Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Eksistensi hadis sebagai sumber hukum Islam yang kedua

setelah Al-Quran tidak dapat diragukan lagi. Namun karena

proses transmisi hadis berbeda dengan proses Al-Quran, maka

dalam proses penerimaannya tentu mengalami berbagai

persoalan serius yang membedakannya dengan Al-Quran. Al-

Quran tertransmisi kepada ummat Islam dengan cara

mutawatir. Selain itu, dari sisi kodifikasi, masa pengkodifikasian

hadist jauh lebih lama setelah Nabi wafat dibandingkan dengan

Al-Quran. Hadist dikodifikasi pada awal abad kedua Hijriyah,

sedangkan Al-Quran sudah dibukukan pada sekitar tahun 22

Hijriyah. Disinyalir pula, sebelum Nabi wafat, posisi dan

sistematika Al-Quran telah tersusun dengan bak. Kondisi ini

sangat berbeda dengan apa yang dialami hadist.


Untuk kepentingan netralisasi dan sterelisasi hadist, dalam

proses dan perkembangan selanjutnya para ulama hadist

melakukan upaya serius berupa penyeleksian terhadap hadist

dengan menilai para perawi hadist dari berbagai thabaqat

secara ketat. Setelah proses ini pun dilalui, hadist tidak secara

otomatis selamat dan langsung dipakai atau dijadikan rujukan

dalam penetapan hukum Islam. Hadist terus dievaluasi

sehingga nyaris tidak ada suatu disiplin ilmu yang tingkat

1
kehati-hatiannya dalam merujuk sumber, seteliti seperti yang

dialami ilmu hadist.


Kondisi demikian, sekali sangat berbeda dengan struktur

transmisi hadits. Ulama demikian ketat melakukan seleksi

terhadap hadist. Setelah diukur dari sisi bilangan sanad yang

menghasilkan hadist mutawatir dan ahad dengan berbagai

pencabangannya. Oleh karena itu, dalam makalah ini penulis

akan memaparkan tentang Hadist Mutawatir.


B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian hadits mutawatir?
2. Apa saja Pembagian hadits mutawatir?
3. Ada Berapa Syarat hadits mutawatir?
4. Kitab apa saja yang membahas tentang hadits mutawattir?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa yang dimaksud hadits mutawatir !
2. Mengetahui syarat-syarat dan pembagian hadits mutawatir !
3. Mengetahui kitab yang mempelajari tentang hadits mutawatir!

BAB II
PEMBAHASAN

2
A. Pengertian Hadis Mutawatir
Kata Mutawatir secara Bahasa merupakan isim fail dari kata al-tawatur

yang bermakna al-tatabu atau (berturut-turut) atau datangnya sesuatu secara

berturut-turut dan bergantian tanpa ada yang menyela. Dalam Bahasa arab

dikatakan maksudnya hujan turun terus-menerus. Dalam hal ini, mutawatir

mengandung pengertian sesuatu yang bersifat kontinyu baik secara berturut-

turut maupun terus-menerus tanpa adanya hal yang menyela yang menghalangi

kontinuitas itu. Pengertian etimologis ini, bila dikaitkan dengan hadist

menunjukkan bahwa pada hadist mutawatir itu antara periwayat satu dengan

periwayat yang lain pada generasi sebelum maupun sesudahnya terjadi

hubungan yang berturut-turut, runtun sehingga tidak terputus-putus dikarenakan

jumlah pada masing-masing generasi cukup banyak.


Secara istilah, menurut Mahmud al-Thahhan, defenisi hadist mutawatir

adalah :
hadist yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang menurut adat
kebiasaan mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta.

Maksud defenisi tersebut, menurutnya adalah hadist atau kabar yang

diriwayatkan oleh para periwayat yang banyak pada tiap thabaqah

(tingkatan/generasi) sanadnya yang menurut akal dan adat kebiasaan mustahil

para periwayat itu sepakat untuk membuat hadist yang bersangkutan.


Dalam Ulum al-hadist wa Musthalahuh, shubhi al-Shalih mendefinisikan

hadist mutawatir sebagai berikut :


Hadist sahih yang diriwayatkansejumlah periwayat yang meurut akal sehat
dan adat kebiasaan mustahil mereka sepakat berdusta (yang diriwayatkan) dari
banyak periwayat pada awal, tengah, sampai akhir sanadnya.

Berdasar beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa hadist

mutawatir itu merupakan hadist sahih yang diriwayatkan oleh sejumlah

3
periwayat yang menurut logika dan adat istiadat mustahil mereka sepakat

berdusta. Hadist ini diriwayatkan banyak orang periwayat pada awal, tengah,

sampai akhir sanad dengan jumlah tertentu. Sandaran beritanya berdasarkan

sesuatu yang dapat diindra seperti disaksikan, didengar, diraba, dicium, ataupun

dirasa.

B. Syarat-syarat Hadis Mutawatir


Mengenai syarat hadist mutawatir itu, terdapat perbedaan pendapat di

kalangan ulama mutaakhirin. Ulama mutaqaddimin tidak membicarakan syarat

bagi hadist mutawatir. Menurut mereka, khabar mutawatir yang sedemikian

sifatnya, tidak termasuk dalam pembahasan ilmu asnad al hadits, sebab ilmu itu

membicarakan sahih atau tidaknya suatu hadits, diamalkan atau tidaknya suatu

hadits, dan juga membicarakn adil atau tidaknya rawi, sedangkan hadits

mutawatir tidak membicarakan masalah tersebut. Bila suatu hadits mutawatir,

maka wajib diyakini kebenarannya, diamalkan kandungannya, dan tidak boleh

ada keraguan serta bagi orang yang mengingkarinya, dihukum kafir, sekalipun

diantara perawi-nya adalah orang kafir. Sedangkan menurut ulama mutaakhirin

dan ahli ushul, suatu hadist dapat ditetapkan sebagai hadist mutawatir bila

memenuhi syarat-syarat berikut :

1. Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi.


Hadist mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang

membawa keyakinan bahwa mereka itu tidak bersepakat untuk berdusta.

Mengenai masalah ini, para ulama ada beberapa yang tidak menetapkanya.

Menurut ulama yang tidak mengisyaratkan jumlah tertentu, menurut adat, dapat

4
memberikan keyakinan terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka

sepakat untuk berdusta, sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah

tertentu, mereka masih berselisih mengenai jumlahnya.


Al Qadi Al-Baqilani menetapakn bahwa sejumlah perawi hadits mutawatir

sekurang-kurangnya 5 orang. Ia meng-qiyas-kan dengan jumlah nabi yang

mendapat gelar ulul azmi. Sementara itu, Asthikhary menetapkan bahwa yang

paling baik, minimal 10 orang, sebab jumlah itu merupakan awal bilangan

banyak. Ulama lain ada yang menentukan 12 orang, bedasarkan firman Allah

swt, dalam surat Al-Maidah Ayat 12 :


Yang artinya: Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari)
bani Israil dan telah kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin dan
Allah berfirman, Sesungguhnya Aku beserta kamu

2. Adanya keseimbangan antarperawi pada thabaqat (lapisan) pertama

dengan thabaqat berikutnya.


Jumlah perawi hadist mutawatir, antara thabaqat dengan thabaqat lainnya

harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu dahabat hadist diriwayatkan oleh

20 orang sahabat, kemudian diterima oleh 10 tabiin dapat digolongkan sebagai

hadist mutawati, sebab jumlah perawinya tidak seimbang antara thabaqat

pertama dengan thabaqat seterusnya.


3. Berdasarkan tanggapan panca indera.
Berita yang disampaikan oleh perawi tersebut harus berdasarkan tanggapan

panca indra. Artinya, berita yang mereka sampaikan itu harus benar-benar

merupakan hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.


C. Macam-Macam Hadits Mutawatir
Hadits mutawatir dibagi menjadi tiga : (1) mutawatir lafzhi, dan (2)

mutawatir manawi, (3) Mutawatir amali


1. Mutawatir lafzhi adalah hadis yang mutawatir dalam hal lafal dan maknanya

(ma tawatarab lafzhuhu wa manahu). Misalnya Man kadzaba alayya

mutaammidan fal-yatabawwa maqadahu min an-nar (rawahu al-bukhari

5
wa muslim). Hadits tersebut menurut Alwiy al-maliki diriwayatkan oleh 62

sahabat
2. Mutawatir manawi adalah hadits yang berbeda bunyi lafalnya dari beberapa

jalur periwayatannya, tetapi mempunyai kesamaan dalam hal makna, isinya

mengandung satu hal, satu sifat atau satu perbuatan.


3. Mutawatir Amali adalah sesuatu yang diketahui dengan mudah bahwa dia

termasuk urusan agama dan telah mutawatir antara umat islam bahwa Nabi

Muhammad SAW mengerjakannya, menaruhnya atau selain dari itu.

Misalnya hadits yang menerangkan waktu sholat rakaat sholat, sholat

jenazah, tata cara sholat, cara pelaksanaan haji, dll.


D. Kehujjahan Hadits Mutawattir
Mahmud Al Thahan menyatakan bahwa hadits mutawattir bersifat dharuri,

yaitu ilmu yang meyakinkan dan mengharuskan manusia mempercayai dan

membenarkannya secara pasti seperti orang yang menyaksikan sendiri tanpa

disertai dengan keraguan sedikitpun dengan demikian seluruh hadits mutawattir

dapat diterima untuk dijadikan hujjah tanpa harus mengkaji para periwayatnya.
E. Hukum dan Pengamalan Hadits Mutawattir
Ulama menetapkan bahwa hadits mutawattir harus diterima sebagaimana

umat islam menerima ayat-ayat Al Quran. Terminologi yang dipakai ialah

qathiy as tsubut artinya keberadaan dan ketetapan adanya hadits itu pasti dan

benar adanya.
Berangkat dari ketentuan terakhir yang disebutkan tadi hadits mutawattir

sudah barang tentu dapat dijadikan dalil artinya bisa diamalkan.


F. Faedah Hadits Mutawattir
Hadits mutawattir memberikan faedah ilmu dharury yakni suatu keharusan

untuk menerima dan mengamalkannya sesuai dengan yang diberitakan oleh

hadits mutawattir tersebut, hingga membawa kepada keyakinan yang pasti.

6
Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa suatu hadits dianggap mutawattir oleh

sebagian golongan membawa keyakinan kepada golongan tersebut tetapi tidak

bagi golongan lain yang tidak menganggap bahwa hadits itu mutawattir. Barang

siapa yang telah meyakini kemutawattiran hadits yang diwajibkan untuk

mengamalkan sesuai dengan tuntunannya.

G. Kitab-Kitab Yang Membahas Tentang Hadits Mutawatir


Sebagian ulama telah mengumpulkan hadits-hadits mutawatir dalam sebuah

kitab tersendiri. Diantara kitab-kitab tersebut adalah :


1. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Akbar Al-Mutawatirah, karya As-Suyuthi.

Dalam kitab tersebut, As Suyuthi menyusun bab demi bab dan setiap hadits

diterangkan sanad-sanadnya yang dipakai oleh pentakhrijnya.


2. Qathf Al-Azhar, karya As-Suyuthi, ringkasan dari kitab diatas.
3. Al-Laali Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abu Abdillah

Muhammad bin Thulun Ad-Dimasyqi.


4. Nazm Al-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Muhammad bin

Jafar Al-Kattani.
5. Ithaf Dzawil Fadhail al-Musythahirah bi Maa Waqaa min Ziyadah Alaa al-

AzharAl-Mutanasirah min Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya ustadz Syeikh

Abdul Aziz al-Ghammari.


6. Luqt al-Liaalii Al-Mutanasirah fi Al-Hadits Al-Mutawatirah, karya Abii al-

Faidh Muhammad Murtadhaa al-Husainii az-Zubaidii al-Misri.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Secara bahasa, mutawatir adalah isim fail dari at-tawatur

yang artinya berurutan. Sedangkan mutawatir menurut istilah

adalah apa yang diriwayatkan oleh sejumlah banyak orang yang

menurut kebiasaan mereka terhindar dari melakukan dusta mulai

dari awal hingga akhir sanad. Atau : hadits yang diriwayatkan oleh

perawi yang banyak pada setiap tingkatan sanadnya menurut akal

tidak mungkin para perawi tersebut sepakat untuk berdusta dan

memalsukan hadits, dan mereka bersandarkan dalam

meriwayatkan pada sesuatu yang dapat diketahui dengan indera

seperti pendengarannya dan semacamnya.

Suatu hadits dapat dikatakan mutawatir apabila telah memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

1. Hadits (khabar) yang diberitakan oleh rawi-rawi tersebut harus berdasarkan

tanggapan (daya tangkap) pancaindera.


2. Bilangan para perawi mencapai suatu jumlah yang menurut adat mustahil mereka

untuk berdusta.
3. Seimbang jumlah para perawi, sejak dalam thabaqat (lapisan atau tingkatan)

pertama maupun thabaqat berikutnya.


4. Sandaran beritanya adalah panca indera dan itu ditandai dengan

kata-kata yang digunakan dalam meriwayatkan sebuah hadits.

Hadits mutawatir mengandung hukum qathI al tsubut yaitu

memberikan informasi yang pasti akan sumber informasi tersebut.

8
Oleh sebab itu tidak dibenarkan seseorang mengingkari hadist

mutawatir, bahkan para ulama menghukumi kufur bagi orang yang

mengingkari hadist mutawatir. Mengingkari hadist mutawatir sama

dengan mendustakan informasi yang jelas dan pasti bersumber

dari Rasulullah.

Menurut sebagian ulama, hadits mutawatir itu terbagi

menjadi dua, yakni Mutawatir Lafzi dan Mutawatir Manawi, namun

sebagian yang lain membagi menjadi tiga, yakni Hadits Mutawatir

Lafzi, Manawi, dan Amali.

B. SARAN

Semoga pembahasan di atas dapat diterima oleh para pembaca.serta dapat

dijadikan pedoman dalam proses belajar mengajar. Kritik dan saran dari pembaca

sangat kami perlukan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Zarkasih, 2010. Pengantar studi hadits. Yogyakarta: Aswaja Pressindo

Sohari Sahrani. 2010. Ulumul hadits. Bogor: Ghalia Indonesia

Alfatih M. dkk. 2010. Ulumul Hadits. Yogyakarta: Teras

http://duniapendidikandalamisam.blogspot.co.id/2016/12/makalah-hadist-mutawatir-

html

10

Anda mungkin juga menyukai