Anda di halaman 1dari 18

HADIST DI TINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA

Makalah Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Studi Al Hadist
Dosen Pengampu : H. Hakkul Yakin M.Pd.I

KELOMPOK 5
M Rozikin Efendi
Ardi Saputra
Nirmawanisa Mutaharoh

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH
IAI HAMZANWADI NW LOMBOK TIMUR
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah atas limpahan rahmat karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas akademik yaitu makalah pada mata kuliah “STUDI AL
HADIST”. Kehadiran makalah ini kami harapkan dapat membantu dan menambah
wawasan kita bersama terkait dengan pembelajaran PAI, menambah modal kita
dalam persiapan mengajar dan mendidik untuk generasi masa mendatang.
Tak lupa kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segenap rekan-
rekan yang membantu baik dari segi ilmu, pikiran, ide, tenaga dan waktunya yang tak
mampu kami balas. Semoga itu semua tercatat sebagai amal ibadah yang diterima di
sisi Allah SWT. Jika terdapat kesalahan yang keliru dalam menyusun makalah ini,
kami dengan rendah hati memohon maaf karna kami dalam proses belajar guna
meningkatkan mutu dan karakter kami.

Anjani, 25 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................i

DAFTAR ISI.................................................................ii

PENDAHULUAN...............................................................1

1. Latar belakang............................................................1

2. Rumusan masalah...........................................................1

3. Tujuan........................................................................1

PEMBAHASAN........................................................2

Hadist Ditinjau Dari Segi Kuantitasnya...........................2

PENUTUP.................................................................17

DAFTAR PUSTAKA.................................................17
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur‟an untuk
memberi petunjuk kepada kehidupan umat manusia. Apa yang tidak diuraikan dalam Al-
Qur‟an akan dijelaskan secara gambling dalam sebuah hadis, karena pada dasarnya hadist
merupakan perkataan, ajaran, perbuatan Rasulullah SAW.
Ilmu hadis telah menyedot perhatian ulama sejak awal perkembangan Islam
hingga saat ini, bahkan khasanah Islam lebih banyak dipenuhi kitab-kitab hadis
disbanding misalnya kitab tafsir. Ini menunjukkan pentingnya kedudukan hadits dalam
Islam.
Kita sebagai seorang muslim tidak menyakinina bahwa semua hadis adalah
shahih, namun juga tidak benar bila menganggap bahwa semua hadits adalah palsu
sebagaimana anggapan para orientalis. Untuk mengetahui tentang kedudukan/martabat
suatu hadits dimata hukum yang selanjutnya dari hadits tersebut bagaimana dapatnya
dijadikan sandaran/landasan hukum maka perlu difahami tentang keadaan suatu hadits
baik dinilai dari sifat perawinya, sanadnya, maupun matan dari hadits itu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembagian Hadits jika ditinjau dari segi kuantitasnya?
2. Apa pengertian, syarat-syarat, dan pembagian dari Hadis Mutawatir itu?
3. Apa Pengertian dan macam-macan hadis Ahad dan pembagian-pembagiannya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pembagian Hadis ditinjau dari segi kuantitasnya
2. Untuk mengetahui pengertian, syarat-syarat, dan pembagian dari Hadis Mutawatir
3. Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam Hadis Ahad dan pembagian-
pembagiannya
BAB II
PEMBAHASAN

A. HADITS DITINJAU DARI SEGI KUANTITASNYA


Ulama berbeda pendapat tentang pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitasnya
ini. Maksud tinjauan dari segi kuantitas disini adalah dengan menelusuri jumlah para
perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadis. Para ahli ada yang mengelompokkan
menjadi tiga bagian, yakni hadis mutawatir, masyhur dan ahad, dan ada juga yang
membaginya hanya menjadi dua, yakni hadis mutawatir dan ahad.
Pendapat pertama, yang menjadikan hadis mashur berdiri sendiri, tidak termasuk
bagian dari hadis ahad, dianut oleh sebagian ulama ushul, di antaranya adalah Abu Bakar
Al-Jassas (305-370 H). Sedang ulama golongan kedua diikuti oleh kebanyakan ulama
ushul dan ulama kalam. Menurut mereka, hadis mashur bukan merupakan hadis yang
berdiri sendiri, akan tetapi hanya bagian dari hadis ahad. Mereka membagi hadis menjadi
dua bagian : mutawatir dan ahad.
B. Hadits Mutawatir
1. Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir menurut bahasa berarti mutatabi yakni yang datang berikutnya atau
beriring-iringan yang antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya. 1 Sedangkan
pengertian hadis mutawatir menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain
sebagai berikut:
2
‫بزَاي‬44‫غ م‬4‫غ ػـه جم‬4‫ ت ٍحم جم‬4‫دة‬4‫اطٌؤم انؼب‬4ُ‫ر ػهى ت‬4‫“ ة انك‬
Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta”.
Ada juga yang mengatakan :
3
‫ انكر ة ػه مث ٍهم مه َأل انسىد انى مىتٍب‬4‫مبزَاي جمغ ت ٍحم انؼبدة تُاطٌؤم ػهئ‬
“ Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang menurut adat mustahil
mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Sejak awal sanad sampai akhir
sanad, pada setiap tingkat (Thabaqat)”
Sementara Nur ad-Din „Atar mendefinisikan
4
‫انري زَاي جمغ كثس الٌمكه تُاطٌؤم ػهى انكر ة ػه مث ٍهم انى ا و ٍتبء انسىد َكبن مستىدٌم انحس‬
“Hadits yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang terhindar dari
kesepakatan mereka untuk berdusta (sejak awal sanad) sampai akhir sanad dengan
didasarkan pada panca indra”

1
Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi, Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir li Al-Rafi’i, juz II, (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-’Ilmiyah, 1398 H/1978 M) hlm. 321.
2
Mahmud Al-Thahhan, Taisir Mushthalah Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim 1399 H/1979 M) hlm. 18.
3
Ajjaj, Al-Khathib, Ushul Al-Hadits ‘Ulumul Wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981), Cet. Ke4 hlm. 301.
4
Nur Al-Din ‘itr, Manhaj Al-Naqdi fi ‘Ulum Al-Hadis, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979), hlm. 70. Bandingkan dengan
penjelasan Muhammad Mahfudz ibn Abdullah Al-Tirmisi, Manhaj Dzawi Al-Nazhar, (Jeddah: Al-Haramain, 1974),
Cet. Ke-3, hlm. 69.
2. Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai
Hadis Mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang
membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat
untuk berdusta. Mengenai masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada
yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menentukan jumlah
tertentu. Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang
penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan
terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta.5
Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka
masih berselisih mengenai jumlah tertentu itu. Al-Qadhi Al-Baqillani
menetapkan bahwa jumlah perawi hadis agar bisa disebut hadis mutawatir
tidak boleh berjumlah empat, lebih dari itu lebih baik. Ia menetapkan
sekurang-kurangnya berjumlah 5 orang, dengan mengqiyaskan dengan
jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul „Azmi.
Al-Istakhary menetapkan yang paling baik minimal 10 orang, sebab
jumlah 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Ulama lain menentukan 12
orang, mendasarkan pada firman Allah:
) 21 5: /‫م ٍىم اث ًى ػشس و ٍقببَبؼثىب(انمئدة‬
... Dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin. (QS. Al-
Maidah (5): 12)
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, sesuai dengan
firman Allah:
)55 :8/‫“ االوفبل( مبئ ٍته ٌغهبُا صبب َسن ػش َسن مىكم ٌكه ان‬Jika ada
dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh... (QS. Al-Anfal (8): 65)
Ayat ini memberikan sugesti kepada orang-orang mukmin yang tahan uji,
yang hanya dengan jumlah 20 orang saja mampu mengalahkan 200 orang
kafir.Ada juga yang mengatakan bahwa jumlah perawi yang di perlukan
dalam hadis mutawatir minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah SWT.:
yang 8::5) /‫ (االوفبل‬4‫انىب حسبك هلال َمه اتبؼك مه انمؤمىٍه‬
ً ‫ٌ بٌٍأب‬
mukmin orang-orang dan Allah cukuplah Nabi, “Wahai 64) (8): Al-Anfal
.mengikutimu”.(QS
Saat ayat ini diturunkan jumlah umat Islam baru mencapai 40 orang. Hal
ini sesuai dengan hadis riwayat Al-Tabrany dan Ibn „Abbas, ia berkata:

5
Al-Tirmisi, op.cit., hlm. 69-70, dan Ahmad Muhammad Al-Syakir, Syarh Alfiyah Al-Suyuthi fi ‘ilm Al-Hadis, (Beirut:
Dar Al-Ma’rifah, tt), hlm. 46.
“Telah masuk Islam bersama Rasulullah sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang
perempuan. Kemudian „Umar masuk Islam, maka jadilah 40 orang Islam”.6

Selain pendapat tersebut, ada juga yang menetapkan jumlah perawi dalam
Hadis mutawatir sebanyak 70 orang, sesuai dengan firman Allah SWT.:

)7 255 /7:‫َ اختبز ُمسى قُ ًم سب ٍؼه زجال ن ٍمقبتىب (االػساف‬

Dan Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk
(memohon taubat dari Kami) pada waktu yang telah kami tentukan. (QS.
Al-A‟raf (7):155)

b. Adanya Keseimbangan Antar Perawi Pada Thabaqat Pertama dengan


Thabaqat Berikutnya

Jumlah perawi hadis mutawatir, antara Thabaqat (lapisan/tingkatan)


dengan thabaqat lainnya harus seimbang. Dengan demikian, bila suatu hadis
diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima oleh sepuluh
tabi‟in, dan selanjutnya hanya diterima oleh lima tabi‟in, tidak dapat
digolongkan sebagai hadis mutawatir, sebab jumlah perawinya tidak seimbang
antara thabaqat pertama dengan thabaqat-thabaqat seterusnya. Akan tetapi ada
juga yang berpendapat, bahwa keseimbangan jumlah perawi pada tiap
thabaqat tidaklah terlalu penting. Sebab yang diinginkan dengan banyaknya
perawi adalah terhindarnya kemungkinan berbohong.8

c. Berdasarkan Tangkapan Pancaindra

Berita yang disampaikan oleh perawinya tersebut harus berdasarkan


tanggapan pancaindra. Artinya bahwa berita yang mereka sampaikan itu harus
benar-benar hasil pendengaran atau penglihatannya sendiri. Oleh karena itu,
bila berita itu merupakan hasil renungan, pemikiran atau rangkuman dari
suatu peristiwa lain ataupun hasil istinbat dari dalil yang lain, maka tidak
dapat dikatakan hadis mutawatir, misalnya berita tentang baharunya alam
semesta yang berpijak pada pemikiran bahwa setiap benda yang rusak itu
baharu, maka berita seperti ini tidak dapat dikatakan Hadis Mutawatir.
Demikian juga berita tentang ke-Esa-an Tuhan menurut hasilpemikiran pada
filosof, tidak dapat digolongkan sebagai hadis mutawatir.

6
Abd Al-Fatah Al-Qdi, Asbab Al-Nuzul ‘an Al-sahabah wa Al-Mufassirin, (Beirut: Dar Al-Nadwah Al-Jadidah, 1987),
hlm. 112. Lihat juga penjelasan Al-Suyuthi, op.cit., hlm. 178.
7
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buti, Mabahis Al-Kitab wa Al-Sunnah min ‘Ilmi, (Damaskus: Mahfudzah li
Jami’ah), hlm. 17-18. Lihat juga Hajar Al-Asqalany, op.cit., hlm. 20-30
8
Jalal Al-Din Ismail, Buhuts fi Ulum Al-Hadits, (Mesir: Maktabah Al-Azhar,t.t.) hlm. 114
3. Pembagian Hadis Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua, yaitu
mutawatir lafdzi dan mutawatir ma‟nawi.9 Namun ada juga yang membaginya
menjadi tiga, yakni ditambah dengan hadis mutawatir „amali.10
a. Mutawatir Lafdzi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzi adalah:
11
‫مبتُاتست َزاٌتً ػهى نفظ َاحد‬
“Hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafzi”
Ada yang mengatakan bahwa mutawatir lafdzi adalah:
12
‫مبتُاتس نفظً َمؼىبي‬

“Hadis yang mutawatir lafaz dan maknanya”.

Berat dan ketatnya kriteria hadis mutawatir lafdzi seperti di atas,


menjadikan hadis ini sangat sedikit. Menurur Ibnu Hibban dan Al-Hazimi,
bahwa hadis mutawatir dengan ta‟rif ini tiada diperoleh. Ibn Al-Shalah
yang diikuti oleh Al-Nawawi menetapkan, bahwa hadis mutawatir lafdzi
sedikit sekali, sukar dikemukakan contohnya selain hadis:

‫مه كرة ػهً متؼمدا ف ٍهتبُأ مقؼدي مه انىبز‬

Namun pendapat ini ditolak oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani. Beliau


Menandaskan, bahwa pendapat yang menetapkan hadis mutawatir lafdzi tidak
ada, atau sedikit sekali adalah terjadi karena kurang mengetahui jalan-jalan
atau keadaan-keadaan perawi serta sifat-sifatnya yang menghendaki bahwa
mereka itu tidak mufakat untuk berdusta, atau karena kebetulan saja.
Menurutnya, di antara dalil yang paling baik untuk menetapkan adanya hadis
mutawatir adalah kitab-kitab yang sudah terkenal di antara ahli ilmu, baik di
timur dan barat, yang mereka sudah yakin sah disandarkan kepada pengarang-
pengarangnya, apabila berkumpul untuk meriwayatkan hadis dengan berbagai
jalan, yang menurut adat mustahil mereka sepakat berdusta. Bila demikian,
tentulah akan dapat memberikan nilai ilmu al-yaqin (yufid al-„ilmu al-yaqin,
meyakinkan kepada kita) bahwa hadis itu telah disandarkan kepada yang
menyabdakannya.13

b. Mutawatir Amali
Adapun yang dimaksud dengan hadits mutawatir „amali adalah :
9
Mahmud Al-Tahhan, op. cit., hlm. 19, lihat juga dalam Nur Al-Din ‘Itr, op. cit., hlm. 405, Al-suyuti Tadrib Al-Rawi,
op. cit., hlm. 180
10
Ahmad Muhammad Al-Syakir, loc. cit.
11
Nur Al-Din ‘Itr, loc. cit.
12
Mahmud Al-Tahhan, loc. cit.
13
Hasbi As-Shidqi, Pokok-pokok Ilmu Dirasah Hadis, jilid pertama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 61.
‫انىب صهى هلال ػهًٍ مسهم فؼهً اَ امس ًب‬ً ‫مبػهم مه اندٌه ببنض َسزة َتُاتس ٍبه انمسه ٍمه ان‬
ُ
َ‫ك ٍغس ا‬444‫ري ٌَ ذن‬444‫ق ان‬444‫ف ػــهًٍ وىطب‬444‫ع ثؼ ٌس‬444‫ ٍححب اوطببقب االجمب‬444‫ص‬
14

“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama
dan telah mutawatir antara ummat Islam, bahwa Nabi Muhammad saw.
Mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai
dengan ta‟rif ijma‟.”
Macam hadits mutawatir „amali ini banyak sekali jumlahnya, seperti hadis
yang menerangkan waktu shalat, rakaat salat, shalat jenazah, shalat „id, tata
cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.

C. Hadits Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad
Al-Ahad dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Dengan demikian
khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.15
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits ahad menurut istilah, banyak
didefinisikan para „ulama, antara lain sebagai berikut:
ٍُٛ ‫ف انكثشج يثهغ انخثثش انً ٕراذش ٕساء كاٌ انًخثش ٔاحذ ٔا‬ٙ ‫يانى ذثهغ َمه ّر‬
ٛ ‫اث ٔا ثالثا ٔا استؼح ٔا ًخسح ٔا‬
‫انىغش‬
16
‫ االػذاد ٍي رانك‬ٙ‫“ خثشانً ٕراذش ٗف ٓتا دخم انخثش تا ٌ الذشؼش انر‬Khabar
yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadits, baik perawi itu
satu, dua, tiga, empat dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa
jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”. Ada
juga ulama yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat, yakni hadits yang
tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir17, hadits selain mutawatir18 , atau
hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya
(Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada
qath‟I dan yaqin.19
Dari beberapa definisi di atas, jelaslah bahwa di samping jumlah perawi hadits
ahad tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir, kandungannya pun
bersifat zhanny dan tidak qath‟i.
Kecenderungan para ulama mendefinisikan hadits ahad seperti di atas, karena
dilihat dari jumlah perawinya ini. Hadits dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir
dan hadits ahad. Pengertian ini berbeda dengan pengertian hadits ahad menurut
ulama yang membedakan hadits menjadi tiga yaitu hadits mutawatir, masyhur dan

14
Ahmad Muhammad Al Syakir, op.cit, hlm. 60.
15
Mahmud Al Thahhan, op.cit., hlm. 21.
16
Hasbi As Siddiqi, op.cit., hlm. 32.
17
Mahmud Al Thhan, loc. Cit.
18
Ibnu Hajar Al Asqalani, jilid I, op.cit., hlm. 51.
19
Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buti, Mabahits Al Kitab wa Al Sunnah min ‘Ilm Al Ushul, (Damaskus: Mahfuzhah
Li Al Jamiah, t.t) hlm. 17.
ahad. Menurut mereka (ulama yang disebut terakhir ini) bahwa yang disebut dengan
hadits ahad ialah :
ٕ ‫فشف ششٔط انً ٕٓشس‬
tidak jumlahnya 20‫ٔايراذش‬ ٕ ‫يا ٔساِ ا ٕناحذ ٔااالثُاٌ فاكثش يًا نى‬
ّٛ ‫ذرا‬
yang lebih, atau orang dua satu, oleh diriwayatkan yang “Hadits mutawatir”. hadits
dan masyhur hadits persyaratan memenuhi
Muhammad Abu zahrah medefinisika sebagai berikut :
dari diterima lebih 21‫ف ششٔط انً ٕٓشس‬
ّٛ ‫را فش‬ٕٚ ‫ ٔسهى ٔال‬ّٛ‫انشسل ص ٗه هلال ػه‬ ٕ ‫ش ا ٕناحذ ٔا االثًُا ٌ ٔا االكثش ٍػ‬ّٚٔٚ ‫كم خثش‬
atau orang dua satu, oleh diriwayatkan yang khabar “Tiap-tiap masyhur”. hadits
persyaratan memenuhi tidak dan saw Rasulullah
2. Pembagian Hadis Ahad
Ulama ahli scara garis besarnya membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur
dan ghairu masyhur. Ghairu Masyhur dibagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghaib.
a. Hadis Masyhur
Menurut bahasa ialah sesuatu yang sudah tersebar dan popular. Sedangkan
menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain menurut ulama ushul yaitu
22
ِْ‫ا‬‰‰‰‫ياس‬
ٔ ‫حاتح ٍي‬‰‰‰‰‫ى تؼــــذ ٍئ انص‬
“hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran
bilang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula
setelah mereka”
Ada juga yang mendefinisikan hadits masyhur secara ringkas yaitu

ٕ ‫يا ّن طشٔق يح ٕصسج تاكثش ٍي اثُ ٍى ٔنى ىىهغ حذ‬


‫انراذش‬
23

“Hadits yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dua jalan dan tidak
sampai kepada batas hadits ang mutawatir”.

Hadis ini dinamakan masyhur karena telah tersebar luas dikalangan


masyarakat. Hadis masyhur ini ada yang berstatus sahih, hasan dan dha‟if.24 Yang
dimaksud dengan hadis masyhur sahih adalah hadis masyhur yang telah
memenuhi ketentuan-ketentuan hadis sahih baik pada sanad maupun matannya,
seperti hadits Ibnu „Umar

)25‫انثخاس‬
ٖ ِ‫ارا جاء احذكى ان ًٕجػح فانىغرسم ( ٔسا‬

20
Ajjaj Al Khattib, Ushul Al Hadits, op.cit., hlm. 302.
21
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al Fiqh, (Mesir: dar Al Fikr Al ‘Araby, 1377 H/ 1958M), hlm. 108.
22
Ajjaj Al-Khatib, op.cit., hlm 302. Pengertian serupa diberikan oleh Abd Al-Wahab Khallaf, (Mesir: Al-Da’wat Al-
islamiyah Syabbab Al-Azhar, 1968), cet. Ke-7, hlm 41., dan muhammad Abu Zahrah, Ushul AlFiqh,(Kairo: Dar Al-Fikr
Al-Arabi, 1985),hlm. 108
23
Al-Suyuti, tadrib Al-Rawi, op.cit., hlm 173.
24
Nur Al-Din ‘Itr,loc.cit
25
Hadis nomor 877 dalam Bab Fadhl Ghasl Yaum Al-Jum’at, Kitab Al-Jum’at, dalam Imam AL-Bukhori, op.cit, Jilid I,
Juz 1, hlm. 238, dengan urutan sanad: diterima dari Abdullah Ibn Yusuf, dari Malik Ibn Nafi’, dari Abdullah Ibn
Umar.
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumu‟ah, hendaknya ia
mandi”. (HR. Bukhari)

Sedangkan yang dimaksud dengan hadis masyhur hasan adalah hadits


masyhur yang telah memenuhi ketentuan-ketentuan hadits hasan, baik mengenai
sanad maupun matannya, seperti sabda Rasulullah saw :
26
ٔ‫اس الضشس‬‰‰‰‰‰‰‰‰‰‰‰‫الضش‬

“Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri dan orang lain)”

Adapun yang dimaksud dengan hadits masyhur dha‟if adalah hadits


masyhur yang tidak mempunyai syarat-syarat hadits sahih dan hasan, baik pada
sanad maupun matannya, seperti hadits
27
‫هًح‬‰‰‰‰‰‫هى ٔ يس‬‰‰‰‰‰‫ح ػـــــ ٗه كم يس‬‰‰‰‰‰‫فشض‬ٚ ‫طهة انؼهى‬

perempuan” dan laki-laki muslim bagi wajib ilmu “Menuntut

b. Macam-macam Hadits Masyhur


Istilah masyhur yang ditetapkan pada suatu hadits, kadang-kadang untuk
menetapkan kriteria-kriteria hadits menurut ketentuan di atas, yakni jumlah rawi
yang meriwayatkannya, akan tetapi diterapkan pula untuk memberikan sifat suatu
hadits yang dianggap populer menurut ahli ilmu tertentu atau di kalangan
masyarakat tertentu. Dari tujuan inilah menyebabkan ada suatu hadits bila dilihat
dari bilangan rawinya tidak dapat dikatakan sebagai hadits masyhur, tetapi bila
dilihat dari kepopulerannya tergolong hadits masyhur.
Dari segi yang terakhir inilah, hadits masyhur dapat digolongkan kepada :
1. Masyhur di kalangan ahli hadits, seperti hadits yang menerangkan, bahwa
Rasulullah SAW. Membaca do‟a qunut sesudah rukuk selama satu bulan
penuh, berdo‟a atas golongan Ri‟il dan Zakwan.28
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari riwayat
Sulaiman At Taimi dari Abi Mijlas dari Anas.
Hadits ini juga diriwayatkan dari Anas selaiman, serta dari Sulaiman oleh
segolongan perawi lain.
2. Masyhur di kalangan ulama‟ ahli hadis, ulama-ulama lain dan di kalangan
orang umum, seperti:
)29‫انثخاس ٔيسهى‬
ٖ ِ‫ٔ ِذ ( ٔسا‬ٚ َّ ‫ا ًنسهى ٍي سهى انًسهًٌٕ ٍي نسا‬
26
Hadis ini diriwayatkan melalui banyak jalan. Sehingga kualitasnya mencapai derajat Hasan atau Shahih. Ibn
Majah meriwayatkan dari Ubadah secara Munqati’ dan juga meriwayatkan dari Ibn Abbas. Al-Hakim meriwayatkan
dari Abi Sa’id Al-Khudri dan dia juga menganggap hadis shahih sesuai dengan syarat Ushull. Lih. Nur Al-Din ‘Itr,
op.cit.,hlm. 410.
27
Hadis ini didhaifkan oleh Imam Ahmad, Al-Baihaqi, dan lain-lain.
28
Muslim, jilid II, op.cit.,hlm 136.
“Orang islam (yang sempurna) itu adalah : orang-orang islam lainnya
selamat dari lidah dan tangannya”. (HR. Bukhari Muslim)
3. Masyhur di kalangan ahli fiqih, seperti:
ٔ ‫تغ انغشس‬ٛ ‫هى ٍػ‬‰‰‫ٔس‬ّٛ‫هٗ هلال ػـــه‬‰‰‫ل هلال ص‬‰‰‫سس‬
)30‫هى‬‰‰‫اِ يس‬‰‰‫(س‬ ٕ َٓ ٗ
daya”. tipu terdapat didalamnya yang jual-beli melarang SAW, “Rasulullah
.Muslim) (HR
4. Masyhur di kalangan Ushul Fiqh, seperti:
31
‫اج ٓرذ انحكى حكى ارا‬‰‰‫اب ثى ف‬‰‰‫هّ اص‬‰‫ا ٌ ف‬‰‫اج ٓرذ ٔاراحكى اجش‬‰‰‫هّ اخطا ثى ف‬‰‫اِ( اجش ف‬‰‫” يسم ٔس‬Apabila
seorang hakim memutuskan suatau perkara3, kemudian ia berijtihad dan
ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan
pahala kebenaran), dan apabila ijtihatnya itu salah, maka dia memperoleh satu
pahala (pahala ijtihad)”. (HR. Muslim).
5. Masyhur di kalangan ahli Sufi, seperti:
‫ا كُزا كد‬ٛ‫فث انخهك فخهمد اػشف اٌ حثثد فا يخف‬
32 ُ ٙ ‫ف‬‰‰‰‫ػش‬
َٕ ٗ “Aku
pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal,
maka Kuciptakan makhluk dan melalui Aku merekapun kenal padaKu”.
6. Masyhur di kalangan ulam-ulama Arab, seperti ungkapan:
“Kami (orang-orang Arab) yang paling fasih mengucapkan huruf Dad ( ‫)ض‬,
sebab kami dari golongan orang Qyraisy”.33
c. Hadits Ghair Masyhur
Hadits Ghair Masyhur ini oleh ulama‟ ahli hadis digolongkan menjadi
„Aziz dan Gharib.
1) Hadits ‘Aziz
„Aziz bisa berasal dari „Azza-ya‟izzu yang berarti la yakadu yajadu atau
qalla wa nadir (sedikit atau jarang adanya), dan bisa berasal dari azza ya‟azzu
berarrti qawiya (kuat).
Sedangkan „Aziz menurut istulah, antara lain didefinisikan sebagai berikut:
tabaqat 34ٌ ‫اذ ٔا اكثش ٍي طثمح اثُا‬ ّ ‰‫ياجاء ٗف طثمح ٍي طثماخ ٔس‬
”semua dalam orang dua dari kurang tidak perawinya yang “Hadis sanad
Lebih lanjut definisi tersebut dijelaskan oleh Mahmud Al-Thahhan,
bahwasekalipun dalam sebagian thabaqat terdapat perawinya tiga orang atau
29
Al-Syuyuti, op.cit, jilid II, hlm. 667.lihat dalam Kitab AL-Imam (Hadis nomor 57) dalam Imam Muslim jilid V,
op.cit.,hlm. 3. Dan juga dalam kitab Al-Iman (Hadis nomor 11) dalam Imam Bukhari op.cit, hlm, 10
30
Lihat kitab Al-Buyu’(hadis nomor 2783) Imam Muslim, ibid, hlm 131.
31
Ibid. Lihat Kitab Al-Aqdhiyah pada hadis nomor 3340.
32
Hadis ini banyak diketemukan didalam buku-buku tasawuf sebagai landasan adanya aliran tasawuf.
33
Al-hafidz Syamsu Al-Din Muhammad bin Abd. Al-Rahman Al-Syakhawi, Al-Maqasid Al-Hasanah fi Al-Hadis Al-
Mashurah, (Mesir, 1357 H), hlm. 95
34
Muhammad Ibn Alwi Al-Maliki Al-Hasani, Al-Manhal Al-Latif fi Ushul AL-Hadis AL-Syarif,(Mathba’ Sihr, 1982), cet.
Ke-4,hlm 95
lebih, tidak ada masalah, asalkan dari sekian thabaqat terdapat satu thabaqat
yang jumlah perawinya hanya dua orang. Definisi ini mirip dengan definisi
Ibn Hajar.
Dari definisi tersebut, kiranya dapat disimpulkan bahwa suatu hadis
dikatakan hadis „aziz bukan saja yang diriwayatkan oleh dua orang rawi pada
setiap thabaqat, yakni sejak dari thabaqat pertama sampai thabaqat terakhir,
tetapi selagi salah satu thabaqat didapati dua orang perawi, tetap dapat
dikatagorikan sebagai hadis „aziz.
Dari pemahaman seperti ini, bisa saja terjadi suatu hadis yang pada
mulanya tergolong sebagai hadis „aziz, karena hanya diriwayatkan oleh dua
rawi, tetapi berubah menjadi hadis masyhur, karena perawi pada thabaqat
lainnya berjumlah banyak.
Diantara contoh hadis „aziz adalah:
daripada dicintai )35‫انثخاس ٔيسهى‬
ٖ ٍُٛ ‫ان ٍي ٔان ِذ ٔٔن ِذ ٔانُاس ا ًج‬
ِ ‫ؼ ( ٔسا‬ ّٛ ‫اك احة‬
ٌٕ ‫حر‬ ٍ ‫ال‬ٚ
ٗ ‫ؤي احذكى‬
lebih aku hingga kamu3, diantara seseorang beriman “Tidak manusia”. semua
,dan anaknya, tuanya, orang dirinya
Hadis tersebut diterima oleh Annas bin Malik dari Rasulullah, kemudian
ia riwayatkan kepada Qatadah dan “Abd Al-„Aziz bin Suhaib. Selanjutnya
Qatadah meriwayatkan kepada dua orang pula, yaitu Syu‟bah dan Husain Al-
Mu‟allim. Sedangkan dari Abd Al-‟Aziz diriwayatkan oleh dua orang yaitu
Abd Al-waris dan Ismail bin „Ulaiyyah. Seterusnya dan Husain diriwayatkan
oleh Yahya bin Said dari Syu‟bah diriwayatkan oleh Adam, Muhammad bin
Ja‟far, dan juga oleh Yahya bin Said. Sedangkan yang dari Ismail
diriwayatkan oleh Zuhair bin Harb dan dari Abd Al-Waris diriwayatkan oleh
Musdad dari Ja‟far diriwayatkan oleh Ibnu Al-Mutsana dan Ibn Basyar,
sampai kepada Bukhari dan Muslim.
Hadis „Aziz yang shahih, hasan dan dha‟if tergantung pada terpenuhi atau
tidaknya ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan hadis shahih, hasan dan
dha‟if.
2) Hadis Gharib
Gharib menurut bahasa berarti al-munfarid (menyendiri) atau al-ba‟id
aqaribihi (jauh dari kerabatnya).
Ulama ahli hadis mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut:
ٚ ‫جًغ‬ٚ ‫او‬‰‫دت ٍػ اي‬‰
ّ ‫ذ‬‰‫ح‬
dalam 36‫او‬‰‫ش اي‬ٛٚ ‫ث ٔا ٍػ سٔا‬ ّ ‰‫اء ذفش‬‰‫ٔ ٕس‬ّٚ ‫دت سا‬‰ ٚ
ّ ‰‫ز ذفش‬‰٘ ‰‫ذث ان‬‰‫انح‬
menyendiri yang perawi seorang oleh diriwayatkan yang “Hadis selainnya,”
,maupun imamnya itu menyendiri yang baik meriwayatkannya

35
Imam aL-bukhari, op.cit.,hlm 11(dalam hadis nomor 15). Lihat juga muslim, jilid I, op.cit.,hlm 49. Dalam shahih
Al-Bukhari urutan sanadnya sebagi berikut: dari Ya’qub Ibn Ibrahim, Ibn ‘Ulaiyat, Abd Al-Aziz Ibn sYuhaib dari
Annas Ibn Malik dan Qatadah
36
Nur Al-Din ‘Itr, op.cit.,hlm 396
Ibnu Hajar mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut:
37
‫ٔا ّر ياذفشد‬ٚ ‫“ انسُذ ّت انرفشد ٔلغ ٕيضغ ٘ا ٗف ٔاحذ شخص تش‬Hadis yang
dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya,
dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Ada juga yang mengatakan bahwa hadis gharib adalah hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya tanpa
ada orang lain yang meriwayatkannya.38
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadis itu bisa berkaitan dengan
personaliannya, dan tidak ada orang yang meriwayatkan selain perawi itu sendiri,
yakni bahwa sifat atau keadaan perawi-perawi berbeda dengan sifat dan keadaan
perawi-perawi lain yang juga meriwayatkan hadis itu. Disamping itu,
penyendirian seorang perawi bisa terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
Dilihat dari bentuk penyendirian perawi seperti dimaksud diatas, maka
hadis gharib digolongkan menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi.
Dikategorikan sebagai gharib mutlak apabila penyendirian itu mengenai
personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu
thabaqat. Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus berpangkal ditempat ashlu
sanad,39 yakni tabi‟in, bukan sahabat. Sebab yang menjadi tujuan
memperbincangkan penyendirian perawi dalam hadis gharib di sini ialah untuk
menetapkan apakahperiwayatnya diterima atau ditolak. Sedangkan mengenai
sahabat tidak perlu diperbincangkan, sebab secara umum dan diakui oleh para
jumhur ulama‟ ahli hadits, bahwa sahabat-sahabat dianggap adil semuanya.
Penyendirian perawi dalam hadis gharib dapat terjadi pada tabi‟iy al
tabi‟in atau seluruh perawi pada tiap-tiap thabaqat.
Contoh hadis gharib mutlak antara lain adalah:
40
ٔ‫الء‬‰‰‰‰‰‰‫ة كهحًح نحًح ا ٕن‬‰‰‰‰‰‰‫اع انُس‬‰‰‰‰‰‰‫الث‬ٚ ‫الة‬ْٕٚ
“Kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan
nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.
Hadis ini diterima dari Nabi Ibnu Umar dan dari Ibn Umar hanya
Abdullah Ibn Dinar saja yang meriwayatkannya. Abdullah Ibn Dinar adalah
seorang tabi‟i yang dapat dipercaya.
Sedangkan hadis gharib yang tergolong pada gharib nisbi adalah apabila
penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi.
Penyendirian seorang rawi seperti ini, bisa terjadi berkaitan dengan keadilan dan
kedhabitan (ketsiqqahan) perawi atau mengenai tempat tinggal atau kota
tertentu.41

37
Ajjaj AL-Khatib, op.cit.,hlm 360
38
Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasani, op.cit.,hlm 91
39
Ashl As-Sanad ialah pangkal pulang dan kembalinya sanad.
40
Muhammad Alwi Al-Maliki AL-Hasani, loc.cit.
41
Ibid.hlm. 91-92.
Contoh hadis gharib nisbi berkenaan dengan ketsiqqahan perawi antara lain
adalah:

‫كان يقراء به رسول هلال صلى هلال عليه وسلم في االضحى والفطر بق والقران المجيد واقتربت الساعة وانشق القمر‬
42
)‫(مس((((لم رواه‬
“Konon Rasulullah pada hari raya qurban dan hari raya fitrah membaca Surat Qaf
dan surat al-Qamar”. (HR. Muslim)
Hadis tersebut diriwayatkan melalui dua jalur, yakni jalur Muslim dan
jalur Al-Daruqutni. Melalui jalur Muslim terdapat rentetan sanad: Muslim, Malik,
Dumrah bin Sa‟id, „Ubaidillah, dan Abu Laqid Al-Laisi yang menerima langsung
dari Rasulullah. Sementara itu melalui jalur Al-Daruqutni terdapat rentetan sanad:
Al-Daruqutni, Ibn Lahi‟ah, Khalid bin Yazid, „Urwah, „Aisyah yang langsung
diterima dari nabi.
Pada rentetan sanad yang pertama, Dumrah bin Sa‟id Al-Muzani disifati
sebagai seorang muslimyang tsiqqah. Tidak seorang pun dari rawi-rawi tsiqqah
yang meriwayatkannya selain dia sendiri. Ia sendiri yang meriwayatkan hadis
tersebut dari Ubaidillah dari Abu Waqid Al-Laisi. Ia disifatkan menyendiri
tentang ke-tsiqqahan-nya.43 Sementara melalui jalur kedua, Ibn Lahi‟ah yang
meriwayatkan hadis tersebut dari Khalid bin Yazid dari Urwah dari „Aisyah. Ibn
Lahi‟ah disifati sebagai seorang rawi yang lemah.44
Contoh hadis gharib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu,
antara lain adalah:
45
)‫ذسش ٔيا انكراب تفاذحح َمشا اٌ اي َشا‬ٛ (ِ‫ت ٔسا‬
ٕ ٔ ‫“ دٔاد ا‬Kami
diperintahkan (oleh Rasul SAW) agar membaca Al-Fatihah dan surat yang mudah
(dari Al-Qur‟an)”. (HR. Abu Daud)
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad Abu Al-Walid Al-
Tayalisi, Hammam, Qatadah, Abu Nadrah, dan Sa‟id. Semua rawi ini berasal dari
Basrah dan tidak ada yang meriwatkannya dari kota-kota lain.
Selain pembagian hadis gharib seperti tersebut diatas, para ulama juga
membagi dua golongan, yakni gharib pada sanad dan matan, gharib pada sanad
saja. Pembagian hadis gharib menjadi dua bagian ini bila ditinjau dari segi letak
kegharibannya.46
Yang dimaksud gharib pada sanad dan matan adalah hadis yang hanya
diriwayatkan melalui satu jalur, seperti sabda Rasulullah SAW.

42
Lihat Kitab Sholat Al-Idain, hadis nomor 1977 dalam Imam Muslim, shahih Muslim.
43
Ibid.
44
Untuk lebih jelasnya, lihat Ibn Hajjar Al-Ashqalany, tahdzib Al-Tahdzib, jilid V, (Bairut: Dar Al-Fikr)hlm. 374-379,
dan AL-Dhahabi, Al-Kasyif, jilid II,(Kairo: Dar Al-Kitab Al-Muhaddasa, t.t), hlm 122.
45
Lihat dalam kitab AL-Shalat hadis nomor 818 dalam Abu Daud, sunan Abu Daud, juz I(Syuriah: Dar Al-Hadis,
t.t),hlm 511.
46
Nur Al-Din ‘Itr, op.cit., hlm 379-400.
‫ظ‬ٛ ‫حثثراٌ ٗان انش ً ٍح سثحاٌ هلال ان‬ٛ ٌ‫نًزا‬ٛ ‫ف ا‬ٙ ٌ‫ثمهرا‬ٛ ٌ‫ػه انسا‬
‫ؼى سثحاٌ هلال ٔت ًح ِذ‬ ٗ ٌ‫ففرا‬ٛ ‫كهًراٌ خ‬
47
)ِٔ‫ا‬‰‰‰‰‰‫اس ٔس‬‰‰‰‰‰‫انثخ‬
ٖ ‫هى‬‰‰‰‰‰‫(يس‬
“Ada dua kalimat yang disenangi oleh Allah, ringan diucapkan dan memperberat
timbangan, yaitu kalimat “Subhana Allah wa bihamdih Subhana Allah il‟adzim”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dengan sanad Muhammad
bin Fudhail, Abu Zur‟ah „Umarah. Abu Zur‟ah, dan Abu Hurairah. Imam
Tirmidzi menyatakan bahwa hadis ini adalah gharib, karena hanya rawi-rawi
tersebutlah yang meriwayatkannya, tidak ada rawi lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan gharib pada sanad saja adalah hadis
yang telah populer dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang rawi
yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain yang tidak populer.
Periwayatan hadis melalui sahabat yang lain seperti ini disebut sebagai hadis
gharib pada sanad.
Bila suatu hadis telah diketahui sanadnya gharib, maka matannya tidak
perlu diteliti lagi, sebab keghariban pada sanad menjadikan hadis tersebut
berstatus gharib. Namun bila sanadnya tidak gharib, mungkin matanya yang
gharib. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya ditujukan pada matannya. Apabila
matan diketahui gharib, maka hadisnya pun menjadi gharib pula.
Contoh hadis gharib pada sanad, antara lain:
tujuh 48‫ثؼح ايؼـاء‬‰‰‫ف س‬ٙ ‫اءكم‬ٚ ‫ ٗؼ ٔاحذ ٔانكهفش‬‰‫ف ي‬ٙ ‫اءكم‬ٚ ‫ؤي‬ ٍ ً ‫ان‬
”dalam makan kafir orang sedang usus, satu dalam makan mukmin “Orang usus
Menurut Al-Hafidz Ibn Rajab, bahwa matan hadis ini melalui beberapa
jalur diketahui berasal dari Nabi. Bukhari dan Muslim meriwayatkannya dari Abu
Hurairah dan dari Ibn Umar, dari Nabi. Adapun hadis Abu Musa Al‟Asy‟ari yang
diriwayatkan oleh Muslim melalui Kuraib menyendiri dalam meriwayatkan hadis
ini.49
Hadis gharib dinamakan pula dengan hadis fard, baik menurut bahasa
maupun menurut istilah. Namun dari segi penggunaannya, kedua jenis hadis
tersebut dapat dibedakan. Pada umumnya istilah fard diterapkan untuk fard mutlak
(gharib mutlak), sedang gharib diterapkan untuk fard nisbi (gharib nisbi). Dari
segi kata kerjanya, para muhaddisin tidak membedakan, seperti penggunaan kata-
kata ‫ فا ٌل ّت ذفشر‬sama dengan 50. ‫فا ٌل ّت اغشب‬
Hadis gharib ini ada yang shahih, hasan dan dha‟if tergantung pada
kesesuaiannya dengan kriteria shahih, hasan, atau dha‟ifnya.

47
Lihab kitab Al Da’awat, dengan nomor hadis 6.406 dalam Imam Bukhari, op.cit., jilid IV, juz &, hlm 215-
216 dan Muslim juz 8, op.cit,hlm 70
48
Ibid, jilid III, juz 6, dalam Kitab Al-Ath’immah, dengan nomor hadis 5.393.
49
Nur Al-Din ‘Itr, loc.cit.
50
Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasan, op.cit.,hlm 93.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Ulama berbeda pendapat mengenai pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitasnya
ini. Para Ahli Ada yang mengelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu hadis mutawatir, hadis
masyhur, dan hadis ahad. Dan ada juga yang membagi menjadi 2 bagian, yaitu hadis
mutawatir dan hadis ahad.
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Adapun syarat-
syarat dari hadis mutawatir, yaitu:
1. Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
2. Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya
3. Berdasarkan tanggapan panca indra
Hadis mutawatir di bagi menjadi dua, yakni lafdzi dan ma‟nawi namun ada juga
yang membaginya menjadi tiga, yakni ditamah dengan mutawatir „amali
Sedangkan hadis ahad adalah khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai
batasan jumlah perawi hadis mutawatir.
Hadis ahad dibagi menjadi dua, yakni masyhur dan ghair masyhur. Dan ghair
masyhur terbagi menjadi dua, yakni „aziz dan ghaib

DAFTAR PUSTAKA

Suprapta, Munzier. 2002. Ilmu Hadis.PT Raja Grafindo Persada. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai