Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits adalah segala perkataan (sabda), perbuatan dan ketetapan dan persetujuan
dari Nabi Muhammad yang dijadikan ketetapan ataupun hukum dalam agama Islam.
Hadits dijadikan sumber hukum dalam agama Islam selain al-Qur'an, Ijma dan Qiyas,
dimana dalam hal ini, kedudukan hadits merupakan sumber hukum kedua setelah al-
Qur'an.
Hadits yang dapat dijadikan pegangan adalah hadits yang dapat diyakini
kebenarannya. Untuk mendapatkan hadits tersebut tidaklah mudah karena hadits yang ada
sangatlah banyak dan sumbernya pun berasal dari berbagai kalangan.
Dilihat dari sudut bilangan perawi dapat digolongkan menjadi dua bagian yang
besar yaitu mutawatir dan ahad. Dalam pembagian hadits tersebut, hadits mutawatir ini
diriwayatkan oleh sejumlah orang yang banyak, sedangkan hadits Ahad diriwayatkan oleh
orang yang banyak, tapi tidak sampai sejumlah hadits mutawatir. Jadi hadits ahad itu
bukanlah hadits palsu atau hadits bohong, tapi hadits yang shahih pun bisa termasuk hadits
ahad juga, namun perlu penyelidikan. Agar lebih jelasnya, makalah ini ditulis untuk
mengetahui lebih dalam tentang hal tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Hadist Mutawatir dan Ahad
2. Klarifikasi Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad
3. Kedudukan Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad
KLASIFIKASI HADIST DARI SEGI KUANTITAS

A. Pembagian Hadist dari segi kuantitas (jumlah perawinya)

Ditinjau dari segi sedikit atau banyaknya perawi yang menjadi sumber berita, Hadist
terbagi kepada dua macam, yaitu Hadist Mutawatir dan Hadist Ahad.
1. Hadist Mutawatir

a. Definisi

ْ‫ب َعنْ م ِْثل ِِه ْم ِمنْ َّأو ِل لِ َّس َن ِد ِا َلى ُم ْن َت َهاهُ َع َلى َأن‬ ِ ‫اطَئ ُه ْم َع َلى ْاك ِْذ‬
ُ ‫لعادَ ةُ َت َو‬
َ ‫ار َواهُ َجمْ ٌع َت ِح ْي ُل ا‬َ ‫َم‬
‫ت ال َّس َن ِد‬
ٍ ‫ض َب َقا‬ َ ْ‫هذا ْال َجمْ ُع فِيْ َأ يَّ َط َب َق ٍة ِمن‬ َ ‫الَ َي ْخ َت ُل‬
“Hadist yang diriwayatkan oleh sejumlah perawi yang secara tradisi tidak
mungkin mereka sepakat untuk berdusta dari sejumlah perawi yang sepadan dari awal
sanad sampai akhirnya, dengan syarat jumlah itu tidak kurang pada setiap tingkatan
sanadnya.”

Ada juga yang mendefinisikan sebagai berikut:

ِ ِ‫َو َخ ْي ٌر َمحْ س ُْوسً َرواَهُ َعدَ ٌد َج ٌّم ُي ِجبٌ فِيْ ْال َعا دَ ِةا َِحا َل ٌةاجْ ِت َما عِ ِه ْم َو َت َواط‬
‫ِئه ْم َع َلى ال َك ِذ ب‬
“Suatu khabar (Hadist) hasil tanggapan dari panca indera,yang diriwayatkan
oleh sejumlah besar perawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan
bersepakat dusta.”

Jenis ini bersifat qathiy al-tsubut ( abash secara mutlak) dan disejajarkan dengan
wahyun yang wajib diamalkan dan dinilai kafir orang yang mengingkarinya.Hadist mutawatir
merupakan tingkat riwayat tertinggi.

b. Syarat-syaratnya

Jika memperhatikan definisi di atas, maka sebuah Hadist dikatakan mutawatir bila
telah memenuhi syarat berikut ini:

1) Pemberitaan yang disampaikan oleh para perawi tersebut harus berdasarkan


tanggapan panca indera. Yakni berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar
hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.
2) Jumlah perawinya harus mencapai suatu ketentuan yang tidak memungkinkan
mereka bersepakat berbohong.
Drs. H. Ahmad Izzam, M.Ag, Syaifuddin Nur, M.Ag, Ulumul Hadits (Bandung: Tafakur, 2011) 146
Tidak ada kesepakatan di antara ahli Hadist perihal jumlah jalur periwayat dalam
Hadist mutawatir,mengingat tidak adanya dalil yang jelas dalam hal ini. Sekurang –
kurangnya delapan pendapat yang semuanya disandarkan pada ayat al-Quraan yaitu:

1) Jumlah periwayat dalam Hadist mutawatir minimal empat sanad, dasarnya kias
pada saksi untuk tindak pidana zina sebagaimana pada surat al-nur [24]:6-9.
2) Jumlah periwayat dalam Hadist mutawatir minimal lima sanad, dasarnya adalah
kias pada jumlah kesaksian dalam masalah li’an,di mana kesaksian harus
diutarakan lima kali sebagaimana terdapat pada surat al-nur[24]:6-9
3) Jumlah periwayat dalam Hadist mutawatir minimal adalah sepuluh sanad,
pendapat ini didasarkan pada kaidah bahasa bahwa bilangan banyak ( jama’ li al-
kasrah)
4) Jumlah periwayat dalam Hadist mutawatir minimal dua belas sanad, dasarnya
adalah dua belas pemimpin bani isra’il sebagaimana terdapat dalam surah al-
maidah [05]:12
5) Jumlah periwayat dalam Hadist mutawatir minimal dua belas sanad, dasarnya
adalah firman allah dalam surah al-anfal [08]:65

c. Macam-macam Hadistt mutawatir ada 3 yaitu :


1) Mutawatir Lafzi adalah Hadist mutawatir yang secara redaksional sama antara satu
riwayat dengan riwayat lainnya atau berhimpunnya sejumlah Hadist shahih
dengan redaksi yang sama.
2) Mutawatir Ma’nawi adalah Hadist mutawatir yang secara redaksional berbeda
antara satu riwayat dengan riwayat lainnya tetapi ada kesamaan makna atau
berkehimpunannya sejumlah Hadist shahih dengan redasi yang berbeda-beda
namunsubstansi isinya sama.
3) Mutawatir Amali, yaitu praktik keagamaan yang dikerjakan rasulullah, kemudian
diikuti para sahabat, lalu para tabi’in dan seterusnya sampai pada generasi-generasi
berikutnya.

Memang sebagian ulama ada yang membagi Hadist mutawatir hanya menjadi dua.
Mereka memasukkan Hadist mutawatir amali kedalam kategori mutawatir maknawi.oleh
karenanya menurut mereka Hadist mutawatir hanya dibagi menjadi mutawatir lafzi dan
mutawatir maknawi.

Prof. Dr. H. Idri, M. Ag, Study hadits. (Surabaya : UINSA Press. 2011)147
Contoh Hadist mutawatir lafzi yang populer adalah sabda nabi saw:

‫قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم من كذب علي متعمد فليتبوأ مقعده من النار‬
“rosulullah saw. Bersabda, ‘barangsiapa yang segaja berdusta atas namaku maka
hendaklah mempersiapkan tempat di neraka,”

2. Hadistt Ahad
a. Definisi

ِ ‫ان ْالم ُْخ ِب ُر َوا ِح ًدا َأ ْوا ِْث َني‬


‫ْن‬ َ ‫ ْال َخ َب ِر ْال ُم َت َوا َت ْ<ر َس َوا ٌء َك‬  ‫َما َل ْم َت ْبلُ ُغ َن ْق َل ُت ُه فِى ْال َك ْث َر ِة َم ْب َل ُغ‬
‫الخ َب ِر د ََخ َّل‬َ َّ‫َأ ْوَأرْ َب َعة َأ ْو َخمْ َسة ْأوإ َلى غ ْي ُر َذل َِك مِن الألعْ دَا ِد الَّتِى الَ َت ْش ُع ُر ِبأن‬ ‫َأ ْو َثالَ ًثا‬
‫ِب َها فِى َخ َب ِر ْال ُم َت َوات ِ<ِر‬
“khobar yang jumlah perawinya tidak mencapai batas jumlah perawi Hadist mutawatir, baik
perwi satu, dua, tiga, empat, lima dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa
jumlah perawi tersebut tidak sampai pada jumlah perawi Hadist mutawatir.”.

Jenis ini berbeda di bawah drajat mutawatir dan masyhur. Hukumnya adalah wajib
diamalkan, selama memenuhi syarat-syarat diterimanya riwayat. Dan inilah pendapat yang
dipegangi oleh mayoritas ulama’.

b. Pembagian Hadistt Ahad

Para muhadditsin memberikan nama-nama tertentu bagiHadist ahad mengingatkan


banyak sedikitnya perawi yang berbeda pada tiap-tiap thabaqat yaitu:

1) Hadist Masyhur, ialah Hadist yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih dan belum
mencapai derajat mutawatir. Menurut ulama’ fiqh (fuqaha). Hadist masyhur itu
muradif (mirip) dengan Hadist mustafidh. Namun Hadist masyhur tidak seperti
Hadist mustafidh,ia lebih umum yakni jumlah perawi dalam tiap-tiap thabaqah tidak
harus selalu sama banyaknya,atau seimbang.
Macam-macam Hadist masyhur terbagi ke dalam:
a) Masyhur di kalangan para muhadditsin dan lainnya.
b) Masyhur di kalangan ahli-ahli ilmu tertentu.
c) Masyhur di kalangan orang-orang umum saja.
2) Hadist Aziz ialah Hadist yang diriwayatkan oleh dua orang , walaupun dua orang
perawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu orang-orang
meriwayatkannya.
3) Hadist Gharib ialah Hadist yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri
dalam meriwayatkan, yang mana penyendirian dalam sanad itu terjadi. Ditinjau dari
segi bentuk penyendirian perawi, Hadist gharib itu terbagi kepada dua macam, yaitu
Hadist gharib muthlaq dan Hadist gharib nisby. Yang pertama berkenaan dengan
persoalanya dan yang kedua berkenaan dengan sifat-sifat atau keadaan tertentu dari
seorang perawi.

c. Ketentuan Umum Hadist Ahad

Pembagian Hadist Ahad kepada masyhur , aziz dan gharib tidak bertentangan dengan
pembagian Hadist Ahad kepada shahih, Hasan dan Dha’if. Sebab pembagian tesebut bukan
bertujuan langsung untuk menentukan maqbul ( duterima ) atau mardud (ditolak)-nya suatu
Hadist, tetapi bertujuan untuk mengetahui banyak atau sedikit sanad. Sedangkan pembagian
Hadist Ahad kepada shahih, Hasan dan Dha’if adalah bertujuan untuk menentukan dapat
diterima atau ditolaknya suatu Hadist.

Lihat al-ahkam karya Ibn Hazm, hlm 97 dan sesudahnya, dan hlm. 107-122, juz I

Anda mungkin juga menyukai