Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KESAHIHAN SANAD HADITS

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata kuliah : Studi Kritik Hadist

Dosen Pengampu : Ulin Niam Masruri, MA

Disusun Oleh :

1. Miska Taliya (2004026066)


2. Aulia Aizzatun Niswah (2004026069)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR'AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN HUMANIORA

UIN WALISONGO SEMARANG

2020

1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil Alamin segala Puji bagi Allah SWT.Yang Telah melimpahkan
Rahmat, hidayah dan karunia-Nya, sebagai kita dapat menyelesaikan makalah ini diwaktu
yang tepat,Dan sholawat serta salam juga kita haturkan kepada Rasulullah Saw.
Pada kesempatan kali ini, Alhamdulillah kami berhasil menyelesaikan makalah dengan
judul "kesahihan sanad hadis".makalah ini menjelaskan kaidah-kaidah kesahihan sanad dalam
setiap hadist Rasulullah Saw.sehingga hadist tersebut tergolong dalam kategori hadist yang
shohih.
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Kritik
Hadist,disamping itu juga untuk meminimalisir ketidakbenaran hadist, dikarenakan ketidak
shohihah sanad dan matan hadits.
Dari penulis,kami mengucapkan terima kasih kepada Bpk.Ulin Niam Masruri selaku
dosen pengampu mata kuliah Studi Kritik Hadist.
Kami juga berterima kasih kepada semua pihak yang sudah berpartisipasi dalam perkuliahan
ini, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.dan semoga makalah ini
bermanfaat bagi para pembaca.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................II
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….III
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………4
I.A Latar Belakang Masalah…………………………………………………………..…….4
I.B Rumusan Masalah………………………………………………………………………5
I.C Tujuan…………………………………………………………………………………..5
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………….6
II.A Kaidah Kesahihan Sanad Hadis……………………………………………………….9
II.B Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitas dan Kuantitas Sanadnya…………………….9
II.C Langkah Penelitian Sanad Hadis……………………………………………………….9
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………….11
III.A Kesimpulan…………………………………………………………………………….11
III.B Saran …………………………………………………………………………………..12

3
BAB I
PENDAHULUAN

I.A Latar Belakang Masalah


Hadis merupakan sumber Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Al-Qur’an di turunkan
langsung oleh Allah SWT melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW yang kemudian di
ajarkan dan di dakwahkan kepada umatnya, tetapi sebagian besar dari ayat-ayat Al-Qur’an ini
masih bersifat global. Maka dari itu, hadis sebagai sumber hukum kedua memiliki salah satu
fungsi yaitu untuk menjelaskan secara lebih rinci apa-apa yang belum terdapat di Al-Qur’an.
Semisal saja di dalam Al-Qur’an ada perintah untuk melaksanakan sholah, zakat, puasa, dan
ibadah lainnya, namun di dalam al-Qur’an belum dijelaskan secara terperinci tentang
bagaimana cara melaksanakannya, syarat-syaratnya, dan penjelasan-penjelasan lainnya
mengenai hal-hal tersebut. Maka dari itu, di butuhkan penjelasan dari Nabi Muhammad SAW
sebagai pembawa risalahnya, baik berupa perkataan, perbuatan, atau ketetapannya, yang di
sebut dengan Hadis.

Oleh karenanya, hadis di katakan sebagai sumber hukum Islam yang kedua, namun
walaupun begitu, hadis tidak sama dengan Al-Qur’an. Karena saat Nabi sudah mengajarkan
Al-Qur’an kepada sahabat-sahabatnya, ayat-ayat itu langsung di tulis oleh mereka yang
mampu dan tetap berada di bawah pengawasan Nabi seperti Zaid bin Tsabit, dan lain-lain.
Kemudian ketika Nabi wafat, seluruh ayat-ayat Al-Qur’an sudah selesai di tuliskan walaupun
masih sangat sederhana. Oleh karenanya, keabsahan dan keautentikan Al- Qur’an ini bisa di
pertanggungjawabkan. Berbeda denga hadis, kebenaran hadis dan keabsahan hadis masih
dapat dipertanyakan karena dalam sejarahnya, Nabi mengajarkan hadisnya kepada
sahabatnya melalui tiga cara, yaitu lisan, tertulis atau dikte kepada para ahli, dan demonstrasi
secara praktis. Sejarah ini menunjukkan bahwa sebagian hadisnya sudah di tulis, dan Nabi
pun membolehkan menulisnya dan tidak keberatan karena apapun yang keluar dari lisannya,
perbuatannya, semuanya adalah benar.

Namun, pada kesempatan lain juga Nabi pernah menyatakan larangan menuliskan
apapun selainAl-Quran, tak terkecuali juga dengan hadis. Tetapi walaupun begitu, ulama-
ulama mengartikan larangan Nabi itu hanya terjadi di masa awal Islam karena
kekhawatirannya akan bercampur dengan Al-Qur’an. Baru setelah itu, Nabi membolehkan
kembali untuk menuliskan hadisnya. Walaupun begitu, hadis Nabi ini belum seluruhnya di

4
tulis saat nabi masih hidup, karena banyaknya kendala, misalnya tidak selalu ketika Nabi
berhujjah, Nabi bersama dengan sahabat yang pandai menulis, dan sebegainya.

Lalu hadis-hadis yang sudah diterima para sahabat kemudian disebarkan dengan
penuh kehati-hatian dan di ajarkan kepada tabi’in. Hingga pada akhirnya ketika banyak
terjadi kericuhan antar umat Islam dan terjadi perang shiffin pada abad ke-40 an, banyak
hadis-hadis palsu yang mulai bermunculan yang di sebabkan oleh faktor poitik. Dan
kebenaran hadis ini juga masih dapat di pertanyakan ketika orang yang meriwayatkan hadis
ini adalah orang yang tidak berkualitas seperti tidak adil dan tidak dhabit

Maka dari itu, berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, penelitian-penelitian terhadap


hadis-hadis yang sudah terdapat di dalam kitab-kitab ini masih perlu di lakukan, baik dari
segi sanadnya atau matannya, tujuannya agar diketahui mana yang layak di jadikan hujjah
dan mana yang tidak layak.

I.B Rumusan Masalah

1) Bagaimana kaidah kesahihan sanad hadis

2) Bagaimana klasifikasi hadis berdasarkan kualitas dan kuantitas sanadnya

3) Bagaimana pengaruh keshahihan sanad dalam sebuah hadis

I.C Tujuan

1) Untuk mengetahui kaidah kesahihan sanad hadis

2) Untuk mengetahui klasifikasi hadis berdasarkan kualitas dan kuantitas sanadnya

3) Untuk mengetahui pengaruh keshahihan sanad dalam sebuah hadis

5
BAB II
PEMBAHASAN
II.A Kaidah Kesahihan Sanad Hadits

Untuk meneliti hadis, diperlukan acuan acuan yang digunakan untuk menentukan
kaedah kesahihan hadis. Apabila ternyata hadis yang diteliti bukanlah hadis mutawatir. 7
Ulama hadis sampai abad ke-13H belum memberikan definisi tentang kesahihan hadis secara
jelas. Imam Asy-Syafi‘ilah yang pertama mengemukakan penjelasan yang lebih konkret dan
terurai tentang riwayat hadis yang dapat dijadikan hujjah (dalil). Beliau menyatakan semua
hadis ahad tidak dapat dijadikan hujjah, kecuali memenuhi dua syarat, yaitu: pertama, hadis
itu diriwayatkan oleh orang yang tṡiqah(adil dan ḍabit), kedua, rangkaian riwayatnya
bersambung sampai kepada Nabi Muhammad Saw atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi.

Kaidah kesahihan yang berhubungan dengan sanad hadis pertama-tama yaitu sanadnya
haruslah bersambung, periwayat bersifat adil, dan periwayat bersifat ḍabit. Dari keterangan
kaedah kesahihan hadis tersebut, dapat dijelaskan lebih rinci sebagai berikut:
1. Sanad Bersambung (Ittiṣal al-Sanad).

Kebersambungan sanad dalam periwayatan hadis, artinya bahwa seorang perawi dengan
perawi hadis diatasnya atau perawi dibawahnya terdapat pertemuan langsung (liqā) atau
adanya pertautan langsung dalam bentuk relasi murid-murid, mulai dari awal hingga akhir.

Setiap perawi hadis yang bersangkutan benar benar menerima hadis dari perawi
diatasnya dan begitu juga sebaliknya, sampai dengan perawi pertama.

2. Para Perawi Adil (‘Adālat al-Ruwat).

Dalam memberikan pengertian istilah adil yang berlaku dalam ilmu hadis, ulama berbeda
pendapat. Dari berbagai perbedaan pendapat itu dapat dihimpunkan kriterianya kepada empat
butir.

Penghimpunan kriteria untuk sifat adil adalah:

(1) beragama Islam. Untuk kriteria meriwayatkan hadis di utamakan, juga adakalanya
syarat pertama ini tidak berlaku jika untuk kriteria menerima hadis. Jadi, adakalanya
periwayat tetkala menerima riwayat boleh saja tidak dalam keadaan memeluk agama
islam.asalkan saja tatkala menyampaikan riwayat, da‘i telah memeluk agama Islam;

6
(2) mukalaf. Mencakup balig dan berakal sehat;

(3) melaksanakan ketentuan agama. Maksudnya ialah teguh dalam agama, tidak
berbuat dosa besar, tidak berbuat bid‘ah tidak berbuat maksiat, dan harus berakhlak
mulia; dan

(4) memelihara muru’ah (kesopanan pribadi yang membawa pemeliharaan diri


manusia pada tegaknya kebajikan moral dan kebiasaan-kebiasaan).

Jika seorang perawi tidak termasuk kriteria tersebut diatas bahkan hanya salah satu saja
maka hadisnya adalah hadis yang berkualitas sangat lemah(ḍa’if), yang oleh sebagian
ulama dinyatakan sebagai hadis palsu (hadis mauḍu).

3. Para Perawi ḍabit (ḍawābiṭ al-ruwāt).

Aspek intektualitas (ḍabit) perawi yang dikenal dalam ilmu hadis dipahami sebagai
kapasitas kecerdasan perawi hadis.

Yang dimaksud ḍabit ada dua yaitu:


a) Periwayat yang bersifat ḍabit adalah periwayat yang
Hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya; dan mampu menyampaikan dengan
baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.
b) Periwayat yang bersifat ḍabit adalah periwayat yang mempu memahami dengan
baik hadis yang dihafalnya itu. (Nadhiran, 2014)

4. Kaidah Jarh dan Ta’dil.

Menurut bahasa, kata al-jarh merupakan maṣdar dari kata jaraha—yajruhu—jarhan—


yang artinya melukai,terkena luka pada badan,atau menilai cacat (kekurangan).
Sedangkan menurut istilah, Muhammad Ajaj al-Khathib memberi definisi al-jarh dengan
"Sifat yang tampak pada periwayat hadis yang membuat cacat pada keadilannya atau hafalan
dan daya ingatannya yang menyebabkan gugur, lemah, atau tertolaknya periwayatan.
Sedangkan Al-Adl menurut bahasa berarti sesuatu yang terdapat dalam jiwa bahwa sesuatu
itu lurus. Orangg adil berarti yang diterima kesaksiannya. Ta‘dil pada diri seseorang berarti
menilainya positif. Selain itu, Al-Adl menurut istilah ialah orang yang tidak memiliki sifat

7
yang mencacatkan keagamaan dan keperwiraannya. Sehingga khabar dan kesaksiannya
diterima.

Pertumbuhan ilmu Jarh dan Ta’dil dimulai sejak adanya periwayatan hadis, ini adalah
sebagai usaha ahli hadis dalam memilih dan menentukan hadis shahih.(Subhan, 2013)

5. Sanad Hadis itu terhindar dari syududz, maksudnya adalah suatu hadits yang tsiqat
membantah hadits yang lebih tsiqat dariya.

6. Sanad Hadis itu terhindar dari illat (cacat),  atau terdapat penyakit karena
tersembunyi atau samar-samar yang dapat merusak keshahihan hadits. Dikatakan samar-
samar, karena jika dilihat dari segi dzahirnya, hadits itu terlihat shahih.(Nadhiran, 2014) 

Contoh Hadis yang shohih adalah sebagai berikut:

َ M‫هُ أَ َّن َر ُس‬M‫ َي هَّللا ُ َع ْن‬M‫ض‬


‫ول‬ ِ ‫ ِد هَّللا ِ َر‬M‫ك ع َْن نَافِ ٍع ع َْن َع ْب‬ ٌ ِ‫َح َّدثَنَا َع ْب ُد هَّللا ِ ب ُْن يُوسُفَ أَ ْخبَ َرنَا َمال‬
ٌ ِ‫ك ح و َح َّدثَنَا إِ ْس َما ِعي ُل قَا َل َح َّدثَنِي َمال‬
ِ ِ‫هَّللا ِ ص قَا َل إِ َذا َكانُوا ثَالَثَةٌ فَالَ يَتَنَا َجى ْاثنَا ِن ُدونَ الثَّال‬
‫ث‬
Artinya: “(Kata Bukhari): Telah menceritakan kepada kami, ‘Abdullah bin Yusuf, (ia
berkata) telah mengkhabarkan kepada kami, Malik dari Nafi’, dari Abdullah bahwa
Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila mereka itu bertiga orang, janganlah dua orang (dari
antaranya) berbisik-bisikan dengan tidak bersama yang ketiganya.”

Sanad hadits di atas dikatakan shahih karena dari susunan sanad periwayatnya seperti
ini:
1 ) Bukhari
2 ) Abdullah bin Yusuf
3 ) Malik
4 ) Nafi’
5 ) Abdullah (yaitu Ibnu Umar)
6 ) Rasulullah SAW.

Sanad periwayat ini bersambung dari awal sampai terakhir, dan rawi-rawinya orang-
orang kepercayaan dan dhabith dengan sempurna. Hadits ini tidak terdapat syu-dzudz-nya,
yakni tidak membantah hadits yang derajatnya lebih kuat dan tidak ada illatnya, yaitu
kekeliruan, kesalahan atau lain-lain yang menyebabkan hadits itu cacat. Maka hadits tersebut
mempunyai syarat-syarat sebagai-mana tertera dalam makna shahih yang di jelaskan di atas.

8
II.B Klasifikasi Hadis Berdasarkan Kualitas dan Kuantitas Sanadnya
1) Berdasarkan kualitasnya, klasifikasi hadis terbagi menjadi 4 tingkatan:
a. Hadis Shahih, yaitu adalah hadis dengan tingkatan tertinggi. Dimana suatu hadis
dapat di katakan shahih apabila sudah memenuhi beberapa persyaratan, di
antaranya: sanadnya bersambung, di riwayatkan oleh perawi yang adil, punya
sikap istiqomah, akhlaknya baik, kuat ingatannya, dan terjaga kehormatannya,
kemudian matannya tidak mengandung syadz dan tidak ada sebab yang nyata
untuk mencacatkan hadis.
b. Hadis hasan, yaitu tingkatan di bawah hadis shahih, yang mana di katakan hasan
apabila sanadnya bersambung, periwayatnya adil, tetapi tidak sempurna
ingatannya, namun matannya tidak syadz atau cacat.
c. Hadis Dhaif, yaitu adalah hadis yang sanadnya tidak bersambungdan
periwayatnya adalah orang yang tidak adil serta tidak kuat ingatannya, juga
mengandung cacat atau kejanggalan dalam hadisnya.
d. Hadis Maudhu’, yaitu adalah hadis yang palsu atau di buat-buat, karena dalam
sanadnya di jumpai periwayat yang memiliki kemungkinan berdusta.

2) Berdasarkan kuantitasnya, klasifikasi hadis ini terbagi menjadi 2, yaitu:


a. Hadis Mutawatir, hadis ini di riwayatnya oleh sekelompok orang, yang orang-
orang tersebut tidak mungkin untuk melakukan dusta secara bersama-sama
mengenai hadis tersebut. Mengenai jumlah sanad minimum, terdapat perbedaan
pendapat dari para ulama’, ada yang berpendapat 20, ada juga yang 40.
b. Hadis Ahad, hadis ini di riwayatkan oleh sekelompok orang juga, namun yang
meriwayatkan tidak sampai kepada tingkatan mutawatir.(Wahid & Zaini, 2016)

II.C Pengaruh Keshahihan Sanad Dalam Sebuah Hadis

Sanad artinya adalah sandaran, banyak sekali yang mendefinisikan sanad secara
istilah, salah satunya yang di definisikan oleh sebagian ulama’ bahwa sanad adalah jalan yang
dapat menghubungkan matan hadis kepada Nabi Muhammad SAW.
Sanad ini adalah satu-satunya ilmu pengetahuan dalam mencari sumber berita, yang
mana munculnya sanad ini dahulu adalah ketika terjadinya konflik dan fitnah di kalangan
umat Islam. Jadi sebelumnya, sanad ini belum berkembang namun, dalam persyaratan hadis
secara tidak langsung sudah terdapat sistem sanad.
9
Dalam kitab at-Tahdzib, An-Nawawi mengatakan bahwa ilmu hadis ini terpelihara
oleh orang orang yang adil dalam setiap masanya, maka akan ada golongan orang yang selalu
mendukung hadis kemudian akan menentang perubahan-perubahan yang di masukkan oleh
orang lain.
At-Tsauri bahkan menganggap bahwa sanad adalah alat yang paling menentukan
keshohihan dan kemurnian sebuah hadis. Sebagaiman adanya persyaratan-persyaratan tertentu
yang harus terpenuhi sehingga dapat di katakan sanad itu shahih, maka sesungguhnya
kekuatan sebuah hadis itu tergantung pada keadaan sanad dan matannya. Jadi jika ada hadis
yang sanadnya lemah, itu dapat menjadi kuat apabila ada sanad lain yang lebih shahih di
dalam kasus yang sama.
Contohnya: Dalam hadis Nabi tentang masalah siwak.

ِ ‫ق َعلَى أُ َّمتِي ألَ َمرْ تُهُ ْم بِالس َِّو‬


‫اك‬ َّ ‫أن أ ُش‬ َ ِ‫ أَ َّن َرسُوْ َل هللا‬: ُ‫ض َي هللاُ َع ْنه‬
َ َ‫ ق‬، ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
ْ َ‫ لَوْ ال‬: ‫ال‬ ِ ‫ع َْن أَبِي هُ َر ْي َرةَ َر‬
َّ ‫ِع ْن َد ُك ِّل‬
(‫صالَ ٍة )رؤاه مسلم ؤ الترمذي‬

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,


“Seandainya tidak memberatkan umatku, aku pasti memerintahkan mereka untuk bersiwak
bersamaan dengan setiap kali shalat.” (H.R. Muslim dan Turmudzi).

Dalam hadis di atas, dapat dilihat ada dua jalan sanad yang berbeda yang sampai kepada
Rasulullah SAW, yaitu Imam Muslim dan Imam Turmudzi.
Urutan sanad yang dari Imam Muslim adalah: Abu Hurairah, Zanad Al-A-raj, Sufyan,
Qutaybah ibnu Said, Umar an-Naqid, Zuhair, Ibnu Harb.
Sedangkan urutan sanad yang dari Imam Tirmidzi adalah: Abu Hurairah, Abu Salamah,
Muhammad ibn ‘Amr, Ubadah ibn Sulaiman, Abu Kuraib. (At-Turmudzi, 1964: 18)
Jadi jika melihat urutan sanadnya, hadis tersebut kurang kuat jika melalui sanadnya
Turmudzi, Karena ada Muhammad ibn Amr dan Abu Salamah yang hafalannya kurang kuat.
Tetapi karena ada sanad lain yang lebih kuat, maka hadis tersebut menjadi shahih.(Sulaiman,
2005)
Dari penjelasan di atas, maka dapat di katakana bahwa sanad merupakan hal yang sangat
penting dalam hadis dan berpengaruh terhadap kualitas hadis.

10
BAB III
PENUTUP

III.A Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa keshahihan sanad
hadis ini sangat berpengaruh bagi kualitas hadis tersebut. Maka dari itu, ada beberapa kaidah
atau persyaratan yang harus di penuhi agar sanad itu dapat di katakan shahih, di antaranya
adalah: sanadnya bersambung, para perawinya adil, para perawinya dhabith, menggunakan
kaidah jarh wa ta’dil, sanadnya terhindar dari syadz, sanadnya terhindar dari illat.

III.B Saran

Demikian makalah yang dapat kami sampaikan, kami menyadari bahwa dalam
pembuatan Makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan, maka dari itu kami
mengharapkan saran dan masukan dari pembaca mengenai makalah ini untuk memperbaiki
makalah ini di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
pada khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Aamiin

11
REFERENSI

Daeng, Ruslan M. (2011). KESHAHIHAN SANAD HADI. Al-Qalam, 17(1), 83-91


Nadhiran, H. (2014). KRITIK SANAD HADIS: Telaâah Metodologis. Jurnal Ilmu Agama
UIN Raden Fatah, 15(1), 91–109.
Ramdan, Kholik M. 2019. Kaidah Keshahihan Hadis Menurut Jumhur Ulama.
https://saranaumrah.id/kaidah-kesahihan-hadist-menurut-jumhur-ulama/ (diakses tanggal
21 Februari 2020)
Subhan, S. (2013). Kritik Sanad. Al-MAJAALIS, 1(1), 25–46.
Sulaiman, M. N. (2005). ISNAD DAN PENGARUHNYA TERHADAP STATUS HADIS
Oleh M. Noor Sulaiman PL STAIN Datokarama Palu, Jurusan Tarbiyah. Hunafa, 2, 97.
Syamsuddin, Sahiron. (2014). KAIDAH KEMUTHASILAN SANAD HADIS. Studi Ilmu-
Ilmu Al-Qur’an dan Hadis, 15(1), 96-110
Wahid, A., & Zaini, M. (2016). Pengantar Ulumul Al-Qur’an & Ulumul Hadis. Banda Aceh.
Yayasan PeNa Banda Aceh

12

Anda mungkin juga menyukai