PEMBAHASAN
“ Tahammul artinya menerima hadits dan mengambilnya dari para syekh atau guru.”
Sedangkan pengertian ada’ al-hadits menurut bahasa, ada’ ( )األداءadalah masdar dari:
أَدَاء- يَأْدِى- أَدَىyang berarti ada’ al-hadits menurut bahasa adalah menyampaikan hadits. Sedangkan
ada’ al-hadits menurut istilah adalah:
Pengertiannya adalah meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada murid, atau proses
mereportasekan hadits setelah ia menerimanya dari seorang guru. Karena Tidak semua orang bisa
menyampaikan hadits kepada orang lain, Dalam hal ini mayoritas ulama hadits, ushul, dan fikih
memiliki kesamaan pandangan dalam memberikan syarat dan kriteria bagi pewarta hadist, yang
antara lain:
Sifat adil ketika dibicarkan dalam hubungannya dengan periwayatan hadits maka yang
dimaksud adalah, suatu karakter yang terdapat dalam diri seseorang yang selalu mendorongnya
pada melakukan hal-hal yang positif, atau orang yang selalu konsisten dalam kebaikan dan
mempunyai komitmen tinggi terhadap agamanya.
Lafadh-lafdh yang dipakai dalam menyampaikan riwayat yang diterima dengan jalur
ijazah adalah ajaza li fulan – ( أجاز لفالنbeliau telah memberikan ijazah kepada si fulan),
haddatsana ijaazatan – حدثنا إجازة, akhbarana ijaazatan – أخبرنا إجازة, dan anba-ana ijaazatan –
( أنبأنا إجازةbeliau telah memberitahukan kepada kami secara ijazah).
4. Al-Munaawalah
Yakni seorang guru memberikan hadis atau beberapa hadis atau sebuah kitab hadis kepada
muridnya untu diriwayatkan. Al-Munawalah ada dua macam :
a. Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara
macam-macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya
kepada sang murid, lalu mengatakan kepadannya,”Ini riwayatku dari si fulan, maka
riwayatkanlah dariku”. Kemudian buku tersebut dibiarkan bersamanya untuk dimiliki atau
dipinjamkan untuk disalin. Maka diperbolehkan meriwayatkan dengan seperti ini, dan
tingkatannya lebih rendah daripada as-sama’ dan al-qira’ah.
b. Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya
kepada sang murid dengan hanya mengatakan : ”Ini adalah riwayatku”. Yang seperti ini
tidak boleh diriwayatkan berdasarkan pendapat yang shahih.
5. Al-Kitabah
Yaitu Seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya
kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ. Kitabah ada 2 macam :
a. Kitabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh,”Aku ijazahkan kepadamu
apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan cara ini
adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
b. Kitabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadits untuk
muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk
meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak
memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa
tulisan tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
6. Al-I’lam (memberitahu)
Yaitu Seorang syaikh memberitahu seorang muridnya bahwa hadits ini atau kitab ini adalah
riwayatnya dari si fulan, dengan tidak disertakan ijin untuk meriwayatkandaripadanya. Ketika
menyampaikan riwayat dengan cara ini, si perawi berkata : A’lamanii syaikhi – أعلمني شيخي
(guruku telah memberitahu kepadaku).
7. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu Seorang syaikh mewasiatkan di saat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan,
sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Ketika menyampaikan riwayat dengan
wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi kitaabin – ( أوصى إلي فالن بكتابsi fulan
telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun washiyyatan – حدثني فالن
( وصيةsi fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).
8. Al-Wijaadah (mendapat)
Yaitu Seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia
mengenal syaikh itu, sedang hadis-hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si
perawi.
Dalam menyampaikan hadits atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi
berkata,”Wajadtu bi kaththi fulaanin” (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau
”qara’tu bi khththi fulaanin” (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian
menyebutkan sanad dan matannya. Sighat Tahammul Wa Dari beberapa proses penerimaan
dan penyampaian hadits di atas kita bisa mengambil kesimpulan sebagai berikut. Bahwa ketika
perowi mau menceritakan sebuah hadits, maka ia harus menceritakan sesuai dengan redaksi
pada waktu ia menerima hadits tersebut dengan beberapa istilah yang telah banyak dipakai
para ulama’ hadits. Sebagaimana berikut:
a. Jika proses tahamul dengan cara mendengarkan, maka bentuk periwayatannyaadalah:
حدثني,حدثنا,سمعنا,سمعت
Menurut al-Qodhi Iyyat boleh saja perowi menggunakan kata:
حدثني,حدثنا,سمعنا, سمعت, ذكر لنا,قال لنا,أخبرنا
b. Jika proses tahamul itu dengan menggunakan Qiroah, maka rowi yang meriwayatkan
harus menggunakan kata
حدثنا فالن قرأة عليه, أخبرني, قرئ على فالن و أ نا سمعت,قرأت على فالن
c. Ketika proses tahamul menggunakan ijazah maka bentuk redaksi penyampaiannya adalah
أنبأنى,أجازنى فالن
d. Ketika prosesnya munawalah, maka redaksi yang digunakan adalah
أنبأنى فالن يإالجزة و المناولة, حدثنى فالن ياامناولة وإالجازة,ناولنى فالن مع إالجازة
e. Ketika proses tahamul dengan kitabah (penulisan), maka redaksi yang digunakan adalah:
أخبرني حدثني بالمكاتبة وإالجازة, حدثني بالمكاتبة وإالجازة, كاتبني,كتب إلي
f. Ketika prosesnya menggunkan pemberitahuan, maka redaksi yang digunakan adalah:
أخبرنى فالن بإالعالم, حدثنى فالن يإالعالم,أعلمنى فالن
g. Ketika proses tahamul menggunakan metode wasiat, maka redaksi penyampaian
menggunakan kata:
حدثني فالن بالوصية, أخبرنى فالن بالوصية,أوصى إلي فالن
h. Ketika proses tahamul melalui metode wijadah ( penemuan sebuah manuskrip atau buku),
maka redaksi penyampaiannya menggunakan kata:
قال فالن,وجدت بخط فالن