Disusun Oleh:
2020/2021
i
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN ................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 1
C. Tujuan ...................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ................................................................................................... 3
PENUTUP ............................................................................................................ 11
A. Kesimpulan ............................................................................................... 11
B. Saran ......................................................................................................... 11
ii
PEMBUKAAN
A. Latar belakang
Hadits adalah salah satu pedoman hidup manusia setelah Al-Qur'an. Hadist
menjadi penjelas hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur'an. Hadist adalah
segala sesuatu yang disandarkan pada nabi SAW baik dalam segi perbuatan, ucapan
dan ketetapannya. Al-Qur'an dan Hadits dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena
pentingnya hadits dalam kehidupan manusia.
Seperti yang diketahui pada zaman Nabi SAW tidaklah semua hadits dapat
dicatat oleh para sahabat Nabi. Hal ini dikarenakan Nabi sendirilah yang melarang
para sahabat untuk mencatat setiap hadits dan hanya orang-orang tertentu saja yang
boleh mencatat hadits. Lalu setelah Nabi wafat periwayatan hadits selanjutnya
dilakukan oleh khalifah Abu Bakar dan khalifah Umar bin Khattab yang dilakukan
sangat hati-hati.
Hal ini disebabkan karena seiring berkembangnya zaman banyak sekali oknum-
oknum yang ingin memalsukan hadits yang banyak terjadi pada masa khalifah Abi
bin Abi Thalib. Dilihat dari pentingnya kegunaan hadits bagi kehidupan umat
manusia dan banyaknya hadits palsu yang telah beredar maka sangat penting untuk
mengetahui keaslian dari hadits tersebut. Sehingga untuk mengetahui keaslian hadits
haruslah tahu transformasi hadits atau yang biasa disebut dengan periwayatan hadits
yaitu jalannya hadits dari perawi sampai pada Nabi SAW.
1
B. Rumusan Masalah
2. Apa saja ketentuan dalam pertiwayatan hadits secara makna dan lafadz?
C. Tujuan
2
PEMBAHASAN
Jika membicarakan hadits maka tidak dapat terlepas dari periwayatan hadits
yang merupakan satu hal penting dalam mempelajari hadits dan untuk menentukan
kedudukan hadits dalam persefektif ulum al-hadits. Periwayatan hadits adalah
proses penerimaan Hadits oleh seorang Rawi dari seorang gurunya dan setelah
dipahami, dihafal, dihayati, diamalkan, ditulis dan disampaikan kepada orang lain
sebagai murid dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut.
Terdapat tiga unsur yang mendasar dalam hadits yaitu: (1) adanya unsur
penerimaan (2) unsur penyampaian (3) unsut penyandaran hadits pada periwayat
hadits. Jika salah satu unsur terabaikan maka akan berpengaruh kepada kekuatan
hadits. Selain itu adapun tata cara penerimaan suatu riwayat hadits para ulama
umumnya terbagi menjadi 8 macam yaitu: (1) al-sama' min lafazh al-syaikh (al-
sima'), (2) al-Qira'at 'ala syaikh (al-a'radl), (3) al-ijazah, (4) al-munawalah, (5) al-
mukatabah, (6) al-I'lam, (7) al-washiyyah dan (8) al-wijadah. Kedelapan tatacara
periwayatan hadits dijelaskan sebagai berikut:
1. Al-Sima'
Al-sama' min lafazh al-syaikh atau yang biasa disebut dengan Al-sima' adalah
tata cara penerimaan hadits dengan cara mendengarkan langsung lafazh hadits dari
seorang guru. Cara periwayatan hadits oleh mayoritas ulama dinilai secara yang
tertinggi kualitasnya. Hal ini dikarenakan pendapat jumhur ulama hadits bahwa cara
penerimaan riwayat hadit dengan cara Al-sima' ini sebagai cara yang paling
dipercaya.
2. Al-Qiro'at ('Aradl)
Cara periwayatan yang kedua adalah Al-Qiro'at 'ala syaikh atau yang biasa
disebut dengan Al-Qira't saja. Atau yang biasa disebut dengan istilah Ardl. Yakni
3
sebuah periwayatan menghadapkan riwayat hadits nya kepada guru hadits dengan
cars periwayat itu sendiri yang membacanya atau orang lain yang membacanya dan
dia mendengarkan. Riwayat hadits yang dibacakan itu bisa saja berasal dari
catatannya atau dapat juga berasal dari pelafalannya.
3. Al-Ijazah
Cara penerimaan riwayat yang ketiga adalah al-ijazah. Yakni seorang guru
hadits memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan hadits yang ada
kepadanya. Pemberian izin ini dapat dinyatakan, baik dengan lisan maupun tulisan.
Jadi, istilah ijazah tidak harus dalam bentuk tertulis.
Cara penerimaan hadits dengan cara al-ijazah secara global ada dua macam
yaitu: (1) ijazah bersama al-munawalah dan (2) ijazah murni atau al-ijazah al-
mujarradat. Ijazah yang pertama disebutkan bentuknya ada dua macam yaitu: (1)
seorang guru hadits menyodorkan kepada muridnya hadits yang ada padanya,
kemudian berkata, "anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadits yang saya
peroleh ini" atau (2) seorang murid menyodorkan hadits kepada guru hadits,
kemudian guru hadits itu memeriksanya dan setelah guru itu memakluminya bahwa
dia juga meriwayatkannya, maka dia berkata, "hadits ini telah saya terima dari guru
saya dan saya akan beri ijazah untuk meriwayatkannya". Bentuk ijazah demikian
sebagian ulama berpendapat bahwa kualitasnya sama dengan cara al-sima' dan
sebagian ulama lagi sama dengan cara Al-Qirat.
4. Al-munawalah
"Seorang guru memberikan kepada seorang murid, kitab asli yang didengar
dari gurunya, atau satu salinan yang sudah dicontoh seraya berkata: inilah hadits
4
yang telah aku dengar dari sifulan maka riwayatkanlah dia daripada ku dan aku
telah mengijazahkannya kepada engkau yang meriwayatkannya".
5. Al-mukatabah
Cara penerimaan riwayat yang kelima adalah Al-mukatabah, yakni seorang guru
menulis hadits yang diriwayatkan untuk diberikan kepada orang tertentu atau untuk
orang yang jauh dan dikirim surat kepadanya baik surat tulisan sendiri atau surat yang
dituliskan oleh orang lain. Dapat disimpulkan bahwa al-mukatabah hadits-haditsnya
berupa dalam bentuk tulisan.
6. Al-I'lam
Cara penerimaan hadits yang keenam adalah Al-I'lam, yakni seorang guru
memberitahukan kepada seorang murid bahwa sesuatu Hadits atau sesuatu kitab,
itulah riwayat dari gurunya Si Fulan Tanpa izin si murid meriwayatkannya. oleh
karena itu Al-I'lam ini tidak disertai dengan ijazah maka status periwayatannya
mengandung banyak pendapat dari kalangan ulama, Ibnu al-shalah menyatakan
bahwa periwayatan dengan cara al-l'lam ini tidak sah. Untuk hal ini ia mempunyai
dua alasan:
5
Di lain pihak ada ulama dan bahkan sebagian besar mereka membenarkan
periwayatan hadis dengan cara ini. Namun terlepas dari pro dan kontra pendapat
tersebut masalah keabsahan periwayatan jenis ini sebenarnya dapat dilihat dari sisi
lain yaitu untuk apa seorang guru untuk memperdengarkan suatu hadis kepada
muridnya jika tidak untuk diriwayatkan oleh si pendengar, dan juga tidaklah
mungkin seorang guru mau mencelakakan muridnya dengan mendengarkan hadis
yang cacat.
7. Al-Washiyyah
8. Al-Wijadah
6
B. Ketentuan Periwayatan Hadits
Di antara para sahabat Nabi yang membolehkan periwayatan dengan cara ini
ialah: Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, Abu Darda' dan Abu
Hurairah, kemudian dikalangan Tabi'in adalah Hasan al-Bashri, al-Sya'bi' Amr ibn
Dinar, Ibrahim al-Nakha'iy, Mujahid dan Ikrimah. Ibnu sirin seperti dikutib oleh
utang ranuwijaya, telah berkata "Aku mendengar hadits dari sepuluh orang dalam
ma'na yang sama namun dengan lafazh yang berbeda". Pendapat ini mengindikasikan
bahwa jenis hadits yang diriwayatkan dengan cara inilah yang banyak jumlahnya.
Adapun para sahabat yang membolehkan periwayatan hadits dengan makna ini
disebabkan karena mereka memiliki dua hal yang tidak dimiliki oleh orang lain
secara bersamaan yaitu:
a. Para sahabat memiliki pengetahuan bahasa arab yang sangat tinggi (Al-
Fushahah wa Al-Balaghah).
b. Para sahabat Nabi menyaksikan langsung keadaan dan perbuatan Nabi SAW.
Mengenai periwayatan dengan cara ini, para ulama ada yang memperbolehkan
namun dengan syarat yang ketat. Adalun sebagian ulama yang malah tidak
memperbolehkan sama sekali kecuali para Sahabat Nabi SAW. Hal ini sebabkan oleh
sikap para ulama yang sangat hati-hati dalam memelihara hadits Nabi SAW. Dengan
demikian, seorang tidak dapat dengan mudah meriwayakan hadits kecuali ia telah
7
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh para ulama. Ketentuan dan
persyaratan seseorang yang diperbolehkan dalam meriwayatkan hadits secara makna
adalah sebagai berikut:
Menurut Syuhudi Ismail, bahwa hadits nabi yang berbentuk sabda sangat sulit
untuk diriwayatkan dalam bentuk hafalan, kecuali pada hadits-hadits tertentu saja.
Misalnya, hadits pendek sehingga sahabat Nabi dapat dengan mudah untuk
mengingatnya. Hadits Nabi yang periwayatannya dimungkinkan dengan lafazh, pada
periode sahabat sebagai saksi pertama, hanyalah Hadits dalam bentuk qauliyah,
8
sedangkan hadits-hadits fi'liyah dan taqririyah hanya dimungkinkan dapat
diriwayatkan dengan makna, artinya redaksinya dibuat oleh sahabat yang
meriwayatkannya. Hadits yang dalam bentuk qauliyah pun tidak seluruhnya dapat
diriwayatkan dengan lafazh.
1. Nabi SAW dikenal fasih dalam berbicara dan pembicaraanya berbobot. Nabi
sering menyesuaikan sabdanya dengan situasi nya dan audiennya (dari segi
dialek bahasanya, kapasitas intelektual dan latar belakang budaya).
3. Tidak sedikit sabda Nabi disampaikan dalam bentuk jawami al-kalim atau
ungkapan yang pendek dan sarat dengan makna, secara rasio ungkapan yang
pendek dan penuh dengan makna mudah dihafal dan sulit untuk dilupakan.
4. Sabda yang disampaikan dalam bentuk dzikir atau bacaan tertentu dalam
beribadah titik Dalam hal ini para sahabat mendapat kemudahan untuk
menghafalnya, baik ditinjau bahwa tersebut merupakan hal yang diulang-
ulang atau dzikir maupun Sabda tersebut merupakan kalimat yang harus
mereka hafal dikarenakan Ia merupakan sarana untuk berhubungan langsung
dengan Sang Pencipta.
5. Kuatnya budaya menghafal pada bangsa Arab dan hafalan mereka yang yang
kaut dalam hal ini bangsa Arab yang terkenal. Melalui kelebihan ini sangat
dimungkinkan para sahabat untuk menghafal Sabda Nabi SAW secara utuh.
9
6. Adanya di kalangan sahabat yang dikenal telah sungguh-sungguh untuk
menghafal sabda Nabi, seperti Abdullah bin Umar bin al-khatlafa. Hal ini
mengindikasikan bahwa pada saat itu adanya sabda Nabi yang diriwayatkan
secara lafazh.
Mengenai periwayatan secara lafazh ini sangat disukai para sahabat seperti yang
disebut dalam Ajjaj Al-khatib bahwa, " sebenarnya seluruh sahabat nabi
menginginkan agar periwayatan itu dengan lafzi bukan dengan ma'nawi".
Pengertian Perawi menurut bahasa yaitu berasal dari kata riwaayah yang
merupakan bentuk mashdar dari kata kerja rawaa-yarwii, yang berarti”memindahkan
atau meriwayatkan”. Bentuk plural dari kata raawii adalah ruwaat. Jadi perawi adalah
orang yang meriwayatkan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah
didengarnya dan diterimanya dari seseorang.
Seorang perawi mempunyai peran yang sangat penting dan sudah barang tentu
menurut pertanggung jawaban yang cukup berat, sebab sah atau tidaknya suatu
hadits. Menjadi seorang perawi tidak bisa sembarang orang tetapi harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat seorang perawi yaitu sebagai berikut:
10
PENUTUP
A. Kesimpulan
Periwayatan Hadits adalah proses penerimaan Hadits oleh seorang Rawi dari
seorang gurunya dan setelah dipahami, dihafal, dihayati, diamalkan, ditulis dan
disampaikan kepada orang lain sebagai murid dengan menyebutkan sumber
pemberitaan riwayat tersebut. Periwayatan Hadits tidak dapat sembarang orang yang
dapat melakukannya terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi. Dan terdapat dua
ketentuan periwayatan hadits yaitu secara lafazh dan makna.
B. Saran
11
DAFTAR PUSTAKA
Syuhudi Ismail, M., Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Tela’ah Kritis dan Tinjauan
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Sija'i, Fitriadi, Alfiah, Studi Ilmu Hadits, jl. Swadaya kom. Rindu serumpun 4 blok
B-16, 2016
https://passinggrade.co.id/pengertian-rawi/
12