Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PERSYARATAN PERAWI
DAN PROSES TRANSFORMASI

Disusun guna mempenuhi tugas


Mata Kuliah: Hadits
Dosen Pengampu: Dr. Muchlis Ansori, S.Th. I, M.Pd. I

Disusun Oleh:
1. Arifin Nur Hudha (216121173 )
2. Hanifah Azzahra Mauly (216121193)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS

FAKULTAS ADAB DAN BAHASA


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID
SURAKARTA 2022

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah Puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang telah memberikan kita Rahmat,
Hidayah, serta Inayah-Nya. Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Persyaratan Rawi dan proses transformasi” guna memenuhi tugas dari Mata Kuliah Hadits.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada Baginda Nabi Agung Muhammad SAW. Beserta
Keluarga, Shahabat, dan para pengikut-pengikutnya. yang kita nanti-nantikan Syafa’atnya di
Yaumul Qiyamah nanti Aamiin.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat mengerti dan memahami secara keseluruhan tentang
materi tersebut. Kami selaku penyusun makalah mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak
Dosen Dr. Muchlis Ansori, S.Th. I, M.Pd.I. yang sudah membimbing kami untuk menyelesaikan
makalah ini. Kami juga berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung dan
mendorong kelancaran baik dalam penyusunan maupun dalam proses lainnya.
Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan serta wawasan yang lebih luas kepada
pembaca, walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan banyak sekali kekurangan. Kami
membutuhkan kritik dan saran dari pembaca yang membangun, sehingga kedepannya kami dapat
memperbaikinya dengan sebaik mungkin. Terimakasih.

Surakarta,30 Maret 2022

Tim Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR………………………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………....iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………….……………………. 1
A. Latar Belakang………………………………………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………………. .1
C. Tujuan Pembahasan…………………………………………………………………………... 1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………….. 2
A. Pengertian Rawi……………………………………………………………………………… 2
B. Pengertian Attamul Wada……………………………………………………………………. 3
C. Istilah Periwayatan Hadist…………………………………………………………………… 8
BAB III PENUTUP……………………………………………………………………………. 10
A. Kesimpulan………………………………………………………………………………….. 10
B. Saran………………………………………………………………………………………… 10
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………. 11

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Hadis adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad SAW baik itu
perkataan, ataupun pengakuan beliau. Hadis merupakan sumber hukum Islam yang kedua
setelah Al-Qur’an.Hadis Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadis, terlebih dahulu
melalui proses kegiatan yang dinamai dengan riwayah al-hadis atau ar riwayah,
sedangkan yang meriwayatkan di namakan Rawi.

Rawi dalam ulumul hadits adalah seseorang yang menyampaikan hadits (berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan maupun sifat Rasul) kepada umat Nabi Muhammad
saw. Yang mana seorang rawi itu mempunyai tanggung jawab yang sangat besar terhadap
hadits-hadits Rasulullah, karena apabila seorang rawi itu tidak memiliki syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh para ulama’ hadits, maka hadits yang disampaikannya tidak
diterima atau ditolak.

At tahammul wal al adaa merupakan dua istilah yang tidak asing lagi dalam ilmu
hadits karena keduanya merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan hadits,
oleh karenanya pada kesempatan ini penulis memilih judul yang berkaitan supaya penulis
bisa lebih mengetahui mengenai at tahammul wal al adaa dan kita semua bisa mengetahui
atau lebih akrab lagi dengan istilah-istilah dalam ilmu hadits yang belum kita ketahui,
dengan memahami istilah-istilah dalam periwayatan hadits maka kita akan lebih mudah
dalam memahami ulumul hadits.

B. RUMUSAN MASALAH
1.Apa pengertian dan syarat-syarat perawi hadits?
2. Apa yang dimaksud dengan at-tahammul wal adaa?
3. Apa saja istilah yang berkenaan dengan periwayatan hadist?

C. TUJUAN MAKALAH
1.Untuk mengetahui pengertian dan syarat-syarat perawi hadits
2.Untuk mengetahui yang dimaksud dengan at tahammul wal adaa
3.Untuk mengetahui istilah periwayatan hadits

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. 1.Pengertian Rawi
Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits.
Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan
hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.

2. Syarat-syarat Perawi
syarat syarat mutlak untuk menjadi seorang perawi agar riwayatnya dapat diterima.
Apabila seorang perawi tidak memenuhi seluruh predikat itu maka hadistnya akan ditolak
dan tidak akan dipakai. Menurut para ahli hadist terdapat beberapa syarat mutlak, antara
lain sebagai berikut:
a. berakal
berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk membedakan. Jadi untuk
mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadist, seseorang harus telah memasuki
usia akil balig. Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang mereka dengar pada
masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri.
Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat
kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun.

b. Cermat
Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadist yang dia riwayatkan ternyata cocok
dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, teliti dan terpercaya. tetapi itu
tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadist yang
mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan
tidak sesuai dengan hadist yang mereka riwayatkan, maka kecermatannya masih
diragukan.
c. Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan
agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-
khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan
kewajibannya dan segala yang diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari
larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban
dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan
agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan sifat-

2
sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadistnya diakui
kejujuranya.”
Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi.Jika
masalah kebersihan dapat baru diterima dengan penyaksian dua saksi.Saksi ini baik laki
laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan
dapat adil terhadap dirinya sendiri
d. Muslim
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan
mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau khabar yang berkaitan
dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam.Jadi dia mengemban tanggung
jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun
syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadist, bukan ketika
membawa atau menanggungnya.
B. Penerimaan Hadits
Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan
hadist dari seorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits”
dengan istilah at-tahammul, sedangkan menyampaikan hadits kepada orang lain mereka
istilahkan dengan al aada.
Syarat menerima riwayat hadits, menurut pendapat yang sahih, perawi pada waktu
menerima riwayat hadits tidak disyaratkan harus beragama Islam dan baligh, namun
setidak-tidaknya harus sudah tamyiz. Jadi orang kafir dan anak-anak dinyatakan sah
menerima riwayat hadits, tetapi untuk kegiatan penyampaiannya tidak sah sebelum
masuk Islam dan baligh.
Ada sebagian pendapat menyatakan, bahwa perawi hadits dalam melaksanakan
kegiatan penerimaan riwayat hadits dinyatakan harus baligh pendapat ini tidak benar,
sebab banyak kaum muslimin secara ijma’ menerima atau tidak mempersoalkan riwayat
sahabat, baik diterima sebelum atau sesudah baligh.
Para ulama berbeda pendapat tentang minimal usia disunatkan mendengar hadits:
1. Menurut ulama Syam minimal berumur 30 tahun
2. Menurut ulama Kufah, minimal berumur 20 tahun
3. Menurut ulama Basrah, minimal berumur 10 tahun
4. Untuk masa sekarang yang benar adalah mulai umur sedini mungkin sekiranya yang
bersangkutan sudah mampu mendengarnya, karena semua hadits sudah tercatat dalam
kitab-kitab hadits.
1.Periwayatan hadits

3
Al ada’ ialah menyampaikan atau meriwayatkan hadits kepada orang lain. Oleh
karenanya, ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu
mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits
juga sangat bergantung padanya. Mengingat hal-hal seperti ini, jumhur ahli hadits, ahli
ushul dan ahli fiqh menetapkan beberapa syarat bagi periwayatan hadits, sebagaimana
berikut ini:
a. Islam
Pada waktu meriwayatkan hadits, maka seorang perawi harus muslim, dan menurut
ijma periwayatan kafir tidak sah. Seandainya perawinya seorang fasik saja kita disuruh
bertawaquf, maka lebih-lebih perawi yang kafir.
b. Baligh
Yang dimaksud dengan baligh ialah perawinya cukup usia ketika meriwayatkan hadits,
walaupun penerimaannya sebelum baligh. Hal ini didasarkan pada hadits rasul:
‫رفع القلم عن ثال ثة عن المجنون المغلوب علي عقله حتي يفيق وعن نائم حتي يستيقظ وعن‬
‫الصبي حتي يحتلم‬
Hilangnya kewajiban menjalankan syari’at Islam dari tiga golongan, yaitu orang gila
sampai dia sembuh, orang yang tidur sampai bangun dan anak-anak sampai iamimpi (HR.
Abu Daud dan Nasa’i)
c. ‘Adalah
Yang dimaksud dengan adil (‘adalah) adalah suatu sifat yang melekat pada jiwa
seseorang yang menyebabkan orang yang mempunyai sifat tersebut, tetap taqwa, menjaga
kepribadian dan percaya pada diri sendiri dengan kebenarannya, menjauhkan diri dari
dosa besar dan sebagian dosa kecil, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang mubah, tetapi
tergolong kurang baik dan selalu menjaga kepribadian.
d. Dhabit
Dhabit ialah:
‫تيقظ الراوي حين تحمله وفهمه لما سمعه وحفظه لذ لك من وقت التحمل الي وقت الجاء‬
“Teringat kembali perawi saat penerimaan dan pemahaman suatu hadits yang ia dengar
dan hafal sejak waktu menerima hingga menyampaikan”
Jalannya mengetahui kedhabitan perawi dengan carai’tibar terhadap berita-beritanya
dengan berita-berita yang shiqqah dan memberikan keyakinan. Ada yang mengatakan,
bahwa disamping syarat-syarat sebagaimana disebutkan di atas, antara suatu perawi
dengan perawi lain harus bersambung, hadits yang disampaikan tidak syadz, tidak ganjil
dan tidak bertentangan hadits-hadits yang lebih kuat ayat-ayat al qur’an.

4
2. Metode Penerimaan Hadits dan Penyampaiannya
a. As-Sima’, (‫السماع‬, mendengar)
Yaitu seorang guru membaca hadits baik dari hafalan ataupun dari kitabnya sedang
hadirin mendengarnya, baik majlis itu untuk imla’ ataupun untuk yang lain. Menurut
mayoritas ulama, metode ini berada di peringkat tertinggi. Ada juga yang berpendapat,
bahwa mendengar dari seorang guru disertai dengan menuliskan darinya lebih tinggi
daripada mendengar saja. Sebab sang guru sibuk membacakan hadits, sedang sang murid
menulis darinya. Sehingga keduanya lebih terhindar dari kelalaian dan lebih dekat kepada
kebenaran. Istilah atau kata yang dipakai dalam metode ini: ، ‫ حدثني‬، ‫ حدثنا‬، ‫ سمعنا‬، ‫سمعت‬
‫ أخبرني‬، ‫أخبرنا‬.
Bobot kualitas penggunaan kata-kata ini tidak disepakati oleh ulama, menurut al-
Khatib al-Baghdadi (w 463H/1072 M), kata yang tertinggi adalah kemudian ‫ حدثني‬، ‫حدثنا‬.
Alasannya adalah kata menunjukkan kepastian periwayat mendengar secara langsung
hadits yang diriwayatkannya. Sedangkan menurut Ibn Shalah (w 643-1245M) kata ، ‫حدثنا‬
‫ حدثني‬disatu sisi dapat saja lebih tinggi kualitasnya daripada ‫سمعنا سمعت‬, karena kata bias
berarti guru hadist, tidak khusus menghadapkan riwayatnya kepada penerima riwayat
yang menyatakan sami’tu tadi. Sedangkan kata ‫ حدثني‬,‫ أخبرني‬memberi petunjuk bahwa
guru hadits menyampaikan dan menghadapkan riwayatnya kepada periwayat yang
menyatakan ‫ حدثني‬,‫ أخبرني‬tersebut.
b. Al-Qira’ah ‘ala asy-Syaikh (‫القرأة علي الشيخ‬, membaca di hadapan guru)
Sebagian besar ulama hadits menyebutnya al- ‘Aradh (penyodoran). Ada juga
menyebutnya‫( عرض القرأة‬menyodorkan bacaan). Karena murid menyodorkan bacaannya
kepada sang guru, seperti ketika ia menyodorkan bacaan al-Qur’an kepada gurunya.
Yang dimaksud adalah seorang membaca hadits di hadapan guru, baik dari hafalannya
ataupun dari kitabnya yang telah diteliti sedang guru memperhatikannya atau
menyimaknya baik dengan hafalannya atau dari kitab asalnya ataupun dari naskah yang
digunakan untuk mengecek dan yang telah diberi kepercayaan olehnya, misalnya
beberapa orang yang masing-masing memiliki satu naskah yang telah diteliti yang
semuanya mendengar dari orang yang membaca di hadapan guru. Imam Haramain
menyaratkan seorang guru harus meluruskan bila pembaca mengalami kekeliruan atau
kesalahan. Bila tidak, maka tahammulnya tidak sah.‘Ardh ini merupakan praktik yang
paling umum sejak awal abad kedua Mayoritas ulama memperbolehkan metode
ini.Namun diriwayatkan pula, ada sebagian mereka yang tidak memperbolehkan
menerimanya.
Lafadz-lafadz yang digunakan dalam metode ini adalah ، ‫ حدثنا او اخبرنا قرأة عليه‬،‫عليه قرأت‬
‫قرئ علي فالن و انا اسمع‬
c. Al-Ijazah (‫األجازة‬, sertifikasi atau rekomendasi)

5
Yaitu seorang guru memberikan izin kepada muridnya untuk meriwayatkan hadist atau
kitab kepada seseorang atau orang-orang tertentu, sekalipun sang murid tidak
membacakan kepada gurunya atau tidak mendengar bacaan gurunya, seperti: ‫أجزت لك أن‬
‫( نروي عني‬aku mengijazahkan kepadamu untuk kamu riwayatkan dariku).
Ulama mutaqaddimin tidak memperbolehkan metode ijazah tanpa kriteria dan syarat.
Tetapi mereka memberikan persyaratan bahwa seorang ahli hadits harus mengenal betul
apa yang akan diijazahkannya, naskah yang ada pada murid harus dibandingkan dengan-
naskah aslinya sampai benar-benar sama dan yang meminta ijazah ahli ilmu dan telah
memiliki posisi dalam hal keilmuan, sehingga tidak akan terjadi peletakan ilmu tidak
pada tempat atau ahlinya. Ada riwayat yang mengukuhkan hal ini dari sebagian besar
ulama mutaqaddimin, semisal al-Hasan al-Bashriy, Ibn Syihab az-Zuhriy, Makhtil,
Abban ibn ‘Iyasy, Ibn Juraij, Imam Malik dan lain-lain.Semuanya memperbolehkan
mengamalkan ijazah dan menyingkirkan segala sesuatu yang menghalanginya.Menurut
ulama mutaqaddimin ijazah hanya diperbolehkan bagi kalangan tertentu dari para
pengikut hadits yang berstatus tsiqat, dan hadits yang diijazahkan juga tidak lebih dari
beberapa hadits, atau juz’ atau kitab.
Ijazah memiliki beberapa jenis. Yang tertinggi adalah seorang guru membawa kitab
atau beberapa kitab riwayatnya, lalu berkata kepada murid: “Kitab ini atau kitab-kitab ini
saya dengar dan Fulan, dan Aku mengijazahkan kepadamu untuk meriwayatkannya
dariku”. Inilah yang mereka sebut dengan Ijazah dari guru tertentu, kepada murid tertentu
dan mengenai kitab tertentu pula. Sebagian ulama menyebutkan delapan jenis ijazah.
Bahkan ada yang menyebutkannya sampai Sembilan jenis.
d. Al-Munawalah (‫)المناوله‬
Maksudnya, seorang ahli hadits memberikan sebuah sebuah naskah asli kepada
muridnya atau salinan yang sudah dikoreksinya untuk diriwayatkan.[18] Misalnya,
seorang guru memberikan sebuah kitab kepada muridnya seraya berkata: Inilah haditsku,
atau inilah riwayat-riwayat yang kudengar, tanpa mengatakan: Riwayatkanlah ini dariku,
atau aku memperbolehkanmu (untuk meriwayatkannya dariku). Sebagian ulama
memperbolehkan metode ini. sementara sebagian yang lain tidak memperbolehkannya.
Tak ada silang pendapat di kalangan mayoritas ulama ahli hadits dalam menerima
munawalah ini. Bahkan ada yang menjadikan “Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-
Ijazah” setingkat dengan as-Sima’. Namun yang benar menurut Muhammad ‘Ajaj al-
Khatib, ia tetap berada di bawah tingkat as-Sima’ dan al-Qira’ah.Al-Qadhiy ‘Iyadh dan
al-’Iraqiy juga mengutip adanya kesepakatan ahli hadits dalam menerima metode
munawalah ini.Tak seorang pun yang diriwayatkan menyebut silang pendapat, seperti
halnya dalam ijazah.
Lafadz yang digunakan dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bi Al-Ijazah adalah. ‫ أ‬، ‫أنباء نا‬
‫ نبأني‬Sedangkan yang dipakai dalam Al-Munawalah Al-Magrunah bila Al-Ijazah adalah ‫نا‬
]19[ ‫ ناولنا‬، ‫و لني‬

6
e. Al-Mukatabah (‫)المكتبه‬
Yaitu seorang guru menulis dengan tangannya sendiri atau meminta orang lain menulis
darinya sebagian haditsnya untuk seorang murid yang ada dihadapannya atau murid yang
berada di tempat lain lalu guru itu mengirimkannya kepada sang murid bersama orang
yang bisa dipercaya. Mukatabah ini memiliki dua bagian Pertama, disertai dengan ijazah.
Misalnya guru menulis beberapa hadits untuk sang murid seraya memberikan ijazah
kepadanya. Jenis ini setara dengan munawalah yang disertai dengan ijazah dalam
keshahihan dan kekuatan. Lafadz yang digunakan adalah ]20[ ‫أجزت لك ما كتبته اليك‬
Kedua, tanpa disertai dengan ijazah. Lafadz yang digunakan adalah ‫ حدثني‬، ‫قال حدثنا فالن‬
‫ كتب الي فالن‬، ‫ أخبرني فالن كتابة‬، ‫فالن كتابة‬
f. I’lam asy-Syeikh (‫)اعلم الشيخ‬
Maksudnya seorang syeikh memberitahukan kepada muridnya bahwa hadits tertentu
atau kitab tertentu merupakan bagian dari riwayat-riwayat miliknya dan telah
didengamya atau diambilnya dari seseorang. Atau perkataan lain yang senada, tanpa
menyatakan secara jelas pemberian ijazah kepada murid untuk meriwayatkan darinya.
Meski dengan pemberitahuan seperti itu saja, sebagian besar ulama memperbolehkan
meriwayatkannya. Mereka menilai bahwa pemberitahuan semacam itu sudah
mengandung pengertian pemberian ijin atau ijazah dari guru kepada murid untuk
meriwayatkan darinya. Mereka juga menilai, bahwa kejujuran dan keterpercayaan sang
guru tidak memungkinkannya mengaku mendengar apa yang tidak didengarnya.
Pemberitahuannya kepada muridnya menunjukkan keridhaannya untuk menerima dan
meriwayatkannya. Inilah pendapat yang dipegangi oleh mayoritas ulama mutaqaddimin,
seperti Ibn Juraij, juga mayoritas ulama muta’akhkhirin.
g. AI-Washiyyah (‫)الوصيه‬
Yaitu seorang guru berwasiat, sebelum bepergian jauh atau sebelum meninggal, agar
kitab riwayatnya diberikan seorang untuk boleh meriwayatkan darinya. Bentuk ini
merupakan bentuk tahammul yang amat langka. Ulama muta’akhkhirin menghitungnya
dalam jajaran metode tahammnul dengan dasar riwayat dari sebagian ulama salaf tentang
wasiat kitab-kitab mereka sebelum mereka wafat. Salah satunya adalah riwayat bahwa
Abu Qilabah Abdullah ibn Zaid al-Jirmiy mewasiatkan kitab-kitabnya untuk Ayyub as-
Sakhtiyani (68-131 H), lalu kitab-kitab itu didatangkan kepada Ayyub yang jumlah
sebanyak muatan kendaraan unta. Ayub juga memberikan upah pengangkutannya.[21]
h. Al-Wijadah (‫الوجده‬, penemuan)
Kata al-Wijadah dengan kasrah wawu merupakan konjugasi dari kata Wajada-Yajidu,
bentuk yang tidak analogis. Ulama hadits menggunakannya dengan pengertian ilmu yang
diambil atau didapat dari shahifah tanpa ada proses mendengar, mendapatkan ijazah
ataupun proses munawalah. Misalnya, seseorang menemukan kitab hasil tulisan orang
semasanya dan telah mengenal dengan baik tulisannya itu, baik ia pernah bertemu atau

7
tidak, atau hasil tulisan orang yang tidak semasanya tapi ia merasa yakin bahwa tulisan
itu benar penisbatannya kepada yang bersangkutan melalui kesaksian orang yang bisa
dipercaya atau kepopuleran kitab itu ataupun dengan sanad yang ada pada kitab itu
ataupun melalui sarana lainnnya yang mengukuhkan penisbatannya kepada yang
bersangkutan. Bila ia telah merasa yakin melalui sarana-sarana itu, maka ia boleh
meriwayatkan isi yang dikehendakinya dalam bentuk menceritakan, bukan dalam bentuk
mendengar. Ada riwayat akurat dari sebagian ulama salaf, bahwa mereka meriwayatkan
dari shahifah-shahifah dan kitab-kitab, namun demikian periwayatan dengan metode
wijadah ini pada masa klasik amat langka. Karena mayoritas mereka sangat
mengutamakan periwayatan secara langsung melalui mendengar atau menyodorkan
kitab.Bahkan sebagian besar ulama salaf mencela mereka yang meriwayatkan dari
shahifah-shahifah. Sehingga sangat populer di kalangan mereka ungkapan: “Jangan
kalian membaca al-Qur’an dari orang-orang yang mempelajarinya dari mushhaf saja dan
jangan menerima ilmu dari orang-orang yang menerimanya dari shahifah-shahifah.”
Bahkan ada di antara mereka yang, menilai dha’if periwayatan dari kitab-kitab. Lafadz
yang digunakan ‫ وجدت بخط فالن‬atau ‫ فالن بخطه‬.‫وجدت فى كتاب‬
C. Istilah yang berkaitan dengan periwayatan hadits
Yang dimaksud dengan Rijal al-Hadits adalah orang-orang yang terlibat dalam
periwayatan sebuah hadits, baik ia sebagai periwayat yang berkedudukan sebagai sanad
maupun yang ia sebagai mukharrij yang berkedudukan sebagai rawi yang menghimpun
hadits berkenaan dalam kitabnya.
a. Mukharrij
Kata Mukharrij merupakan bentuk Isim Fa’il (bentuk pelaku) dari kata takhrij atau
istikhraj dan ikhraj yang dalam bahasa diartikan; menampakkan, mengeluarkan dan
menarik. sedangkan menurut istilah mukharrij ialah orang yang mengeluarkan,
menyampaikan atau menuliskan kedalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar dan
diterimanya dari seseorang (gurunya). Di dalam suatu hadits biasanya disebutkan pada
bagian terakhir nama dari orang yang telah mengeluarkan hadits tersebut, semisal
mukharrij terakhir yang termaksud dalam Shahih Bukhari atau dalam Sahih Muslim,
ialah imam Bukhari atau imam Muslim dan begitu seterusnya.
b. al-Hakim
Al Hakim, yaitu orang yang mengetahui seluruh hadits yang pernah diriwayatkan, baik
dari segi sanad maupun matan, jarh (tercela)nya, ta’dil (terpuji)nya, dan sejarahnya.
Setiap rawi diketahui sejarah hidupnya, perjalanannya, guru guru, dan sifat sifatnya yang
dapat diterima maupun yang ditolak. Ia harus dapat menghafal hadits lebih dari 300.000
hadits beserta sanadnya. Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain Ibn Dinar
(w. 162 H), Al Laits ibn Sa'ad, seorang mawali yang menderita buta di akhir hayatnya (w.
175 H), Imam Malik (w. 179 H), dan Imam Syafi’i (w. 204 H).
c. al-Hujjah

8
Al-Hujjah, Yaitu gelar keahlian bagi para imam yang sanggup menghafal 300.000
hadits, baik matan, sanad, maupun perihal si rawi tentang keadilannya, kecacatannya, dan
biografinya (riwayat hidupnya). Para muhaddits yang mendapat gelar ini antara lain ialah
Hisyam ibn Urwah (w. 146 H), Abu Hudzail Muhammad ibn Al Walid (w. 149 H), dan
Muhammad Abdullah ibn Amr (w. 242 H).
d. al-Hafizh
Al-Hafidh Ialah gelar utk ahli haditsyg dapat menshahihkan sanad dan matan hadits
dan dapat men-ta’dil-kan dan men-jarh-kan rawinya. Seorang al-hafidh harusmenghafal
hadits-hadits sahih mengetahui rawi yg waham {banyak purbasangka} illat-illat hadits
dan istilah-istilah para muhaditsin. Menurut sebagian pendapat al-hafidh itu harus
mempunyai kapasitas menghafal 100.000 hadits. Para muhaditsin yg mendapat gelar ini
antara lain Al-Iraqi Syarafuddin ad-Dimyathi Ibnu Hajar al-Asqalani dan Ibnu Daqiqil Id.
e. al-Muhaddits
Al-Muhaddits Menurut muhaditsin-muhadditsin mutaqaddimin al-hafidh dan al-
muhaddits itu searti. Tetapi menurut mutaakhkhirin al-hafidh itu lbh khusus daripada al-
muhaddits. Kata At-Tajus Subhi Al-muhaddits ialah orang yg dapat mengetahui sanad-
sanad illat-illat nama-nama rijal ali dan nazil -nya suatu hadits memahami kutubus sittah
Musnad Ahmad Sunan al-Baihaqi Majmu Thabarani dan menghafal hadits sekurang-
kurangnya100 buah. Muhaditsin yg mendapat gelar ini antara lain Atha bin Abi Ribah
{seorang mufti masyarakat Mekah wafat 115 H} dan Imam Az-Zabidi {salah seorang
ulama yg mengikhtisharkan kitab Bukhari-Muslim.
f. al-Musnid
Al-Musnid Yakni gelar keahlian bagi orang yg meriwayatkan sanadnya baik menguasai
ilmunya maupun tidak. Al-musnid juga disebut dengan at-thalib al-mubtadi dan ar-rawi.

9
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dari penjelasan syarat-syarat rawi dan tahammul wa al-ada’ di atas dapat kami
ambil kesimpulan bahwa syarat-syarat rawi itu ada 4 yaitu: berakal, cakap/cermat, adil,
dan islam. Dan keempat hal ini harus dipenuhi oleh seorang rawi, apabila salah satu tidak
terpenuhi maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan di pakai.
Para ulama ahli hadits mengistilahkan “menerima dan mendengar suatu periwayatan
hadist dari deorang guru dengan menggunakan beberapa metode penerimaan hadits”
dengan istilah at-tahammul, sedangkan menyampaikan hadits kepada orang lain mereka
istilahkan dengan al ada’. At tahammul (menerima periwayatan hadits) sendiri
mempunyai 8 cara yaitu: al sima’, al qiro’ah, al ijazah, al munawalah, al kitabah, al i’lam,
al washiyah, dan al wijadah.
Sedangkan al ada’ (menyampaikan hadits) memiliki 4 syarat yang harus dipenuhi
semua, karena ia mempunyai peranan yang sangat penting dan sudah barang tentu
mempunyai pertanggung jawaban yang cukup berat sebab sah atau tidaknya suatu hadits
juga sangat bergantung padanya. Adapun 4 syarat tersebut yaitu: islam, baligh, ‘adalah
(adil), dan dhabit.

B. SARAN
Penulis menyadari bahwa materi yang di berikan ini masih banyak kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Penulis berharap pembaca dapat memahami dari beberapa
materi yang penulis sampaikan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, M. Syuhudi.1991. Ilmu Hadis. Bandung: Angkasa.


Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia.

Al Naisaburi, Al Hakim. 2006. Ma’rifah Ulum al-Hadist. Bandung: Nuansa


Cendekia.
Salah Muhammad Muhammad Uwayd. 1989. TaqribAl-tadrib. Beirut: Dar al-Kutub
al-Imliyyah.

Mahmud Thahhan. 2007. Intisari Ilmu Hadits.Malang: UIN-Malang Press.


Zainimal.2005. Ulumul Hadis.Padang: The Minangkabau Foundation.

11

Anda mungkin juga menyukai