh seorang periwayat
sendirian pada asal sanadnya. Contohnya adalah hadist yang berbunyi “Hanyalah
setiap amal itu tergantung pada niatnya...”. Hadist ini diriwayatkan oleh Umar bin al-
Khattab sendirian. Kesendirian periwayatan pada hadist gharib mutlak bisa terjadi
pada periwayat pertama hingga periwayat terakhir dalam rangkaian sanad dan bisa
hanya terjadi pada periwayat pertama saja seperti hadist Umar tersebut.21

Sedangkan hadist gharib nisbi adalah hadist yang kegharibannya berada


dipertengahan sanad. Maksudnya, semula hadist tersebut diriwayatkan oleh lebih dari
satu orang periwayat, tetapi pada thabaqat (level) selanjutnya diriwayatkan hanya
oleh satu orang periwayat saja. Hadist semacam ini disebut hadist gharib nisbi karena
kesendirian periwayatan yang terjadi didalamnya dinisbahkan kepada seorang
periwayat tertentu. Hadist-hadist yang tergolong gharib nisbi dapat meliputi: (1)
hadist yang hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat kepercayaannya, (2) hadist
yang diriwayatkan oleh seorang periwayat dari seorang periwayat pula, dan (3) hadist
yang hanya diriwayatkan oleh penduduk tertentu dari penduduk tertentu pula.22

20
Ibid, hlm.38
21
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Ilmu Dirayah Hadist, Jilid I, hlm. 80
22

Anda mungkin juga menyukai