Anda di halaman 1dari 12

TAHAMMUL WA ADA’ AL-HADITS

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah Studi Hadits

Disusun oleh:

Evi Zaroh Radhotul Jannah : 301230004

Hasna’ Nur Hafizhah : 301230015

Dosen Pengampu:

Irma Rumtianing Uswatun Hanifa,S.Ag,M.S.I

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Para ulama berselisih pendapat mengenai sah atau tidaknya hadis yang
diriwayatkan anak-anak, orang kafir ,dan orang fasik. Jumhur ulama
berpendapat bahwa periwayatan seseorang yang menerima hadis sewaktu
masih anak-anak, masih dalam keadaan kafir, atau dalam keadaan fasik dapat
diterima apabila disampaikan sesudah masing-masing dewasa, memeluk
agama Islam, dan bertobat karena hal tersebut menjadi tolak ukur kecakapan
dalam menerim suatu hadis.
Alasan ahli hadis mengenai anak yang belum dewasa dapat dibenarkan
menerima riwayat ialah ijma’, yaitu seluruh umat Islam tidak ada yang
membantah dan tidak ada yang membeda-bedakan riwayat-riwayat para
sahabat yang diterima sebelum dan sesudah dewasa, akan tetapi mereka
memperselisihkan batas umur minimal anak yang belum dewasa, yang dapat
dibenarkan dalam penerimaan riwayat. Menurut pendapat jumhur ulama batas
umur minimalnya adalah 5 tahun dikarenakan pada umur inilah anak-anak
mulai menginjak tamyiz karena hal itu merupakan suatu kemampuan yang
menjadikan seseorang dapat memenuhi dan hafal terhadap apa yang di
dengarnya. Imam Yahya bin Ma’in menetapkan umur 15 tahun. Beliau
mempertahankan pendapatnya dengan mengemukakan alasan hadis Ibnu
Umar r.a., “Saya dihadapkan kepada Rasulullah Saw. Pada saat perang Uhud,
saat itu saya baru berumur 14 tahun, beliau tidak memperkenankan saya.
Kemudian saya dihadapkan kepada Rasulullah Saw. Pada waktu perang
Khandaq, pada saat itu saya berumur 15 tahun, beliau memperkenankan saya”
(Riwayat Jama’ah Ahli Hadis). Imam Ibnu Hajar menerima riwayat orang
kafir yang diterima, apalagi penerimaan orang fasik yang disampaikannya
setelah memeluk agama Islam dapat diterima, apalagi penerimaan orang fasik
yang disampaikan setelah tobat dan diakui sebagai orang yang adil, tentu lebih
dapat diterima.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang diatas, pembahasan akan dilakukan
dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian tahammul wal ada’ al-hadis ?
2. Apa syarat-syarat tahammul al-hadis ?
3. Apa syarat -syarat ada ‘ al-hadist ?
4. Apa metode tahammul wal ada’ al-hadis ?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian tahammul wal ada’ al-hadis
2. Mengetahui syarat-syarat tahammul al-hadis
3. Mengetahui syarat-syarat ada’al hadis
4. Mengetahui metode tahammul wal ada’ al-hadis
BAB II

PEMBAHASAN

A.TAHAMMUL WA ADA’AL-HADITS

1. Pengertian Tahammul wa Ada’ al- Hadits

Secara bahasa kata tahammul merupakan masdar dari fiil madhi


tahammala yang artinya menanggung atau membawa. Sedangkan menurut istilah,
pengertian tahammul hadis ialah:

‫التحمل معناه القي الحديث وأخذه عن اشيوخ‬

“Tahammul adalah menerima hadis dan menggambilnya dari para guru syaikh
(guru)”.

Dalam tahammul harus dijelaskan cara atau metode penerimaan hadis, karena
metode tersebut sangat penting dan akan berpengaruh dalam menentukan
kebenaran suatu hadis apakah benar dari Rosul atau tidak.

Sedangkan kata ada’ al-hadis bersal dari kata “adda yuaddi ta’diyatan wal
adaan” yang berarti melaksanakan sesuatu pada waktunya, membayar pada
waktunya, atau menyampaikan kepada. Misalnya menjalankan shalat atau puasa
pada waktunya disebut ada’ sebagai Antonin dari qatla’. Sedangkan pengertian
ada’ secara istilah adalah meriwayatkan hadis dan menyampaikannya kepada
orang lain dengan menggunakan kata tertentu. Di dalam ada’ harus disebutkan
bagaimana ungkapan atau bentuk kata yang digunakan dalam menyampaikan
suatu hadis, karena ungkapan ada’ ini nanti menjadi objek penelitian bagi para
peneliti untuk dinilai kebenarannya.

Kegiatan tahammul dan ada’ al-hadis adalah suatu proses periwayatan


hadis baik menerima atau menyampaikan yang dengan sengaja dilakukan oleh
periwayat secara ilmiah dengan menggunakan teori dan metode agar
terpeliharanya hadis.1

2. Syarat-syarat Perowi dalam Tahammul al-Hadits


Tidak dapat dipungkiri bisa mendapatkan hadits atau menerimanya merupakan
anugrah yang sangat besar. Disamping perlunya keikhlasan hati dan lurusnya niat,
membersihkan diri dari tujuan-tujuan yang menyeleweng, yang merupakan adab
atau tatakrama seorang tholibul al-hadits, dalam menerima hadits harus memenuhi
beberapa syarat yang telah ditetapkan oleh ulama ahli hadits atau dikenal dengan
istilah ahliyatu at-tahammul sehingga hadits yang diterima tersebut sah untuk
diriwayatkan.
a. Tamyiz
Syarat yang pertama perawi dalam tahammul al-hadits adalah tamyiz. Menurut
al-Hafidz Musa ibn Harun al-Hamal seorang anak bisa disebut tamyiz jika sudah
mampu untuk membedakan antara sapi dan khimar. Kalau menurut penulis
seumpama anak Indonesia itu bisa membedakan antara kambing dan anjing.
Menurut Imam Ahmad, ukuran tamyiz adalah adanya kemampuan menghafal
yang didengar dan mengingat yang dihafal. Ada juga yang mengatakan bahwa
ukuran tamyiz adalah pemahaman anak pada pembicaraan dan kemampuan
menjawab pertanyaan dengan baik dan benar.
Seorang yang belum baligh boleh menerima hadits asalkan ia sudah tamyiz. Hal
ini didasarkan pada keadaan para sahabat, tabi’in, dan ahli imu setelahnya yang
menerima hadits walaupun mereka belum baligh seperti Hasan, Husain, Abdullah
ibn Zubair, Ibnu Abbas, dan lain-lain.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan seseorang boleh bertahammul
hadits dengan batasan usia. Qodli Iyad menetapkan batas usia boleh bertahammul
adalah usia lima tahun, karena pada usia ini seorang anak bisa menghafal dan
mengingat-ingat sesuatu, termasuk hadits nabi. Abu Abdullah az-Zubairi
mengatakan bahwa seorang anak boleh bertahammul jika telah berusia sepuluh
1
Muhamad Rifa’I, Ilmu Hadis MA Peminatan Keagamaan Kelas 11, Direktorat KSKK Madrasah,
2020. h. 76 dan 80.
tahun, sebab pada usia ini akal mereka telah dianggap sempurna. Sedangkan
Yahya ibn Ma’in menetapkan usia lima belas tahun.
Syarat perawi dalam tahammul hadits yang penulis temukan hanyalah tamyiz,
sedangkan beragama islam tidak disyaratkan dalam tahammul hadits. Adapun
syarat berakal sehat sudah jelas disyaratkan dalam bertahammul hadits karena
untuk menerima hadits yang merupakan salah satu sumber hukum islam sangat
diperlukan. Oleh karena itu tidak sah riwayatnya seseorang yang menerima hadits
tersebut ketika dalam keadaan tidak sehat akalnya.2

3. Syarat-syarat ada’ al-Hadits


Syarat-syarat orang yang diterima dalam meriwayatkan hadits atau dikenal
dengan istilah ahliyatul ada’ menurut ulama ahlul hadits adalah:
a. Islam
Pada waktu periwayatan suatu hadits seorang perowi harus muslim. Menurut
ijma’, periwayatan hadits oleh orang kafir dianggap tidak sah. Karena terhadap
riwayat orang muslim yang fasik saja dimauqufkan, apalagi hadits yang
diriwayatkan oleh orang kafir. Walaupun dalam tahammul hadits orang kafir
diperbolehkan, tapi dalam meriwayatkan hadits ia harus sudah masuk Islam.
b. Baligh
Yang dimaksud baligh adalah perowi cukup usia ketika ia meriwayatkan hadits.
Baik baligh karena sudah berusia lima belas tahun atau baligh karena sudah keluar
mani. Batasan baligh ini bisa diketahui dalam ketab-kitah fiqih.
c. Adalah (adil)
‘Adl merupakan suatu sifat yang melekat, yang berupa ketaqwaan dan muru’ah
(harga diri). Sifat ‘adalahnya seorang rowi berarti sifat ‘adlnya di dalam riwayat.
Dalam ilmu hadits sifat ‘adalah ini berarti orang islam yang sudah mukallaf yang
terhindar dari perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kefasikan dan jatuhnya
harga diri.Jadi syarat yang ketiga ini sebenarnya sudah mencakup dua syarat
sebelumnya yaitu Islam dan baligh. Oleh karena itu sifat ‘adalah ini
mengecualikan orang kafir, fasiq, orang gila, dan orang yang tak dikenal (‫(مجهول‬

2
Ibnu Sholah, Ulumul Hadits al-Ma’ruf bi Muqoddimah ibn ash-Sholah, Tsaqofiyah, h.137.
d. Dlobit
Dlobit ialah ingatan. seseorang yang meriwayatkan hadits harus ingat akan
hadits yang ia sampaikan tersebut. Ketika ia mendengar hadits dan memahami apa
yang didengarnya, serta hafal sejak ia menerima hadits hingga ia
meriwayatkannya.
Dlobit oleh ulama ahli hadits dibagi menjadi dua yaitu:
1) Dlobtu ash-shodri, yaitu dengan menetapkan atau menghafal apa yang ia
dengar didalam dadanya, sekiranya ia mampu untuk menyampaikan hafalan
tersebut kapanpun ia kehendaki.
2) Dlobtul kitab, yaitu memelihara, mempunyai sebuah kitab catatan yang
catatan hadits yang ia dengar, kitab tersebut dijaga dan ditashheh sampai ia
meriwayatkan
hadits sesuai dengan tulisan yang terdapat dalam kitab tersebut.3

4. Metode Tahammul al-Hadits


Metode dalam pengambilan hadis dari seorang rowi ada delapan
sebagaimana
berikut:
A. As-Sama’ (‫)السماع‬
As-sama’ artinya mendengarkan. Maksudnya ialah hadir dan mendengarkan
saat guru membaca hadis yang dihafalnya atau ditulis baik dalam rangka meng-
imla’ (dikte) atau pun tidak. Metode ini sama halnya dengan ceramah, seorang
guru menyampaikan hadis dan murid aktif mendengarkan. Menurut mayoritas
para ulama, metode ini merupakan tingkatan paling tinggi dibanding metode
penerimaan yang lain.
Untuk hasil yang lebih baik adalah murid menulis saat guru menyampaikan
hadis, ini lebih baik dibanding mendengar saja, karena dengan menulis, akan
terhindar dari kesalahan karena lupa, dan hadis yang didapatkan bisa dipastikan
kebenarannya. Metode mendengar sekaligus menulis ini merupakan metode para
rawi pada generasi awal.

3
Ibid, h.137.
B. Membaca dihadapan guru (‫)القراءعلى الشيخ‬

Metode ini juga disebut dengan al-ardhu. Dalam metode ini, seorang murid
membaca hadis di hadapan guru, baik membaca hadis dari hafalannya atau pun
dari tulisannya. Sedangkan guru mendengarkan dengan seksama sambil
mengoreksi dengan mengarah pada hafalannya dan tulisannya.
Imam Ahmad mensyaratkan untuk keabsahan tahammul dengan metode ini, murid
yang membaca harus faham isi hadis. Sedangkan Imam al-Haramain
mensyaratkan guru yang menyimaknya harus dapat membenarkan ketika ada
kekeliruan dari murid. Seandainya tidak mampu membenarkan maka tahammul-
nya dianggap tidak sah.
Menurut mayoritas ulama, tahammul dengan metode ini diperbolehkan dan
derajatnya dibawah sama’. Sebagian ulama ada yang berpendapat metode ini lebih
unggul dibanding sama’ dengan alasan dalam metode sama’, ketika guru salah
maka tidak ada yang membenarkan.
C. Al-Ijazah (‫)االجازة‬
Al-ijazah adalah izin dari guru kepada murid untuk meriwayatkan hadis. Al-
ijazah merupakan metode tahammul yang baru dan masih diperselisihkan
keabsahan. Menurut sebagian ulama boleh dan sebagian ulama yang lain tidak
memperbolehkan. Ulama muqaddimin tidak memperbolehkan ijazah kecuali
dengan ketentuan syarat-syarat yang sangat ketat. Mereka mensyaratkan, guru
yang mengijazahkan harus benar-benar tahu isi hadis yang diijazahkan, tulisan
yang ada di kitab murid harus diperlihatkan pada gurunya, dan orang yang
menerima ijazah merupakan orang yang berilmu dan dapat dipercaya sehingga
hadis yang diijazahkan tidak disia-siakannya. Ulama mutaqaddimin
mengijasahkan pada murid spesialnya. Seperti Imam Malik tidak mau
mengijazahkan, kecuali pada murid yang sudah mumpuni keilmuannya
bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu.

D. .Al- Munawalah (‫)المناولة‬


Al-Munawalah adalah seorang guru ahli hadis menyerahkan lembaran tulisan
hadis atau kitab hadis pada muridnya, kemudian gurunya mengatakan “ini hadis
dariku” atau “ ini hadis yang aku dengar” dengan tanpa mengijazahkan.
Lembaran/kitab yang diberikan bisa milik guru atau milik murid dan telah diteliti
oleh gurunya. Metode ini juga diperselisihkan keabsahannya. Menurut sebagian
ulama boleh dan sebagian ulama yang lain memperbolehkan.
Contoh di atas merupan munawalah tanpa ijazah, apabila disertai dengan
ijazah maka termasuk metode ijazah yang paling baik, yaitu seorang guru
menyampaikan kitab kemudian mengatakan “ Hadis ini saya mendengar dari
fulan, ambilah dan riwayatkan dariku!.”
E. Al-Mukatabah (‫)المكانية‬
Al-Mukatabah adalah seorang ahli hadis menulis sendiri sebagian hadis atau
menyuruh orang lain, kemudian tulisan tersebut diberikan kepada murid yang
hadir di majelis atau dikirim kepada orang yang tidak ada di majelis melalui orang
yang dapat dipercaya. Mukatabah ada yang disertai dengan ijazah dan ada yang
tidak. Apabila disertai dengan ijazah maka lebih kuat seperti halnya munawalah
disertai ijazah.

F. .I’lamu al-syaikh (‫)اعالم الشيخ‬

Kitab ini termasuk yang diriwayatkan dan dia telah mendengarkan dari fulan
dengan tanpa ada ketegasan memberi ijazah. Ulama’ yang memperbolehkan
menggunakan metode ini, memandang karena i’lam mengandung ijazah secara
tersirat. Pemberitahuan dari guru kepada murid mengisyaratkan adanya kerelaan
tahammul dan ada’ pada hadis tersebut.
Karena metode i’lam ini mengandung ijazah secara tersirat dan tidak tegas,
maka sebagian ulama tidak memperbolehkan meriwayatkan apabila ada larangan
dari gurunya. Seperti gurunya mengatakan “Hadis ini saya dengar dari fulan, akan
tetapi saya tidak mengijazahkan kepadamu dan Jagan meriwayatkan dariku.”

G. Wasiat (‫)الوصية‬
Wasiat adalah seorang guru sebelum berpergian atau sebelum meninggal
berpesan agar kitab yang ia riwayatkan diberikan kepada seseorang dengan
riwayat darinya. Ulama yang memperbolehkan tahammul dengan wasiat
beralasan, penyerahkan kitab kepada orang yang telah ditentukan termasuk bagian
dari pemberian izin. Metode ini merupakan metode tahammul paling oemah
dibanding dengan metode-metode sebelumnya. Karena itu, menurut mayoritas
ulama, seseorang yang mendapat maksiat tidak diperkenankan meriwayatkan dari
pemberi wasiat.

H. Al-Wijadah (‫)الوجادة‬

Al-wijadah adalah seseorang menemukan tulisan hadis dengan tanpa


mendengarkan maupun diijazahi, dan dia mengetahui bentuk tulisannya
merupakan tulisan seorang yang ia kenal. Semisal ada seseorang yang
menemukan tulisan, dan ia dapat memastikan jika itu tulisan fulan karena ia
mengenalnya atau ia tidak mengenalnya, akan tetapi ada saksi dari pakar tulisan
atau bentuk tulisannya masyhur. Periwayatan dengan metode ini diperbolehkan
dengan mengatakan seperti, “Aku menemukan dalam kitab si Fulan begini...” dan
tidak boleh dengan mengatakan “Aku mendengar dari Fulan begini..”.4

BAB III
PENUTUPAN

4
Ibid, h.77-80.
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwasanya Tahammul adalah menerima hadis dan
mengambilnya dari para Syaikh (guru). Syarat menerima hadis cukup dengan
tamyiz, berakal,dan dhabit. Pada tahammul al-hadis terdapat 8 metode diantara
yaitu: as-sama’, al-ijazah, al-munawalah, al-mukhaabah, i’lamu al-guru, al-
wasiat dan al-wijadah. Dan yang dimaksud dengan ada’ adalah meriwayatkan
hadis dan menyampaikan kepada orang yang mencarinya. Terdapat pula syarat-
syarat dalam menyampaikan hadis diantaranya yaitu: Islam, mukalaf, adil,dan
dhabit. Pada metode penyampaian hadis sama dengan metode menerima hadis.

B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari kami mengharapkan
kritik dan saran. Agar menjadi lebih baik kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA

Rifa’i Muhammad, Ilmu Hadis Kelas XI MA Peminatan Keagamaan, (Banteng:


Direktorat KSKK Madrasah, 2020).
Sholah Ibnu, Ulumul Hadits al-Mushtholah ibn ash-Sholah, (Tsaqofiyah, Jakarta,
2019).

Anda mungkin juga menyukai