KELOMPOK 5
M Rozikin Efendi
Ardi Saputra
Nirmawanisa Mutaharoh
FAKULTAS TARBIYAH
IAI HAMZANWADI NW LOMBOK TIMUR
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah atas limpahan rahmat karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas akademik yaitu makalah pada mata kuliah “STUDI AL
HADIST”. Kehadiran makalah ini kami harapkan dapat membantu dan menambah
wawasan kita bersama terkait dengan pembelajaran PAI, menambah modal kita
dalam persiapan mengajar dan mendidik untuk generasi masa mendatang.
Tak lupa kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas segenap rekan-
rekan yang membantu baik dari segi ilmu, pikiran, ide, tenaga dan waktunya yang tak
mampu kami balas. Semoga itu semua tercatat sebagai amal ibadah yang diterima di
sisi Allah SWT. Jika terdapat kesalahan yang keliru dalam menyusun makalah ini,
kami dengan rendah hati memohon maaf karna kami dalam proses belajar guna
meningkatkan mutu dan karakter kami.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................i
DAFTAR ISI.................................................................ii
PENDAHULUAN...............................................................1
1. Latar belakang............................................................1
2. Rumusan masalah...........................................................1
3. Tujuan........................................................................1
PEMBAHASAN........................................................2
PENUTUP.................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadits sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur‟an untuk
memberi petunjuk kepada kehidupan umat manusia. Apa yang tidak diuraikan dalam Al-
Qur‟an akan dijelaskan secara gambling dalam sebuah hadis, karena pada dasarnya hadist
merupakan perkataan, ajaran, perbuatan Rasulullah SAW.
Ilmu hadis telah menyedot perhatian ulama sejak awal perkembangan Islam
hingga saat ini, bahkan khasanah Islam lebih banyak dipenuhi kitab-kitab hadis
disbanding misalnya kitab tafsir. Ini menunjukkan pentingnya kedudukan hadits dalam
Islam.
Kita sebagai seorang muslim tidak menyakinina bahwa semua hadis adalah
shahih, namun juga tidak benar bila menganggap bahwa semua hadits adalah palsu
sebagaimana anggapan para orientalis. Untuk mengetahui tentang kedudukan/martabat
suatu hadits dimata hukum yang selanjutnya dari hadits tersebut bagaimana dapatnya
dijadikan sandaran/landasan hukum maka perlu difahami tentang keadaan suatu hadits
baik dinilai dari sifat perawinya, sanadnya, maupun matan dari hadits itu.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pembagian Hadits jika ditinjau dari segi kuantitasnya?
2. Apa pengertian, syarat-syarat, dan pembagian dari Hadis Mutawatir itu?
3. Apa Pengertian dan macam-macan hadis Ahad dan pembagian-pembagiannya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pembagian Hadis ditinjau dari segi kuantitasnya
2. Untuk mengetahui pengertian, syarat-syarat, dan pembagian dari Hadis Mutawatir
3. Untuk mengetahui pengertian dan macam-macam Hadis Ahad dan pembagian-
pembagiannya
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ahmad bin Muhammad Al-Fayyumi, Al-Misbah Al-Munir fi Gharib Al-Syarh Al-Kabir li Al-Rafi’i, juz II, (Beirut: Dar
Al-Kutub Al-’Ilmiyah, 1398 H/1978 M) hlm. 321.
2
Mahmud Al-Thahhan, Taisir Mushthalah Al-Hadits, (Beirut: Dar Al-Qur’an Al-Karim 1399 H/1979 M) hlm. 18.
3
Ajjaj, Al-Khathib, Ushul Al-Hadits ‘Ulumul Wa Musthalahuhu, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1981), Cet. Ke4 hlm. 301.
4
Nur Al-Din ‘itr, Manhaj Al-Naqdi fi ‘Ulum Al-Hadis, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1979), hlm. 70. Bandingkan dengan
penjelasan Muhammad Mahfudz ibn Abdullah Al-Tirmisi, Manhaj Dzawi Al-Nazhar, (Jeddah: Al-Haramain, 1974),
Cet. Ke-3, hlm. 69.
2. Syarat-syarat Hadis Mutawatir
Menurut ulama mutaakhirin, ahli ushul, suatu hadis dapat ditetapkan sebagai
Hadis Mutawatir, bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Diriwayatkan oleh Sejumlah Besar Perawi
Hadis mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi yang
membawa kepada keyakinan bahwa mereka itu tidak mungkin bersepakat
untuk berdusta. Mengenai masalah ini para ulama berbeda pendapat. Ada
yang menetapkan jumlah tertentu dan ada yang tidak menentukan jumlah
tertentu. Menurut ulama yang tidak mensyaratkan jumlah tertentu, yang
penting dengan jumlah itu, menurut adat, dapat memberikan keyakinan
terhadap apa yang diberitakan dan mustahil mereka sepakat untuk berdusta.5
Sedangkan menurut ulama yang menetapkan jumlah tertentu, mereka
masih berselisih mengenai jumlah tertentu itu. Al-Qadhi Al-Baqillani
menetapkan bahwa jumlah perawi hadis agar bisa disebut hadis mutawatir
tidak boleh berjumlah empat, lebih dari itu lebih baik. Ia menetapkan
sekurang-kurangnya berjumlah 5 orang, dengan mengqiyaskan dengan
jumlah nabi yang mendapat gelar Ulul „Azmi.
Al-Istakhary menetapkan yang paling baik minimal 10 orang, sebab
jumlah 10 itu merupakan awal bilangan banyak. Ulama lain menentukan 12
orang, mendasarkan pada firman Allah:
) 21 5: /م ٍىم اث ًى ػشس و ٍقببَبؼثىب(انمئدة
... Dan telah Kami angkat di antara mereka 12 orang pemimpin. (QS. Al-
Maidah (5): 12)
Sebagian ulama menetapkan sekurang-kurangnya 20 orang, sesuai dengan
firman Allah:
)55 :8/“ االوفبل( مبئ ٍته ٌغهبُا صبب َسن ػش َسن مىكم ٌكه انJika ada
dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka dapat
mengalahkan dua ratus orang musuh... (QS. Al-Anfal (8): 65)
Ayat ini memberikan sugesti kepada orang-orang mukmin yang tahan uji,
yang hanya dengan jumlah 20 orang saja mampu mengalahkan 200 orang
kafir.Ada juga yang mengatakan bahwa jumlah perawi yang di perlukan
dalam hadis mutawatir minimal 40 orang, berdasarkan firman Allah SWT.:
yang 8::5) / (االوفبل4انىب حسبك هلال َمه اتبؼك مه انمؤمىٍه
ً ٌ بٌٍأب
mukmin orang-orang dan Allah cukuplah Nabi, “Wahai 64) (8): Al-Anfal
.mengikutimu”.(QS
Saat ayat ini diturunkan jumlah umat Islam baru mencapai 40 orang. Hal
ini sesuai dengan hadis riwayat Al-Tabrany dan Ibn „Abbas, ia berkata:
5
Al-Tirmisi, op.cit., hlm. 69-70, dan Ahmad Muhammad Al-Syakir, Syarh Alfiyah Al-Suyuthi fi ‘ilm Al-Hadis, (Beirut:
Dar Al-Ma’rifah, tt), hlm. 46.
“Telah masuk Islam bersama Rasulullah sebanyak 33 laki-laki dan 6 orang
perempuan. Kemudian „Umar masuk Islam, maka jadilah 40 orang Islam”.6
Selain pendapat tersebut, ada juga yang menetapkan jumlah perawi dalam
Hadis mutawatir sebanyak 70 orang, sesuai dengan firman Allah SWT.:
Dan Nabi Musa memilih tujuh puluh orang dari kaumnya untuk
(memohon taubat dari Kami) pada waktu yang telah kami tentukan. (QS.
Al-A‟raf (7):155)
6
Abd Al-Fatah Al-Qdi, Asbab Al-Nuzul ‘an Al-sahabah wa Al-Mufassirin, (Beirut: Dar Al-Nadwah Al-Jadidah, 1987),
hlm. 112. Lihat juga penjelasan Al-Suyuthi, op.cit., hlm. 178.
7
Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buti, Mabahis Al-Kitab wa Al-Sunnah min ‘Ilmi, (Damaskus: Mahfudzah li
Jami’ah), hlm. 17-18. Lihat juga Hajar Al-Asqalany, op.cit., hlm. 20-30
8
Jalal Al-Din Ismail, Buhuts fi Ulum Al-Hadits, (Mesir: Maktabah Al-Azhar,t.t.) hlm. 114
3. Pembagian Hadis Mutawatir
Menurut sebagian ulama, hadis mutawatir itu terbagi menjadi dua, yaitu
mutawatir lafdzi dan mutawatir ma‟nawi.9 Namun ada juga yang membaginya
menjadi tiga, yakni ditambah dengan hadis mutawatir „amali.10
a. Mutawatir Lafdzi
Yang dimaksud dengan hadis mutawatir lafdzi adalah:
11
مبتُاتست َزاٌتً ػهى نفظ َاحد
“Hadis yang mutawatir periwayatannya dalam satu lafzi”
Ada yang mengatakan bahwa mutawatir lafdzi adalah:
12
مبتُاتس نفظً َمؼىبي
b. Mutawatir Amali
Adapun yang dimaksud dengan hadits mutawatir „amali adalah :
9
Mahmud Al-Tahhan, op. cit., hlm. 19, lihat juga dalam Nur Al-Din ‘Itr, op. cit., hlm. 405, Al-suyuti Tadrib Al-Rawi,
op. cit., hlm. 180
10
Ahmad Muhammad Al-Syakir, loc. cit.
11
Nur Al-Din ‘Itr, loc. cit.
12
Mahmud Al-Tahhan, loc. cit.
13
Hasbi As-Shidqi, Pokok-pokok Ilmu Dirasah Hadis, jilid pertama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), hlm. 61.
انىب صهى هلال ػهًٍ مسهم فؼهً اَ امس ًبً مبػهم مه اندٌه ببنض َسزة َتُاتس ٍبه انمسه ٍمه ان
ُ
َك ٍغس ا444ري ٌَ ذن444ق ان444ف ػــهًٍ وىطب444ع ثؼ ٌس444 ٍححب اوطببقب االجمب444ص
14
“Sesuatu yang diketahui dengan mudah, bahwa dia termasuk urusan agama
dan telah mutawatir antara ummat Islam, bahwa Nabi Muhammad saw.
Mengerjakannya, menyuruhnya, atau selain dari itu. Dan pengertian ini sesuai
dengan ta‟rif ijma‟.”
Macam hadits mutawatir „amali ini banyak sekali jumlahnya, seperti hadis
yang menerangkan waktu shalat, rakaat salat, shalat jenazah, shalat „id, tata
cara shalat, pelaksanaan haji, kadar zakat harta, dan lain-lain.
C. Hadits Ahad
1. Pengertian Hadis Ahad
Al-Ahad dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid atau satu. Dengan demikian
khabar wahid adalah suatu berita yang disampaikan oleh satu orang.15
Sedangkan yang dimaksud dengan hadits ahad menurut istilah, banyak
didefinisikan para „ulama, antara lain sebagai berikut:
ٍُٛ ف انكثشج يثهغ انخثثش انً ٕراذش ٕساء كاٌ انًخثش ٔاحذ ٔاٙ يانى ذثهغ َمه ّر
ٛ اث ٔا ثالثا ٔا استؼح ٔا ًخسح ٔا
انىغش
16
االػذاد ٍي رانكٙ“ خثشانً ٕراذش ٗف ٓتا دخم انخثش تا ٌ الذشؼش انرKhabar
yang jumlah perawinya tidak mencapai batasan jumlah perawi hadits, baik perawi itu
satu, dua, tiga, empat dan seterusnya yang tidak memberikan pengertian bahwa
jumlah perawi tersebut tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir”. Ada
juga ulama yang mendefinisikan hadits ahad secara singkat, yakni hadits yang
tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir17, hadits selain mutawatir18 , atau
hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada sumbernya
(Nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian zhanni dan tidak sampai kepada
qath‟I dan yaqin.19
Dari beberapa definisi di atas, jelaslah bahwa di samping jumlah perawi hadits
ahad tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir, kandungannya pun
bersifat zhanny dan tidak qath‟i.
Kecenderungan para ulama mendefinisikan hadits ahad seperti di atas, karena
dilihat dari jumlah perawinya ini. Hadits dibagi menjadi dua, yaitu hadits mutawatir
dan hadits ahad. Pengertian ini berbeda dengan pengertian hadits ahad menurut
ulama yang membedakan hadits menjadi tiga yaitu hadits mutawatir, masyhur dan
14
Ahmad Muhammad Al Syakir, op.cit, hlm. 60.
15
Mahmud Al Thahhan, op.cit., hlm. 21.
16
Hasbi As Siddiqi, op.cit., hlm. 32.
17
Mahmud Al Thhan, loc. Cit.
18
Ibnu Hajar Al Asqalani, jilid I, op.cit., hlm. 51.
19
Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buti, Mabahits Al Kitab wa Al Sunnah min ‘Ilm Al Ushul, (Damaskus: Mahfuzhah
Li Al Jamiah, t.t) hlm. 17.
ahad. Menurut mereka (ulama yang disebut terakhir ini) bahwa yang disebut dengan
hadits ahad ialah :
ٕ فشف ششٔط انً ٕٓشس
tidak jumlahnya 20ٔايراذش ٕ يا ٔساِ ا ٕناحذ ٔااالثُاٌ فاكثش يًا نى
ّٛ ذرا
yang lebih, atau orang dua satu, oleh diriwayatkan yang “Hadits mutawatir”. hadits
dan masyhur hadits persyaratan memenuhi
Muhammad Abu zahrah medefinisika sebagai berikut :
dari diterima lebih 21ف ششٔط انً ٕٓشس
ّٛ را فشٕٚ ٔسهى ٔالّٛانشسل ص ٗه هلال ػه ٕ ش ا ٕناحذ ٔا االثًُا ٌ ٔا االكثش ٍػّٚٔٚ كم خثش
atau orang dua satu, oleh diriwayatkan yang khabar “Tiap-tiap masyhur”. hadits
persyaratan memenuhi tidak dan saw Rasulullah
2. Pembagian Hadis Ahad
Ulama ahli scara garis besarnya membagi hadits ahad menjadi dua, yaitu masyhur
dan ghairu masyhur. Ghairu Masyhur dibagi menjadi dua, yaitu aziz dan ghaib.
a. Hadis Masyhur
Menurut bahasa ialah sesuatu yang sudah tersebar dan popular. Sedangkan
menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain menurut ulama ushul yaitu
22
ِْا‰‰‰ياس
ٔ حاتح ٍي‰‰‰‰ى تؼــــذ ٍئ انص
“hadits yang diriwayatkan dari sahabat, tetapi bilangannya tidak sampai ukuran
bilang mutawatir, kemudian baru mutawatir setelah sahabat dan demikian pula
setelah mereka”
Ada juga yang mendefinisikan hadits masyhur secara ringkas yaitu
“Hadits yang mempunyai jalan yang terhingga, tetapi lebih dua jalan dan tidak
sampai kepada batas hadits ang mutawatir”.
)25انثخاس
ٖ ِارا جاء احذكى ان ًٕجػح فانىغرسم ( ٔسا
20
Ajjaj Al Khattib, Ushul Al Hadits, op.cit., hlm. 302.
21
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Al Fiqh, (Mesir: dar Al Fikr Al ‘Araby, 1377 H/ 1958M), hlm. 108.
22
Ajjaj Al-Khatib, op.cit., hlm 302. Pengertian serupa diberikan oleh Abd Al-Wahab Khallaf, (Mesir: Al-Da’wat Al-
islamiyah Syabbab Al-Azhar, 1968), cet. Ke-7, hlm 41., dan muhammad Abu Zahrah, Ushul AlFiqh,(Kairo: Dar Al-Fikr
Al-Arabi, 1985),hlm. 108
23
Al-Suyuti, tadrib Al-Rawi, op.cit., hlm 173.
24
Nur Al-Din ‘Itr,loc.cit
25
Hadis nomor 877 dalam Bab Fadhl Ghasl Yaum Al-Jum’at, Kitab Al-Jum’at, dalam Imam AL-Bukhori, op.cit, Jilid I,
Juz 1, hlm. 238, dengan urutan sanad: diterima dari Abdullah Ibn Yusuf, dari Malik Ibn Nafi’, dari Abdullah Ibn
Umar.
“Barang siapa yang hendak pergi melaksanakan shalat jumu‟ah, hendaknya ia
mandi”. (HR. Bukhari)
“Jangan melakukan perbuatan yang berbahaya (bagi diri dan orang lain)”
35
Imam aL-bukhari, op.cit.,hlm 11(dalam hadis nomor 15). Lihat juga muslim, jilid I, op.cit.,hlm 49. Dalam shahih
Al-Bukhari urutan sanadnya sebagi berikut: dari Ya’qub Ibn Ibrahim, Ibn ‘Ulaiyat, Abd Al-Aziz Ibn sYuhaib dari
Annas Ibn Malik dan Qatadah
36
Nur Al-Din ‘Itr, op.cit.,hlm 396
Ibnu Hajar mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut:
37
ٔا ّر ياذفشدٚ “ انسُذ ّت انرفشد ٔلغ ٕيضغ ٘ا ٗف ٔاحذ شخص تشHadis yang
dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkannya,
dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi”.
Ada juga yang mengatakan bahwa hadis gharib adalah hadis yang
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya tanpa
ada orang lain yang meriwayatkannya.38
Penyendirian perawi dalam meriwayatkan hadis itu bisa berkaitan dengan
personaliannya, dan tidak ada orang yang meriwayatkan selain perawi itu sendiri,
yakni bahwa sifat atau keadaan perawi-perawi berbeda dengan sifat dan keadaan
perawi-perawi lain yang juga meriwayatkan hadis itu. Disamping itu,
penyendirian seorang perawi bisa terjadi pada awal, tengah atau akhir sanad.
Dilihat dari bentuk penyendirian perawi seperti dimaksud diatas, maka
hadis gharib digolongkan menjadi dua, yaitu gharib mutlak dan gharib nisbi.
Dikategorikan sebagai gharib mutlak apabila penyendirian itu mengenai
personalianya, sekalipun penyendirian tersebut hanya terdapat dalam satu
thabaqat. Penyendirian hadis gharib mutlak ini harus berpangkal ditempat ashlu
sanad,39 yakni tabi‟in, bukan sahabat. Sebab yang menjadi tujuan
memperbincangkan penyendirian perawi dalam hadis gharib di sini ialah untuk
menetapkan apakahperiwayatnya diterima atau ditolak. Sedangkan mengenai
sahabat tidak perlu diperbincangkan, sebab secara umum dan diakui oleh para
jumhur ulama‟ ahli hadits, bahwa sahabat-sahabat dianggap adil semuanya.
Penyendirian perawi dalam hadis gharib dapat terjadi pada tabi‟iy al
tabi‟in atau seluruh perawi pada tiap-tiap thabaqat.
Contoh hadis gharib mutlak antara lain adalah:
40
ٔالء‰‰‰‰‰‰ة كهحًح نحًح ا ٕن‰‰‰‰‰‰اع انُس‰‰‰‰‰‰الثٚ الةْٕٚ
“Kekerabatan dengan jalan memerdekakan, sama dengan kekerabatan dengan
nasab, tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan”.
Hadis ini diterima dari Nabi Ibnu Umar dan dari Ibn Umar hanya
Abdullah Ibn Dinar saja yang meriwayatkannya. Abdullah Ibn Dinar adalah
seorang tabi‟i yang dapat dipercaya.
Sedangkan hadis gharib yang tergolong pada gharib nisbi adalah apabila
penyendiriannya itu mengenai sifat atau keadaan tertentu dari seorang rawi.
Penyendirian seorang rawi seperti ini, bisa terjadi berkaitan dengan keadilan dan
kedhabitan (ketsiqqahan) perawi atau mengenai tempat tinggal atau kota
tertentu.41
37
Ajjaj AL-Khatib, op.cit.,hlm 360
38
Muhammad Alwi Al-Maliki Al-Hasani, op.cit.,hlm 91
39
Ashl As-Sanad ialah pangkal pulang dan kembalinya sanad.
40
Muhammad Alwi Al-Maliki AL-Hasani, loc.cit.
41
Ibid.hlm. 91-92.
Contoh hadis gharib nisbi berkenaan dengan ketsiqqahan perawi antara lain
adalah:
كان يقراء به رسول هلال صلى هلال عليه وسلم في االضحى والفطر بق والقران المجيد واقتربت الساعة وانشق القمر
42
)(مس((((لم رواه
“Konon Rasulullah pada hari raya qurban dan hari raya fitrah membaca Surat Qaf
dan surat al-Qamar”. (HR. Muslim)
Hadis tersebut diriwayatkan melalui dua jalur, yakni jalur Muslim dan
jalur Al-Daruqutni. Melalui jalur Muslim terdapat rentetan sanad: Muslim, Malik,
Dumrah bin Sa‟id, „Ubaidillah, dan Abu Laqid Al-Laisi yang menerima langsung
dari Rasulullah. Sementara itu melalui jalur Al-Daruqutni terdapat rentetan sanad:
Al-Daruqutni, Ibn Lahi‟ah, Khalid bin Yazid, „Urwah, „Aisyah yang langsung
diterima dari nabi.
Pada rentetan sanad yang pertama, Dumrah bin Sa‟id Al-Muzani disifati
sebagai seorang muslimyang tsiqqah. Tidak seorang pun dari rawi-rawi tsiqqah
yang meriwayatkannya selain dia sendiri. Ia sendiri yang meriwayatkan hadis
tersebut dari Ubaidillah dari Abu Waqid Al-Laisi. Ia disifatkan menyendiri
tentang ke-tsiqqahan-nya.43 Sementara melalui jalur kedua, Ibn Lahi‟ah yang
meriwayatkan hadis tersebut dari Khalid bin Yazid dari Urwah dari „Aisyah. Ibn
Lahi‟ah disifati sebagai seorang rawi yang lemah.44
Contoh hadis gharib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal tertentu,
antara lain adalah:
45
)ذسش ٔيا انكراب تفاذحح َمشا اٌ اي َشاٛ (ِت ٔسا
ٕ ٔ “ دٔاد اKami
diperintahkan (oleh Rasul SAW) agar membaca Al-Fatihah dan surat yang mudah
(dari Al-Qur‟an)”. (HR. Abu Daud)
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad Abu Al-Walid Al-
Tayalisi, Hammam, Qatadah, Abu Nadrah, dan Sa‟id. Semua rawi ini berasal dari
Basrah dan tidak ada yang meriwatkannya dari kota-kota lain.
Selain pembagian hadis gharib seperti tersebut diatas, para ulama juga
membagi dua golongan, yakni gharib pada sanad dan matan, gharib pada sanad
saja. Pembagian hadis gharib menjadi dua bagian ini bila ditinjau dari segi letak
kegharibannya.46
Yang dimaksud gharib pada sanad dan matan adalah hadis yang hanya
diriwayatkan melalui satu jalur, seperti sabda Rasulullah SAW.
42
Lihat Kitab Sholat Al-Idain, hadis nomor 1977 dalam Imam Muslim, shahih Muslim.
43
Ibid.
44
Untuk lebih jelasnya, lihat Ibn Hajjar Al-Ashqalany, tahdzib Al-Tahdzib, jilid V, (Bairut: Dar Al-Fikr)hlm. 374-379,
dan AL-Dhahabi, Al-Kasyif, jilid II,(Kairo: Dar Al-Kitab Al-Muhaddasa, t.t), hlm 122.
45
Lihat dalam kitab AL-Shalat hadis nomor 818 dalam Abu Daud, sunan Abu Daud, juz I(Syuriah: Dar Al-Hadis,
t.t),hlm 511.
46
Nur Al-Din ‘Itr, op.cit., hlm 379-400.
ظٛ حثثراٌ ٗان انش ً ٍح سثحاٌ هلال انٛ ٌنًزاٛ ف اٙ ٌثمهراٛ ٌػه انسا
ؼى سثحاٌ هلال ٔت ًح ِذ ٗ ٌففراٛ كهًراٌ خ
47
)ِٔا‰‰‰‰‰اس ٔس‰‰‰‰‰انثخ
ٖ هى‰‰‰‰‰(يس
“Ada dua kalimat yang disenangi oleh Allah, ringan diucapkan dan memperberat
timbangan, yaitu kalimat “Subhana Allah wa bihamdih Subhana Allah il‟adzim”.
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim dengan sanad Muhammad
bin Fudhail, Abu Zur‟ah „Umarah. Abu Zur‟ah, dan Abu Hurairah. Imam
Tirmidzi menyatakan bahwa hadis ini adalah gharib, karena hanya rawi-rawi
tersebutlah yang meriwayatkannya, tidak ada rawi lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan gharib pada sanad saja adalah hadis
yang telah populer dan diriwayatkan oleh banyak sahabat, tetapi ada seorang rawi
yang meriwayatkannya dari salah seorang sahabat yang lain yang tidak populer.
Periwayatan hadis melalui sahabat yang lain seperti ini disebut sebagai hadis
gharib pada sanad.
Bila suatu hadis telah diketahui sanadnya gharib, maka matannya tidak
perlu diteliti lagi, sebab keghariban pada sanad menjadikan hadis tersebut
berstatus gharib. Namun bila sanadnya tidak gharib, mungkin matanya yang
gharib. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya ditujukan pada matannya. Apabila
matan diketahui gharib, maka hadisnya pun menjadi gharib pula.
Contoh hadis gharib pada sanad, antara lain:
tujuh 48ثؼح ايؼـاء‰‰ف سٙ اءكمٚ ٗؼ ٔاحذ ٔانكهفش‰ف يٙ اءكمٚ ؤي ٍ ً ان
”dalam makan kafir orang sedang usus, satu dalam makan mukmin “Orang usus
Menurut Al-Hafidz Ibn Rajab, bahwa matan hadis ini melalui beberapa
jalur diketahui berasal dari Nabi. Bukhari dan Muslim meriwayatkannya dari Abu
Hurairah dan dari Ibn Umar, dari Nabi. Adapun hadis Abu Musa Al‟Asy‟ari yang
diriwayatkan oleh Muslim melalui Kuraib menyendiri dalam meriwayatkan hadis
ini.49
Hadis gharib dinamakan pula dengan hadis fard, baik menurut bahasa
maupun menurut istilah. Namun dari segi penggunaannya, kedua jenis hadis
tersebut dapat dibedakan. Pada umumnya istilah fard diterapkan untuk fard mutlak
(gharib mutlak), sedang gharib diterapkan untuk fard nisbi (gharib nisbi). Dari
segi kata kerjanya, para muhaddisin tidak membedakan, seperti penggunaan kata-
kata فا ٌل ّت ذفشرsama dengan 50. فا ٌل ّت اغشب
Hadis gharib ini ada yang shahih, hasan dan dha‟if tergantung pada
kesesuaiannya dengan kriteria shahih, hasan, atau dha‟ifnya.
47
Lihab kitab Al Da’awat, dengan nomor hadis 6.406 dalam Imam Bukhari, op.cit., jilid IV, juz &, hlm 215-
216 dan Muslim juz 8, op.cit,hlm 70
48
Ibid, jilid III, juz 6, dalam Kitab Al-Ath’immah, dengan nomor hadis 5.393.
49
Nur Al-Din ‘Itr, loc.cit.
50
Muhammad bin Alwi Al-Maliki Al-Hasan, op.cit.,hlm 93.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ulama berbeda pendapat mengenai pembagian hadis ditinjau dari segi kuantitasnya
ini. Para Ahli Ada yang mengelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu hadis mutawatir, hadis
masyhur, dan hadis ahad. Dan ada juga yang membagi menjadi 2 bagian, yaitu hadis
mutawatir dan hadis ahad.
Hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah besar orang yang
menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. Adapun syarat-
syarat dari hadis mutawatir, yaitu:
1. Diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi
2. Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya
3. Berdasarkan tanggapan panca indra
Hadis mutawatir di bagi menjadi dua, yakni lafdzi dan ma‟nawi namun ada juga
yang membaginya menjadi tiga, yakni ditamah dengan mutawatir „amali
Sedangkan hadis ahad adalah khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai
batasan jumlah perawi hadis mutawatir.
Hadis ahad dibagi menjadi dua, yakni masyhur dan ghair masyhur. Dan ghair
masyhur terbagi menjadi dua, yakni „aziz dan ghaib
DAFTAR PUSTAKA