Hadits masyhur ada yang berstatus shahih, hasan dan dhaif. Hadits masyhur
yang berstatus shahih adalah yang memenuhi syarat-syarat hadits shahih
baik sanad maupun matannya. Seperti hadits ibnu Umar.
5) Masyhur dikalangan ahli Sufi, seperti : لخ ْل َق َ ْت أَنْ أُعْ ِر
ُ ف َف َخلـَ ْق
َ ت ْا ُ ت َك ْن ًزا َم ْخفِ ًّيا َفأَحْ َبب
ُ ُك ْن
َف ِبي َع َرفُ ْونِي
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin
dikenal, maka kuciptakan makhluk dan melalui merekapun mengenal-Ku
6) Masyhur dikalangan ulama Arab, seperti ungkapan, “Kami orang-orang
Arab yag paling fasih mengucapkan “(dha)” sebab kami dari golongan
Quraisy”.
B. Hadits Ghairu Masyhur
Ulama ahli hadits membagi hadits ghairu masyhur menjadi dua yaitu, Aziz
dan Gharib. Aziz menurut bahasa berasal dari kata azza-yaizu, artinya “sedikit
atau jarang”. Menurut istilah hadits Aziz adalah hadits yang perawinya tidak
kurang dari dua orang dalam semua tingkatan sanad.”
Menurut Al-Thahhan menjelaskan bahwa sekalipun dalam sebagian Thabaqat
terdapat perawinya tiga orang atau lebih, tidak ada masalah, asal dari sekian
thabaqat terdapat satu thabaqat yang jumlah perawinya hanya dua orang.
Oleh karena itu, ada ulama yang mengatakan bahwa hadits ‘azaz adalah
hadits yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang perawi.”
Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa suatu hadits dapat dikatakan
hadits Aziz bukan hanya yang diriwayatkan dua orang pada setiap tingkatnya,
tetapi selagi ada tingkatan yang diriwayatkan oleh dua rawi, contoh hadits
‘aziz :
ـاس أَجْ َم ِعي َْن
ِ َّالَ ي ُْؤمِنُ أَ َح ُد ُك ْم َح َّتي أَ ُك ْو َن أَ َحبَّ إِلَ ْي ِه مِنْ َوالِـ ِد ِه َو َولــِ ِد ِه َوالنـ
“tidak beriman seorang di antara kamu, sehingga aku lebih dicintainya dari
pada dirinya, orang tuanya, anaknya, dan semua manusia,” (H.R. Bukhari dan
Muslim)
Adapun hadits Gharib, menurut bahasa berarti “al-munfarid” (menyendiri).
Dalam tradisi ilmu hadits, ia adalah “hadits yang diriwayatkan oleh seorang
perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya, baik yang menyendiri itu
imamnya maupun selainnya”.
Menurut Ibnu Hajar yang dimaksud dengan hadits gharib adalah “hadits yang
dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya,
dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadits itu bias berkaitan dengan
personalitasnya, yakni tidak ada yang meriwayatkannya selain perawi
tersebut, atau mengenai sifat atau keadaan perawi itu sendiri. Maksudnya
sifat dan keadaan perawi itu berbeda dengan sifat dan kualitas perawi-perawi
lain, yang juga meriwayatkan hadits itu. Disamping itu, penyendirian seorang
perawi bias terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
“adalah hadits dhaif jika berbilangan jalan sanadnya dan sebab kedhaifan
bukan karena fasik atau dustanya perawi.
Dari dua defenisi diatas dapat dipahami bahwa hadits dhaif bias naik manjadi
hasan lighairih dengan dua syarat yaitu :
1) Harus ditemukan periwayatan sanad lain yang seimbang atau lebih kuat.
2) Sebab kedhaifan hadits tidak berat seperti dusta dan fasik, tetapi ringan
seperti hafalan kurang atau terputusnya sanad atau tidak diketahui dengan
jelas (majhul) identitas perawi.
d. Kehujjahan hadits Hasan
Hadits hasan dapat dijadikan hujjah walaupun kualitasnya dibawah hadits
shahih. Semua fuqaha sebagian Muhadditsin dan Ushuliyyin
mengamalkannya kecuali sedikit dari kalangan orang sangat ketat dalam
mempersyaratkan penerimaan hadits (musyaddidin). Bahkan sebagian
muhadditsin yang mempermudah dalam persyaratan shahih (mutasahilin)
memasukkan kedalam hadits shahih, seperti Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu
Khuzaimah.