Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Studi Hadits
Disusun oleh:
Dosen Pengampu:
2023
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Para ulama berselisih pendapat mengenai sah atau tidaknya hadis yang
diriwayatkan anak-anak, orang kafir ,dan orang fasik. Jumhur ulama
berpendapat bahwa periwayatan seseorang yang menerima hadis sewaktu
masih anak-anak, masih dalam keadaan kafir, atau dalam keadaan fasik dapat
diterima apabila disampaikan sesudah masing-masing dewasa, memeluk
agama Islam, dan bertobat karena hal tersebut menjadi tolak ukur kecakapan
dalam menerim suatu hadis.
Alasan ahli hadis mengenai anak yang belum dewasa dapat dibenarkan
menerima riwayat ialah ijma’, yaitu seluruh umat Islam tidak ada yang
membantah dan tidak ada yang membeda-bedakan riwayat-riwayat para
sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa, akan tetapi mereka
memperselisihkan batas umur minimal anak yang belum dewasa, yang dapat
dibenarkan dalam penerimaan riwayat. Menurut pendapat jumhur ulama batas
umur minimalnya adalah 5 tahun dikarenakan pada umur inilah anak-anak
mulai menginjak tamyiz karena hal itu merupakan suatu kemampuan yang
menjadikan seseorang dapat memenuhi dan hafal terhadap apa yang di
dengarnya. Imam Yahya bin Ma’in menetapkan umur 15 tahun. Beliau
mempertahankan pendapatnya dengan mengemukakan alasan hadis Ibnu
Umar r.a., “Saya dihadapkan kepada Rasulullah Saw. Pada saat perang Uhud,
saat itu saya baru berumur 14 tahun, beliau tidak memperkenankan saya.
Kemudian saya dihadapkan kepada Rasulullah Saw. Pada waktu perang
Khandaq, pada saat itu saya berumur 15 tahun, beliau memperkenankan saya”
(Riwayat Jama’ah Ahli Hadis). Imam Ibnu Hajar menerima riwayat orang
kafir yang diterima, apalagi penerimaan orang fasik yang disampaikannya
setelah memeluk agama Islam dapat diterima, apalagi penerimaan orang fasik
yang disampaikan setelah tobat dan diakui sebagai orang yang adil, tentu lebih
dapat diterima.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang diatas, pembahasan akan dilakukan
dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian tahammul wal ada’ al-hadis ?
2. Apa syarat-syarat tahammul al-hadis ?
3. Apa syarat -syarat ada ‘ al-hadist ?
4. Apa metode tahammul wal ada’ al-hadis ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian tahammul wal ada’ al-hadis
2. Mengetahui syarat-syarat tahammul al-hadis
3. Mengetahui syarat-syarat ada’al hadis
4. Mengetahui metode tahammul wal ada’ al-hadis
BAB II
PEMBAHASAN
A.TAHAMMUL WA ADA’AL-HADITS
“Tahammul adalah menerima hadis dan menggambilnya dari para guru syaikh
(guru)”.
Dalam tahammul harus dijelaskan cara atau metode penerimaan hadis, karena
metode tersebut sangat penting dan akan berpengaruh dalam menentukan
kebenaran suatu hadis apakah benar dari Rosul atau tidak.
Sedangkan kata ada’ al-hadis bersal dari kata “adda yuaddi ta’diyatan wal
adaan” yang berarti melaksanakan sesuatu pada waktunya, membayar pada
waktunya, atau menyampaikan kepada. Misalnya menjalankan shalat atau puasa
pada waktunya disebut ada’ sebagai Antonin dari qatla’. Sedangkan pengertian
ada’ secara istilah adalah meriwayatkan hadis dan menyampaikannya kepada
orang lain dengan menggunakan kata tertentu. Di dalam ada’ harus disebutkan
bagaimana ungkapan atau bentuk kata yang digunakan dalam menyampaikan
suatu hadis, karena ungkapan ada’ ini nanti menjadi objek penelitian bagi para
peneliti untuk dinilai kebenarannya.
2
Ibnu Sholah, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah ibn ash-Sholah, Tsaqofiyah, h.137.
d. Dlobit
Dlobit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadits harus ingat akan
hadits yang ia sampaikan tersebut. Ketika ia mendengar hadits dan memahami apa
yang didengarnya, serta hafal sejak ia menerima hadits hingga ia
meriwayatkannya.
Dlobit oleh ulama ahli hadits dibagi menjadi dua yaitu:
1) Dlobtu ash-shodri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia
dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan
tersebut kapanpun ia kehendaki.
2) Dlobtul kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan yang
catatan hadits yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditashheh sampai ia
meriwayatkan
hadits sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut.3
3
Ibid, h.137.
B. Membaca dihadapan guru ()القراءعلى الشيخ
Metode ini juga disebut dengan al-ardhu. Dalam metode ini, seorang murid
membaca hadis di hadapan guru, baik membaca hadis dari hafalannya atau pun
dari tulisannya. Sedangkan guru mendengarkan dengan seksama sambil
mengoreksi dengan mengarah pada hafalannya dan tulisannya.
Imam Ahmad mensyaratkan untuk keabsahan tahammul dengan metode ini, murid
yang membaca harus faham isi hadis. Sedangkan Imam al-Haramain
mensyaratkan guru yang menyimaknya harus dapat membenarkan ketika ada
kekeliruan dari murid. Seandainya tidak mampu membenarkan maka tahammul-
nya dianggap tidak sah.
Menurut mayoritas ulama, tahammul dengan metode ini diperbolehkan dan
derajatnya dibawah sama’. Sebagian ulama ada yang berpendapat metode ini lebih
unggul dibanding sama’ dengan alasan dalam metode sama’, ketika guru salah
maka tidak ada yang membenarkan.
C. Al-Ijazah ()االجازة
Al-ijazah adalah izin dari guru kepada murid untuk meriwayatkan hadis. Al-
ijazah merupakan metode tahammul yang baru dan masih diperselisihkan
keabsahan. Menurut sebagian ulama boleh dan sebagian ulama yang lain tidak
memperbolehkan. Ulama muqaddimin tidak memperbolehkan ijazah kecuali
dengan ketentuan syarat-syarat yang sangat ketat. Mereka mensyaratkan, guru
yang mengijazahkan harus benar-benar tahu isi hadis yang diijazahkan, tulisan
yang ada di kitab murid harus diperlihatkan pada gurunya, dan orang yang
menerima ijazah merupakan orang yang berilmu dan dapat dipercaya sehingga
hadis yang diijazahkan tidak disia-siakannya. Ulama mutaqaddimin
mengijasahkan pada murid spesialnya. Seperti Imam Malik tidak mau
mengijazahkan, kecuali pada murid yang sudah mumpuni keilmuannya
bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu.
Kitab ini termasuk yang diriwayatkan dan dia telah mendengarkan dari fulan
dengan tanpa ada ketegasan memberi ijazah. Ulama’ yang memperbolehkan
menggunakan metode ini, memandang karena i’lam mengandung ijazah secara
tersirat. Pemberitahuan dari guru kepada murid mengisyaratkan adanya kerelaan
tahammul dan ada’ pada hadis tersebut.
Karena metode i’lam ini mengandung ijazah secara tersirat dan tidak tegas,
maka sebagian ulama tidak memperbolehkan meriwayatkan apabila ada larangan
dari gurunya. Seperti gurunya mengatakan “Hadis ini saya dengar dari fulan, akan
tetapi saya tidak mengijazahkan kepadamu dan Jagan meriwayatkan dariku.”
G. Wasiat ()الوصية
Wasiat adalah seorang guru sebelum berpergian atau sebelum meninggal
berpesan agar kitab yang ia riwayatkan diberikan kepada seseorang dengan
riwayat darinya. Ulama yang memperbolehkan tahammul dengan wasiat
beralasan, penyerahkan kitab kepada orang yang telah ditentukan termasuk bagian
dari pemberian izin. Metode ini merupakan metode tahammul paling oemah
dibanding dengan metode-metode sebelumnya. Karena itu, menurut mayoritas
ulama, seseorang yang mendapat maksiat tidak diperkenankan meriwayatkan dari
pemberi wasiat.
H. Al-Wijadah ()الوجادة
BAB III
PENUTUPAN
4
Ibid, h.77-80.
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwasanya Tahammul adalah menerima hadis dan
mengambilnya dari para Syaikh (guru). Syarat menerima hadis cukup dengan
tamyiz, berakal,dan dhabit. Pada tahammul al-hadis terdapat 8 metode diantara
yaitu: as-sama’, al-ijazah, al-munawalah, al-mukhaabah, i’lamu al-guru, al-
wasiat dan al-wijadah. Dan yang dimaksud dengan ada’ adalah meriwayatkan
hadis dan menyampaikan kepada orang yang mencarinya. Terdapat pula syarat-
syarat dalam menyampaikan hadis diantaranya yaitu: Islam, mukalaf, adil,dan
dhabit. Pada metode penyampaian hadis sama dengan metode menerima hadis.
B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari kami mengharapkan
kritik dan saran. Agar menjadi lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA