Anda di halaman 1dari 8

NAMA : Muhammad Nur Azmi

NIM : 170101050865
MATA KULIAH : ULUMUL HADITS
DOSEN PENGAMPU : WAHYU FITRIANOOR, LC, M.H.

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Allah telah memberikan kepada umat Nabi Muhammad Saw, para pendahulu selalu
menjaga Al-Quran dan Al-Hadis Nabi. Mereka adalah orang-orang jujur, amanah, dan
memegang janji sebagian diantara mereka mencurahkan perhatiannya terhadap al-Quran
dan ilmunya yaitu para mufassirin. Manusia dalam hidupnya membutuhkan berbagai
macam pengetahuan. Ilmu hadits adalah suatu ilmu tentang sabda, perbuatan, ketepatan,
gerak-gerik dan bentuk jasmaniyah Rasulullah SAW beserta sanad – sanadnya dan ilmu
pengetahuan untuk membedakan kesahihan, kehasanan dan kedha’ifannya daripada lainnya,
baik secara matan maupun sanadnya. Penghimpunan dan periwayatan hadits tidak bersifat
konvensional, tetapi dihimpun dan diriwayatkan melalui tulisan dan riwayat dengan
beragam bentuknya berdasarkan kaidah – kaidah yang paling akurat. Suatu hadits tidak akan
diterima, kecuali bila pembawanya memenuhi syarat – syarat yang amat rumit yang telah
ditetapkan oleh ulama’ jumhur. Adapun salah satu ilmu yang sangat berpengaruh dalam
pemeliharaan, penejlasan, pemahaman, dan pengenalan terhadap para perawi hadits adalah
tahammul wa ‘ada’ul hadits.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa saja komponen – komponen penting dalam proses Ada’ Wa Al – Tahammul Al –
Hadits ?
2. Apa saja 8 Metode Transmisi Hadits ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui komponen – kompenen penting dalam Tahammul Al – Hadits
2. Mengetahui 8 metode Transmisi Hadist
BAB II
PEMBAHASAN

A. Komponen – Komponen Penting dalam Proses Tahammul Wa Al – Ada’


Dalam sebuah hadits terdapat komponen – komponen yang penting, yaitu :
1. Mu’addi
Mu’addi merupakan bentuk isim fa’il dari dari lafazh “‫ ”يُؤْ دِى – أَدَى‬yang berarti
mencetuskan. Dan Mu’addi berarti orang yang mencetuskan atau meriwayatkan
hadits kepada orang lain.
2. Al – Ada’
Al – ada’ merupakan bentuk isim mashdar dari lafazh "‫يُؤْ دِي – أَدَى‬- ‫ "أَدَاء‬yang
berarti proses menyampaikan atau meriwayatkan sebuah hadits kepada orang lain.
3. Matan
Kata matan menurut bahasa berarti unggung jalan, atau tanah yang keras dan
َ ُ ‫صل‬ ْ Secara terminologis, matan berarti materi yang
tinggi (‫ب َما‬ ِ َ‫ارتِف‬
َ ‫اع َو‬ ْ َ‫ض ِمن‬
ِ ‫)العَ ْر‬.
berupa sabda, perbuatan, atau taqrir nabi yang terletak setelah sanad yang terakhir.
Namun ketika didasarkan kembali pada paparan hadits, maka pengertian matan
mengalami sedikit modifikasi. Matan tidak hanya terdiri dari pembicaraan yang
titik terakhir sanad, matan bukan hanya inti pesan nabi saw, jika hadits bersifat
qouliyyah. Matan mencakup sumber hadits (Mashdar Al – Hadits) dan inti pesannya
(Tharf Al – Hadits). Disinilah terkadang terjadi kesalah kaprahan penyebutan
hadits, Padahal yang dimaksud adalah inti pesan hadits.
4. Shigah Ar – Riwayah
Sighah Ar – Riwayah atau metode periwayatan hadits adalah jalan untuk
menerima hadits atau mendapatkan dari guru. Adapun yang dimaksud dengan
Shighah Al – Ada’ (bentuk penyampaian hadits) adalah lafaz – lafaz yang
digunakan oleh ahli hadits dalam meriwayatkan dan menyampaikan hadits kepada
murid – muridnya, contoh : “sami’tu...” (aku telah mendengar) atau “haddatsani...”
(telah bercerita kepadaku).
5. Mutahammil
Mutahammil adalah fi’il dari lafaz “tahammala - yatahammalu” yang berarti
orang yang mendengar dan meriwayatkan hadits.
6. Tahammul
Tahammul adalah isim mashdar dari lafazh "‫ َيتَ َح َّم ُل – تَ َح َّم َل‬- ‫ "ت َ َح ُّمل‬yang berarti
proses mendengar dan menyampaikan hadits kepada orang lain.
B. Metode Transmisi Hadits
Para ulama mengidentifikasi cara pengambilan dan penerimaan hadits dari para
Rawi menjadi 8 macam. Mereka mengupas dan menjelaskan hukum – hukumnya secara
panjang lebar yang garis besarnya sebagai berikut :
1. Al – Sima’ ( mendengarkan hadits dari guru )
Al – sima’ adalah suatu cara yang ditempuh oleh para muhaditsin periode
pertama untuk mendapatkan hadits dari Nabi Muhammad SAW. Kemudian mereka
meriwayatkannya kepada generasi mereka dengan cara yang sama. Maka tidak
heran apabila cara ini dinilai sebagai cara penerimaan hadits yang paling tinggi
tingkatannya. Metode ini lebih dominan dengan mendengarkan bacaan guru baik
dibacakan dengan selintas maupun dengan cara didektekan. Dan baik dibacakan
dari hafalan sang guru maupun dengan melihat kitabnya. Ungkapan yang
menggunakan metode al – sima’ antara lain :

‫أخبرنا‬، ‫ أخبرنى‬: seseorang telah mengabarkan kepadaku, atau kepada kami.

‫احدثنى‬، ‫ حدثنا‬: seseorang telah bercerita kepadaku atau kepada kami.

‫ سمعنا‬، ‫ سمعت‬: saya telah mendengar kami telah mendengar.

2. Al – ‘Ardh ( membaca )
Para Muhadditsin menempuh cara ini setelah pembukuan hadits banyak
dilakukan dan tersebar diberbagai tempat. Makna Al – ‘Ardh menurut mereka
adalah membaca hadits di hadapan guru berdasarkan hafalan maupun dengan
melihat kitab. Terdapat perselisihan pada tingkatan mana yang lebih tinggi diantara
Al – Sima’ dan Al – ‘Ardh. Tetapi Malik memberi pernyataan bahwa apabila
pencari hadits belum mencapai tingkatan ini, maka pembacaan hadits di hadapan
guru itu tidak mengungguli Al – Isma’.
3. Al – ijazah ( ijazah )
Al – ijazah adalah izin guru hadits kepada muridnya untuk meriwayatkan hadits
atau kitab yang diriwayatkan darinya padahal murid itu tidak mendengar hadits
tersebut atau tidak membaca kitab tersebut dihadapannya. Dan metode ijazah ini
memiliki tujuh ragam bentu, yaitu :
a) Guru mengijazahkan kepada seseorang atau beberapa orang tertentu dengan
sebuah kitab yang disebutkan Namanya
b) Ijazah umum, seperti guru mengatakan “aku memberi ijazah kepada seluruh
muslimin atau semua orang yang ada”.
c) Ijazah kepada orang yang majhul atau dengan hadits majhu. Cara ini sangat
tidak boleh.
d) Memberi ijazah dengan hadits yang belum pernah didengar. Seperti seorang
guru berkata “ aku ijazahkan kepadamu hadits yang akan aku dengar”. Ijazah
ini batal menurut para ulama jumhur.
e) Ijazah secara majaz, seperti seorang guru berkata “aku mengijazahkan ijazahku
kepadamu”.
4. Munawalah (memberi)
Munawalah merupakan proses seorang Guru memberikan sebuah hadits, naskah
kitab asli atau salinannya pada seorang murid, terhadap metode munawalah,
sebagian ahli ilmu memperkenankan sedangkan ulama lainnya tidak
memperkenankan metode ini sebagai metode periwayatan hadits. Perbedaan
pendapat ini menjadikan munawalah dibagi menjadi dua jenis, yakni munawalah
yang dibarengi ijazah, dan munawalah yang tidak dibarengi ijazah. Jenis
munawalah yang dibarengi ijazah dipandang sederajat dengan metode Al-Sima’
oleh jumhur ulama ahli hadits, walau tidak sama dengan Al-Sima dan Al-Qiraat Ala
Al Syaikh. Dan jenis munawalah yang tidak dibarengi dengan ijazah adalah ketika
naskah salinannya diberikan kepada muridnya dengan dikatakan bahwa itu adalah
apa yang didengar oleh si fulan, tanpa diikuti dengan perintah untuk
meriwayatkannya. adapun ungkapan yang digunakan untuk metode ini adalah :

‫فآروه هذا سماعى او روايتى عن فلن‬ ini adalah hasil pendengaranku atau hasil
periwayatanku dari seseorang, maka riwayatkanlah.

5. Al-Mukatabah (menulis)
Al-Mukatabah adalah seorang guru yang menulis sendiri atau menyuruh orang
lain untuk menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain atau yang ada di
hadapannya. Metode Mukatabah ini juga ada yang dibarengi ijazah dan ada yang
tidak dibarengi ijazah. Untuk mukatabah yang dibarengi ijazah dihukumi sah dan
mempunyai martabat kuat, sedangkan mukatabah yang tidak dibarengi ijazah
menimbulkan perbedaan pendapat tentang sah dan tidaknya. adapun ungkapan
untuk metode ini yaitu :

‫ حدثنى فلن كتابة‬seseorang telah bercerita padaku dengan surat menyurat.

‫ أخبرنى فلن كتابة‬seseorang telah mengkhabarkan padaku.

6. I’ilam al-Syaikh ( pemberitahuan )


I’ilam Al-Syaikh adalah pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits
yang diriwayatkannya itu adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari guru
seseorang, dengan tidak mengatakan (menyuruh) agar si murid tersebut
meriwayatkannya. Metode ini tidak di perkenankan oleh para ulama ahli hadits
dalam meriwayatkan hadits, karena ada kemungkinan bahwa guru telah mengetahui
bahwa hadits tersebut mengandung cacat. Adapun ungkapan hadits yang diterima
dengan metode Il’amu Al – Syaikh yaitu :

‫ أعلمنى فلن قال‬seseorang telah memberitahukan padaku, ujarnya,

‫حدثنا‬ ... telah berkata kepadaku....

7. Al-Wasiyah (wasiat)
Al-Wasiyah adalah pesan seseorang di kala hendak meninggal dunia atau
bepergian, dengan sebuah kitab supaya diriwayatkan. Dalam metode ini ada yang
memperbolehkan mengamalkan hadits yang diriwayatkan dengan metode ini dan
ada juga yang tidak memperkenankan dengan metode ini. Adapun ungkapan yang
digunakan untuk metode al – wasiyah yaitu :

‫ آوصى الى فلن بكتاب قال فيها حدثنا إلى آره‬seseorang tem-lah berwasiat padaku dengan
sebuah kitab yang ia berkata dalam kitab “telah bercerita padamu si Fulan...”.

8. Al-Wijadah ( Penentuan )
Al-Wijadah adalah memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak
diriwayatkannya, baik dengan metote sama’, qira’ah, maupun metode lainnya.
Dapat dikatakan proses penerimaan dan penyampaian hadits cukup rumit, sehingga
untul menilai sebuah hadits diperlukan ilmu yang cukup dan sikap bijak. ungkapan
yang digunakan pada metode ini yaitu :
‫ قرأت بخط فلن‬saya telah membaca tulisan seseorang ‫فلنبخط‬ kudapati tulisan
seseorang.
BAB III

PENUTUP

Komponen penting dalam hadits :

1. Mu’addi

2. Al – Ada’

3. Matan

4. Shighah Ar – Riwayah

5. Mutahammil

6. Tahammul

Metode – metode yang digunakan dalam Tahammul Al – Hadits :

1. Al – Sima’ ( ‫) السماع‬

2. Al – ‘Ardl ( ‫) العرض‬

3. Al – Ijazah ( ‫) اإلجازة‬

4. Al – Munawalah ( ‫) المناولة‬

5. Al – Mukatabah ( ‫) المكاتبة‬

6. Al – I’lam ( ‫) اإلعلم‬

7. Al – Wasiyah ( ‫) الوصية‬

8. Al – Wijadah ( ‫) الوجادة‬
DAFTAR PUSTAKA

Ash – Shiddieeqy, Hasbi, Pokok – Pokok Ilmu Dirayah Hadits, Jakarta : PT. Karya
Unipress,1958.

Al – Thahhan, Mahmud, Al – Taisir Musthalah Al – Hadits, Cet. VII; Riyadh : Maktabah


Ma’arif, 1985.

Ikhrom, ‘Ulum Al – Hadits, Semarang : UINPress, 2015.

Nuruddin, ‘Ulum Al – Hadits, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1985.

‘Ajjaj Al – Khatib, Muhammad, Ushul Al – Hadits ‘Ulimuh Musthalahuh, Beirut : Dar Al –


Fikr, 1981.

Kitab Syaikh Manna al-Qaththan berjudul “Mabahats fi Ulumul Hadits”.

Anda mungkin juga menyukai