DAN
PENYAMPAIAN HADITS
OLEH:
1. MARDIANTO (2131118)
PERIWAYATAN DAN KESAKSIAN
2
Dalam ilmu hadits kita mengenal istilah tahammul dan ada'.
Tahammul adalah proses penerimaan hadits yang dilakukan oleh seorang
rawi, sedangkan
ada' adalah proses penyampaian hadits yang biasa dilakukan oleh seorang
guru kepada muridnya, atau seorang rawi.
Adapula syahadah atau kesaksian, secara etimologi mempunyai tiga arti,
yaitu menghadiri atau mendapati, mengkhabarkan dan mengetahui.
Format atau simbol (shighat) tahammul dan ada' menjadi tanda apakah
hadits itu bersambung atau tidak. Ulama' merumuskan detail-detail kecil
shighat tahammul dan ada' karena ingin memastikan sumber sebuah
periwayatan.
3
Syarat-syarat dalam periwayatan Hadits
1. Islam
Pada waktu meriwayatkan suatu hadits, maka seorang perawi harus muslim, tidak
dapat di terima riwayat orang kafir, walaupun dia bukan orang yang berdusta. Allah
menyuruh kita berhati-hati menerima riwayat orang fasik, sebagaimana yang di
terangkan dalam ayat 6 surat Al Hujurat:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa
suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu
musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
4
2.Sudah sampai umur (baligh)
Tidak dapat di terima riwayat anak-anak yang belum sampai umur,
mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad Abu Daud dan Al Hakim
dari Umar dan ‘Ali yaitu:
ب َعلَى َع ْقلِ ِه َح َّتى َيب َْرُأ َو َع ِن ال َنا ِِئم َح َّتى َيسْ َت ْيق َِظ َو َع ِن الص َِّبيِّ َح َّتى
ِ َع ِن ْال َمجْ ُن ْو ِن ال َم ْغلُ ْو:ٍُرف َِع ال َقلَ ُم َعنْ َثالَ َثة
)َيحْ َتلِ ُم (رواه ابوداود والنسإ
Artinya:
“Diangkat kalam dari tiga orang: dari orang gila, yang di gagahi akalnya
sehingga dia sembuh, dari orang tidur sehingga ia bangun dan dari anak-
anak sampai dia mimpi (baligh).” (HR. Abu Daud dan Nasa’i)
5
3. Keadilan
Yaitu sifat yang tetap terhunjam pada seseorang yang bersifat dengan
keadilan itu berlaku taqwa dan memelihara muru’ah, karenanya timbullah
kepercayaan masyarakat kepadanya.
Disamping itu ia memelihara diri dari dosa dosa besar dan sebagian dosa
kecil, seperti mencuri sesuatu makanan orang, serta keharusan menjauhi
perbutan-perbuatan yang mubah yang merusakkan muru’ah, seperti makan
sambil berjalan, berkemih dijalan besar, menggauli orang-orang yang
rendah pekerti atau terlalu suka bergurau.
6
4. Kedlabitan
7
TATA CARA PERIWAYATAN HADITS
1. As-Sama’ (س َما ُع
َّ ل00)ا
Maksud periwayatan hadits dengan cara as-sama’ adalah seorang rawi menerima langsung
periwayatan gurunya dengan cara mendengarkan bacaan dari hafalan atau tulisan sang
guru. Dalam periwayatan bentuk as-sama’, biasanya seorang guru membacakan haditsnya,
sedangkan murid mendengarkan dengan seksama untuk kemudian menulis apa yang telah
ia dengar, atau hanya mendengar saja untuk kemudian menghafalnya.
Di dalam periwayatan yang berbentuk as-sama’, disyaratkan antara guru dan murid terjadi
pertemuan. Namun, pertemuan tersebut tidak harus bertemu muka. Menurut pandangan
jumhur ulama’, periwayatan hadits dengan adanya tabir (penghalang) yang memisahkan
antara sang guru dan murid sudah dianggap sah dan tergolong periwayatn bentuk as-
sama’. Syaratnya, yang di dengar sang murid benar-benar suara gurunya
Al-Qira’ah adalah periwayatan hadits dengan cara seorang murid membacakan hadits kepada
sang guru.
Periwayatan tersebut biasanya disebut dengan istilah Al-Aradl. Disebut Al-‘Aradl, karena seorang
rawi menyuguhkan bacaan haditsnya kepada sang guru, dan guru mendengarkan bacaan
tersebut. Bisa jadi bacaan tersebut berasal dari hafalan atau buku perawi, dan sang guru
mengikuti bacaan tersebut dengan hafalannya, memegang kitabnya sendiri, atau memegang kitab
orang lain yang tsiqqah. Para ulama’ berbeda pendapat mengenai periwayatan hadits dengan cara
al-qira’ah. Ada sebagian ulama’ yang menilai periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah setingkat
dengan periwayatan hadits dengan cara as-sama’. Tetapi, pendapat yang lebih kuat mengatakan
bahwa periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah tingkatannya lebih rendah dibandingkan dengan
periwayatan hadits dengan cara as-sama’.
Ketika menyampaikan periwayatan hadits dengan cara al-qira’ah, perawi biasanya menggunakan
kalimat: َال ًناjjj َرْأ ُت ُفjj‘ َقaku telah membaca kepada si fulan’ atau jِ َرْأ ُت َعلَ ْيهjj‘ َقaku telah membaca
dihadapannya’ atau j َنا َأسْ َم ُعjَ َالٍن َواjjj ِرَئ َعلَى ُفjj‘ ُقdibacakan oleh seseorang dihadapannya dan aku
mendengarkannya’. Namun, yang umum dipakai menurut ahl hadits adalah lafal ‘ َأ ْخ َب َر َناtelah
mengabarkan kepada kami’.
9
3. Al-ijazah(ُازة
َ ِإل َج0 )ا
Maksud periwayatan hadits dengan cara al-ijazah adalah izin meriwayatkan sesuatu tertentu kepada
orang tertentu. Biasanya izin ini di berikan oleh seorang guru kepada muridnya untuk meriwayatkan
suatu hadits dalam bentuk ucapan atau tulisan. Lafal ijazah yang digunakan oleh sang guru kepada
muridnya adalah ”aku izinkan kepadamu untuk meriwayatkan dariku demikian.”
Adapun macam-macam ijazah,yaitu:
Ø Ijazah fi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin untuk meriwayatkan
suatu hadits tertentu kepada orang tertentu. Misalnya, seorang guru berkata, ”Aku ijazah-kan
kepadamu Shahih Muslim.” Menurut pandangan ulama’, derajat ijazah ini memiliki tingkatan paling
tinggi dibandingkan dengan ijazah lainnya.
Ø Ijazah fi gairi mu’ayyanin li mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru
kepada seseorang dengan tanpa menentukan apa yang di-ijazah-kannya. Misalnya, guru meng-
ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan kepadamu untuk meriwayatkan semua riwayatku”.
Ø Ijazah gairi mu’ayyanin bi gairi mu’ayyanin, yaitu ijazah yang berarti pemberian izin seorang guru
kepada siapa saja (tanpa ditentukan orangnya),dan tidak ditentukan pula apa yang di-ijazah-kannya.
Misalnya, meng-ijazah-kan dengan lafal “Aku ijazah-kan semua riwayatku kepada semua orang
pada zamanku.”
Ø Syaih meng-ijazah-kan sesuatu yang ia terima dengan jalan ijazah kepada orang yang tertentu.
Misalnya, ”Aku ijazahkan kepadamu apa-apa yang di-ijazahkan kepadaku”.
Dalam redaksi hadits yang diterima dengan jalan al-munawalah terdapat kata-kata seperti: َاولَن ِْيj َن
َ j‘ َوia telah memberikan munawalah dan ijazah kepadaku’, از ًة
َ أج
ازنِي َ إj َّد َث َنا ُم َن َاولَ ًة َوj‘ َحia telah
َ جj
menceritakan kepada kami dengan munawalah dan ijazah’, atau أخ َب َر َنا ُم َن َاولَ ًة ْ ‘ia telah mengabarkan
kepada kami dengan munawalah’.
11
5. Al-Mukatabah ()أل ُم َكا َت َب ُة
Periwayatan hadits dengan cara al-mukatabah adalah model periwayatan hadits dengan cara seorang
guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menuliskan riwayatnya untuk diberikan kepada orang
yang ada dihadapannya ataupun yang tidak hadir.
Al-mukatabah ada dua macam:
a. Mukatabah al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang disertai dengan ijazah. Misalnya,
perkataan guru dengan lafal “Aku ijazahkan kepadamu apa yang aku tulis untukmu”, atau yang semisal
dengannya.
Riwayat dengan cara ini adalah sahih, karena kedudukannya sama kuat dengan munawalah yang
disertai ijazah.
b. Mukatabah ghairu al-maqrunah bi al-ijazah, yakni mukatabah yang tidak disertai dengan ijazah.
Misalnya, seorang guru menulis sebagian hadits untuk muridnya dan tulisan itu dikirimkan kepadanya,
tetapi sang murid tidak diperbolehkan untuk meriwayatkannya.
ٌ َ jjjلي ُفjjإ
Kata-kata yang sering digunakan dalam riwayat dengan mukatabah misalnya, الن َّ َ َت َبj‘ َكseseorang
telah menulis untukku’.
12
6. Al-I’lam (0ُ ِْإلع َالم0 )ا
13
7. Al-Washiyyah (لَوصِ َّي ُة00)ا
15
ALHAMDULILAH