Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Hadits sebagai salah satu sumber hukum bagi umat Islam sangatlah penting
kedudukannya setelah Al-Qur’an. Tetapi dalam perjalanannya, suatu hadits telah melalui jalan
yang butuh untuk diteliti kebenarannya sehingga bisa diambil dalam menetapkan suatu hukum
atau tidak. Perawi menjadi bagian yang dinilai untuk shahih atau tidaknya suatu hadits, sehingga
perawi harus memiliki persyaratan khusus yang harus dimiliki. Oleh karna itu, saya akan
membahas mengenai syarat-syarat seorang perawi dan juga akan membahas Tahammul wa Al-
Ada’.

2. Rumusan Masalah
 Apa syarat-syarat seorang perawi hadits?
 Bagaimana cara Tahammul (menerima) wa Al-Ada’ (menyampaikan) hadits?

3. Manfaat dan Tujuan


 Untuk mengetahui syarat-syarat apa saja yang harus dimiliki seorang perawi
hadits.
 Untuk mengetahui bagaimana caranya untuk menerima dan menyampaikan
hadits.

[1]
BAB II
PEMBAHASAN

A. Syarat-Syarat Seorang Perawi Hadits


Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits. 1
Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits
dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.
Syarat-syarat yang harus dimiliki seorang perawi hadits diantaranya :

1. Muslim
Seorang perawi harus meyakini dan mengerti akidah Islam, karna dia meriwayatkan hadis
yang berkaitan dengan hukum-hukum dan urusan yang ada di agama Islam. Namun, syarat Islam
sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadits, bukan ketika membawa atau
menanggungnya.

2. Adil
Perawi yang adil tidak boleh melakukan dosa besar maupun kecil. Para ulama hadits
lebih jauh mengajukan syarat-syarat khusus bagi seorang perawi yang adil. Ibnu Hajar
Al-‘Asqalan menyebar lima syarat. Yakni takwa kepada Allah, memiliki moralitas yang mulia
(mura’ab), bebas dari dosa besar, tidak melakukan bid’ah, dan tidak fasiq.2

3. Dhabith
1
Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010) hlm.120
2
Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadits, (Bandung: MMU, 2009) hlm.24

[2]
Perawi hadits tersebut memiliki ketelitian dalam menerima hadits, memahami apa yang ia
dengar, serta mampu mengingat dan menghafalnya sejak ia menerima hadits tersebut sampai
pada masa ia meriwayatkannya. Atau ia mampu memelihara hadits yang ada di dalam catatannya
dari kekeliruan atau dari terjadinya pertukaran, pengurangan, dan sebagainya yang dapat
mengubah hadits tersebut.
Ke-dhabith-an seorang perawi dengan demikian dibagi menjadi dua, yaitu dhabith
shadran (kekuatan ingatan atau hafalannya) dan dhabith kitaban (kerapian dan ketelitian tulisan
atau catatannya).3

4. Berakal
Berakal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk membedakan. Jadi, untuk
mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadits, seseorang harus telah memasuki usia akil
baligh.

B. Tahammul (menerima) wa Al-Ada’ (menyampaikan) Hadits


Secara bahasa tahammul berarti menanggung, membawa, dan menerima. Secara istilah
tahammul adalah mengambil hadits dari seorang guru dengan cara-cara tertentu. Sedangkan al-
ada’ secara bahasa berarti menyampaikan sesuatu kepada orang yang dikirim kepadanya. Dan
secara istilah al-ada’ ialah sebuah proses meriwayatkan hadits dari seorang guru kepada
muridnya. Jadi, tahammul wa al-ada’ bisa diartikan dengan meriwayatkan dan menyampaikan
hdis kepada murid.

3
Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998) hlm.220-221

[3]
Dalam konteks ini, ulama membagi metode periwayatan hadis kepada delapan macam
yaitu4 :
1. As As-sama’
Menurut mayoritas ulama, metode ini berada pada peringkat tertinggi. Di dalam
meriwayatkannya menggunakan kata-kata :

a.) ‫( َح َّد َثَنا‬seorang telah menceritakan kepada kami)

b.) ‫( َأْخ َبَر َنا‬seorang telah mengabarkan kepada kami)

c.) ‫( َأْنَبَأَنا‬seorang telah memberitakan kepada kami)

d.) ‫ُفَالًنا‬ ‫( َسِم ْع ُت‬saya telah mendengan seseorang)


e.) ‫( َقاَل َلَنا ُفَالٌن‬seseorang telah berkata kepada kami)
f.) ‫( َذ َك َر َلَنا ُفَالٌن‬seseorang telah menuturkan kepada kami).

2. Al-Qira’ah
Kata-kata atau istilah yang dipakai untuk periwayatan cara al-qira’ah ada yang disepakati
oleh ulama, antara lain adalah :

a.) ‫( َقَر ْئُت َع َلى ُفَالٍن‬Aku membacakan hadits di hadapan si fulan)


b.) ‫(َق َرَئ َع َلْي ِه َو َأَن ا أْس َم ُع َف َأْقَر ِب ه‬dibacakan (sebuah hadits) di hadapannya dan dia
mendengarkannya dengan cermat).

3. Al-Ijazah
4
Sohari Sahrani, Ulumul Hadis, (Bogor: Ghalia Indonesia, .2010) hlm. 177

[4]
Yaitu guru hadis memberikan ijin kepada seseorang baik secara lisan maupun tulisan
untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya. Jenis ijazah ini ada dua macam:
a. Al-ijazah disertai al-munawalah, yang mempunyai dua bentuk:
1) Seorang guru hadis yang menyodorkan kepada murid hadis yang ada padanya lalu
guru tadi berkata, “Anda saya beri ijazah untuk meriwayatkan hadis yang saya peroleh ini.”
2) Seorang murid menyodorkan hadis kepada guru, lalu guru memeriksanya,
selanjutnya ia mengatakan: “Hadis ini saya terima dari guru saya dan anda saya beri ijazah
untuk meriwayatkan hadis ini dari saya.”

b. Al-Ijazah al-mujarradah (ijazah murni)


Diantaranya ialah ijazah diberikan dari guru hadis kepada:
1) Orang tertentu untuk hadis tertentu, misalnya untuk hadis yang termuat dalam
kitab Shahih Bukhari.
2) Orang tertentu untuk semua hadis yang telah didengarnya (diriwayatkannya)
3) Orang yang tidak tertentu, misalnya umat Islam, untuk hadis tertentu atau hadis
tidak tertentu.

Adapun kata-kata yang biasa dipakai oleh mayoritas ulama adalah haddatsana ijaazatan,
haddatsana idznan, ajaza lii, anba’ani ijaazatan, dll.

4. Al-Munaawalah (menyerahkan)
Al-Munawalah ada dua macam:

1.) Al-Munawalah yang disertai dengan ijazah. Ini tingkatannya paling tinggi di antara macam-
macam ijazah secara muthlaq. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya kepada sang
murid, lalu mengatakan kepadannya : ‫( َهَذ ا َس َم ا ِع ي َأْو ِر َو اَيِتي َع ْن ُفَالٍن َفاْر ِو ه‬Ini riwayatku/kudengar
dari si fulan, maka riwayatkanlah).

[5]
2.) Al-Munawalah yang tidak diiringi ijazah. Seperti jika seorang syaikh memberikan kitabnya
kepada sang murid dengan hanya mengatakan : ‫( َه َذ ا َس َم ا ِع ي َأْو ِم ْن ِر َو اَيِتي‬Inilah hasil
pendengaranku atau berasal dari periwayatanku). Yang seperti ini tidak boleh diriwayatkan
berdasarkan pendapat yang shahih.

5. Al-Mukatabah
Yaitu seorang syaikh menulis sendiri atau dia menyuruh orang lain menulis riwayatnya
kepada orang yang hadir di tempatnya atau yang tidak hadir di situ.

Al-Mukatabah ada 2 macam :

1.) Al-Mukatabah yang disertai dengan ijazah, seperti perkataan syaikh, "Aku ijazahkan
kepadamu apa yang aku tulis untukmu", atau yang semisal dengannya. Dan riwayat dengan
cara ini adalah shahih karena kedudukannya sama kuat dengan munaawalah yang disertai ijazah.
2.) Al-Mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah, seperti syaikh menulis sebagian hadis untuk
muridnya dan dikirimkan tulisan itu kepadanya, tapi tidak diperbolehkan untuk
meriwayatkannya. Di sini terdapat perselisihan hukum meriwayatkannya. Sebagian tidak
memperbolehkan, dan sebagian yang lain memperbolehkannya jika diketahui bahwa tulisan
tersebut adalah karya syaikh itu sendiri.
Kata-kata yang dipakai untuk periwayatan cara ini diantaranya, kataba ilayya fulan,
akhbarani bihi muktabatan, dan akhbarani bihi kitaban.

6. Al-I'lam (memberitahu)
Kata yang dipakai ialah : ‫(َاْع لَم ِني ُفاَل ٌن ًق اَل َح َد َثَنا‬seseorang telah memberitahukan
kepadaku, telah berkata kepada kami).

[6]
7. Al-Washiyyah (mewasiati)
Yaitu seorang syaikh mewasiatkan disaat mendekati ajalnya atau dalam perjalanan,
sebuah kitab yang ia wasiatkan kepada sang perawi. Riwayat yang seorang terima dengan jalan
wasiat ini boleh dipakai menurut sebagian ulama, namun yang benar adalah tidak boleh dipakai.
Ketika menyampaikan riwayat dengan wasiat ini perawi mengatakan : Aushaa ilaya fulaanun bi
kitaabin (si fulan telah mewasiatkan kepadaku sebuah kitab), atau haddatsanii fulaanun
washiyyatan (si fulan telah bercerita kepadaku dengan sebuah wasiat).

8. Al-Wijaadah (mendapat)

Yaitu seorang perawi mendapat hadis atau kitab dengan tulisan seorang syaikh dan ia
mengenal syaikh itu, sedang hadis- hadisnya tidak pernah didengarkan ataupun ditulis oleh si
perawi. Wijadah ini termasuk hadis munqathi', karena si perawi tidak menerima sendiri dari
orang yang menulisnya.

Dalam menyampaikan hadis atau kitab yang didapati dengan jalan wijadah ini, si perawi
berkata,"Wajadtu bi kaththi fulaanin" (aku mendapat buku ini dengan tulisan si fulan), atau
"qara'tu bi khththi fulaanin" (aku telah membaca buku ini dengan tulisan si fulan); kemudian
menyebutkan sanad dan matannya.

[7]
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Perawi menjadi bagian yang dinilai untuk shahih atau tidaknya suatu hadits, sehingga
perawi harus memiliki persyaratan khusus seperti muslim, adil, dhabith dan lain-lain. Dan juga
seorang perawi harus mempunyai sifat khusus, misal bukan pendusta, bukan fasiq, bukan ahli
bid’ah, dan lain sebagainya.
Dalam menerima hadits tidak disyaratkan seorang harus muslim dan baligh, namun
ketika menyampaikan hadits disyaratkan harus muslim dan baligh.

Saran

Kita sebagai umat muslim sangatlah penting untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan
dengan hadits, karena hadits merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah Al-Qur’an.

[8]
DAFTAR PUSTAKA

Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2010)

Kamaruddin Amin, Metode Kritik Hadits, (Bandung: MMU, 2009)

Nawir Yuslem, Ulumul Hadis, (Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya, 1998)

[9]

Anda mungkin juga menyukai