D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
1. Bangkit Pasaribu 2110300066
2. Rifai Ahmad Pandapotan 2110300036
Dosen Pengampu:
Khoirul Fadli Simamora, Lc., M.Ag.
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 2
A. Latar Belakang 3
B. Rumusan Masalah 3
C. Tujuan Penulisan 3
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Pengertian Hadits Mutawatir 4
B. Syarat-syarat dan pembagian hadits Mutawatir 4
C. Pengertian Hadits Ahad 4
D. Pembagian Hadits Ahad 6
BAB III PENUTUP 6
A. Kesimpulan 9
B. Saran 9
DAFTAR PUSTAKA 10
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits merupakan sumber yang kedua setelah al-qur’an untuk memberi
petunjuk kepada kehidupan umat manusia. Apa yang tidak diuraikan dalam Al-
Quran akan dijelaskan secara gamblang dalam sebuah hadits. Karena pada
dasarnya, hadits merupakan perkataan, ajaran, dan perbuatan Rasulullah.
Namun karena pada zaman Nabi tidak diperbolehkan menulis selain ayat-
ayat Al Qur’an dan juga begitu banyak hadits yang dikhawatirkan merupakan
hadits palsu, maka bermunculan penelitian-penelitian tentang kajian ilmu hadits.
Salah satunya adalah melihat hadits dari banyak sedikitnya orang yang
meriwayatkanya atau jumlah perowinya.
Kita sebagai seorang muslim tidak boleh menyakini bahwa semua hadits adalah
shahih dan tidak benar bila menganggap bahwa semua hadits adalah palsu. Maka,
dalam menentukan status suatu hadits dapat lebih dipertimbangkan jika
mengetahui banyak sedikitnya orang yang meriwayatkan hadits tersebut.
Pembagian hadits berdasarkan kuantitasnya ada 2 yaitu hadits Mutawatir dan
hadits Ahad. Dalam makalah ini penulis akan memaparkan pengertian, syarat-
syarat dan macam-macam hadits Mutawatir dan hadits Ahad.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hadits Mutawatir ?
2. Apa syarat-syarat hadits Mutawatir, dan apa saja pembagian hadits Mutawatir ?
3. Apa pengertian hadits Ahad ?
4. Apa saja pembagian hadits Ahad ?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian hadits Mutawatir
2. Mengetahui syarat-syarat hadits Mutawatir, dan pembagian hadits Mutawatir
3. Mengetahui pengertian hadits Ahad
4. Mengetahui saja pembagian hadits Ahad
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits Mutawatir
Kata mutawatir, Menurut lughat ialah mutatabi yang berarti beriring-
iringan atau berturut-turut antara satu dengan yang lain.[1]
Sedangkan menurut istilah ialah Suatu hasil hadist anggapan pancaindera, yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil mereka
berkumpul dan bersepakat untuk dusta.[2]
ِ ث املَتوا تِر هوالَّ ِذ ى رواه مَجْع َكثِير يْؤ من َتوا طُ هم علَى
الك ْذ ُ ي ِ احل
د
َ ْ ُ َ َ ُ ُ ْ ٌ ُ َ ُ َ ُؤ ُ
َ ُ َُ ْ َ
ِ َّ ب عن ِمثْلِ ِهم اِىَل انْتِها.
َّ ِالسنَد َو َكا َن ُم ْسَتنَ ُد ُه ْم احل
س َ ْ َْ
ِ
Artinya: Hadits mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi
yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal
mereka dan seterusnya sampai akhir sanad dan semuanya bersandar kepada
pancaindra.[3]
4
segi kuantitasnya yang secara rasional mustahil mereka bersepakat untuk
bohong.[4]
ب َعلَ َّي ُمَت َع ِّم ًدا َفْليَتََب َّوْأ َم ْق َعلَهُ ِم َن النَّا ِر
َ م ْن َك َذ.
َ
"Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang sengaja berdusta atas
namaku, maka hendaklah ia bersedia menduduki tempat duduk di
neraka." (H.R. Bukhari)
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadits tersebut diriwayatkan oleh 40
orang sahabat. Sebagian ulama mengatakan bahwa hadits tersebut
diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama.
Hadits tersebut terdapat pada sepuluh kitab hadits, yaitu Al-Bukhari, Muslim,
Ad-Darimi, Abu Dawud, Ibn Majah, At-Tirmidzi, At-Thayasili, Abu
Hanifah, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim.[6]
b. Hadits mutawatir ma’nawi
Hadits mutawatir ma’nawi adalah hadits yang lafadz dan maknanya
berlainan antara satu riwayat dengan riwayat lainnya, tetapi terdapat
persesuaian makna secara umum (kulli).
Contoh hadits mutawatir ma’nawi:
5
muslimin bahwa Nabi melakukannya atau memerintahkan untuk
melakukannya atau serupa dengan itu. Contoh : Kita melihat dimana saja
bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat)
rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh
Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW
melakukannya atau memerintahkannya demikian.
Hadits Ahad adalah hadits yang jumlah rowinya tidak sampai pada jumlah
mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat
mutawatir. Hal ini dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits yaitu hadits yang tidak
sampai jumlah rawinya kepada jumlah hadits mutawatir, baik rawinya itu seorang,
dua, tiga, empat, lima, atau seterusnya dari bilangan-bilangan yang tidak memberi
pengertian bahwa hadits itu dengan bilangan tersebut masuk ke dalam hadits
mutawatir.[7]
6
ِ ِ
Kata-kata بِ اَ ْكَث َر م ْن ا ْثَننْي mengecualikan hadits gharib dan hadits
‘aziz. Sering muncul anggapan bahwa hadits masyhur itu senantiasa sahih,
karena sering kali seorang peneliti dengan pandangan sepintas dapat terkecoh
oleh berbilangnya rawi, yang mengesankan kekuatan dan kesahihan
sanad. Akan tetapi para muhaddits tidak peduli dengan berbilangnya sanad
apabila tidak disertai sifat-sifat yang menjadikan sanad-sanad itu sahih atau
saling memperkuat sehingga dapat dipakai hujah.
Contoh hadits masyhur :
2. Hadits ‘Aziz
Asal kata istilah ini menurut bahasa adalah kata َع َّز َي َع ّز yang berarti
‘kuat’, sebagaimana difirmankan Allah Swt.
ٍ َِفعَّز ْزنَا بِثَا ل
ث َ
Kemudian kami kuatkan dengan (utusan) ketiga (QS Yasin :14).
Pengertian lain mengenai hadits ‘aziz adalah hadits yang diriwayatkan
oleh dua orang walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah
saja, kemudian setelah itu orang-orang pada meriwayatkannya.
7
bin ‘Ulayyahdan Abdul Warits. Dan dari masing-masing rawi terakhir ini
diriwayatkan oleh jemaah.
3. HaditsGharib
Gharib menurut bahasa adalah orang yang menyendiri, mengasingkan
diri, atau orang yang jauh dari sanak keluarganya. Menurut istilah muhadditsin,
yang dimaksud dengan hadits gharib adalah :
ث الَّ ِذ ى َت َفَّر َد بِِه َرا ِويِْه َس َوا ءٌ َت َفَّر َد بِِه َع ْن اَِما ٍم جُيْ َم ُع ِ
ُ ُْه َوا حلَد ي
ح ِد ْيثُهُ اَْو َع ْن َرا ٍو َغرْيِ اَِما ٍم.
َ
Hadits gharib adalah hadits yang rawinya menyendiri dengannya, baik
menyendiri karena jauh dari seorang imam yang telah disepakati haditsnya,
maupun menyendiri karena jauh dari rawi lain yang bukan imam sekalipun.
Hadits yang demikian dinamai gharib karena ia seperti orang asing yang
menyendiri dan tidak ada sanak keluarga di sisinya atau karena hadits tersebut
jauh dari tingkat masyhur, terlebih lagi tingkat mutawatir. Contoh hadits gharib
sebagaimana disebutkan oleh al-Turmudzi dalam al-Ilal, yaitu hadits Abu Musa
al-Asy’ari dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda :
ال َكا فُِر يَْأ ُك ُل ىِف َسْب َع ِة اَْم َعا ءَ َواملْؤ ِم ُن يَْأ ُك ُل ىِف ِم ًعى َوا ِح ٍد.
ُ
Orang kafir itu makan sepenuh tujuh usus, sedangkan orang yang beriman
makan sepenuh satu usus.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hadits Mutawatir adalah suatu hasil hadist anggapan pancaindera, yang
diriwayatkan oleh sejumlah besar rawi, yang menurut kebiasaan mustahil
mereka berkumpul dan bersepakat untuk dusta.
2. Syarat-syarat hadits Mutawatir antara lain
a. Hadits yang diriwayatkan itu mengenai nabi Muhammad SAW yang dapat
ditangkap oleh pancaindra.
b. Perawinya mencapai jumlah yang menurut kebiasaan mustahil mereka
bersepakat untuk berdusta
8
c. Jumlah parawi pada setiap tingkatan takboleh kurang dari jumlah minimal
#Pembagian Hadits Mutawatir antara lain :
a. Hadits Mutawatir Lafzi
b. Hadits Mutawatir ma’nawi
c. Hadis Mutawatir Amali
3. Hadits Ahad adalah hadits yang jumlah rowinya tidak sampai pada jumlah
mutawatir, tidak memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada
derajat mutawatir.
4 . Pembagian hadits Ahad antara lain :
a. Hadits Masyhur
b. Hadits ‘Aziz
c. Hadits Gharib
B. Saran
Demikian pembahasan makalah yang kami susun, semoga dapat
bermanfaat bagi pembaca dan pemakalah sendiri. Penulis menyadari masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat kami harapkan dalam pembuatan makalah selanjutnya agar menjadi lebih
baik.
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Mahmud At-Thahhan, Taisir Musthalah Al-Hadits, Dar Al-Qur’an Al-Karim, Beirut, 1979,
hlm.19
9
[2]
Endang Soetari, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan Dirayah, Mimbar Pustaka, Bandung,
2005, hlm.120
[3]
Nuruddin ‘Itr, UlumulHadits,PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2012, hlm.428
[4]
Ahmad MuhammadMudzakir, ulumul hadits, Pustaka Setia, Bandung, 1998, hlm.88
[5]
Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalah Al-hadits, Al-Maarif, Bandung, 1974,
hlm.79
[6]
Endang Soetari, op.cit. hlm.121
[7]
Ibid, hlm. 124
[8]
Nuruddin ‘Itr, op.cit, hlm.434
10