Abstrak : Hadis adalah sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Dilihat dari segi
periwayatannya, hadis berbeda dengan al-Qur’an. Untuk al-Qur’an, semua periwayatan
ayatnya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan hadis Nabi sebagian periwayatannya
berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Karenanya, al-
Qur’an dilihat dari segi periwayatannya mempunyai kedudukan qath’iy al-wurud atau
qath’iy as-tsubut di mana seluruh ayat telah diakui keasliannya, sedang hadis, terutama yang
dikategorikan hadis ahad masih diperlukan pengkajian serius untuk memperoleh kepastian
periwayatannya: apakah berasal dari Nabi atau bukan. Hadis dilihat dari segi
periwayatannya berkedudukan sebagai zhanniy al-wurud atau zhanniy as-tsubut.Kajian-
kajian yang banyak dilakukan umat islam terhadap al-Qur’an adalah untuk memahami
kandungannya dan berusaha mengamalkannya. Terhadap hadis, kajian mereka tidak hanya
menyangkut pemahaman kandungan dan pengamalannya, tetapi juga periwayatannya.
Karenanya, kajian terhadap periwayatan hadis ini kemudian melahirkan disiplin ilmu
tersendiri yang dikenal dengan Ilmu ad-Dirayah . dalam jurnal ini menganlisis aspek
transmisi hadist, macam-macam cara penerimaan riwayat hadis, dan proses penerimaan.
A.Pendahuluan
B.METODE
Subjek dari pembuatan jurnal ini adalah yang pertama adalah Nabi Muhammad SAW, lalu
sahabat-sahabat Nabi dan para Tabi’in, yang merumuskan syarat-syarat untuk menjadi perawi ,
Transmisi dari Hadist seperti penyamapaian hadist dari rosulullah SAW , penyampain hadist dari
zaman ke zaman hingga beberapa unsur yang harus dipenuhi untuk meriwayatkan hadist. Disini
penulis mengambil para pendapat dari penyampaian dari mereka yang bertujuan agar ada relevansi
dengan materi yang dibahas yaitu syarat perawi dan proses transmisi hadist , selain itu dapat juga
mengetahui kontribusi para perawi dalam ilmu hadist . setelah itu penulis mengkaji apa saja
kesimpulan dari materi yang dibahas
C.PEMBAHASAN
1. Muslim.
Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan mengerti
akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadis atau khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum,
urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi
pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika
seseorang menyampaikan hadis, bukan ketika membawa atau menanggungnya.
Ada sahabat yang mendengar hadis ketika mereka masih belum memeluk Islam. Ketika mereka sudah
masuk Islam, mereka meriwayatkan hadis yang diterima atau didengarnya ketika masih belum
Islam. Contohnya sebagaimana yang telah berlaku kepada Jubair bin Matam. Beliau telah
meriwayatkan hadis yang didengarnya ketika masih belum memeluk Islam. Hadisnya ialah berkenaan
perbuatan Nabi SAW yang membaca surah al-Thur ketika sholat maghrib.
2. Berakal
Menurut para ahli hadis, berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk
membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadis, seseorang harus telah
memasuki usia akil baligh. Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang mereka dengar pada
masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’
masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika
Mahmud berusia 5 tahun.
3. Al-dhabtu (dhabit).
Dimaksudkan di sini adalah teliti dan cermat, baik ketika menerima pelajaran hadis maupun
menyampaikannya. Sudah barang tentu, orang seperti ini mempunyai hafalan yang kuat, pintar, dan
tidak pelupa. Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadis yang dia riwayatkan ternyata cocok dengan
yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak harus
mengenai keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadis yang mereka riwayatkan masih
dapat didamaikan. Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadis yang mereka
riwayatkan, maka kecermatanya masih diragukan
Allah akan menghargai orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadis, merekalah orang yang
pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja. Hadis shahih diketahui bukan
hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar.
4. Adil
Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan agama,
yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi
memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang
diperintahkan kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan,
mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga
perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan
mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadisnya
diakui kejujurannya”.
Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi. Jika masalah kebersihan,
baru dapat diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan,
orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap dirinya sendiri.
Maksudnya ialah seorang perawi membacakan hadits, dan syaikh mendengarkan, baik yang
membaca itu sang perawi ataupun orang lain.
Riwayat hadits yang dibacakannya itu, boleh berasal dari catatannya atau dari
hafalannya.sedangkan syaikh menyimak dan mendengarkan dengan teliti melalui hafalannya atau
melalui catatannya.
Adapun hukum periwayatannya, periwayatan melalui jalan pembacaan kepada syaikhnya
merupakan riwayat yang shahih.Dan dalam menentukan terdapat:
1. Sederajat dengan as-sima’: diriwayatkan dari Malik dan Bukhari dan sebagian besar
ulama Hijjaz dan Kuffah.
2. Lebih rendah dari as-sima’ : diriwayatkan dari jalur penduduk Masyriq dan itu adalah
shahih.
3. Lebih tinggi dari as-sima’: diriwayatkan dari Abu Hanifah dan Ibnu Abi Dzi’bi dan
riwayatnya dari Malik.
3. Al- Ijazah
Maksudnya ialah: Izin untuk meriwayatkan baik dengan ucapan maupun dengan catatan,
yakni seorang guru memberikan catatannya kepada seseorang untuk meriwayatkan hadits yang ada
padanya, baik melalui lisan maupun tulisan.
4. Munawalah
Maksudnya ialah: seorang syaikh memberikan naskahnya kepada seseorang
disertai ijazah atau memberikan naskah terbatas pada hadits-hadits yang pernah didengarnya
sekalipun tanpa ijazah.
Jadi, hadits yang diperoleh dengan metode munawalah yang disertai ijazah dengan ijazah, boleh
untuk diriwayatkan sedang yang tanpa ijazah tidak diperbolehkan (menurut pendapat yang
shahih).
5. Al-Kitabah Atau Al-Mukatabah
Maksudnya ialah: seorang muhaddits menuliskan hadits yang diriwayatkan untuk diberitakan
kepada orang tertentu, baik ia menulis sendiri atau dituliskan orang lain atas permintaannya
Karenanya, bagi orang diberi hadits ketika itu, boleh saja ditulis dihadapan guru tersebut atau
berada di tempat lain, sehingga periwayatan dengan metode ini ada 2 macam yaitu:
1. Mukatabah (korespondensi) dengan tidak disertai ijazah dan
C.Proses Transmisi Hadis
1. Definisi
Metode transmisi hadis atau dikenal dengan istilah “Jalan Menerima Hadis (thuruq at-tahammul)
dan Penyampaiannya” yaitu: cara-cara menerima hadis mengambilnya dari Syaikh/Guru. Kata
transmisi berarti penyampaian atau peralihan atau penyebaran. Jadi transmisi hadis bisa diartikan
dengan proses peralihan atau perpindahan suatu hadis dari sanad ke sanad sampai ke perawi.
3. Proses transmisi hadis pada masa Nabi sampai pada zaman sesudah generasi sahabat
1) Periwayatan hadis pada zaman Nabi
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat, karena para sahabat pada
umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis Nabi kemudian menyampaikannya kepada
orang lain. Mereka (sahabat) secara bergantian menemui Nabi. Seandainya Umar tidak datang
maka berita dari Nabi akan disampaikan oleh sahabat lainnya kepadanya 3.
Proses transmisi hadis pada masa Nabi bisa dibilang lancar. Kelancaran ini terjadi karena 2 hal
yaitu:
a. Cara penyampaian hadis oleh Rasulullah secara langsung.
b. Minat yang besar dari para sahabat.
3 Azami, M. M. (2012). Hadis Nabi dan Sejarah Kodifikasinya. Jakarta: Pustaka Firdaus.
3) Periwayatan Hadits Pada Zaman Sesudah Generasi Sahabat
Pada zaman sesudah generasi sahabat Nabi, khususnya pada saat hadis Nabi dihimpunkan
dalam kitab-kitab hadis, telah dibakukan tata cara penyampaian dan penerimaan riwayat hadis
Nabi. Pembakuan periwayatan ini sangat erat kaitannya dengan upaya ulama dari hadis-hadis palsu.
Pada masa ini konsentrasi kepada hadis sangat meningkat. Yang mereka kaji bukan hanya matan
saja, namun juga sanad-nya. Periwayatan hadis Nabi pada zaman ini tidak memperoleh hadis
secara langsung dari Nabi, karena mereka memang tidak se zaman dengan Nabi.
Periwayatan hadis pada zaman sesudah sahabat Nabi telah makin meluas, rangkaian periwayat
hadis yang beredar di masyarakat menjadi lebih panjang dibandingkan pada zaman sahabat Nabi
.
Periwayatan Matan Hadis
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pada masa Nabi saw. tidak seluruh Hadis ditulis oleh
para sahabat Nabi saw. Hadis yang disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak
berlangsung melalui oral/lisan (Ismail, 2005, p. 79). Hadis Nabi saw. yang mungki diriwayatkan secara
lafal (riwayat bi al-lafz) oleh sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah Hadis yang dalam bentuk sabda
(aqwal). Sedangkan Hadis yang tidak berbentuk sabda, seperti halnya Hadis-Hadis yang berupa
perilaku (af’al), sifat atau persetujuan (taqriran) dari Nabi saw., hanya dapat diriwayatkan secara
makna (riwayat bi al-ma’na). Hadis –Hadis yang tidak berupa sabda (nonsabda), proses
periwayatannya dilakukan oleh para sahabat secara makna, hal ini disebabkan oleh perbedaan redaksi
yang digunakan oleh sahabat dalam menjelaskan dan merumuskan berita atau kondisi Hadis nonsabda
tersebut. Para sahabat Nabi saw. umumnya membolehkan periwayatan Hadis dengan makna. Di antara
mereka itu ialah Ali bin Abi Talib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Anas bin Malik, Abu
Darda’, Abu Hurairah dan Aisyah (Ismail, 2005, p. 82). Sebagian kecil saja dari kalangan sahabat yang
cukup ketat berpegang pada periwayatan dengan lafal. Di antaranya ialah Umar bin Khattab, Abdullah
bin Umar bin Khattab, dan Zaid bin Arqam (Ismail, 2005, p. 82). Walaupun demikian, mereka yang
ketat berpegang pada periwayatan secara lafal itu tidaklah melarang secara tegas sahabat lain
meriwayatkan Hadis secara makna. Tampaknya mereka memahami dan memaklumi bahwa
bagaimanapun juga memang sulit meriwayatkan apa-apa yang disabdakan Nabi saw. dengan hanya
secara lafal saja. Adapun terkait periwayatan Hadis secara makna yang dilakukan oleh nonsahabat,
terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Abu Bakr ibn al-Arabi (w:1148 M.) berpendapat, selain
sahabat Nabi tidak diperkenankan meriwayatkan Hadis secara makna. Sahabat Nabi saw. merupakan
orang-orang yang memiliki pengetahuan bahasa arab yang tinggi dan menyaksikan langsung keadaan
dan perbuatan Nabi, kedua hal ini tidak mungkin dimiliki oleh orang yang bukan sahabat. inilah yang
dijadikan alasan oleh Ibnu al-Arabi. Ulama lain yang sependapat dengan Ibnu al-Arabi adalah
Muhamad ibn Sirin, Raja’ ibn Haiwah, Qa>sim ibn Muhammad, Sa’lab ibn Nahwi, dan Abu Bakar al-
Razi (Ismail, 2005, p. 82). Namun demikian, mayoritas ulama Hadis memperbolehkan periwayatan
Hadis secara makna dengan beberapa ketentuan. menurut Syuhudi Ismail (Ismail, 2005, p. 82),
beberapa ketentuan yang telah disepakati yakni:
1. Yang boleh meriwayatkan Hadis secara makna hanyalah mereka yang memiliki pengetahuan
bahasa arab yang mendalam. Hal ini penting untuk menghindarkan dari kekeliruan dalam
menyusun redaksi Hadis.
2. 2. Periwayatan dengan makna dilakukan karena sangat terpaksa, misalnya dikarenakan lupa
susunan secara harfiahnya.
3. 3. Yang diriwayatkan secara makna bukanlah sabda Nabi saw. dalam bentuk bacaan yang
sifatnya ta’abbudi. Misalnya zikir, doa, azan, takbir dan syahadat, serta bukan sabda Nabi
saw. yang dalam bentuk jawami’ al-kalim.
4. 4. Bila mengalami keraguan akan susunan matan Hadis yang diriwayatkan, agar
menambahkan kata-kata au kama qal atau au nahwa haza atau yang semakna dengannya,
setelah menyatakan matan Hadis yang bersangkutan.
5. 5. Kebolehan periwayatan Hadis secara makna hanya terbatas pada masa sebelum Hadis
dikodifikasikan secara resmi. Sesudah masa kodifikasi, periwayatan Hadis harus secara lafal
(Ismail, 2005, p. 83).
Ketentuan yang disebutkan terakhir ini dikemukakan oleh kalangan ulama almuta’akhirin. Sedang
keempa ketentuan yang disebutkan pertama banyak disingung baik oleh kalangan ulama al-
muta’akhirin maupun kalangan al-mutaqaddimi.
Adanya ketentuan tersebut menandakakan bahwa periwayatan Hadis secara makna, walaupun sebagian
besar ulama Hadis meperbolehkan, akan tetapi dalam praktiknya tidaklah bersifat “longgar”. Artinya
bahwa periwayat tidak bebas begitu saja dalam melakukan periwayatan secara makna. Lain daripada
itu, walaupun keberadaan periwayatan Hadis secara makna diikat dan dibatasi dengan berbagai
persyaratan, tetapi dikarenakan batasan-batasan tersebut tidaklah berstatus ijma’, maka keragaman
redaksi Hadis (matn) dalam Hadis-Hadis yang mirip atau semakna tetap tidak bisa terhindarkan
(Ismail, 2005, p. 83). Syuhudi Ismail memaparkan contoh mengenai hal di atas, yakni Hadis tentang
niat. Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Turmuzi, al-NasaI, Ibnu Majah
dan lainnya. Nama sahabat Nabi yang menjadi saksi atau perawi pertama Hadis ini adalah Umar bin
Khattab. Dalam Saih Bukhari Hadis tersebut termuat di tujuh tempat. Nama-nama periwayatnya untuk
ketujuh sanad sama di tabaqat pertama sampai denan tabaqa keempat. Yakni: 1. Umar bin Khattab, 2.
Alqamah bin Waqqas al-Laisi, 3. Muhammad bin Ibrahim bin Harith al-Taimi, dan 4. Yahya bin Said
al-Ansari. Kemudian di t}abaqat kelima telah terjadi perbedaan nama periwayat. Yakni: 1. Sufyan bin
‘Uyainah, 2. Malik bin Anas, 3. Abd al-Wahhab, dan 4. Hammad bin Ziyad. di t}abaqat keenam, yakni
sebelum al-Bukhari, nama-nama periwayatnya di ketujuh sanad tersebut berbeda juga. Yakni: 1. Al-
Khumaidi ‘Abdullah bin Zubair, 2. ‘Abdullah bin Maslamah, 3. Muhammad bin Kathir, 4. Musaddad,
5. Yahya bin Qaz’ah, 6. Qutaibah bin Sa’id, dan 7. Abu al-Nu’man
KESIMPULAN
Dalam Syarat menjadi perawi menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan
baligh. Namun ketika menyampaikannya, disyaratkan harus Islam dan baligh. Maka diterima riwayat
seorang muslim yang baligh dari hadits yang diterimanya sebelum masuk Islam atau sebelum baligh,
dengan syarat tamyiz atau dapat membedakan (yang haq dan yang bathil) sebelum baligh. Sebagian
ulama memberikan batasan minimal berumur lima tahun. Namun yang benar adalah cukup batasan
tamyiz atau dapat membedakan. Jika ia dapat memahami pembicaraan dan memberikan jawaban dan
pendengaran yang benar, itulah tamyiz dan mumayyiz. Jika tidak, maka haditsnya ditolak.
Sebagian ulama ada yang mensyaratkan baligh dalam penerimaan Hadis, namun persyaratan ini
tidaklah tepat, karena pada masa sahabat telah terjadi penerimaan riwayat dari para sahabat yang masih
junior (al-sighar, seperti Hasan, Ibnu ‘Abbas dan lainnya tanpa membedakan apakah riwayat yang
mereka terima tersebut diterima oleh para junior ketika ia sudah baigh maupun sebelumnya . Dalam
proses periwayatan Hadis terdapat beberapa bentuk atau model, bentuk periwayatan disini mencakup
pada al-tahammul (pengambilan riwayat) dan alada’(penyampaian riwayat). Adapun bentuk-bentuk
tersebut adalah : Mendengar (alsima’), Membaca (al-qira’ah), Ijazah (al-Ijazah), Memberi (al-
Munawalah), Menulis (al-Kitabah), Memberitahukan (al-‘I’lam), Wasiat (al-Wasiyah), Penemuan
(alWijadah)
Dari beberapa proses penerimaan dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan
sebagai berikut. Bahwa ketika perawi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan
sesuai dengan redaksi pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah
banyak dipakai para ulama’ hadits. Agar hadist tersebut tidak dipertanayakan kebenarannya.
REFERENSI
http://belajarislam.com/hadits/rawi-dan-syarat-syarat-diterimanya/
http://ruzirahmawati.blogspot.com/2011/12/syarat-syarat-perawi-hadis-dan-proses.html